Bilamana kelima masa gelap itu tiba,
inilah waktunya untuk mentransformasikannya
ke dalam jalan kedewataan.
Inilah inti ‘amrita’ dari instruksi lisan,
yang diturunkan dari tradisi orang bijak Svarnadvipa.
Setelah membangkitkan karma dari latihan sebelumnya,
dan desakan dari pengabdian yang tinggi,
saya jauhkan ketidak-beruntungan dan fitnah,
dan menerima instruksi lisan untuk menjinakkan egoisme.
Sekarang, bahkan saat kematianpun,
saya tidak akan kecewa.
~ Geshe Chekawa Yeshe Dorje.
[Seorang Guru Tibet, penulis buku: ‘The Root Text of the Seven Points of
Training the Mind’]
PERTALIAN ANTARA TIBET – SVARNADVIPA – BALIDVIPA
Sebagian dari kita mungkin terperangah keheranan dan bertanya-tanya, darimana
Guru spiritual Tibet itu memperoleh ajaran Orang Suci Svarnadvipa itu? Bukankah
Svarnadvipa adalah nama kuno dari Sumatera?
Benar; seringkali kita kaget bila ternyata produk luar yang diagung-agungkan, ternyata asalnya malah dari Nusantara. Tibet memang sangat dekat dengan India, namun ternyata ajaran serta tradisi spiritualnya yang unik itu, lebih banyak diwariskan oleh Atisha Dipankara Shrijnana (982 – 1054). Siapakah beliau ini?
Atisha Dipankara adalah seorang pangeran dari kerajaan Benggala-India (Colamandala). Sejak usia yang amat dini beliau tak menunjukkan hasrat atau ketertarikan pada kekayaan duniawi maupun tahta kerajaan. Beliau malah lebih getol pada kekayaan batin, kehidupan spiritual. Dalam usia belasan tahun, beliau telah meninggalkan kehidupan kepangeranannya dan menjadi pertapa.
Dalam usia 20 tahun beliau telah mencapai tingkat yang tinggi dalam tradisi Tantra. Beliau melakukan perjalan suci (Tirthayatra) berkeliling India, menemui dan berguru pada 150 orang yogi, akhli dan guru-guru spiritual; namun belum menemukan Pencerahan yang beliau idamkan. Hingga akhirnya menerima ‘pawisik’ di Bodh Gaya, bahwa beliau akan memperoleh ‘Penerangan Batin’-nya melalui seorang Guru Utama di Sriwijaya. Maka, pada tahun 1011 berangkatlah beliau, dari India selatan menuju Svarnadvipa di Nusantara.
Disinilah beliau berguru pada Serlingpa (sebutan pemuliaan bagi beliau dari siswa Tibet-nya, yang juga berarti Svarnadvipa Dharmapati – Orang Suci Guru Utama dalam Dharma dari Svarnadvipa), yang bernama Sri Dharmakitri selama 12 tahun.
Ketika itu yang menjadi raja di Sriwijaya adalah Sri Dharmapala, penerus dari Marawijayotunggawarman —pelanjut tahta dari Sri Cudamaniwarmadewa. Cudamaniwarmadewa— wangsa Warmadewa dari Balidvipa dengan permaisuri dari wangsa Sailendra, Javadvipa yang mulai menduduki tahta Sriwijaya sejak sekitar tahun 992. [Prof. Dr. R. Soekmono; 1973]
Sekembalinya ke India, beliau mengajar di beberapa perguruan di India Selatan, hingga tersebarnya berita ke seantero pelosok India hingga Tibet. Penguasa (raja) Tibet ketika itu, Yeshe O Lama, kemudian mengundang beliau untuk menurunkan ajarannya pada para Lama Tibet, pada tahun 1042.
Nah….sejak itu hingga wafatnya Atisha pada tahun 1954, di Tibet, ajaran Orang Suci Svarnadvipa —Serlingpa— secara turun-temurun diwariskan dalam tradisi spiritual Tibet. Kadampa adalah aliran yang paling berpengaruh di antara aliran-aliran Vajrayana atau Tantrayana Tibet, aliran yang berasal dari ajaran Orang Suci Nusantara pada jamannya.
Sesungguhnya, pertalian antara Siva-Buddha Nusantara dengan apa yang ada dan berkembang di India, Tibet, Nepal, Srilangka, Thailand, Kamboja, China, Jepang (Zen) dan yang lainnya, tiada pernah surut. Walau sempat mengalami hambatan beberapa lama, namun tak pernah putus sama-sekali.
Adalah Mpu Tantular, cucu dari Mpu Bharadah dan Mpu Kuturan, yang memberi warna tersendiri pada Siva-Buddha Nusantara yang telah dirintis oleh para pendahulunya. Sutasoma dan Arjuna Wiwaha adalah dua mahakarya spiritual-filosofis indah yang hingga kini masih kita warisi.
WAKTUNYA UNTUK MENYEPIKAN-DIRI
Mengakhiri tulisan ini saya hadirkan nasehat-nasehat Atisha, yang amat bermanfaat di Kaliyuga ini bagi para penekun jalan spiritual.
Di masa Kaliyuga ini
bukanlah waktunya untuk mempertontonkan kemampuanmu;
saat ini adalah waktunya untuk berlatih dengan tekun.
Kini bukanlah saatnya untuk mencari tempat yang terhormat;
tetapi untuk merendahkan-diri.
Saat ini bukan waktunya untuk menyandarkan diri pada keramaian;
tetapi saatnya untuk menyandarkan diri pada tempat-tempat terpencil.
Saat ini bukan waktunya untuk mengatur murid-murid;
tetapi saatnya mengatasi diri sendiri.
Saat ini bukan waktunya hanya untuk mendengarkan kata-kata saja;
tetapi waktunya untuk merenungkan maknanya.
Bukan pula saatnya untuk pergi kesana-kemari;
saat ini waktunya untuk menyepikan-diri.
‘Menyepikan-diri’ disini tidaklah harus dimaknai secara literal dan kasat-mata sebagai masuk hutan, bertapa di gua-gua di pegunungan, atau yang sejenisnya. Ia lebih pada pada penyepian rasa diri (selfishness), kendati Anda tetap hidup di tengah hiruk-pikuk kehidupan duniawi moderen seperti sekarang ini. Namun memang mesti diakui kalau kian tak banyak —bahkan bisa dibilang— sudah sangat langka yang mampu demikian.
Sumber Kiriman: Beceka
Denpasar, 13 Juni 2000.
____________________
*Syair ini disadur dari: “Melatih Pikiran dan Mengembangkan Kasih Sayang”; Chogyam Trungpa; Penerjemah: Bhadravajra Heng Tuan; Penyunting: Suryananda; Yayasan Penerbit Karaniya – Bandung – Mei 1998; hal. 218.
Bahan bacaan:
1. Pintu Pembebasan (The Door of Liberation); Stephen Batchelor (1975); terjemahan Upasika Prita Melanie; Yayasan Dian Dharma – Jakarta; 1997.
2. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia – 2; Prof. Dr. R. Soekmono; Kanisius – Yogyakarta; 1973.
3. Buddhisme – Pengaruhnya dalam abad modern; Editor: FX. Mudji Sutrisno, SJ.; Kanisius – Yogyakarta; 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar