Pelukis Hardi Dalam suatu sarasehan keris di Fadli Zon Library, pada tgl 22 Desember ini, pembicara pakar senior Haryono Guritno mengatakan atau lebih tepatnya memberikan warning, kepada kita dan pemerintah, bahwasanya pengakuan UNESCO, bisa dicabut, bila kita tidak mampu meng-ilmiahkan keris, serta membangun sebuah konsep pendidikan berkelanjutan. Hadir pada acara tersebut adalah para pemikir/kolektor juga gallery keris. Suatu pertemuan skala kecil yang komplit. Mengingat umur penciptaan keris sudah berabad-abad, jauh lebih dulu daripada cabang senirupa lainnya, maka boleh dibilang wacana eksistensi keris jauh ketinggalan. Hal tersebut saya ibaratkan sebagai SATRIYO KINUNJORO atau satriya yang dipenjara, dengan analogi patung Budha dalam stupa di Borobudur. Keris, selama ini berada dalam tabir asap, remang-remang, terkurung dalam penjara mitos, klenik dan supra natural. Film-film horor menggunakan keris sebagai aksesori roh jahat. Para kolektornya di musyrik-musyrikkan, dan disirik-sirikkan, dianggap menyembah keris, tidak menyembah Tuhan. Sementara cabang seni yang lain seperti lukisan yang baru muncul di Jawa zaman Raden Saleh akhir abad 19, melejit dengan wacana-wacana dan prestige yang tinggi. Pemarjinalan yang sistemik ini harus diakhiri, dibuka sekat-sekat yang mengelilinginya, sehingga Keris menjadi Satriya Kemerdekaan yang gagah. Sangat Patut dipuji upaya pribadi, atau lembaga seperti Bentara Budaya, serta kraton-kraton yang selama sebagai patron, dalam melestarikan keris perlu mendapatkan sebuah AWARD dari organisasi keris. Pemerintah belum melakukan upaya maksimal, kecuali dengan adanya Museum Keris di TMII (Taman Mini Indonesia Indah), tetapi upaya ini tidak dibarengi oleh suatu rekayasa Budaya yang komprehensip, juga kalau ada pameran-pameran masih bersifat sporadis. Kohin seorang pekeris (kalau saya Pelukis), mengatakan bahwa profesinya selama ini oleh masyarakat dipandang sebelah mata. Juga Toni Junus, dengan majalah PAMORnya adalah lambang optimisme dikalangan pekeris (akademik?) atau intelektual, terhadap eksistensi keris masa kini. Toni mencoba (berhasrat) mewacanakan atau merumuskan keadaan supaya para pekeris tidak lagi dalam tabir asap kemenyan. Saya juga heran sekaligus bangga, bahwa pekeris FaceBooker adalah orang-orang muda yang masih percaya bahwa republik ini hebat. Keris harus menjadi IKON tertinggi pencapaian SENI dan Kebudayaan, bagi bangsa nusantara ini. Kita, komunitas pekeris harus berani ngongrok2 DPR, membuka mata mereka hingga bangun dari tidurnya, merancang undang-undang kebudayaan, dan memasukkan Keris sebagai mata pelajaran wajib. Saya ingin para pekeris (meliputi empu, desainer, kolektor, galery komersial, simpatisan) bisa memiliki kebanggaan sebagai pelanjut dari tradisi kreatifitas besar, bangsa nusantara Indonesia. Kita canangkan sebuah kampanye besar untuk CINTA KERIS. Membeli keris, memamerkan dan industri kreatip ini akan bergulir, sekaligus menjadi ekonomi kreatip tidak berhenti sebagai konsep di departemen, dan uang rakyat diperlakukan sebagai barang jarahan oleh para birokrat. Disadur dari tulisan pelukis Hardi dalam ‘facebook’. Garuda bukan burung emprit yang terkurung oleh kebodohan kita, karena pembanggaan-pembanggaan feodalistik, sisa-sisa stereotype hegemoni kraton masa lalu. Keris ini diciptakan terinspirasi oleh sebuah sajak WS Rendra. Garuda tetap terbang diangkasa - Karya : Toni junus 2009 - Pamor Largangsir. - |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar