Sekurang-kurangnya sekali dalam hidup ini, pasti pernah terlintas di benak kita pertanyaan sebagai berikut: kenapa alam ini diciptakan dan siapa yang ‘iseng’ mencipta alam semesta ini?
Apa Anda setuju bila ada yang berpendapat jika alam semesta ini tercipta dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan? Tiba-tiba seperti kilat langsung jadi begitu saja tanpa ada proses pendahuluannya? Jelas tidak mungkin karena segala sesuatu pasti ada penciptanya. Seperti sebuah pesawat, pasti ada pabriknya. Di pabrik itu ada banyak insinyur penerbangan, ahli mekaniknya, ahli bahan logamnya dan sebagainya. Lha kalau alam semesta, pabriknya dimana dan apa ada banyak otak untuk menciptakannya?
Kayaknya alam semesta ini tidak mungkin ada pabrik dengan banyak otak. Cukup satu “otak” yang ada di satu “insinyur” yang sangat cerdas. Orang menyebutnya Tuhan, Allah, Hyang Widi, Gusti, Ingsun, Yahweh, God, dan sebagainya. Banyak sebutan/nama namun sejatinya menunjuk pada satu Dzat saja. Satu Dzat dengamn banyak nama/asma. God itu juga tidak marah bila disebut dengan Yahweh. God juga tidak marah bila disebut Allah, God juga tidak marah bila disebut Wyang Widi. Pendeknya, terserah pada yang menyebut. Dia mengetahui isi hati penyebut tersebut.
Dia adalah causa prima, sebab terakhir dari deretan sebab. Karena terakhir, maka tidak ada yang yang menciptakan God tersebut. God itu tidak diketahui susunan biologisnya, susunan fisikanya seperti apa, susunan kimianya bagaimana. God itu God, Tuhan itu Tuhan. Kalaupun selama ini Tuhan biasa “digambar” oleh manusia dengan Dzat, Asma, Sifat, dan Af’al maka itu sesungguhnya hanya untuk mempermudah kita untuk memahaminya saja.
Semua gambar itu sebenarnya tidak menunjuk pada asli Dzat-Nya. Gambar tentang kerbau berbeda dengan kerbau aslinya. Apalagi bila hanya digambar/dipotret dengan kamera satu dimensi. Kerbau yang dishoting juga beda dengan kerbau aslinya yang berdimensi tiga. Apalagi Tuhan. Berapa dimensi Tuhan? Satu dua tiga? Atau berdimensi tidak terhingga? Ya, Dia adalah pencipta dimensi itu sendiri sehingga semua penggambaran dan penangkapan imaji tentang-Nya pasti SALAH BESAR.
Itu sebabnya, tidak ada satupun manusia di muka bumi ini boleh disebut paling tahu tentang Tuhan. Tidak jin, tidak malaikat, tidak biksu, tidak kyai khos, tidak pendeta, tidak pedanda, tidak politikus, tidak ekonom, tidak psikolog, tidak bromocorah, tidak menteri agama. Semuanya sama-sama tidak tahu apa dan bagaimana Tuhan sesungguhnya. Maka, bila ada seseorang mengaku yang paling tahu tentang apa dan bagaimana Tuhan sesungguhnya dia termasuk orang yang patut dikasihani.
Itu sebabnya, maka kita diharapkan untuk berendah hati terhadap wujud-Nya yang misterius tersebut. Kita tetap diperkenankan untuk berdiskusi, memikirkan, menghayati, memaknai hakikat Tuhan sebab diskusi-diskusi tingkat tinggi semacam ini akan memperkaya pemahaman dan memperdalam keyakinan.
Yang jelas, yang bisa kita lihat dengan mata adalah jejak-jejak Tuhan. Apa jejak-jejak Tuhan itu? Yairu keberadaan alam. Sejatinya, alam adalah suatu sistem celupan-Nya yang berdiri di atas prinsip keikhlasan. Alam ini adalah derivat dari Alif Lam Mim. Alam tidak mengenal sampah/residu karena di alam ada proses daur ulang otomatis. “Digelarnya” alam semesta dan “digulungnya” alam bukan tanpa tujuan. Tujuannya sangat jelas yaitu SYAHADAT; KESAKSIAN. Saksi apa? Saksi Keberadaan Tuhan. Itulah hakikat alam semesta.
Dalam hubungannya dengan alam ini, Tuhan berkenan menyatakan atau memperlihatkan Diri sebagai Rabbul Alamin (tercakup di dalamnya Rabbul Falaq dan Rabbin Nas) sedangkan terhadap APA-APA yang ada di dalamnya, termasuk di sana langit dan bumi, Tuhan menyatakan diri sebagai PENCIPTA. Jadi, kalau manusia ingin mengetahui maka dia perlu mengenal Tuhan. Melalui apa? Ya melalui dirinya sendiri karena diri ini adalah Ciptaan Tuhan.
Mengenal Tuhan berarti juga mendekati Tuhan, mendekati Tuhan tidak sama dengan mendekati benda. Maka, bila ingin mendekati Tuhan caranya adalah mengenal diri sejati. Sebab di dalam diri sejati itulah sesungguhnya ada “kehendak dan keinginan Tuhan”.
Berapa bentangan panjang alam semesta? Seujung debu di “mata” Tuhan. Berapa bentangan usia/umur alam? Sekejap “mata” Tuhan. Puji sukur Tuhan bahwa semua pergelaran alam semesta ini masih ADA DI DALAM CIPTA, “PENGAWASAN PIKIRAN TUHAN”. Kita tidak dibiarkan hidup sak karepe dhewe. Alam semesta juga tidak dibiarkan berjalan dalam ketidakpastian. Sebab di sana juga diciptakan sebuah HUKUM/PRINSIP KEBERADAAN sehingga alam ini bisa teratur rapi dan pergerakannya tidak berloncatan ke sana kemari. Jadi Tuhan sangat bersungguh-sungguh terhadap apa yang diciptakan-Nya yaitu manusia dan alam semesta ini. Tapi coba kita balik, bagaimana manusia bersungguh-sungguh terhadap alam semesta?
Hmmm….. rasa-rasanya kita masih belum pantas disebut manusia. Lha wong membuang sampah saja sembarangan, lha wong semut itu ciptaan Tuhan, kecil lagi ee kok tega-teganya dibunuh? Padahal semut tidak pernah berdosa dan salah. Dimanapun di muka bumi ini, yang berbuat SALAH hanya MANUSIA. Bukan jin, bukan iblis, bukan setan. Ya, sikap kita terhadap alam semesta ciptaan Tuhan ini masih sembrono.
Bagaimana manusia bersungguh-sungguh terhadap dirinya sendiri? Setali tiga uang. Manusia biasanya hanya merawat bentuk tubuhnya, merawat wajahnya, merawat penampilannya, memanjakan keinginannya, merawat kedudukannya, kerawat jabatannya. Namun manusia belum sungguh-sungguh merawat dirinya sendiri. Bagaimana kita bisa disebut telah merawat dirinya sendiri lha wong jati diri atau diri sejatinya saja dia tidak tahu?
Merawat jelas dibutuhkan rasa ingin tahu sehingga nanti dia memiliki pengetahuan, bila sudah memiliki pengetahuan maka dia akan mampu mengenal sekaligus mengakrapi dan kemudian mencintai dan melebur dalam diri sejatinya. Tahukah Anda apa ciri-ciri orang yang sudah ikhsan dan sudah makrifat? Yaitu orang yang sudah mampu melebur dengan diri sejatinya. Ini bisa dikenali bila antara buah pikiran, kehendak hati nurani yang suci, dan kelakuannya sudah satu dan sama. Antara gerakan sadar dan bawah sadar sudah sepenuhnya berada di dalam kontrol satu pusat kesadaran. Yairu KESADARAN DIRI SEJATI.
