Para pejuang kemerdekaan kita dulu memiliki semangat bertempur yang luar biasa. Mereka sangat percaya diri maju ke medan laga tanpa takut mati. Bila memang sudah tiba saatnya takdir dari Tuhan menjemput, saat tidur di kasur empuk pun orang pasti akan menemui ajal.
Pasrah dan ikhlas atas menerima apa yang terjadi memang sebuah keharusan. Namun ini tidak boleh diartikan kita pasif dan kehilangan jati diri. Ya, pada kasus-kasus yang khusus jangan lupakan ikhtiar untuk “mempertahankan diri”. Sebab mempertahankan diri dari serangan adalah sebuah perintah Tuhan juga. Kita ingat bagaimana Rasulullah, Muhammad SAW dulu harus berdarah-darah di medan perjuangan menegakkan kebenaran Tuhan. Bahkan, tidak ada satu pun utusan Tuhan yang bisa hidup melenggang tanpa ada rintangan. Perjalanan hidup mereka tidak seperti melaju di jalan tol yang lurus dan lempang. Tapi berliku dan penuh aral yang melintang.
Kita bisa memaklumi, kenapa dulu para shaolin, siswa vihara Budha harus melatih dirinya dengan berbagai ilmu perang agar bisa mempertahankan diri dari serangan para ninja. Padahal kita tahu, ajaran Budha sangat menonjolkan perdamaian dan menekankan kebersatuan dan harmoni dengan alam (tao).
Selain raga yang terlatih, para pejuang gigih membekali diri dengan olah batin/olah rasa dengan tingkat kedisiplinan yang luar biasa. Hasilnya pasti berbeda bila mereka tidak membekali diri dengan latihan olah batin. Yang gigih mengolah batin dengan amalan khusus akan selamat, dan tidak pernah mengolah batinnya akan celaka.
Salah satu contoh, dalam latihan olah batin Jawa diajarkan bagaimana menghilang dari kejaran musuh dengan amalan khusus yaitu Aji Panglimunan, atau mampu berlari dengan sangat cepat tanpa bisa terkejar musuh dengan amalan Aji Bayu Bajra, Ajian Kulhu Sungsang untuk menolak tenung, ajian Welut Putih untuk berkelit dari kepungan dan sebagainya. Bila pejuang tersebut tidak memiliki dua amalan ampuh ini, dengan mudah mereka tertangkap dan dihukum mati. Ya, hukum alam pasti berlaku. Maka, mereka yang akan maju perang harus bersiap dengan ilmu-ilmu kesaktian.
Bagaimana di jaman sekarang? Apakah masih relevan memiliki amalan-amalan khusus seperti ini? Jawabannya masih. Kenapa? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya menggunakan kacamata awam saja. Bahwa kejahatan ada dimana-mana. Setiap hari, perampokan, penculikan, pemerkosaan, pembunuhan, kekerasan ada di sekeliling kita. Kita tidak pernah menduga, kejahatan itu ada begitu dekat dengan keseharian kita. Kalau pun kita sudah “selamat” dari kejahatan jalanan tersebut, kita masih belum benar-benar “aman” dari kejahatan yang dilakukan para koruptor, para makelar kasus, para pemimpin (sejatinya penjahat) yang berkedok pejuang rakyat.
Saya memiliki banyak pengalaman. Dulu, hampir setiap saat menginvestigasi para penjahat jalanan ini. Tidak untuk saya gebuki, namun untuk saya wawancarai agar mengetahui motivasi apa mereka melakukan kejahatan. Saya juga memiliki pengalaman bergaul dengan para pejabat. Hampir setiap saat, saya melihat bagaimana pencurian-pencurian uang negara dan penyalahgunaan wewenang mereka lakukan. Keduanya sama-sama merugikan orang lain untuk memenuhi hasrat/nafsu/egonya pribadi. Tidak ada kata “saya terpaksa melakukan kejahatan”. Sebab pilihan lain yang tanpa kejahatan pasti ada.
Kalau suatu hari perut saya lapar, saya tidak perlu mencuri uang tetangga karena ini kejahatan. Saya bisa mencari makan dengan ikut mencuci piring tetangga, teman, sahabat, atau orang lain yang punya rumah makan. Sehingga akhirnya muncul rasa belas kasihan mereka sehingga saya diberi makan. Jadi tidak ada alasan kita harus melakukan kejahatan dengan mencuri uang. Kalau suatu hari saya butuh mobil maka saya tidak boleh merampok bank untuk membeli mobil. Kenapa? Sebab selalu ada alternatif yang bisa kita pilih agar kita tidak melakukan kejahatan.
Nah, ada situasi yang benar-benar khusus yang mengakibatkan kita tidak punya pilihan selain melakukan “pertahanan diri” atau bahkan diperbolehkan “menyerang”. Daripada jauh-jauh mengambil contoh, saya mencontohkan apa yang pernah saya lakukan saja. Menceriterakan hal telah saya alami, tujuan saya tidak untuk menyombongkan diri namun sekedar berbagi untuk kawan-kawan muda agar tetap termotivasi untuk berjuang menegakkan apa yang diyakini benar menurut hati nurani.
Kejadian ini di tahun 2004. Korupsi gila-gilaan terjadi di sebuah lembaga legislatif lokal. Tercatat sebanyak 21 milyard uang rakyat dikorupsi dengan dalih dana tersebut untuk Pengembangan SDM (jumlah wakil rakyat ada 45 orang).
Saya mencari data akurat korupsi mereka sehingga saya akhirnya bisa melakukan tindakan strategis yaitu melakukan “penyerangan.” Mulailah saya lakukan sebuah operasi intelijen: pertama, mendirikan LSM untuk menggempur kejahatan sistemik itu. Kedua, saya mengkoordinasikan gerakan di tingkat grass root, termasuk menggandeng media-media massa agar demonstrasi kami diliput, hingga menekan kejaksaan aan banyak langkah lain. Hasilnya, seluruh anggota legislatif periode itu masuk bui termasuk Ketua dan Wakil Ketua.
Masih banyak contoh lainnya tindakan saya yang aneh, seperti membongkar kasus KKN para pejabat yang menjijikkan dll.. yang memaksa saya untuk memposisikan diri sebagai penjahatnya penjahat atau malingnya para maling.
Saya termasuk orang yang tidak bisa tinggal diam melihat kebobrokan moral yang dilakukan kaum “atas” yang ada di depan mata. Saya begitu heran, kenapa justeru saya yang bukan dari kalangan agamawan (yang merupakan benteng moral masyarakat) dan bukan dari kalangan aparat penegak hukum yang terpanggil untuk membela kaum yang lemah. Terus terang melihat kejahatan, dosa rasanya bila saya tidak “nyentil” atau mengingatkan mereka.
Pada saat keadaan yang sangat terpaksa saya harus tetap berpikir jernih untuk mengambil keputusan-keputusan penting untuk hajat hidup orang lain. Saya lebih memilih untuk menjadi “iblis” yang banyak dikambing hitamkan manusia karena dianggap sumber kejahatan. Padahal, perilaku manusialah sendirilah yang sesungguhnya jahat. Keberadaan Iblis, bukankah justeru menjadi tetenger agar manusia selalu awas eling dan waspada terhadap perilaku yang tidak berlandaskan garis ketetapan-Nya? Nanti, pada pengadilan akhir Jaman, Tuhan bisa jadi akan berkata seperti ini: Terima kasih, hai Iblis. Kau makhlukku paling konsisten untuk melaksanakan tugas. Sehingga ganjarannya silahkan kamu masuk surga yang pertama kali.
Sebagai penutup artikel ini ijinkan kami untuk memaparkan sebuah amalan olah batin khusus untuk “menyerang” yaitu AMALAN HIZBUL BARQI atau HIJIB HALILINTAR. Khasiat Hijib ini antara lain bisa membutakan musuh, menulikan dan membungkan mulut mereka sehingga menghalangi agar mereka tidak berbuat kejahatan. Lafal hijib tersebut adalah:
ASYHADU ALLA ILAAHA ILLALLAHU. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADARRASULULLAHI. NARUDDU BIKAL ADAA A MINKULLI WIJHATIN, WABIL ISMI NARMIIHIM MINAL BU’DI BISY SYATAAT FA ANTA RAJAA II YA ILAAHII WASAYYIDII, FAFARRIQ LAMIIMAL JAYSYI IN RAMAA BII GHALAT
“Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dengan nama-Mu kami menolak musuh musuh dari segala arah. Dengan nama Allah kami melempari mereka dari jauh agar tercerai berai. Engkau adalah tempat aku berharap, Ya Tuhanku dan Tuanku, maka ceraiberaikanlah persatuan musuh, bila mereka bermaksud jahat padaku, maka didihkanlah mereka.”
Cara mengamalkannya: Puasa ngrowot (tidak makan nasi, telur dan daging) selama 7 hari. Selama puasa baca rijib ini rutin setelah sholat maghrib dan subuh 77 kali.
Kita bisa memaklumi, kenapa dulu para shaolin, siswa vihara Budha harus melatih dirinya dengan berbagai ilmu perang agar bisa mempertahankan diri dari serangan para ninja. Padahal kita tahu, ajaran Budha sangat menonjolkan perdamaian dan menekankan kebersatuan dan harmoni dengan alam (tao).
Selain raga yang terlatih, para pejuang gigih membekali diri dengan olah batin/olah rasa dengan tingkat kedisiplinan yang luar biasa. Hasilnya pasti berbeda bila mereka tidak membekali diri dengan latihan olah batin. Yang gigih mengolah batin dengan amalan khusus akan selamat, dan tidak pernah mengolah batinnya akan celaka.
Salah satu contoh, dalam latihan olah batin Jawa diajarkan bagaimana menghilang dari kejaran musuh dengan amalan khusus yaitu Aji Panglimunan, atau mampu berlari dengan sangat cepat tanpa bisa terkejar musuh dengan amalan Aji Bayu Bajra, Ajian Kulhu Sungsang untuk menolak tenung, ajian Welut Putih untuk berkelit dari kepungan dan sebagainya. Bila pejuang tersebut tidak memiliki dua amalan ampuh ini, dengan mudah mereka tertangkap dan dihukum mati. Ya, hukum alam pasti berlaku. Maka, mereka yang akan maju perang harus bersiap dengan ilmu-ilmu kesaktian.
Bagaimana di jaman sekarang? Apakah masih relevan memiliki amalan-amalan khusus seperti ini? Jawabannya masih. Kenapa? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya menggunakan kacamata awam saja. Bahwa kejahatan ada dimana-mana. Setiap hari, perampokan, penculikan, pemerkosaan, pembunuhan, kekerasan ada di sekeliling kita. Kita tidak pernah menduga, kejahatan itu ada begitu dekat dengan keseharian kita. Kalau pun kita sudah “selamat” dari kejahatan jalanan tersebut, kita masih belum benar-benar “aman” dari kejahatan yang dilakukan para koruptor, para makelar kasus, para pemimpin (sejatinya penjahat) yang berkedok pejuang rakyat.
Saya memiliki banyak pengalaman. Dulu, hampir setiap saat menginvestigasi para penjahat jalanan ini. Tidak untuk saya gebuki, namun untuk saya wawancarai agar mengetahui motivasi apa mereka melakukan kejahatan. Saya juga memiliki pengalaman bergaul dengan para pejabat. Hampir setiap saat, saya melihat bagaimana pencurian-pencurian uang negara dan penyalahgunaan wewenang mereka lakukan. Keduanya sama-sama merugikan orang lain untuk memenuhi hasrat/nafsu/egonya pribadi. Tidak ada kata “saya terpaksa melakukan kejahatan”. Sebab pilihan lain yang tanpa kejahatan pasti ada.
Kalau suatu hari perut saya lapar, saya tidak perlu mencuri uang tetangga karena ini kejahatan. Saya bisa mencari makan dengan ikut mencuci piring tetangga, teman, sahabat, atau orang lain yang punya rumah makan. Sehingga akhirnya muncul rasa belas kasihan mereka sehingga saya diberi makan. Jadi tidak ada alasan kita harus melakukan kejahatan dengan mencuri uang. Kalau suatu hari saya butuh mobil maka saya tidak boleh merampok bank untuk membeli mobil. Kenapa? Sebab selalu ada alternatif yang bisa kita pilih agar kita tidak melakukan kejahatan.
Nah, ada situasi yang benar-benar khusus yang mengakibatkan kita tidak punya pilihan selain melakukan “pertahanan diri” atau bahkan diperbolehkan “menyerang”. Daripada jauh-jauh mengambil contoh, saya mencontohkan apa yang pernah saya lakukan saja. Menceriterakan hal telah saya alami, tujuan saya tidak untuk menyombongkan diri namun sekedar berbagi untuk kawan-kawan muda agar tetap termotivasi untuk berjuang menegakkan apa yang diyakini benar menurut hati nurani.
Kejadian ini di tahun 2004. Korupsi gila-gilaan terjadi di sebuah lembaga legislatif lokal. Tercatat sebanyak 21 milyard uang rakyat dikorupsi dengan dalih dana tersebut untuk Pengembangan SDM (jumlah wakil rakyat ada 45 orang).
Saya mencari data akurat korupsi mereka sehingga saya akhirnya bisa melakukan tindakan strategis yaitu melakukan “penyerangan.” Mulailah saya lakukan sebuah operasi intelijen: pertama, mendirikan LSM untuk menggempur kejahatan sistemik itu. Kedua, saya mengkoordinasikan gerakan di tingkat grass root, termasuk menggandeng media-media massa agar demonstrasi kami diliput, hingga menekan kejaksaan aan banyak langkah lain. Hasilnya, seluruh anggota legislatif periode itu masuk bui termasuk Ketua dan Wakil Ketua.
Masih banyak contoh lainnya tindakan saya yang aneh, seperti membongkar kasus KKN para pejabat yang menjijikkan dll.. yang memaksa saya untuk memposisikan diri sebagai penjahatnya penjahat atau malingnya para maling.
Saya termasuk orang yang tidak bisa tinggal diam melihat kebobrokan moral yang dilakukan kaum “atas” yang ada di depan mata. Saya begitu heran, kenapa justeru saya yang bukan dari kalangan agamawan (yang merupakan benteng moral masyarakat) dan bukan dari kalangan aparat penegak hukum yang terpanggil untuk membela kaum yang lemah. Terus terang melihat kejahatan, dosa rasanya bila saya tidak “nyentil” atau mengingatkan mereka.
Pada saat keadaan yang sangat terpaksa saya harus tetap berpikir jernih untuk mengambil keputusan-keputusan penting untuk hajat hidup orang lain. Saya lebih memilih untuk menjadi “iblis” yang banyak dikambing hitamkan manusia karena dianggap sumber kejahatan. Padahal, perilaku manusialah sendirilah yang sesungguhnya jahat. Keberadaan Iblis, bukankah justeru menjadi tetenger agar manusia selalu awas eling dan waspada terhadap perilaku yang tidak berlandaskan garis ketetapan-Nya? Nanti, pada pengadilan akhir Jaman, Tuhan bisa jadi akan berkata seperti ini: Terima kasih, hai Iblis. Kau makhlukku paling konsisten untuk melaksanakan tugas. Sehingga ganjarannya silahkan kamu masuk surga yang pertama kali.
Sebagai penutup artikel ini ijinkan kami untuk memaparkan sebuah amalan olah batin khusus untuk “menyerang” yaitu AMALAN HIZBUL BARQI atau HIJIB HALILINTAR. Khasiat Hijib ini antara lain bisa membutakan musuh, menulikan dan membungkan mulut mereka sehingga menghalangi agar mereka tidak berbuat kejahatan. Lafal hijib tersebut adalah:
ASYHADU ALLA ILAAHA ILLALLAHU. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADARRASULULLAHI. NARUDDU BIKAL ADAA A MINKULLI WIJHATIN, WABIL ISMI NARMIIHIM MINAL BU’DI BISY SYATAAT FA ANTA RAJAA II YA ILAAHII WASAYYIDII, FAFARRIQ LAMIIMAL JAYSYI IN RAMAA BII GHALAT
“Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Dengan nama-Mu kami menolak musuh musuh dari segala arah. Dengan nama Allah kami melempari mereka dari jauh agar tercerai berai. Engkau adalah tempat aku berharap, Ya Tuhanku dan Tuanku, maka ceraiberaikanlah persatuan musuh, bila mereka bermaksud jahat padaku, maka didihkanlah mereka.”
Cara mengamalkannya: Puasa ngrowot (tidak makan nasi, telur dan daging) selama 7 hari. Selama puasa baca rijib ini rutin setelah sholat maghrib dan subuh 77 kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar