a. Kaping wolu : akarsa malih, martabat Hayan Sabitah arane,
b. Hayan iku sejatining urip, Sabitah teteping pati mangka tetep tinetepan, pati lan uripe tetep!
Bahasa Indonesia ssebagai berikut :
a. Yang ke delapan : menghendaki lagi, martabat Hayan Sabitah namanya,
b. Hayan itu ialah hidup, Sabitah ketetapan dari pati, maka saling memantapkan, hidup dan mati tetap menatapi!
Tujuan hidup yang “sebenar-benarnya” disebut dengan bahasa Arab “Hayan Sabitah” arti kata “hayan” ialah “hidup” yang bagi diri manusia, sama dengan kehidupan; dan sabitah artinya; baik, mulya, sempurna! Dengan demikian tujuan hidup ini yang paling pokok, ialah hidup senang, tentram, mulya, bahagia dan sebagainya tanpa sifat-sifat lawannya!
Dimuka telah disinggung-singgung suatu anggapan “apakah sifat wujudNYA harus manifestasinya dulu sebagai manusia?. Kalau anggapan itu benar maka sempurnalah Alam Semesta (Tuhan) mewujudkan citaNYA sebagai bentuk apa yang kita alami sekarang, kalau diingat bahwa Datwajibulwujud yang berpangkal dari kesempurnaan empat unsur tersebut sebelum keadaan ini, sudah merintis sifatNYA secara evolusi sekian juta tahun silih berganti, sifat-sifat itu tidak ada yang sesempurna sifat manusia.
Dari sifat wujudNYA yang “tidak sempurna” selanjutnya menuju kekesempurnaannya, marilah kita meninjau fa’al hidup dari beberapa serangga sebagai perumpamaan :
1. Dari telur menetas itu lahirlah seekor ulat yang berkeliaran dari satu pohon ke lain pohon, makan daun-daun untuk kelangsungan hidupnya.
2. Ia sama sekali tidak mengerti bahwa induknya adalah seekor Kupu-kupu yang cantik dan dapat terbang.
3. Selang beberapa hari si Ulat berhenti sebagai pemakan daun-daunan, kemudian ia mencari tempat yang aman untuk berlindung. Selanjutnya ia mengerutkan dirinya dengan kelamad yang keluar dari mulutnya dan nanusnya, setelah cukup kuat, ia diam seribu bahasa seolah-olah bertapa, kemudian, badannya yang tadinya gembur dan bergelang-gelang, kini menjadi kepompong tetap dalam kondisi diam sama sekali tidak bergerak!
4. Phase terahir dari “tapanya” menjadikan ia seekor Kupu seperti induknya, dan kini sempurnalah hidupnya. Tidak lagi makan daun-daunan tetapi menghisap madu yang segar dan manis itu, dan tidak lagi berjalan dengan kakinya yang 12 buah, kini dapat terbang!
Didalam hati saya bertanya : “Mungkinkah ia juga merasakan manisnya madu, mungkinkah ia merasakan senang hatinya”!? kupu-kupu itu tidak mengerti bahwa setelah bertelur lalu mati, juga ia tidak mengerti berapa lama ia harus hidup sebagai kupu-kupu? Mungkin sekali seperti kupu-kupu itu adalah fungsi daripada Hayang Sabitah; artinya sifat-sifat makhluk sepertinya dapat merasakan “rasa manis dan sebagainya” sekedar beberapa hari saja; tidak seperti manusia, ia dapat merasakan segalanya!.
Timbul keyakinan bahwa : sifat dari wujudNYA bukanlah Kupu-kupu sebagai tujuanNYA, akan tetapi sifat Kupu-kupu tersebut kesempurnaannya hanya sampai disitu, ia tidak nanti berevolusi lagi menuju sifat terakhir sebagai kesempurnaan sifat hidupnya! Benarlah apa yang diucapkan Prof. A.C. Morrison, “Mungkin ada akal yang Maha Tinggi untuk mewujudkan kehendakNYA”!.