Bagaimana mengenal diri sejati ini? Nah, ada seseorang yang berniat kuat bertapa, menjalani laku meditasi (tidak makan minum dan bergerak selama 40 hari 40 malam) untuk mengenal diri yang paling sejati. Hari pertama hingga hari 30 dia mendapati banyak tantangan.
Tantangan itu berupa datangnya makhluk-makhluk gaib yang berniat untuk menggugurkan niatnya. Ada raja tuyul menawari kekayaan berlimpah, ada raja jin menawarkan keberlimpahan harta, tahta, wanita. Apabila si pertapa mengentikan lakunya saat itu maka dia sudah jadi kaya raya hidup enak di dunia. Namun dia tidak bergeming dengan rayuan itu, dia terus melakukan apa yang jadi tekadnya meskipun tubuhnya sudah lemah lunglai.
Pada hari 39 muncul sinar beraneka warna menyinari tubuhnya yang sudah hampir mati ini. Sinar ini adalah “Malaikat” yang menawarkan semua kenikmatan hidup dunia bahkan akhirat dan jaminan masuk surga. Namun pertapa ini tidak mau, dia terus bertekad untuk menemukan jawaban siapa diri sejatinya. Pada hari dan detik terakhir di hari ke-40 tubuhnya sudah hampir mati, gelombang otaknya sudah sampai di titik nadir. Nafasnya tinggal sejengkal lagi. Tapi dia masih hidup. Sebab ruhnya belum lepas dari raga. Saat genting itu apa yang dicari orang ini pun datang. Tiba-tiba dari dalam dirinya muncul sosok yang sama persis dengan dirinya. Terjadilah percakapan batin berikut ini:
-Kamu siapa
+ aku guru sejatimu
-Inilah hasilku mengenal diri sejati?
+Ya, kau akan mengenali kehendak dan keinginanku
-Kamu berkehendak apa terhadap aku?
+Kehendakku adalah menuntunmu dan ikutilah aku
-Kenapa?
+Agar kau mengenal Tuhan
-Siapa Tuhan?
+Aku
-Jadi kau itu tuhan? Aku tidak percaya.
+Kau tidak akan mampu melihat Dzat Tuhan, maka aku mewakiliNya agar kau bisa tetap hidup dengan pikiran-pikiranmu. Jangan pikirkan Tuhan karena sesungguhnya Dia tidak bisa dipikirkan. Pikiranmu untuk mengenali-Nya sesungguhnya adalah proses awal dari pemahamanmu terhadapku.
-Baiklah aku sekarang jadi tahu siapa diri sejatiku, terima kasih dan apa saranmu?
+Ikuti aku, aku akan selalu menuntunmu menuju pada jalan hidup yang lurus.
Pertapa itu kemudian menghentikan meditasinya dan kembali meniti hidup sebagaimana manusia biasa dan normal. Sebagaimana Anda semua. Apa yang bisa ditangkap dari pengalaman nyata di atas? Yaitu, kenalilah diri sejatimu maka kau akan mengenal Tuhanmu.
Manusia pada hakikatnya adalah “alam makro”. Bukan alam mikro. Sebab bentangan panjang pendeknya usia, panjang pendeknya fisik alam semesta ini sepenuhnya berada di dalam jangkauan pengetahuan dan kesadaran manusia. Kok bisa? Lha coba Anda tanyakan panjang alam semesta kepada seorang astronom dan kepada seorang politikus. Maka, jawabannya pasti beda.
Maka bentangan panjang alam semesta ini DITENTUKAN dan DIUKUR oleh manusia sendiri. Jadi MANUSIA LEBIH BESAR DARI ALAM SEMESTA. Sehingga saya berpendapat bahwa ALAM SEMESTA ini adalah MIKROKOSMOS, sementara MANUSIA adalah MAKROKOSMOS. Tidak sebaliknya sebagaimana yang biasa disebut orang banyak. Dari sini bila diteruskan kita akan mendapatkan banyak pengetahuan dan pengalaman baru.
Maka konsep Tuhan yang sering kita sebut sehari-hari dan alam semesta yang kita nalar ini pada hakikatnya berada di dalam “genggaman pengetahuan” manusia. Yang tidak ada di dalam genggaman pengetahuan manusia adalah Tuhan dan alam semesta yang TIDAK KITA PIKIRKAN NAMUN KITA RASAKAN. Mengenai RASA ini ada dua macam keadaan yaitu RASA PANGRASA artinya rasa yang bercabang/tersebar dan rasa yang menyatu. Rasa yang tersebar disebut PANGRASA (panging rasa/cabangnya rasa, adalah seperti cabang ranting pohon. Sedangkan rasa yang utuh sebagai kesatuan (maligi) adalah seperti “deleg” pohon sebagai kesatuan.
Untuk mencapai upaya MALIGINING RASA, menurut serat Kacawirangi ada 4 tingkatan. Pertama, mengupayakan agar rasa pangrasa jangan terlalu menyebar. Kedua, dengan teliti dan kontinyu mengikuti “ugering dumadi” pandam, pandom dan panduming dumadi). Ketiga, mangastuti (manembah) kepada Tuhan. Keempat, pada saat khusus misalnya saat malam hari yang sangat hening maka lakukan patrap “panunggal samadhi”. Yaitu menghentikan angan-angan dan nafsu agar MENYATU ANTARA BUDI, RASA DAN NAFAS.
Apabila budi sudah tidak terhalang lagi oleh gerak angan-angan, serta rasa sudah tidak terliputi getarnya sendiri, maka tercapailah PRAMANA. Keadaan manusia yang pramana seperti itu ibarat CERMIN YANG JERNIH dari “KAHANAN JATI.”
Tahap akhir perjalanan RASA setelah tercapai PRAMANA, adalah kembali ke asal mula atau SANGKAN PARANING DUMADI, yaitu menyaksikan “alam lami” yang karenanya dituntun oleh diri sejati yang merupakan guru sejati ini akan menumbuhkan kualitas surga. Di sini kita mencapai PAMUNGKASING DUMADI yang merupakan SAMPURNANING PATRAP yaitu LULURING DIRI PRIBADI atau LULURING RAOS AKU. Disitulah lenyapnya tabir/hijab pembungkus kenyataan yang sebenarnya.
Ki Ageng Suryomentaram mengatakan bahwa orang yang sudah sampai tahap itu berarti manusia yang sempurna tanpa cacat. Manusia disebut insan kamil yaitu mereka yang sudah “luluhnya AKU yang DIENGKAUKAN diganti dengan AKU YANG TAK MUNGKIN DIENGKAUKAN (dudu kowe).” Pada titik ini, hal-hal di luar kejadian biasa atau hal-hal yang bertolak belakang dengan prosesi hukum alam tidak lain adalah hakikat primordial Tuhan.
Jadi, Manusia Sempurna adalah manusia yang tanpa angan-angan. Batinnya berada di dalam alam yang tanpa wujud, alam tanpa nilai, alam apa adanya. Inilah ARUPADHATU. Alam bebas tanpa kerangkeng dan penjara. Alam SUNYARURI, ALAM KETIADAAN, ALAM SUWUNG yaitu alam kebahagiaan yang bebas dari segala bentuk baik yang pernah dilihat maupun yang hanya diangankan.
Sebagai hadiah, mereka yang sudah berada di ALAM SUNYARURI ini akan mengalami SWARGA (kebahagiaan yang kekal abadi). Jadi SWARGA tidak “di sana”, melainkan “di sini”:
“Tidak ada seorang pun mengetahui kebahagiaan yang tersembunyi bagi mereka (yang mengenal diri sejati) sebagai anugerah amalan mereka” (QS 32,17).
@wongalus, 2009
Dengan ilmu sunyaruri maka akan menguasai dunia persilatan
BalasHapus