Sabtu, 18 Desember 2010

MEDITASI

 
Mengapa saya harus meditasi ?

Kata meditasi berarti terus menerus memberikan perhatian atau menghentikan pemikiran pada satu pokok pikiran. kwalitas atau keadaan atas obyek yang kita meditasikan.

Oleh karena itu ketika kita meditasi pada sesuatu yang tidak kentara yaitu Tuhan, kita akan menghilangkan kekotoran kita dan mendapatkan kehalusanNYA. Sehingga tujuan tertinggi dalam kehidupan, jadi memungkinkan untuk dicapai.. Dan ini hanya bisa didapat melalui praktek terus menerus meditasi setiap hari dengan ketaatan yang tulus ikhlas.

Bagaimana saya menyiapkan diri untuk meditasi harian saya ?

Cara menyiapkan diri untuk meditasi di pagi hari diberikan seperti di bawah ini :

1.      Bangun sebelum matahari terbit.
2.      Sikat gigi dan cuci muka.
3.      Mandi jika kamu merasa kotor (disarankan bahwa kamu mulai meditasi sepagi mungkin tanpa menghabiskan waktu pada aktivitas-aktivitas rutin seperti minum teh, baca koran, olahraga dan sebagainya).
4.      Pakai pakaian yang longgar dan enak dipakai.
5.      Tentukan satu waktu dan tempat khusus untuk meditasi setiap hari.
6.      Beritahu anggota keluarga yang lain untuk tidak mengganggumu selama meditasi.
7.      Mulailah dengan meditasi selama 30 menit. Tambah waktunya setelah kamu merasa cocok dan lakukan itu menjadi satu jam. Kalau kamu membuka mata sebelum waktunya, kamu dapat menutup matamu lagi dan meneruskan meditasi.
8.      Duduk yang enak, santai tetapi punggung dan kepala tetap tegak. Kamu bisa duduk di lantai, di bangku, dengan punggung (bukan kepala) bersandar pada tembok. Kalau kepalamu tertunduk setelah kamu mulai meditasi (disebabkan karena kehilangan kesadaran), kamu tidak perlu khawatir tentang itu. Tiduran tidak diijinkan karena terlalu mengasyikkan sehingga dapat membuat kamu tidur.

Bagaimana saya meditasi?

Tutup mata dan mulai dengan suatu anggapan bahwa Cahaya Tuhan hadir di dalam hati. Setelah itu duduk santai dengan suatu sikap melihat ke dalam diri. Ini mudah sekali.

Haruskah Saya Mengulang-ulang Anggapan Tentang Cahaya Tuhan ?

Tidak. Dengan satu niat saja sudah cukup. Dengan anggapan tersebut, alam pikir bawah sadar dihubungkan dengan Tuhan yang ada di dalam hati selama seluruh periode meditasi. Alam pikir yang sadar mungkin mulai menghasilkan pikiran-pikiran lain, bayangan-bayangan dan sebagainya, tetapi kita dianjurkan untuk tidak memperhatikan hal-hal tersebut, karena ini adalah satu cara untuk membuang banyaknya pemandangan.

Catatan : – Mohon dimengerti bahwa dalam sistem ini tidak ada yang harus dikerjakan oleh akal setelah kita memulai meditasi
– tidak ada konsentrasi atau pengulangan pemikiran seperti mantera. Sistem sebelumnya yang rupanya menggunakan metode seperti itu hanya untuk mencegah atau menahan pikiran-pikiran.

Bagaimana Mungkin Meditasi Tanpa Akal Kita Melakukan Suatu Pekerjaan (Selama Meditasi)?

Bahwa pikiran sangat kuat. Oleh karena itu anggapan belaka pada saat mulai bahwa Cahaya Tuhan ada di dalam hati, sangat kuat untuk menghubungkan akal kita dengan Tuhan. Ini bisa dibandingkan dengan menyalakan sebuah lampu. Sambungannya akan terus menerus menyala dan tidak perlu harus terus menerus menekan tombolnya.

Haruskah Saya Mencoba Untuk Melihat Cahaya ILAHI Selama Meditasi ?

Tidak. bahwa ILAHI terlalu halus untuk ditangkap pancaindera. Meskipun cahaya masih bersifat kebendaan tetapi ILAHI tidak harus dilihat seperti sinar matahari, sinar bulan atau sinar listrik. Karena akal manusia tidak bisa meditasi pada sesuatu yang kosong. Kita menerima ILAHI sebagai suatu anggapan yang abstrak (tidak nyata) dan meditasi atas anggapan tersebut dan itu memberi gambaran yang jelas atas kesadaran kita di dalam diri.

Jadi Apa Yang Harus Saya Lakukan Selama Meditasi ?

Tidak harus mekukan apa-apa, kamu tidak aktif, kamu pasif selama meditasi. Meditasi adalah suatu keadaan menunggu KEBESARAN SANG MAHA / KEBESARAN ILAHI masuk kedalam diri kita. Ini cara yang paling alami, karena tidak ada aktivitas jasmani atau rohani dan kita mengambil suatu sikap PASRAH ATAU MENYERAH (pasif seluruhnya) .

Apa Yang Harus Saya Lakukan Jika Pikiran-Pikiran Saya Mengganggu Selama Meditasi ?

Kamu harus menganggapnya seperti pikiran tersebut adalah pikiran orang lain. Jadi ciptakan jarak antara dirimu dengan pikiran yang muncul.. Kalau anda mendapatkan dirimu terlalu terlibat dengan pikiran tersebut, anda disarankan untuk perlahan-lahan melepaskan pikiran tersebut dan membawanya kembali ke suasana awal (sebelum mulai meditasi), ucapkan lagi CAHAYA ILAHI / CAHAYA TUHAN / CAHAYA SANG MAHA ada di dalam hatimu. Bagaimanapun ini hanyalah persoalan yang sementara bagi siswa meditasi baru. Dengan meditasi setiap hari secara teratur, kamu akan menemukan bahwa pikiran tersebut kehilangan bebannya dan berhenti untuk mengganggu perasaan yang menginginkan ketenangan di dalam hatimu.

KEUNTUNGAN MEDITASI

Meditasi adalah suatu tingkatan dimana terjadi kedamaian dan ketenangan dalam pikiran kita, diam namun sepenuhnya siaga. Kekuatan utama dari meditasi adalah membawa kita secara nyata kedalam tingkatan kesadaran yang lebih tinggi yang akan membantu kita manusia untuk mendapatkan sebuah kebenaran dalam sebuah hal.
Melalui Meditasi yang rutin, beberapa keuntungan yang akan kita peroleh antara lain:
·        Meningkatkan kesehatan dan memperkuat sistem pertahanan tubuh kita.
·        Menghilangkan stress, keterikatan, dan sifat kemarahan.
·        Meningkatkan konsentrasi dalam sekolah maupun kerja.
·        Melenyapkan segala hal negatif dan gaya hidup yang merugikan diri sendiri.
·        Memperkuat rasa percaya diri dan keyakinan diri.
·        Meningkatkan kemampuan berkomunikasi yang berguna dalam membangun hubungan dengan orang lain.
·        Kebangkitan dari satu kesadaran yang lebih tinggi menuju sebuah dimensi kesadaran kolektif, didalam tahap ini dapat merasakan secara nyata perasaan diri sendiri dan orang lain.
·        Membuang segala prilaku yang tidak baik yang akan menyebabkan ketidak harmonisan hubungan antara individu, masyarakat dan budaya.

KEUNTUNGAN KESEHATAN

Bermacam-macam penyakit dan gangguan kesehatan erat kaitannya dengan ketidakseimbangan sistem energi yang sulit dipisahkan. Melalui meditasi, seseorang membangkitkan energi murni yang tidur dalam diri kita, melalui proses penyelarasan : dan segera memulai menerangi pusat energi yang sulit dipisahkan di dalam diri kita. kemudian bisa menyembuhkan, menyeimbangkan dan memelihara pusat energi yang sulit dipisahkan melalui teknik pembersihan sederhana yang diajarkan dalam klubmeditasi. Keseimbangan pusat energi akan meningkatkan status kesehatan dan kamu menjadi lebih kebal terhadap bermacam-macam penyakit. Keuntungan yang luar biasa, “ Sekali anda telah mengikuti penyelarasan dan melatihnya, kamu tidak perlu cemas dan khawatir akan kesehatanmu sama sekali.”
Kesehatan yang didapat dari klubmeditasi telah dibuktikan dari banyaknya anggota klub regular maupun online. Banyak orang juga telah mengobati diri mereka sendiri dari penyakit seperti tekanan darah tinggi, sakit asma, epilepsi, kencing manis, kanker dan lain-lain.

MENINGKATKAN KENYAMANAN TIDUR

Manfaat yang diperoleh secara nyata dari melatih Meditasi adalah seseorang akan mendapatkan tidur yang lebih baik, lebih dalam dan bangun dalam keadaan lebih segar. Banyak orang kesulitan untuk tidur, menderita penyakit atau tidurnya tidak memuaskan, yang mana mereka menyalahkan segalanya dari cuaca tidak baik, tempat tidur tidak baik dan lain-lain. Sesungguhnya, banyak hal yang menyebabkan seseorang susah tidur yaitu kesibukan pikiran, pengalaman masa lalu, cemas akan masa depan. Melalui Meditasi semua itu dapat diatasi dan anda akan mendapatkan tidur yang nyaman dan menyehatkan.

PENGENDALIAN STRESS

Hubungan antara sistem pusat energi dan emosi, phisik dan kesehatan mental, berhubungan dengan energi Yin (emosi, keinginan dan masa lalu) dan energi Yang (kegiatan kita dan pikiran masa depan). Stress adalah hasil dari ketidakseimbangan antara kedua energi tersebut, sebagai akibat dari kelebihan kerja dan pemaksaan terhadap sistem pusat energi kita.
Melalui Meditasi, kita dapat belajar cara menyeimbangkan kedua energi tersebut dan menikmati keseimbangan dalam kehidupan, kedamaian dan ketenangan.

PENGEMBANGAN DIRI

Kebangkitan energi rohani yang tidur “Kundalini” menyempurnakan peningkatan dan perubahan positif di dalam kepribadian kita. Dengan praktek, seseorang akan menemukan bahwa banyak kualitas bawaan dari pusat energi kita yang menjadi nyata dalam hidup kita. Kita menjadi secara otomatis menjadi lebih dinamis, kreatif, yakin dan pada waktu yang bersamaan penuh kesederhanaan, berbelas kasih dan penuh kasih sayang. Banyak individu, yang praktek Sahaja Yoga, juga menemukan bakat bawaan mereka sendiri dan potensi dalam banyak hal ( contoh seni, musik, kemampuan pidato dll) dan secara berangsur-angsur berkembang pada tingkatan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya.
Pelaksanaan Meditasi juga akan meningkatkan fokus mental, konsentrasi dan peningkatan tenaga. Dengan pikiran yang tenan dan waspada, tidak heran banyak praktisi Sahaja Yoga yang mampu menghadapi segala tantangan dalam kehidupannya.

PENINGKATAN EKONOMI

Banyak yang melaksanakan meditasi ini mendapatkan manfaat ekonomi, seperti peningkatan moralitas akan menyebabkan pengurangan konsumsi terhadap minuman, obat-obatan, kesenangan material berlebihan, keinginan yang berlebihan. Sehingga jelas akan menghemat pengeluaran dan akan meningkatkan kemampuan eknomi. Dan kemampuan sosial yang meningkat, kepercayaan diri jelas akan membawa dampak bagi orang sekelilinginya dan banyak relasi bisnis yang akan senang bergaul dengannya. Ini akan membuka banyak kesempatan dan peluang. Kedamaian dan ketenangan pikiran dan jiwanya akan membuka banyak peluang baru, dan orang-orang serta para relasi bisnis akan senang bergaul dengannya.

Jadi tidak mengherankan jika para praktisi meditasi dapat hidup penuh ketenangan, kedamaian dan mendapatkan banyak peluang-peluang yang menguntungkan hidupnya.

Masih banyak keuntungan lainnya, yang dapat anda rasakan dan terlalu banyak untuk diceritakan. Mungkin sebaiknya anda mengalaminya sendiri, dan ini adalah keuntungan anda sendiri, anda tidak perlu mengeluarkan biaya apapun untuk merubah dan memperbaiki hidup anda kearah yang lebih baik, cukup rutin melakukan meditasi.


Kenapa masih belum memulainya ….

Salam
Love light and blessings
H3r

MEMULAI LAKU PRIHATIN


PRIHATIN

Adalah kata-kata yang akrab di telinga kita, bahkan saya pernah mendengar kata “prihatin” saban hari selama sebulan. Tapi saya semakin judeg memaknainya. Setelah sekian lama, barulah saya pahami bahwa “prihatin” mungkin singkatan dari “perih ing batin” (pedih yang dirasakan oleh batin). Mengapa pedih ? Yah, tentu saja, karena batin (jiwa) ini tidak diujo (dibiarkan semau gue) memuaskan hawa nafsu. Padahal tahu sendiri kan, betapa nikmatnya bila kita sedang keturutan (terpenuhi) hawa nafsunya. Apalagi untuk urusan “under ground stomach“.. namun dalam suasana jiwa yang “prihatin” pemuasan nafsu jasadiah sangat dikendalikan, sekalipun sudah menjadi hak kita. Sampai ada wewaler “ngono yo ngono ning ojo ngono” (gitu ya gitu tapi jangan gitu dong..). Sebagai rambu-rambu agar supaya tidak sampai berlebihan atau melampaui batas kewajaran. Jadi, garis besarnya “laku prihatin” adalah upaya kita agar badan/jasad ini selalu berkiblat mengikuti kehendak guru sejati/rahsa sejati (kareping rahsa sejati) yang selalu dalam koridor kesucian (berkiblat pada kodrat Tuhan). Sehingga kecenderungan nafsu/hawa/nafs/jiwa/soul kita yang cenderung ingin berbuat negatif nuruti rahsaning karep (nafsu negatif), senaniasa kita belokkan kepada kesucian sang guru sejati dan rahsa sejati. Sehingga menjadi nafsu yang selalu berkeinginan baik (an nafsul mutmainah). Nah, “kekalahan” jasad (bumi) atas jiwa yang suci ini seringkali terasa pedih/gundah/marah di dalam kalbu.

Karena banyaknya pertanyaan mengenai tata cara atau apa yang harus ditempuh dalam mengawali sebuah perjalanan spiritual (laku prihatin) untuk menggapai tataran kesejatian, maka perlu kami paparkan tulisan berikut ini. Seluruh catatan di sini, semua semata-mata sebagai salah satu upaya saya untuk mewujudkan rasa syukur yang paling konkrit kepada Gusti Allah yang sudah menganugrahkan rahmat, kebahagiaan, ketentraman, dan kecukupan pada kami & keluarga. Bagi saudara-saudaraku para pembaca yang budiman dan seluruh sahabat handai taulan yang menanyakan bagaimana memulai sebuah “laku” prihatin untuk menggapai spiritualitas sejati, berikut ini yang dapat kami paparkan secara sederhana agar mudah dipahami. Apa yang saya paparkan di bawah ini sekedar contoh langkah-langkah yang saya lakukan selama ini untuk memahami kehidupan sejati dan selanjutnya menggapai kemuliaan hidup. Terdiri dari 5 jurus atau empat tahapan yakni;

0. Nol adalah nihil. Substansi nihil di sini berarti belum ada manifestasi perbuatan konkrit.  Masih berupa niat; niat ada dua level yakni; Niat Demi Tuhan, dan Niat  Ingsun. Yang pertama menyiratkan pemahaman saya yang belum utuh akan jati diri.  Setiap mengikrarkan Demi Tuhan; saya terbayang bahwa perbuatan baik saya tujukan kepada Tuhan, dengan membayangkan Tuhan itu nun jauh di atas langit ke tujuh. Akan tetapi kemudian dalam perjalanan spiritual ini sampailah pada pemahaman bahwa saya lebih merasa mantab bila berkata; Niat Ingsun. Alasannya ; niat Ingsun lebih pas, karena bukankah Tuhan itu lebih dekat dengan urat leher kita ? Tuhan (Sifat hakekat) berada dalam JATI DIRI (sifat zat). Maka Ingsun bermakna “Aku” . Sedangkan “Aku atau Ingsun” merupakan hakekat Tuhan (sifat zat) dalam diri. Aku (manusia) melakukan apa yang diridhoi AKU (hakekat Tuhan di dalam makhlukNya). Saya temukan suatu makna bahwa melakukan kebaikan pada sesama itu tidak lain memposisikan diri kita pada jalur “kodrat” Ilahi. Jelasnya menurut pemahaman saya, bahwa Niat Ingsun ternyata memiliki makna; sebuah ucapan yang keluar dari hakekat “manunggaling kawula-Gusti”.

1. Membersihkan hati; dengan cara membiasakan berfikir positif, sekalipun menghadapi situasi yang buruk dan tidak menyenangkan, tetapi selalu berusaha  mengurai sisi baiknya. Sebaliknya waspadai diri kita sendiri, selalu mengevaluasi diri, karena setiap orang akan cenderung merasa sudah melakukan banyak amal kebaikan maupun merasa telah beriman. Namun mengapa banyak pula orang yang merasa banyak amal, banyak membantu, merasa sudah banyak sodaqah, merasa sudah bersih hati, merasa sudah menjalankan sariat, tapi kehidupannya kontradiktif; masih selalu merasa sial, dirundung musibah dan kesulitan. Dan dengan percaya diri lantas menganggapnya  sebagai cobaan bagi orang-orang beriman. Ini menjadi suatu “kelucuan”  hidup yang sering tidak kita sadari.

2. Berusaha setiap saat agar hidup kita bermanfaat bagi sesama. Dalam terminologi ajaran Jawa disebut donodriyah; atau sodaqoh. Dhonodriyah ada 4 cara dan tingkatan; yakni (1) dhonodriyah doa; (2) dhonodriyah tutur kata/nasehat yg baik dan menentramkan, (3) dhonodriyah tenaga, (4) dhonodriyah harta. Yang terakhir inilah yang paling sulit dilakukan tapi nilainya paling tinggi. Kita  lakukan semua kebaikan kepada sesama dengan tulus dan ikhlas. Kita jadikan sebagai sarana tapa ngrame; ramai/giat dalam membantu sesama, tetapi sepi dalam berpamrih.

3. Belajar tulus dan ikhlas sepanjang masa. Agar supaya mampu mewujudkan keikhlasan yg sempurna. Ukuran kesempurnaan ikhlas itu dapat diumpamakan “keikhlasan” kita sewaktu buang air besar. Kita  enggan menoleh, bahkan selekasnya dilupakan dan disiram air agar tidak berbau dan membekas. Setelah itu kita tak pernah membahas dan mengungkit-ungkit lagi di kemudian hari. Itu yang harus kita lakukan, sekalipun yang kita perbantukan berupa harta paling berharga. Mengapa harus belajar ketulu-ikhlasan sepanjang masa ? Tidak lain karena keihklasan hari ini dan dalam kasus tertentu, belum tentu berhasil kita lakukan esok hari, belum tentu berhasil dalam kasus lain, dan belum tentu sukses kita wujudkan dalam kondisi mental yang berbeda.

4. Meghilangkan sikap ke-aku-an (nar/api/iblis); menghindari watak mencari benernya sendiri, mencari menangnya sendiri, dan mencari butuhnya sendiri. Sebaliknya, jaga kesucian badan dan batin dari polusi hawa nafsu negatif agar sinar kesucian (nur) menjadi semakin terang dalam kehidupan anda.

5. Perbanyak bersyukur, sebab tiada alasan sedikitpun untuk menganggap Tuhan belum memberikan anugrah kepada kita. Coba hitung saja anugrah Tuhan dalam setiap detiknya, berpuluh-puluh anugrah selalu mengalir pada siapapun orangnya; sekali lagi dalam setiap detiknya. Maka bersyukur yang paling ideal adalah mewujudkannya dalam perbuatan. Misalnya kita diberi kesehatan; bersukurnya dengan cara gemar membantu orang yang sedang sakit dan menderita. Latih diri kita agar selalu  membiasakan bersukur TIDAK dengan mulut saja, tetapi dengan sikap dan perbuatan konkrit.

Dalam setiap melakukan amal baik kepada sesama, kita “transaksikan” kebaikan itu dengan Tuhan, jangan dengan orang yang kita baiki. Jika kita “bertransaksi” dengan orang, maka kita hanya akan mendapat pujian atau upah saja. Jika 5 tahap itu bisa dilaksanakan menjadi kebiasaan sehari-hari, niscaya hidup kita akan menemukan kamulyan sejati. Baik dunia maupun akhirat. Bahkan kita dapat meraih anugrah Tuhan berupa “ngelmu beja” atau “ilmu” keberuntungan. Tidak dapat dicelakai orang, selalu menemukan keberuntungan, selalu hidup kecukupan, dan tenteram. Bahkan semakin banyak kita memberi, semakin banyak pula kita menerima.

Selamat menjalankan, dan lihatlah buktinya.



salam sejati

rahayu

SULUK SALOKA JIWA


Karya: Ronggowarsito

Islam Dan Mistik Jawa

Alkisah, seorang dewa Hindu, Wisnu didorong oleh keinginannya yang besar untuk mencari titik temu antara ajaran Hindu dan Islam, rela menempuh perjalanan jauh, dengan mengarungi lautan dan daratan, untuk datang ke negeri Rum (Turki), salah satu pusat negeri Islam, yang kala itu dalam penguasaah Daulah Usmaniyah. Untuk mencapai maksud itu, Wisnu mengubah namanya menjadi Seh Suman. Dia pun menganut dua agama sekaligus, lahir tetap dewa Hindu namun batinnya telah menganut Islam.

Dan demikianlah, setelah menempuh perjalanan yang demikian jauh dan melelahkan, sampailah Seh Suman di Negeri Rum. Kebetulan pada masa itu Seh Suman bisa menghadiri musyawarah para wali itu bertujuan untuk mencocokkan wejangan enam mursid (guru sufi):
1) Seh Sumah,
2) She Ngusman Najid,
3) Seh Suman sendiri,
4) Seh Bukti Jalal,
5) Seh Brahmana dan
6) Seh Takru Alam.

Demikianlah ikhtisah Suluk Saloka Jiwa karya pujangga Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Raden Ngabei Ranggawarsita, sebagaimana dirangkumkan oleh pakar masalah kejawen dari IAIN Sunan Klaijaga Yogyakarta, Dr. Simuh (1991:76). Menurut Simuh, kitab ini nampaknya diilhami oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membehas ilmu kasampuranan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat.

Dunia Penciptaan.

Sumber lain menyebut kitab ini sebagai Suluk Jiwa begita saja. Misalnya, dalam disertai Dr. Alwi Shihab di Universitas ‘Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma’asir yang kemudian diindonesiakan oleh Dr. Muhammad Nursamad menjadi Islam Sufistik : “Islam Pertama” dan pengaruhnya hingga kini di Indonesia (Mizan, 2001).

Bahkan bukan saja penyebutan judulnya yang berbeda, namun nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Sehingga, Seh Suman oleh Alwi Shihab ditulisnya sebagai Sulaiman. Seh Ngusman Najib ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu alur cerita yang digambarkan oleh Alwi Shihab tidak berbeda dengan yang dipaparkan oleh Dr. Simuh.

Dari perbedaan penyebutan itu timbul beberapa spekulasi. Spekulasi pertama barangkali memang penyebutan Alwi Shihab kurang lengkap mengingat Alwi tampaknya tidak mengambil dari sumber langsung atau mungkin kekeliruan dalam penerjemahan. Namun, spekulasi yang lain bisa saja antara Seluk Saloka Jiwa dan Suluk Jiwa memang kitab yang berbeda atau turunan yang lain. Hal ini bisa saja terjadi karena kitab Jawa, yang penurunannya belum memakai metode cetak tapi tulisan tangan, suatu kitab sejenis antara turunan yang satu dengan turunan yang lainnya bisa mengalami perubahan karena ditulis dalam waktu dan kesempatan yang berbeda, bahkan bisa oleh penulis yang berbeda pula.

Namun, yang pokok, antara apa yang diungkapan oleh Dr. Simuh dengan Dr. Alwi Shihab tidak ada perbedaan yang berarti. Keduanya menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya mensinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme). Bahkan, Dr. Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen. Menurut Menteri Luar Negeri RI pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, penjulukannya ini didasarkan pada kenyataan bahwa karya-karya Ranggawarsita menjadi rujukan utama untuk kebatinan Jawa.

Serat Soluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari masa manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sanggkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah SWT itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah :
* al-nur yang kemudian terpancar darinya 4 unsur : tanah, api, udara, dan air.
* Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari 4 unsur: darah, daging, tulang dan tulang rusuk.

Api melahirkan 4 jenis jiwa/nafsu : aluamah (dlm ejaan Arab lawwmah) yang memancarkan :
1) warna hitam;
2) amarah (ammarah) memancarkan warna merah;
3) supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan
4) mutmainah (muthma’inah) berwarna putih.

Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus.

Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kejawen yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali. Namun demikian, konsep tentang nafsu-nafsu itu kemudian berkembang dikalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan penganut kebatinan Jawa nonmuslim.

Demikianlah ikhtisar Suluk Saloka Jiwa sebagaimana dirangkumkan oleh Simuh (1991: 76). Menurut Simuh, kitab ini tampaknya “di-ilhami” oleh tradisi permusyawaratan para wali atau ahli sufi untuk membahas ilmu kasampurnan atau makrifat yang banyak berkembang di dunia tarekat. Pendapat senada terdapat dalam disertasi Dr Alwi Shihab di Universitas ‘Ain Syams, Mesir, Al Tashawwuf Al-Islami wa Atsaruhu fi Al-Tashawwuf Al-Indunisi Al-Ma’asir. Hanya saja, dalam disertasi Shihab, nama tokoh-tokohnya ditulis menurut ejaan Arab. Seh Suman ditulisnya sebagai Sulaiman, Seh Ngusman Najid ditulis Syaikh Ustman Al-Naji. Meskipun begitu, alur cerita yang digambarkan tidak berbeda. Keduanya juga menyebut bahwa karya Ranggawarsita yang satu ini memiliki pertalian yang erat dengan upaya menyinkronkan ajaran Islam dan Jawa (Hinduisme), inti pokok ajaran kebatinan Jawa.

Serat Suluk Saloka Jiwa ini berbicara soal dunia penciptaan, yaitu dari mana manusia berasal dan ke mana bakal kembali (sangkan paraning dumadi). Ini terlihat dari hasil perbincangan enam sufi di Negeri Rum yang juga dihadiri oleh Seh Suman alias Dewa Wisnu tersebut. Dari sinilah, Seh Suman berkesimpulan bahwa sesungguhnya antara ajaran Islam dan Jawa memiliki paralelisme.

Menurut Ranggawarsita, sebagaimana digambarkan dari hasil percakapan enam sufi, Allah itu ada sebelum segala sesuatu ada. Yang mula-mula diciptakan oleh Allah adalah al-nur yang kemudian terpancar darinya tanah, api, udara, dan air. Kemudian diciptakanlah jasad yang terdiri dari empat unsur: darah, daging, tulang-tulang, dan tulang rusuk. Api melahirkan empat jenis jiwa/nafsu: aluamah (dalam ejaan Arab lawwamah) yang memancarkan warna hitam; amarah (ammarah) memancarkan warna merah; supiah (shufiyyah) berwarna kuning dan mutmainah (muthma’inah) yang berwarna putih. Dari udara lahir nafas, tanaffus, anfas dan nufus.

Paham penciptaan ini jelas kemudian sangat berpengaruh terhadap tradisi kebatinan Jawa yang memang mengambil dari ajaran Islam yang berpadu dengan kebudayaan lokal. Memang konsep-konsep tentang jiwa (nafs) juga diruntut dalam tradisi Islam sufistik, seperti yang dikembangkan Al-Ghazali. Dalam kaitan pemilahan an-nafs(nafsu) ini, Al-Ghazali membagi tujuh macam nafsu, yaitu mardhiyah, radhiyah, muthmainah, kamilah, mulhammah, lawwamah, dan ammarah(Rahardjo; 1991: 56). Namun, yang berkembang dalam kebatinan Jawa bukan tujuh macam nafsu, namun tetap empat nafsu di atas.

Seorang dokter-cendekiawan Jawa dari Semarang, dr Paryana Suryadibrata, pada tahun 1955, pernah menulis karangan “Kesehatan Lahir dan Batin” bersambung lima nomor di Majalah Media Yogyakarta. Ia, misalnya, menyebut 4 (empat) macam tingkatan nafsu manusia:
1. ammarah(egosentros) ,
2. supiyah(eros) ,
3. lawwamah(polemos) , dan
4. muthmainah(religios ).

Konsep tentang empat nafsu itu kemudian berkembang luas di kalangan kebatinan Jawa secara luas, bahkan juga berpengaruh bagi kalangan kebatinan Jawa yang non-muslim. Karena itu, tidak salah jika Alwi Shihab menyebut sosok Ranggawarsita sebagai Bapak Kebatinan Jawa atau Kejawen.

Sinkretisme atau Varian Islam?

· Lantas, apa yang bisa diambil bagi generasi masa kini atas keberadaan Suluk Saloka Jiwa?

· Benarkah Ranggawarsita, dengan karya suluknya ini, telah membawa bentuk sinkretisme Islam-Jawa?

· Lantas, mungkinkah semangat pencarian titik temu antar-nilai suatu agama ini bisa dijadikan desain strategi  budaya  untuk membangun pola relasi antar-umat beragama di Indonesia dewasa ini?

Pertanyaan-pertanya an ini agaknya tidak bisa dipandang enteng, mengingat kompleksnya permasalahan. Yang jelas, masing-masing pertanyaan di atas memiliki korelasi dengan konteksnya masing-masing, tinggal bagaimana seorang penafsir mengambil sudut pandang. Anggapan bahwa ajaran mistik Jawa sebagaimana tercermin dalam Suluk Saloka Jiwa merupakan bentuk sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hinduisme) boleh dikata merupakan pendapat yang umum dan dominan. Apalagi, sejak semula Ranggawarsita sendiri-lewat karyanya itu-seakan telah memberi legitimasi bahwa memang terdapat paralelisme antara Islam dan Hinduisme. Hal ini seperti tercermin dalam kutipanpupuh berikut ini:
Yata wahu / Seh Suman sareng angrungu / pandikanira / sang panditha Ngusman Najid / langkung suka ngandika jroning wardoyo // Sang Awiku / nyata pandhita linuhung / wulange tan siwah / lan kawruhing jawata di / pang-gelare pangukute tan pra beda // .

Artinya:
Ketika Seh Suman (Wisnu) mendengar ajaran Ngusman Najid, sangat sukacita dalam hatinya. Sang ulama benar-benar tinggi ilmunya, ajarannya ternyata tidak berbeda dengan ajaran para dewa (Hinduisme). Pembeberan dan keringkasannya tidak berbeda dengan ilmu kehinduan. Atas pernyataan ini, kalangan pakar banyak yang berpendapat bahwa Ranggawarsita seperti telah menawarkan pemikiran “agama ganda” bagi orang Jawa, yaitu lahir tetap Hindu namun batin menganut Islam, karena antara Hindu dan Islam menurutnya memang terdapat keselarasan teologi. Simuh, misalnya, menyatakan, “Maka, menurut Ranggawarsita, tidak halangan bagi priayi Jawa menganut agama rangkap seperti Dewa Wisnu: Lahir tetap hindu sedangkan batin mengikuti tuntunan Islam” (Simuh; 1991: 77).

Tafsiran demikian ini tidak dilepaskan dari konteks sosio-kultural pada saat itu. Hal tersebut tidak terlepas dari strategi budaya yang diterapkan keraton-keraton Islam di Jawa pasca-Demak, yang mencari keselarasan antara masyarakat pesisiran yang kental dengan ajaran Islam dan masyarakat pedalaman yang masih ketat memegang keyakinan-keyakinan yang bersumber dari Hindu, Buddha, dan kepercayaan- kepercayaan asli,agar tidak ada perpecahan ke agamaan. Upaya-upaya ini telah dilakukan secara sistematis, utamanya sejak dan oleh Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam. Di antaranya, Sultan Agung mengubah kalender Saka (Hindu) menjadi kalender Jawa, yang merupakan perpaduan antara sistem penanggalan Saka dan sistem penanggalan Islam (Hijriah).

Namun, benarkah bahwa Islam Jawa merupakan bentuk sinkretisme Islam dengan ajaran Hindu, Buddha dan kepercayaan Jawa? Pendapat yang dominan memang demikian, khususnya bagi yang mengikuti teori trikotomi-santri- priayi-abangan- Clifford Geertz sebagaimana tercermin dalam The Religion of Java yang monumental itu. Namun, seorang pakar studi Islam lainnya, Mark R Woodward, yang melakukan penelitian lebih baru dibanding Geertz, yaitu pada tahun 1980-an, berkesimpulan lain.

Woodward, yang sebelumnya telah melakukan studi tentang Hindu dan Buddha, ternyata tidak menemukan elemen-elemen Hindu dan Buddha dalam sistem ajaran Islam Jawa. “Tidak ada sistem Taravada, Mahayana, Siva, atau Vaisnava yang saya pelajari yang tampak dikandungnya (Islam Jawa) kecuali sekadar persamaan… sangat sepele,” demikian tulis Woodward (1999: 3).

Bagi Wordward, Islam Jawa-yang kemudian disimplikasikan sebagai kejawen-sejatinya bukan sinkretisme antara Islam dan Jawa (Hindu dan Buddha), tetapi tidak lain hanyalah varian Islam, seperti halnya berkembang Islam Arab, Islam India, Islam Syiria, Islam Maroko, dan lain-lainnya. Yang paling mencolok dari Islam Jawa, menurutnya, kecepatan dan kedalamannya mempenetrasi masyarakat Hindu-Buddha yang paling maju atau sophisticated (ibid: 353). Perubahan itu terjadi dengan begitu cepatnya, sehingga masyarakat Jawa seakan tidak sadar kalau sudah terjadi transformasi sistem teologi.

Dengan demikian, konflik yang muncul dengan adanya Islam Jawa sebenarnya bukanlah konflik antar-agama (Islam versus Hindu dan Buddha), melainkan konflik internal Islam, yakni antara Islam normatif dan Islam kultural, antara syariah dan sufisme. Dalam kaitan ini, Woodward menulis:

“Perselisihan keagamaan (Islam di Jawa) tidak didasarkan pada penerimaan yang berbeda terhadap Islam oleh orang-orang Jawa dari berbagai posisi sosial, tetapi pada persoalan lama Islam mengenai bagaimana menyeimbangkan dimensi hukum dan dimensi mistik.” (ibid: 4-5).
Namun, harus diakui, menyimpulkan apakah Suluk Saloka Jiwa mengajarkan sinkretisme Islam dan Hindu-Buddha atau tidak memang tidak gampang. Ini membutuhkan penelitian lebih lanjut dan mendalam. Namun, pendapat Woodward bahwa problem keagamaan di Jawa lebih karena faktor konflik Islam normatif dan Islam kultural tersebut juga bukan tanpa alasan, setidak-tidaknya memang konsep nafs (nafsu) seperti yang ditulis Ranggawarsita itu memang sulit dicarikan rujukannya dari sumber-sumber literatur Hindu, Buddha ataupun kepercayaan asli Jawa, namun akan lebih mudah ditelusur dengan mencari rujukan pada literatur-literatur tasawuf (sufisme) Islam, seperti yang dikembangkan oleh Al-Ghazali, As-Suhrawardi, Hujwiri, Qusyayri, Al-Hallaj dan tokoh-tokoh sufi Islam lainnya.

Kekhawatiran bahwa Islam Jawa kemungkinan akan “menyeleweng” dari Islam standar tidaklah hanya dikhawatirkan oleh kalangan Islam modernis saja, melainkan kelompok-kelompok lain yang mencoba menggali Islam Jawa dan mencoba mencocokkannya dengan sumber-sumber Islam standar. Seorang intelektual NU, Ulil Abshar-Abdalla, ketika mengomentari Serat Centhini (Bentara, Kompas, edisi 4 Agustus 2000), menulis sebagai berikut:

Yang ingin saya tunjukkan dalam tulisan ini adalah bagaimana Islam menjadi elemen pokok yang mendasari seluruh kisah dalam buku ini [Serat Centhini], tetapi telah mengalami “pembacaan” ulang melalui optik pribumi yang sudah tentu berlainan dengan Islam standar. Islam tidak lagi tampil sebagai “teks besar” yang “membentuk” kembali kebudayaan setempat sesuai dengan kanon ortodoksi yang standar. Sebaliknya, dalam Serat Centhini, kita melihat justru kejawaan bertindak secara leluasa untuk “membaca kembali” Islam dalam konteks setempat, tanpa ada ancaman kekikukan dan kecemasan karena “menyeleweng” dari kanon resmi. Nada yang begitu menonjol di sana adalah sikap yang wajar dalam melihat hubungan antara Islam dan kejawaan, meskipun yang terakhir ini sedang melakukan suatu tindakan “resistensi” . Penolakan tampil dalam nada yang “subtil”, dan sama sekali tidak mengesankan adanya “heroisme”.. ..

Ulil-Abshar barangkali ingin mengatakan inilah cara orang Jawa melakukan perlawanan: Menang tanpa ngasorake… Islam tampaknya telah mengalami kemenangan di Jawa, namun sesungguhnya Islam telah “disubversi” sedemikian rupa, dengan menggunakan tangan Islam sendiri, sehingga sesungguhnya yang tetap tampil sebagai pemenang adalah Jawa.

Dari Mitis ke Epistemologis

Pada akhirnya, dalam kaitannya relasi Islam-Jawa, bila yang digunakan pendekatan adalah pandangan “kita” versus “mereka”, dan karena itu “Jawa” dan “Islam” berada dalam posisi oposisional dan tanpa bisa didialogkan, serta mendudukannya secara vis-a-vis, maka sebenarnya tanpa sadar kita pun telah ikut melegitimasi konflik. Kalau itu yang terjadi, dalam konteks pembangunan toleransi antarpihak, kita sebenarnya tidak memberikan resolusi, namun justru antisolusi. Karena itu, dalam konteks ini, resolusi harus dicarikan pendekatan lain. Dan pendekatan yang layak ditawarkan adalah pendekatan transformatif, yaitu tranformatif dari cara berpikir “mitis” ke pola berpikir “epistemologis.

Transformasi berpikir “mitis” ke “epistemologis” adalah membawa alam pikiran masyarakat dari semula yang “tidak berjarak” dengan alam menuju cara berpikir yang “mengambil jarak” dengan alam. Dengan adanya keberjarakan dengan alam, manusia bisa memberi penilaian yang obyektif terhadap alam semesta. Ini tentu saja berbeda dengan cara berpikir “mitis”, manusia berada “dalam penguasaan” alam.

Karena itu, ketika mereka gagal memberi rasionalitas terhadap gejala-gejala alam, seperti gunung meletus, angin topan, banjir bandang, maka yang dianggap terjadi adalah alam sedang murka. Berpikir mitos pada akhirnya yang terjadi. Dengan berpikir epistemologis, mengambil jarak dengan alam, maka manusia bisa memberi gambaran yang rasional tentang alam, dan kemudian mengolahnya, demi kesejahteraan umat manusia. Alam pun berubah menjadi sesuatu yang fungsional, bermanfaat.

Jumat, 17 Desember 2010

APA MAKSUD ELING LAN WASPADA ?



ELING & WASPADA !!!!!!!

Dua buah kata populer yang berisi pesan-pesan mendalam dan dianggap wingit atau sakral. Namun tidak setiap orang mengerti secara persis apa yang dimaksud kedua istilah tersebut. Sebagian yang lain hanya tahu sekedar tahu saja namun kurang memahami apa makna yang tepat dan tersirat di dalamnya. Perlulah kiranya ada sedikit uraian agar supaya mudah dipahami dan dihayati dalam kehidupan konkrit sehari-hari oleh siapaun juga. Terlebih lagi pada saat di mana alam sedang bergolak banyak bencana dan musibah seperti saat ini. Keselamatan umat manusia tergantung sejauh mana ia bisa benar-benar menghayati kedua pepeling (peringatan) tersebut dalam kehidupan sehari. Sikap eling ini meliputi pemahaman asal usul dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.


ELING DIMENSI KETUHANAN

1.      Eling atau ingat, maksudnya ingat asal usul kita  ada. Dari Tuhan dicipta melalui sang bapak dan sang ibu karena kehendak Tuhan (sangkaning dumadi). Pemahaman ini mengajak kita untuk menyadari bahwa tak ada cara untuk menafikkan penyebab adanya diri kita saat ini yakni sang Causa Prima atau Tuhan Maha Esa (God). Jadi orang harus tahu dan sadar diri untuk selalu manembah kepada Hyang Mahakuasa.
.
2.      Eling bahwa kita harus menjalani kehidupan di mercapadha ini sebagai syarat utama  yang menentukan kemuliaaan kita hidup di alam kelanggengan nanti, di mana menjadi tempat tujuan kita ada di bumi (paraning dumadi).  Manembah bukan hanya dalam batas sembah raga, namun lebih utama mempraktekan sikap manembah tersebut dalam pergaulan sehari-hari kehidupan bermasyarakat, meminjam istilah dari kitab samawiah sebagai habluminannas. Namun di sini menempuh habluminannas untuk menggapai habluminallah.


ELING DIMENSI KEMANUSIAAN

1.      Di samping manembah kepada Tuhan. Adalah keutamaan untuk eling sebagai manusia yang hidup bersama dan berdampingan sesama  makhluk Tuhan. Instrospeksi diri atau mawas diri sebagai modal utama dalam pergaulan yang menjunjung  tinggi perilaku utama (lakutama) yakni budi pekerti luhur,  atau mulat laku kautamaning bebrayan. Dengan melakukan perenungan diri, mengingat atau eling dari mana dan siapa kita punya (behave), kita menjadi, kita berhasil, kita sukses. Kita tidak boleh “ngilang-ilangke” atau menghilangkan jejak dan tidak menghargai jasa baik orang lain kepada kita. Sebaliknya, eling sangkan paraning dumadi, berarti kita  dituntut untuk bisa niteni kabecikaning liyan. Mengerti dan memahami kebaikan orang lain kepada kita. Bukan sebaliknya, selalu menghitung-hitung jasa baik kita kepada orang lain.  Jika kita ingat dari mana asal muasal kesuksesan kita saat ini, kita akan selalu termotifasi untuk membalas jasa baik orang lain pernah lakukan. Sebab, hutang budi merupakan hutang paling berat. Jika kita kesulitan membalas budi kepada orang yang sama, balasan itu bisa kita teruskan kepada orang-orang lain. Artinya kita melakukan kebaikan yang sama kepada orang lainnya secara estafet.
2.      Eling bermakna sebagai pedoman tapa ngrame, melakukan kebaikan tanpa  pamrih. Tidak hanya itu saja, kebaikan yang pernah kita lakukan seyogyanya dilupakan, dikubur dalam-dalam dari ingatan kita.  Dalam pepatah disebutkan,” kebaikan orang lain tulislah di atas batu, dan tulislah di atas tanah kebaikan yang pernah kamu lakukan”. Kebaikan orang lain kepada diri kita “ditulis di atas batu” agar tidak mudah terhapus dari ingatan. Sebaliknya kebaikan kita “ditulis di atas tanah” agar mudah terhapus dari ingatan kita.

3.      Eling siapa diri kita untuk tujuan jangan sampai bersikap sombong atau takabur. Selalu mawas diri atau mulat sarira adalah cara untuk mengenali kelemahan dan kekurangan diri pribadi dan menahan diri untuk tidak menyerang kelemahan orang lain. Sebaliknya selalu berbuat yang menentramkan suasana terhadap sesama manusia. Selagi menghadapi situasi yang tidak mengenakkan hati, dihadapi dengan mulat laku satrianing tanah Jawi ; tidak benci jika dicaci, tidak tidak gila jika dipuji, teguh hati, dan sabar walaupun kehilangan.


WASPADA

1.      Waspada akan hal-hal yang bisa menjadi penyebab diri kita menjadi hina dan celaka. Hina dan celakanya manusia bukan tanpa sebab. Semua itu sebagai akibat dari sebab yang pernah manusia lakukan sendiri sebelumnya. Hukum sebab akibat ini disebut pula hukum karma. Manusia tidak akan luput dari hukum karma, dan hukum karma cepat atau lambat pasti akan berlangsung. Sikap waspada dimaksudkan untuk menghindari segala perbuatan negatif destruktif yang mengakibatkan kita mendapatkan balasannya  menjadi hina, celaka dan menderita.  Misalnya perbuatan menghina, mencelakai,  merusak dan menganiaya terhadap sesama manusia, makhluk, maupun lingkungan alam.

2.      Waspada, atas ucapan, sikap dan perbuatan kita yang kasat mata yang bisa mencelakai sesama  manusia,  makhluk lain, dan lingkungan alam.

3.      Waspada terhadap apapun yang bisa menghambat kemuliaan hidup terutama mewaspadai diri sendiri dalam getaran-getaran halus. Meliputi solah (perilaku badan) dan bawa (perilaku batin). Getaran nafsu negatif yang kasar maupun yang lembut. Mewaspadai apakah yang kita rasakan dan inginkan merupakan osiking sukma (gejolak rahsa sejati yang suci) ataukah osiking raga (gejolak nafsu ragawi yang kotor dan negatif). Mewaspadai diri sendiri berati kita harus bertempur melawan kekuatan negatif dalam diri. Yang menebar aura buruk berupa nafsu untuk cari menangnya sendiri, butuhnya sendiri (egois), benernya sendiri. Dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus mewaspadai diri pribadi dari nafsu mentang-mentang yang memiliki  kecenderungan eksploitasi dan penindasan : adigang, adigung, adiguna. Dan nafsu aji mumpung: ing ngarsa mumpung kuasa, ing madya nggawe rekasa, tutwuri nyilakani.

4.      Waspada dalam arti cermat membaca bahasa alam (nggayuh kawicaksananing Gusti).  Bahasa alam merupakan perlambang apa yang menjadi kehendak Tuhan. Bencana alam  bagaikan perangkap ikan. Hanya ikan-ikan yang selalu eling dan waspada yang akan selamat.
4.
Esensi dari sikap eling dan waspada adalah berfikir, berucap, bersikap, bertindak, berbuat dalam interaksi dengan sesama manusia, seluruh makhluk, dan lingkungan alam dengan sikap keluhuran budi, arif dan bijaksana. Mendasari semua itu dengan “agama universal” yakni cinta kasih sayang berlimpah. Menjalani kehidupan ini dengan kaidah-kaidah kebaikan seperti tersebut di atas, diperlukan untuk  menghindari hukum karma (hukum sebab-akibat) yang buruk, dan sebaliknya mengoptimalkan “hukum karma”  yang baik. Hukum karma, misalnya seperti  terdapat dalam ungkapan peribahasa ; sing sapa nggawe bakal nganggo, siapa menanam akan mengetam, barang siapa menabur angin akan menuai badai. Dalam kondisi alam bergolak, hukum karma akan mudah terwujud dan menimpa siapapun. Kecuali orang-orang yang selalu eling dan waspada.  Karena kebaikan-kebaikan yang pernah anda lakukan kepada sesama, kepada semua makhluk, dan lingkungan alam sekitar, akan menjadi PAGAR GAIB yang sejati bagi diri anda sendiri.

Duh Gusti Ingkang Murbeng Gesang, walaupun tanda-tanda dan bahasa alam telah Engkau tunjukkan bahkan dalam gambaran yang sangat jelas, walaupun terasa suram dan menakutkan menatap kedepan di bulan September ini, perkenankan diri ini ndableg tetap memohon-mohon tanpa malu untuk yang kesekian kalinya. Anugerahkan keselamatan, kesehatan, ketentraman, kecukupan rejeki untuk seluruh saudara-saudaraku, sahabatku, seluruh pembaca yang budiman yang sempat mampir ke gubuk ini serta seluruh saudara-saudara sebangsa setanah air, yang beragama, bersuku, ras, bahasa apapun juga, dan di manapun berada.

*******


i

6 Votes

Quantcast

 September 6, 2009  SABDÃ¥
Kategori: ELING & WASPADA Tag: eling, eling lan waspada, maksud eling dan waspada, prediksi gempa, ramalan gempa, waspada, waspada gempa
Like
Be the first to like this post.
25 tanggapan kepada “Apa Maksud Eling & Waspada ?”

    *

      Daryono
      September 6th, 2009 pukul 18:27

      Yth mas sabda
      Eling lan waspada dua kata yg sebenarya sudah akrab dng telinga kita tetapi pemahaman terhadap kata tsb berbeda.Yang saya alami 8 jam sebelum gempa tepat jam 7.21 2 sep 2009 saya dapat sms dari mas sabda yg isinya untuk lebih waspada,karna saya meyakini bahwa gempa akan terjadi dengan niat untuk menularkan rasa eling lan waspada sms mas sabda saya kirim ke 4 teman saya 2 di jakarta dan 2 di jambi.Teman saya yg di jambi kebetulan Projek manajer pembangunan jembatan di sungai batanghari karna meyakini sms yg saya kirim dengan pertimbangan keamanan meliburkan kegiatan proyek 1/2 hari pas malam setelah berita gempa sudah di ekspos di tv teman saya mengucapakan terima kasih atas sms yg saya kirim karena keluarga besarnya yg berada di jawa barat walaupun rumah ada kerusakan alhamdulilah semua keluarganya selamat.Kewaspadaan bagi teman saya di pahami sebagai upaya untuk selalu siap dalam menghapi sesuatu kejadian makanya sampai meliburkan proyeknya .Dengan tulisan eling dan waspada yg mas sabda sampaikan memberi makna yang lebih luas dan mendalam , trima kasih mas sabda. Salam.
      2
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      tomyarjunanto
      September 7th, 2009 pukul 09:30

      Suket godhong kayu watu bledheg cahya
      Kutu2 walang antaga
      Werjit cacing kang arupa gemremet
      Kang anak2 tanpa laki
      Kang gilig tanpa ngglintiri
      Kang manis tanpa nggulani
      Kabeh kang kumetip kang kesamadan dening Dzating Urip
      Dadya pangayomanku
      1
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      hadi wirojati
      September 7th, 2009 pukul 14:27

      pamuji rahayu..,

      selalu saya terapkan pada keluarga kami , saudara saudara kami persis apa yang kangmas paparkan…., semoga semua ini menjadikan kita selalu dan selalu mawas diri, eling waspadha…,
      nuwun kangmas..,
      salam sihkatresnan
      rahayu,
      1
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      Titi Suwito
      September 7th, 2009 pukul 15:40

      Yth. Ki Sabda dan seluruh pengunjung,
      Saya ingin menyampaikan himbauan ‘Peduli Untuk Indonesia’ ini, semoga sikap eling terhadap salah satu Cagar Budaya Indonesia mampu memperkuat jati diri kita sebagai pribadi Indonesia.

      Tgl 2 Oktober nanti (hr Jum’at),UNESCO mengukuhkan BATIK Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia (World Heritage).
      Sebagai bangsa Indonesia,mari kita pakai baju batik pada tgl 2/10 (Let’s wear Batik on Oct2nd).

      Salam Rahayu
      Titi Suwito
      1
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      Marsudi Ahmad
      September 7th, 2009 pukul 19:02

      Eling itu sadar sebagai fungsi tertinggi dari angan2,dimana bayangan maya sudah mulai tersingkirkan layaknya embun yg dibias sinar mentari pagi……….
      0
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      m4stono
      September 7th, 2009 pukul 23:23

      postingan panjenengan itu mengingatkan dengan seseorang dulu di TVRI pada waktu acara mimbar kepercayaan terhadap Tuhan YME saya marabi beliau pak Eling karena sering bgt menyebut kata eling…heheheheh

      saya sepakat dengan panjenengan ki, memang itulah eling lan waspada, eling marang Gusti lan waspada marang awake dhewe, ingat kepada Tuhan dimanapun kapanpun dan sedang apapun ketika tidur duduk berdiri lebih2 ketika sakaratul maut, waspada terhadap diri sendiri dari setan yg paling halus atau sombong juga setan yg paling kasar yaitu manusia yg kesetanan….semoga tulisan ki sabda ini bisa membuat sedulur2 sutresno blog ini utk lebih bisa mulat sarira satunggal sari rasa tunggal dan hangrasa wani dalam hijrah dari kesadaran naar ke kesadaran nuur
      1
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      Lambang
      September 9th, 2009 pukul 00:47

      Selamat malam mas Sabda,

      Piye kabare mas, apik tho…
      Mau tanya dikit mas, apakah semua kejadian alam ini ada hubungannya dengan pusaka yang diambil tanpa izin dari keraton / pantai selatan pada waktu pilpres kemarin? Kalau memang benar, apakah sudah ada solusinya bagaimana cara memaksa agar pusaka tersebut dikembalikan karena ibarat kapal yang berlabuh dengan jangkar, kalau jangkarnya diambil ya kapalnya pasti akan oleng terus. Kecuali kalau yang ngambil jangkar mati sebelum waktunya.
      Terima kasih sebelumnya mas.

      Salam Persahabatan.
      0
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
          o

            SABDÃ¥
            September 9th, 2009 pukul 21:15

            Puji syukur kabar kula tansah apik mas. Pripun mas Lambang mugi tansah pinaringan kesehatan, wilujeng rahayu sedayanipun.
            Untuk pertanyaan panjejengan, sejauh yang saya tahu kok tidak pernah mendengar/tahu hal itu ya mas. Setahu saya, justru banyak pusaka warisan nenek moyang bangsa ini yg diabaikan. Generasi penerus bangsa sudah tidak mampu GOCEKKAN WATON. Sehingga terombang ambing bencana dan musibah, baik dari alam semesta maupun ulah manusianya.

            salam sih katresnan
            1
            0
            
            i
            
            Rate This

            Quantcast

            Balas
    *

      Ngabehi
      September 10th, 2009 pukul 10:32

      Nuwun sewu, sms penjenengan sampun kula bales lumantar email Ki, sumangga dipun bikak rumiyin. Kala wau enjing saweg wonten mergi tumuju dateng papan pakaryan. Suwun
      0
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      Si Gagak
      September 12th, 2009 pukul 17:20

      yth mas sabda

      matur nuwun mas berkat baca2 blog mas sabda saya jd lebih mengenal budaya jawa termasuk tentang pentingnya penghormatan pada leluhur sangat bermanfaat mas.Setelah saya tahu dr blog mas sabda saya mengajak org tua saya utk lebih rutin nyekar kemakam mbah saya, karena orang tua saya biasanya jarang utk ziarah kemakam. Terima kasih juga atas nasehatnya selama ini yg sangat membantu saya secara pribadi. Semoga mas sabda sekeluarga dilimpahi berkat dan kesejahteraan dari Gusti.

      salam damai
      0
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      bayu
      September 12th, 2009 pukul 21:59

      Salam kenal kagem Mas Sabda dan para pembaca sekalian …
      Blog yang bagus,…… sudah lama saya mencari blog yang mengulas tentang budaya jawa,…. Tapi baru sekitar tiga minggu saya menemukan blog ini,.. saya sreg dengan ulasan dan tulisan panjengan, …sebuah kumpulan ulasan yang ditulis oleh orang yang benar2 “mengerti”,… saya bersyukur menemukan padepokan kejawen di dunia maya , dan sepertinya mas Sabda dilahirkan untuk menjadi “guru”. Ulasan panjenengan benar – benar membuat saya tersentil, agar tidak melupakan budaya jawa dalam perilaku sehari hari sekaligus tidak melupakan dawuhing para leluhur. Ada beberapa pertanyaan yang mungkin nanti akan saya sampaikan ke email panjengan,semoga berkenan menjawabnya,… saya berharap kalo sekarang baru bisa berkomunikasi via email suatu saat bisa bertemu langsung,… syukur kalo bisa kumpul dengan pembaca yang lain juga. Semoga mas Sabda sekeluarga selalu dilimpahi kesehatan dan kesejahteraan agar bisa terus menyampaikan ulasan yang mencerahkan.
      Matur nuwun.
      bayu
      0
      0
      
      i
       
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      Santri Gundhul
      September 13th, 2009 pukul 19:29

      Katur dumateng Kang Mas Sabdolangit, pamuji Rahayu.

      Eling marang KESADARAN akan suara-Kehendak URIP yang selama ini selalu MENGGENDHONG Raga kita kemana-mana. eling menowo kito kedah TETEKEN URIP ing samubarang tumindak.

      Waspada marang GODA RENCONO kehendak RAGA yang selalu penuh TIPU DOYO kang TANPO KENAL TUWUK lan SEMARAH anggene Nggayuh KEMELIKAN DONYA BRONO.

      Nuwun Kang, mugi tansah pinaringan Pepadhange Manah ugi Kebatosan.

      Rahayu
      2
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      Pribadi
      September 14th, 2009 pukul 17:14

      Teguh, yuwono,slamet, rahayu…..
      Terimakasih ki sabda.. Dah me refresh lewat tulisanya….
      “Eling lan Waspada” , kawruh eling lan waspada memang enak dan ringan di baca dan ucapkan… Tapi ilmu eling lan waspada… Perlu perjuangan yg tekun dan kesabaran..setapak demi setapak..belajar dgn 5 waktu(sholat bserta makna dan aplikasinya dlm masyarakat), sholat sunnat, baru menginjak sholat daim… (sholat tanpa putus dimanapun )… Eling dawuhe mbah : mangan sitik sitik ben gak kaget wetenge, ojo kesusu ben ga keseleg… Lek urung tau mangan ojo ngomong wis ngrasakne wareg …
      Matur suwun.
      1
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      yang-kung
      September 14th, 2009 pukul 23:46

      Dimana kekuatan manusia berhenti,disitulah pertolongan Allah mulai berperan.Dialah yang mengajari kita,yang menguatkan kita,yang menjadi segalanya bagi kita,dan Dia sendirilah yang menuntun kita kepada Nya.

      Teguh dalam iman,mendatangkan berkat dalam segala perkara hidup.

      salam rahayu kangmas sabdalangit
      1
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      mujahidahwanita
      September 15th, 2009 pukul 19:23

      Andai jarak tak kuasa berjabat, setidaknya kata masih dapat terungkap. Tulus hati meminta maaf
      Tiada pemberian trindah&perbuatan trmulia selain maaf&saling memaafkan. “SELAMAT IDUL FITRI1428H”Minal aidin wal faidinMohon maaf lahir batin
      Semoga di hari yang fitri ini kita data lebur segala dosa dan kesalahan menjadi sebuah kesucian hati dalam menjalani fitrahnya

      Salam Hormat
      Salam Taklim

      Mujahidahwanita
      0
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      Gostav Adam
      September 16th, 2009 pukul 14:49

      Hari Raya besar umat Islam yang ditunggu2 kemeriahannya. Namun hakikatnya tidak hanya sekedar ceremoni belaka, namun diharapkan kita menjadi insan yang lebih baik kedepannya

      salam mampir ke blog kami
      Support me in SEO Contest. Thanks for your atention
      0
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      Alam Rasa
      September 17th, 2009 pukul 03:02

      Salam Kasih
      Senyum dari hati untuk Ki Sabda Langit dan ALL

      Eling dapat diartikan juga Sadar. Banyak dari kita yang tahu tapi tidak sadar. Apa bedanya tahu dengan sadar? Cobalah lihat pada diri kita sendiri. Kebanyakan dari kita tahu bahwa kita harus mempertanggungjawabkan semua perbuatan kita di hadapan Allah, tetapi masih belum menyadarinya. Cobalah renungkan perbuatan-perbuatan kita selama ini. Siapkah kita untuk berada di hadapan-Nya untuk mempertanggung-jawabkan semua perbuatan kita? Kalau kita belum merasa siap, berarti kita belum sadar. Kalau kita sadar, tentu segala perbuatan, pikiran dan perkataan kita akan dilakukan sedemikian rupa untuk mempersiapkan diri kita sebaik-baiknya, agar dapat mempertanggung-jawabkan semua perbuatan kita di hadapan Allah SWT.

      Disamping Eling kita juga harus waspada, karena Iblis dan semua yang berhubungan dengan kegelapan tidak menyukai dan memusuhi semua orang yang berada di jalan Allah. Kita akan menjadi sasaran tembak mereka. Iblis dan antek2-nya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menggoyah keimanan kita, termasuk mencelakakan kita. Dalam hal ini kita harus senantiasa berdoa mohon perlindungan dan bimbingan kepada Allah, agar kita diberikan kekuatan iman, agar sesuatu yang buruk tidak terjadi pada kita, agar kita diingatkan atas segala bentuk bahaya yang mengancam kita.

      Terkait dengan ini, kita juga harus senantiasa melatih diri kita agar hati kita terbuka, untuk mengenal lebih baik diri sejati kita, agar dapat menggunakan “hati nurani” kita, yang merupakan anugrah yang luar biasa dari Allah SWT kepada manusia. Hati nurani inilah yang sering disebut sebagai Percikan Illahi, Guru Sejati, sumber segala ilmu dan informasi yang jauh lebih hebat dari intuisi dan otak yang terbaik sekalipun.

      Akhir kata, eling dan waspada keduanya dapat dicapai secara sempurna, hanya melalui proses pembelajaran dalam rangka mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.
      Melalui latihan hati, memurnikan hati dengan membuang semua ego dan emosi negatif kita, yang menjadi kunci utama hubungan kita kepada Tuhan YME. Dan selalu berdoa kepada-Nya, karena hanya dengan rahmat Allah hati kita dapat terbuka, sehingga kita dapat mengenal Diri Sejati kita, kita dapat menggunakan “hati nurani” kita yang merupakan Guru Sejati kita, yang akan memberi informasi terbaik bagi kita, yang jauh lebih hebat dari intuisi dan otak yang terbaik sekalipun.

      Wassalam
      0
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      eed umarya
      September 17th, 2009 pukul 08:52

      terimakasih saudaraku…!
      0
      0
       
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      shanushy0809
      September 20th, 2009 pukul 03:08

      andai mata salah melihat,
      telinga salah mendengar,
      mulut salah berbicara,
      saatnya kulontarkan kata
      Minal Aidzin Wal Faidzin
      Mohon Maaf Lahir dan Batin
      0
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      bayu bs
      Oktober 1st, 2009 pukul 07:48

      turut berduka dengan gempa sumatra barat,…………
      0
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      Wolo Wolo Kuwato
      Oktober 2nd, 2009 pukul 15:33

      “Hukum sebab akibat ini disebut pula hukum karma. Manusia tidak akan luput dari hukum karma, dan hukum karma cepat atau lambat pasti akan berlangsung”

      Hukum karma atau hukum sebab akibat Sesuai dengan Al quran QS Yunus ayat 44:
      “sesungguhnya Allah tdk berbuat dzalim kpd manusia sedikitpun,akan tetapi manusia itulah yg berbuat dhalim pada diri mereka sendiri”
      0
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      Widyo
      Oktober 16th, 2009 pukul 02:53

      Sugeng pitepangan,salam karahayon.Terima kasih atas semua ilmu dan kawruh yang sudah mas sabda tulis dalam blog yang sangat sarat dengan spiritualitas,kebangsaan,cinta budaya dan ajaran leluhur ini.
      Ngaturaken gunging panuwun atas semua pencerahannya,menjadikan saya tansah eling kepada Yang Maha Kuasa.dan semoga saya selalu eling lan waspada sampai perjalanan saya di dunia ini tamat.
      =============
      Sugeng rawuh salam karaharjan Mas Widyo yth
      semoga ruang ini menjadi wahana utk menjalin ta;i silaturahmi, persaudaraan NKRI yg kini tengah diremuk oleh rendahnya kesadaran dan hilangnya jati diri bangsa.
      0
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      abimayu
      November 17th, 2009 pukul 09:45

      Kangmas kulo ingkang kinasih

      Ternyata untuk selalu eling itu ” gampang ngucap, abot neng laku”

      Apalagi pada jaman sekarang, didaerah yang seperti sekarang saya tempati

      “Golek Gocekan” wae wis angel opo maneh ” Golek papahan”

      Saat ini yang bisa dilakukan adalah dengan berpegang Pada titah Gusti kang Murbeng dumadi

      Mugi kangmas tansah saged terus memberikan semangat “mikul duwur mendem jero” agar kita dan para sedulur tidak makin terpuruk

      Salam Katresnan lan Rahayu
      0
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      roedy karawang
      Mei 2nd, 2010 pukul 12:51

      sallam hormat sehu sabda langit.

      INGIN BELAJAR
      sebelumnya terimakasih atas tulisan tsb diatas itu sangat beguna untuk saya, namun ada yang saya ingin tanyakan. Apakah ELING dan WASPADA itu bisa juga dikatakan bagian MENDIRIKAN SOLAT ? mohon pencerahanya sehu sabda langit, trimakasih
      0
      0
      
      i
      
      Rate This

      Quantcast

      Balas
    *

      SantriGendeng
      Juli 1st, 2010 pukul 18:52

      Yth Mas Sabda.
      serta keluarga besar darah Nusantara yg saya hormati,

      Saya BUKAN SATRIA PININGIT.

      makna Satria ; orang yg bertingkah laku menggunakan ahlaq dan budi pekerti.
      makna Piningit ; adalah qolbu [hati] letak nya diapit di dalam dada.yg mana sebagai sumber penggerak , amal perbuatan yg dgn penuh kelembutan , [ahlaq yg luhur dan mulia ]

      jadi SATRIA PININGIT ada pada setiap insan manusia yg mau menggalinya, dgn menunjukkan tingkah laku yg baik, yg tidak berlawanan dgn kodrat alam atau hukum Tuhan.
      selalu ingat sangkan paraning dumadi. dgn sikap eling dan waspada.

      mohon di mengerti, dan ma,af adanya.
      salam Asah Asih Asuh.
      rahayu.