Dari proses makhluk-makhluk sendiri andai kata manusia “belum ada” sebagai manifestasiNYA maha – akal yang Tinggi itu, saya kira dunia ini hanya terisi oleh makhluk-makhluk sekian juta jenisnya itu, akalnya (nalurinya) hanya dibatasi bentuk-bentuk sifatnya. (Yang segera punah)!!
Karena itu sebagai tujuan terakhir dari sifat-sifat hidup yang membisu dan akal terbatas itu lahiriyah manusia! Manusia yang serta merta membawa segala kebutuhan-kebutuhan dari segala kemauan yang tersalur melalui bahasa dan indera-inderanya! Mungkin tepat adanya anggapan; “kehendakNYA tidak akan sampai terwujud sekaligus menuju ketujuanNYA : tanpa lebih dahulu Datwajubulwujud meleburkan kehendakNYA, sebagai manusia”!.
Suatu sanggahan misalnya, mengapa kalau harus demikian Agungnya manusia masih saja mencuri, menipu, merampok, jadi jahat dan sebagainya? Jawaban itu dapat dikembalikan, pada : sifatNYA yang secara dinamis dan panta rei bahwa adanya sifat dan watak manusia yang demikian, adalah sifat-lawanNYA sebagai keseimbangan! Dan disinilah maka tujuan hidup itu terus berkembang dan mengurangi keseluruhan sifat-sifat diats; apakah ia akan mati, berputus asa, bosan dan lain-lain sifat-sifat yang ia arungi, memang itulah tujuan hidup yang sebenarnya, menuju Hayan Sabitah!
Bagaimana bentuk serta alam Hayan Sabitah itu? Jawabannya hanya berkisar pada hati. Kita puas dan bahagia hidup dengan hasil usaha sesuai sifat lingkungan dan alam sekitar, apakah ia kuli, bakul air, atau saudagar sekalipun seharusnya merasa senang dan bahagia dengan hasil ikhtiyarnya! Banyak orang-orang mewah namun hasil daripada perbuatan yang eksesnya merugikan orang lain, bentuk korupsi, penipuan atau menghisap tenaga manusia dan lain-lain yang erat hubungannya dengan kejahatan-kejahatan!.
Kemudian, hidup yang meraka anggap senang dan puas; nafsu-nafsu mereka mungkin diselubungi adanya sifat kekurangan-kekurangan apakah dilihat dari sudut teknologi atau kesehatan, pertanian dan plitik, kesemuanya untuk mewujudkan Hayan Sabitah, kesempurnaan yang harus dicapainya apakah akan mewujudkan kendaraan ruang angkasa, pertanian-pertanian yang menghasilkan buah yang melimpah dan gemuk-gemuk, obat-obatan yang membentuk keremajaan kembali, semuanya adalah tujuan hidup menuju ke Hayan Sabitah!.
Demikian gambaran secara umum yang didasarkan kepada “kelahiran” yang aspeknya hanya mementingkan rasa; padahal tujuan yang pokok dari Hayan Sabitah adalah kesempurnaan daripada “hidup dan mati” yang seharusnya pada tingkat dan rasa yang sama!. Kalau awal kejadiannya tiada rasa apa-apa akhir kejadiannyapun seharusnya juga dapat mencapai alam yang tiada rasa (Layu Khayafu!), atau luluhnya Kawula Gusti!!.
Lanjutan dari Martabat Sanga.
c. “Sapa kang jumeneng ing Hayan Sabitah, iya Kang Maha Suci, iku Hurip kita, sadurunge ana bumi langit, trus samengkone;
d. Uripe Hayan Sabitah, iku purbaNE, rasa wisesane karsa, sempurnane otot-bayunira, lungguhe ing syulbi, hiya iku enggone Rasulullah”!!.
Bahasa Indonesia :
c. “Siapakah yang bersemayam di Hayan Sabitah, ialah Yang Maha Suci, itu Hidup kita, sebelum terjadinya bumi dan langit, terus hingga sekarang;
d. Hidupnya Hayan Sabitah, itu purbaNYA, rasa pamisesaannya kehendak, sempurnanya otot-otot dan bayumu, mukimnya di syulbi, yaitu tempatnya Rasulullah”!!.
Yang dimaksud : Dat Yang Maha Suci atau Dat Yang Menghidupi – sebelum terjadinya bumi dan langit atau kita kenal alam semesta ini sebenarnya “belum apa-apa” dan belumlah juga IA meleburkan Datnya sebagai wujud, setelah mana Dat itu mensifatkan wujudNYA, maka di sifat-sifat itulah Dat baru mempunyai tujuan, yang corakNYA terbawa oleh pengalaman hidupnya sifat-sifat tersebut!!.
Dari hasil pengalaman yang jutaan tahun inilah, maka Hidup itu pandai dan cerdas serta tangkas, hasil dari prosesnya sendiri! Diatas, pada alinea d. Terdapat kata-kata “hidupnya Hayan Sabitah itu adalah purbaNYA artinya ke-kesempurnaan yang bertolak dari rasa yang dipengaruhi oleh kehendak ialah Hayan Sabitah sebagai tujuan akhir dari hidupNYA”.
Dengan demikian corak hidup yang bagaimanapun bentuknya, adalah ber-Tujuan Satu ialah serba rasa, atau “among – rasa” yang dimaksudkan adalah hidup kita!!.
Katakanlah hidupNYA bersifat : siput, lebah, gajah dan sebagainya secara teratur, sekalipun pada sifat-sifat itu “ke Hayan Sabitahannya” terbatas; agaknya aneh sekali bahwa peranan-peranannya sifat hidup itu keseluruhannya toh bagi kepentingan manusia!!.
Suatu contoh : lembu bentina yang gemuk, selain susunya yang amat berguna bagi pertumbuhan fa’al hidup manusia, juga kulitnya, tanduknya, dagingnya, kotorannya, bulunya seluruhnya bagi kepentingan manusia, tanpa nama Hayan Sabitah masih pincang! Serangga dan margasatwa seolah-olah tidak berhak untuk hidup, namun manusialah dalam hal ini sebagai penjaga dan pemelihara demi Hayan Sabitah.
Dengan merenungkan pekerti sendiri diatas, timbullah keyakinan, bahwa wujud dari sifatNYA yang kini berakhir sebagai Manusia, sudah tiada lagi makhlik yang lebih atas lagi taraf bentuk dan sifatnya, kini “manusia Bumi” tinggal mencerdaskan otak sebagai perpaduan dan motor dari kehidupan menuju Hayan Sabitah!!.
Secara lahiriyah kita berlomba-lomba sebagai pengemban RahsaNYA, secara bathiniyah kita berlomba mengikis nafsu untuk tujuan terakhir yang akan kita hayati apakah nanti di alam pati kita beroleh layukhayafu (tujuan yang teratas), atau di alam nasut zabarut (alam Rasa), apakah di alam malakut, kita hanya berjuang untuk sekedar menyelaraskan bukan mengharuskan!!.
Kembali pada alinea d. Bernarkah rasa-rasa itu pemurbawisesaannya karsa (kehendak) atau timbulnya rasa adalah harkat dari kehendak?? Memang benar, kalau seandainya kehendak kita hanya “nrima” atau “trima apa adanya” saya kira Hayan Sabitah hanya sebagai perisai, yang sebenarnya alam semesta (Allah, Tuhan) hanya merasakan apa yang dirintis oleh kehendak, misalnya tanpa merobah susunan rasa asli, yang bersumber pada hidup hayati dan nabati manusia hanya merasakan “rasa asin” ia tidak mengerti rasa manis, gurih, pedas dan sebagainya, tanpa ber-kemauan untuk mengikuti kehendak yang ingin merasakan!.
Kodrat dan Iradat berjalan serentak demi menggalang RahsaNYA; sebenarnyalah tanpa “kodrat dan iradat” tidak nanti akan ada Tujuan Hidup mungkin Hidup tak mau hidup, lama-lama punah!!.
Terserah para wasisi sendiri untuk menilai yang lebih bebas dan tepat.
Sumber : Buku Wedaran Wirid III, Ki R.S. Yoedi Parto Yoewono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar