Sepanjang sejarah kesusasteraan Jawa, telah dikenal berbagai tulisan asli yang antara lain adala htulisan Jawa yang merupakan unsur penting dari kebudayaan Jawa itu sendiri.
Tersebut suatu legenda yang menceriterakan kisah Pangeran Ajisaka yang rupa-rupanya bermula sebagai sebuah ceritera untuk menerangkan artinya dari kalimat yang muncul dari susunan abjad Jawa yang terdiri dari dua puluh huruf dengan artinya sebagai berikut:
Ha na ca ra ka : ada dua orang utusan
Da ta sa wa la : saling bertengkar
Pa dha ja ya nya : sama-sama kuat
Ma ga ba tha nga : kedua-duanya mati.
Masyarakat umum menganggap bahwa Ajisaka yang menciptakan huruf Jawa. Sementara para ahli menyatakan bahwa tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan Sankerta Dewanagari dari India Selatan.
Dalam perkembangannya orang Jawa sudah banyak menggunakan huruf Latin dari pada huruf Jawa, namun di beberapa tempat masih ditemui tulisan yang menggunakan huruf Jawa. Bahkan oleh beberapa orang dinyatakan bahwa huruf Jawa memiliki falsafah atau makna bagi kehidupan manusia. Sebagai contoh:
Huruf ha diberi makna hidup: na berarti ada. Jadi ha na berarti adanya hidup, ca ra ka diartikan sebagai cipta rasa karsa: caraka berarti juga utusan atau duta.
Dengan demikian makna hana caraka adalah adanya hidup diciptakan oleh Tuhan yang diutus untuk memelihara alam lingkungan dengan berpedoman pada tuntunan-Nya sehingga manusia tidak banyak berbuat salah.
Huruf da berati Dhat: ta berarti tan (tanpa) sa wa la berarti salah. Jadi Da ta sawala berarti petunjuk yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah salah.
Huruf pa dha ja ya nya mengandung makna penggambaran diri manusia yang mana hati nuraninya tergoda oleh nafsu, maka sering timbul pertentangan di dalam dirinya. Oleh karena itu manusia diajarkan untul selalu memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa berada dalam kebenaran.
Huruf ma ga ba tha nga; ma dan ga berarti sukama dan angga yang hidup dan berbudaya untuk mewujudkan tindak yang baik. Akhirnya ma, ga akan menjadi ba tha nga, yaitu mati apabila tugas sebagai caraka (utusan) telah selesai atau telah dikehendaki oleh Tuhan kembali (meninggal dunia). Demikian antara lain pengungkapan makna huruf Jawa ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga.
Dalam kehidupan berbudaya ada beberapa orang yang dalam menghayati makna hidup dan kehidupannya menggunakan huruf Jawa sebagai alat untuk dapat memahami makna hidup tersebut. Seseorang sadar sepenuhnya bahwa di dalam dirinya diberi hidup sehingga dia berusaha memahami apa makna hidup itu. Berikut akan diungkap makna hidup dengan menggunakan uraian dari kata yang berhuruf Jawa.
Penjelasannya sebagai berikut: Yang disebut hidup itu terdiri dari dua jenis, yaitu yang disebut hurip dan gesang. Kata “urip” dalam huruf Jawa terdiri dari ha; berasal dari sebutan ma ha (maha) suku (u) mengandung makna tenaga, ra: berasal dari sebutan ha ra (getaran) wulu (i) mengandung maksud bahwa huruf yang di dulu adalah positif pa: mengandung maksud meliputi apa saja karena berasal dari sebutan apa-apa (apa) pangku (tanda huruf mati) mengandung maksud kebahagiaan hu: berasal dari sebutan satuhu 9suatu sifat nyata) rip: berasal dari sesebutan mirip (serupa). Kata “hurip” sebelum diberikan sandangan akan tertulis ha ra pa yang artinya hadap dan kehendak (nafsu).
Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut “hurip” (hidup) adalah Maha Tenaga yang bergetar, yang memiliki kebahagiaan seperti mulia dan kebiasaan yang bermacam-macam serta mempunyai kehendak. Adapun sifat hidup adalah getaran-getaran yang memenuhi dan meliputi alam semesta yang kesemuanya berujud mirip antara yang satu dengan lain. Getaran itu disebut “hara”. Sebutan nama tersebut berasal dari adanya pengetahuan suatu gerak yang sangat cepat dan hanya bisa ditirukan oleh gerakan lidah, sehingga akan keluar bunyi dari mulut: “rrrraaaaa”. Karena hal tersebut bersifat maha, maka sebutan maha dan ra dijadikan satu sebutan “mahara” yang disingkat “hara”. Hara memiliki kebiasaan, maka sebutan “hara” dan “bisa” disatukan menjadi “harabisa”, yang kemudian disingkat “rasa”, karena sebutan “rasa” berasal dari sebutan “hurip”, maka rasa adalah hurip yang memiliki hadap kehendak kebiasaan kebahagiaan yang semuanya bersifat nyata serupa/mirip.
Berikut makna hidup dari apa yang disebut dengan gessang. Kata “gessang” dalam huruf Jawa terdiri dari: ga: berasal dari sebuta ra ga (raga/sifat berwujud) pepet (e) mengandung maksud perasaan/rasa kulit. Sa: berasal dari sebutan ra sa (rasa) pangku (tanda huruf mati): mengandung maksud sanga (sembilan) sa: berasal dari sebutan ra sa (rasa) setcak (tanda bunyi sengau) mengandung maksud sanga (sembilan). Ges: berasal dari sebutan teges (arti). Sang: berasal dari sebutan tumangsang (terkait) kata “gesang” sebelum mendapatkan sandangan tertulis ga sa sa nga, yang berasal dari sebutan gagasa (gagasan(, sanga (sembilan) maksudnya gagasa atau pikir itu terkait oleh sembilan rasa. Dari penjelasan tersebut disimpulkan bahwa yang disebut “gessang” adalah hidup yang memiliki raga, mengandung sembilan rasa positif dan rasa kulit yang mengikat pikir.
Sembilan rasa tersebut:
2 rasa pengelihatan kanan dan kiri
2 rasa pendengaran kanan dan kiri
2 rasa pembauan kanan dan kiri
1 rasa lidah
1 rasa dubur dan 1 rasa kelamin.
Sembilan rasa tersebut masing-masing mengikat gagasan/pikir. Hidup yang berwujud demikian berada di atas permukaan bumi dan harus mempunyai arti atau berguna.
Hidup yang disebut dengan “gessang” ini berasal dari “hurip” yang masing-masing memiliki tenaga hadap dan kehendak. Demikian makna hidup yang dijelaskan melalui kata “hurip” dan “gessang”.
Sebutan “hidup” erat sekali hubungannya dengan sebutan yang Maha Hidup. Untuk memberikan pengertian Yang Maha Hidup, dijelaskan dengan menggunakan kata “halah” dalam huruf Jawa sebagai berikut:
Ha: berasal dari sebutan ma-ha (maha). Suara Ha adalah suara bernafas yang menunukkan hidup. Maka ha mengandung maksud “Yang Maha Hidup”.
Ia: berasal dari sebutan hala (kasar).
Wignyan (huruf mati): mengandung maksud sebagian dari Yang Maha.
Lah: berasal dari sebutan oleh dan polah (memasak dan bergerak).
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut “Halah” (Alah) adalah Yang Maha Hidup, yaitu yang memasak atau mengadakan segala sesuatu mulai dari tidak ada menjadi ada, dari sifat yang terhalus menjadi sifat yang terkasar yang semuanya itu digerakkan atau dihidupi. Adapun dijadikannya sifat-sifat kasar atau berwujud itu hanya sebagian dari sifat ke-MahaanNya.
Demikian makna dari kata berhuruf Jawa “hurip” dan “gessang” yang mengandung arti hidup, yang ternyata di dalamnya terkandung makna yang dalam dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Dari uraian tersebut dapat diketahui betapa tingginya pengetahuan yang telah dicapai oleh leluhur bangsa kita dengan membuat suatu bahasa dan tulisan yang bermakna luhur. Hal demikian dapat menambah pengetahuan dan khasanah budaya bangsa kita.
Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sayangnya pakai bahasa Indonesia, alangkah indahnya jika disampaikan dalam bahasa Jawa atau ada translate bahasa Jawanya.
BalasHapus