Bagi yang suka belajar ilmu filsafat, tulisan ini sekedar mengingatkan pelajaran PENGANTAR FILSAFAT. Tujuan pemuatan artikel sederhana ini tidak lain agar bisa menjadi dasar pemahaman kita terhadap dunia fisik ditinjau dari kacamata sains. Salam.Wong Alus
Dalam memahami alam fisik dari quark – atom – unsur – molekul organik/anorganik – sampai jagad raya ini, kita tidak dapat meninggalkan pengertian mengenai ruang dan waktu. Pengertian ruang dan waktu menurut para ahli seperti yang dikemukakan dalam Kattsoff (1996)(4) adalah sebagai berikut :
Menurut ajaran Newton ruang dan waktu adalah objektif, mutlak dan bersifat universal. Ruang mempunyai tiga matra, yaitu atas-bawah, depan belakang, kiri kanan. Sedangkan waktu hanya bermatra depan belakang. Di dalam ruang kita dapat pergi ke setiap arah; di dalam waktu kita hanya dapat pergi ke depan. Untuk dapat menjelaskan bahwa ruang dan waktu bersifat mutlak, maka Newton mengemukakan hukum gerakan yang hakiki dari fisika kuno sebagai berikut :”Suatu benda terus berada dalam keadaan diam atau bergerak, kecuali apabila mendapat pengaruh dari suatu keadaan yang terdapat di luar dirinya. Jika sesuatu benda dalam keadaan bergerak, maka ia akan tetap bergerak, kecuali jika ada sesuatu – sesuatu kekuatan – yang mengubah gerakan tersebut. Gerakan merupakan akibat suatu kekuatan yang mempengaruhi massa”. Jadi di sini gerakan bersifat mutlak yang terjadi di dalam ruang dan waktu; dengan demikian ruang dan waktu juga bersifat mutlak.
Gagasan-gagasan mengenai ruang dan waktu yang bersifat mutlak di atas ternyata menemui kesukara-kesukaran karena timbulnya paradoks-paradoks maupun setelah ditemukannya hukum relatifitas oleh Einstein serta kesukaran-kesukaran dalam pengamatan.
Paradoks yang terkenal dikemukakan oleh Zeno (kira-kira 490 – 430 S.M.), ia menyatakan bahwa banyak keganjilan akan terjadi jika orang mengatakan bahwa gerakan merupakan suatu kenyataan. Salah satu paradoks dikemukakan di sini yaitu “anak panah yang melayang” (Jika kita memiliki anak panah ukuran 3 meter berarti menempati ruang sepanjang 3 meter, kemudian anak panah itu kita lepaskan dan bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Setiap saat dalam keadaan melayang anak panah tersebut tetap berukuran 3 meter berarti menempati ruang sepanjang 3 meter. Sedangkan kita mengatakan bahwa berukuran sepanjang 3 meter berarti menempati ruang sepanjang 3 meter dan berhubung dengan itu, maka setiap saat dalam keadaan melayang anak panah tersebut berada dalam keadaan diam. Maka dalam hal ini terdapat suatu contradictio in terminis).
Kesukaran berkenan dengan pengamatan, misalnya apakah benar sesuatu yang terlihat antara dua obyek adalah suatu ruang ?. Gambaran pengamatan pada bola mata kita bermatra dua, dan jarak (ruang) yang kita alami berasal dari tangkapan indrawi dalam otot mata. Ini berarti bahwa yang kita tangkap itu bukanlah ruang sebagai kenyataan, melainkan sekedar jarak-jarak yang memisahkan obyek-obyek, karena seandainya tidak terdapat obyek di situ, maka tidak ada sesuatupun yang kita lihat. Jika demikian, maka gerakan , waktu dan ruang mengacu pada suatu obyek tertentu. Jadi jika tidak ada obyek, maka tidak mungkin kita dapat menangkap ruang, waktu dan gerakan yang mutlak dalam kenyataannya.
Menurut ajaran Einstein, ruang dan waktu bersifat relatif. Ruang tergantung pada pengamatnya. Ruang merupakan semacam hubungan antara benda-benda yang diukur dengan cara-cara tertentu. Dengan demikian apabila pengukurannya dilakukan dengan cara yang berbeda, maka hasilnyapun akan berbeda. Waktu juga bersifat relatif karena hasil pengukuran terhadap hubungan-hubungan yang menyangkut waktu tergantung pada pengertian keserampakan (simultaneity); karena apabila sesuatu terjadi, misalnya ledakan, maka kuatnya bunyi ledakan akan berbeda di berbagai tempat. Selanjutnya H.A. Lorentz membuat suatu teori “ persamaan transformasi” yang melukiskan hubungan antara cara-cara pengukuran jarak – juga cara-cara pengukuran waktu – yang menyangkut dua pengamat yang mempunyai kerangka acuan yang berbeda dan berada dalam keadaan bergerak secara lurus, yang saling mendekati.
Di sini didapatkan sebenarnya jarak merupakan sekedar ukuran untuk menentukan ruang; demikianpun dengan transformasi dengan waktu dan hubungannya dengan ruang; Kita tidak akan pernah mengetahui waktu secara tepat apabila tidak memperhitungkan koordinat ruang dan sebaliknya kita tidak akan mengetahui ruang dari suatu obyek bila tidak memperhitungkan koordinat waktu. Sesungguhnya tidak ada waktu yang bersifat mandiri / mutlak, tidak ada ruang yang terpisah dari waktu atau waktu yang terpisah dari ruang yang ada hanyalah ruang-waktu. Akhirnya mulai saat ini kita harus memandang ruang dan waktu secara kontinuum, jalin-menjalin secara tidak terpisahkan, yang satu tidak mungkin ada tanpa yang lainnya; keduanya merupakan satu kesatuan yang menyebabkan timbulnya segenap kenyataan. Dengan demikian waktu, ruang merupakan sekedar matra dari ruang-waktu.
Menurut Alexander, jika kita berusaha memehami ruang dan waktu dalam keadaan apa adanya, maka yang terjadi ialah bahwa kita berusaha memahami benda-benda serta kejadian-kejadian dalam keadaannya yang paling sederhana serta paling mendasar dalam ruang (extension) serta bertahan dalam waktu (enduring), dengan segenap sifat-sifat yang dipunyai oleh kedua macam ciri tersebut. Baik ruang maupun waktu tidak berada sendiri-sendiri secara terpisah, dan kedua-duanya tampil di depan kita secara empiris. Jika tidak ada waktu, maka tidak mungkin ada bagian dari ruang, bahkan yang ada hanyalah kehampaan belaka; dan demikian pula halnya dengan ruang, dalam hubungannya dengan waktu.
Selanjutnya, sehubungan dengan itu tidak mungkin ada titik-titik yang menyusun ruang, tanpa sekelumit waktu yang dapat menimbulkan gagasan kejadian-kejadian murni (pure events) sehingga dapatlah dikatakan bahwa ruang – waktu merupakan keadaan yang nyata yang paling dalam dan merupakan tempat persemaian bagi apa saja yang ada di alam ini. Ruang dan waktu merupakan sesuatu yang menjadi sumber bagi adanya segala sesuatu, sedangkan kejadian-kejadian yang murni merupakan penyusun terdalam dari apa saja yang bereksistensi. Apabila kejadian-kejadian murni tersebut membentuk suatu pola tertentu, maka munculah kualitas-kualitas fisik tertentu, misalnya sebuah elektron dengan ciri-cirinya. Jadi materi merupakan sesuatu yang pertama-tama muncul dari ruang – waktu.
Sebagai contoh kita perhatikan partikel subatom, seperti sebuah electron. Bagaimana kita menggambarkan partikel tersebut ? Tidak seorangpun dapat melihat suatu partikel subatom; partikel ini mungkin berupa sejenis perubahan dalam ruang pada suatu waktu tertentu; artinya suatu kejadian yang murni yang hanya dapat disimak melalui kejadian-kejadian tertentu yang dicatat oleh “ pointer-reading”, misalnya oleh instrumen mikroskop elektron. Hasil-hasil penggabungan kejadian-kejadian murni menimbulkan materi yang lebih rumit dan mempunyai sifat-sifat tertentu pula.
Dalam memahami alam fisik dari quark – atom – unsur – molekul organik/anorganik – sampai jagad raya ini, kita tidak dapat meninggalkan pengertian mengenai ruang dan waktu. Pengertian ruang dan waktu menurut para ahli seperti yang dikemukakan dalam Kattsoff (1996)(4) adalah sebagai berikut :
Menurut ajaran Newton ruang dan waktu adalah objektif, mutlak dan bersifat universal. Ruang mempunyai tiga matra, yaitu atas-bawah, depan belakang, kiri kanan. Sedangkan waktu hanya bermatra depan belakang. Di dalam ruang kita dapat pergi ke setiap arah; di dalam waktu kita hanya dapat pergi ke depan. Untuk dapat menjelaskan bahwa ruang dan waktu bersifat mutlak, maka Newton mengemukakan hukum gerakan yang hakiki dari fisika kuno sebagai berikut :”Suatu benda terus berada dalam keadaan diam atau bergerak, kecuali apabila mendapat pengaruh dari suatu keadaan yang terdapat di luar dirinya. Jika sesuatu benda dalam keadaan bergerak, maka ia akan tetap bergerak, kecuali jika ada sesuatu – sesuatu kekuatan – yang mengubah gerakan tersebut. Gerakan merupakan akibat suatu kekuatan yang mempengaruhi massa”. Jadi di sini gerakan bersifat mutlak yang terjadi di dalam ruang dan waktu; dengan demikian ruang dan waktu juga bersifat mutlak.
Gagasan-gagasan mengenai ruang dan waktu yang bersifat mutlak di atas ternyata menemui kesukara-kesukaran karena timbulnya paradoks-paradoks maupun setelah ditemukannya hukum relatifitas oleh Einstein serta kesukaran-kesukaran dalam pengamatan.
Paradoks yang terkenal dikemukakan oleh Zeno (kira-kira 490 – 430 S.M.), ia menyatakan bahwa banyak keganjilan akan terjadi jika orang mengatakan bahwa gerakan merupakan suatu kenyataan. Salah satu paradoks dikemukakan di sini yaitu “anak panah yang melayang” (Jika kita memiliki anak panah ukuran 3 meter berarti menempati ruang sepanjang 3 meter, kemudian anak panah itu kita lepaskan dan bergerak dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Setiap saat dalam keadaan melayang anak panah tersebut tetap berukuran 3 meter berarti menempati ruang sepanjang 3 meter. Sedangkan kita mengatakan bahwa berukuran sepanjang 3 meter berarti menempati ruang sepanjang 3 meter dan berhubung dengan itu, maka setiap saat dalam keadaan melayang anak panah tersebut berada dalam keadaan diam. Maka dalam hal ini terdapat suatu contradictio in terminis).
Kesukaran berkenan dengan pengamatan, misalnya apakah benar sesuatu yang terlihat antara dua obyek adalah suatu ruang ?. Gambaran pengamatan pada bola mata kita bermatra dua, dan jarak (ruang) yang kita alami berasal dari tangkapan indrawi dalam otot mata. Ini berarti bahwa yang kita tangkap itu bukanlah ruang sebagai kenyataan, melainkan sekedar jarak-jarak yang memisahkan obyek-obyek, karena seandainya tidak terdapat obyek di situ, maka tidak ada sesuatupun yang kita lihat. Jika demikian, maka gerakan , waktu dan ruang mengacu pada suatu obyek tertentu. Jadi jika tidak ada obyek, maka tidak mungkin kita dapat menangkap ruang, waktu dan gerakan yang mutlak dalam kenyataannya.
Menurut ajaran Einstein, ruang dan waktu bersifat relatif. Ruang tergantung pada pengamatnya. Ruang merupakan semacam hubungan antara benda-benda yang diukur dengan cara-cara tertentu. Dengan demikian apabila pengukurannya dilakukan dengan cara yang berbeda, maka hasilnyapun akan berbeda. Waktu juga bersifat relatif karena hasil pengukuran terhadap hubungan-hubungan yang menyangkut waktu tergantung pada pengertian keserampakan (simultaneity); karena apabila sesuatu terjadi, misalnya ledakan, maka kuatnya bunyi ledakan akan berbeda di berbagai tempat. Selanjutnya H.A. Lorentz membuat suatu teori “ persamaan transformasi” yang melukiskan hubungan antara cara-cara pengukuran jarak – juga cara-cara pengukuran waktu – yang menyangkut dua pengamat yang mempunyai kerangka acuan yang berbeda dan berada dalam keadaan bergerak secara lurus, yang saling mendekati.
Di sini didapatkan sebenarnya jarak merupakan sekedar ukuran untuk menentukan ruang; demikianpun dengan transformasi dengan waktu dan hubungannya dengan ruang; Kita tidak akan pernah mengetahui waktu secara tepat apabila tidak memperhitungkan koordinat ruang dan sebaliknya kita tidak akan mengetahui ruang dari suatu obyek bila tidak memperhitungkan koordinat waktu. Sesungguhnya tidak ada waktu yang bersifat mandiri / mutlak, tidak ada ruang yang terpisah dari waktu atau waktu yang terpisah dari ruang yang ada hanyalah ruang-waktu. Akhirnya mulai saat ini kita harus memandang ruang dan waktu secara kontinuum, jalin-menjalin secara tidak terpisahkan, yang satu tidak mungkin ada tanpa yang lainnya; keduanya merupakan satu kesatuan yang menyebabkan timbulnya segenap kenyataan. Dengan demikian waktu, ruang merupakan sekedar matra dari ruang-waktu.
Menurut Alexander, jika kita berusaha memehami ruang dan waktu dalam keadaan apa adanya, maka yang terjadi ialah bahwa kita berusaha memahami benda-benda serta kejadian-kejadian dalam keadaannya yang paling sederhana serta paling mendasar dalam ruang (extension) serta bertahan dalam waktu (enduring), dengan segenap sifat-sifat yang dipunyai oleh kedua macam ciri tersebut. Baik ruang maupun waktu tidak berada sendiri-sendiri secara terpisah, dan kedua-duanya tampil di depan kita secara empiris. Jika tidak ada waktu, maka tidak mungkin ada bagian dari ruang, bahkan yang ada hanyalah kehampaan belaka; dan demikian pula halnya dengan ruang, dalam hubungannya dengan waktu.
Selanjutnya, sehubungan dengan itu tidak mungkin ada titik-titik yang menyusun ruang, tanpa sekelumit waktu yang dapat menimbulkan gagasan kejadian-kejadian murni (pure events) sehingga dapatlah dikatakan bahwa ruang – waktu merupakan keadaan yang nyata yang paling dalam dan merupakan tempat persemaian bagi apa saja yang ada di alam ini. Ruang dan waktu merupakan sesuatu yang menjadi sumber bagi adanya segala sesuatu, sedangkan kejadian-kejadian yang murni merupakan penyusun terdalam dari apa saja yang bereksistensi. Apabila kejadian-kejadian murni tersebut membentuk suatu pola tertentu, maka munculah kualitas-kualitas fisik tertentu, misalnya sebuah elektron dengan ciri-cirinya. Jadi materi merupakan sesuatu yang pertama-tama muncul dari ruang – waktu.
Sebagai contoh kita perhatikan partikel subatom, seperti sebuah electron. Bagaimana kita menggambarkan partikel tersebut ? Tidak seorangpun dapat melihat suatu partikel subatom; partikel ini mungkin berupa sejenis perubahan dalam ruang pada suatu waktu tertentu; artinya suatu kejadian yang murni yang hanya dapat disimak melalui kejadian-kejadian tertentu yang dicatat oleh “ pointer-reading”, misalnya oleh instrumen mikroskop elektron. Hasil-hasil penggabungan kejadian-kejadian murni menimbulkan materi yang lebih rumit dan mempunyai sifat-sifat tertentu pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar