Sebuah kisah legenda Jaka Sura mempengaruhi produksi keris pada masanya, hingga kini keris berbentuk lempengan tipis model karya empu Nyi Mbok Sombro dengan peksinya dibuat lubang masih memiliki market yang luas. Konon karena kisahnya adalah bahwa Jaka Sura mencari ayahnya sambil membawa beberapa keris yang direnteng untuk diberikan kepada warung yang disinggahinya untuk numpang makan, sebagai pembayaran. Sebenarnya kisah ini sudah pasti memiliki bobot pengutaraan, bahwa keris ada harganya, serta ada sesuatu kekuatan yang tiada takarannya. Maka mereka yang menjamu Jaka Sura merasa dapat piyandel keris yang membawa rejeki. Sebuah kisah yang memanifestasikan tentang karma baik seseorang akan mendapat pahala. Namun yang menjadi bias adalah, kisah ini ditelan mentah-mentah oleh masyarakatnya sehingga terjadi mistikisasi berlebihan. Ada kisahnya pasti muncul wujudnya pula. Tentu seperti di jaman modern... para pande cangkul pun melihat peluang pasar dari kisah ini.... jadilah produksi keris Joko Sura yang terus diproduksi hingga kini. Bahkan karena tipis terjadi lekukan tak rata saat menggemblengnya yang kemudian dibualkan seolah keris dibuat dengan dipijit-pijit dengan jari tangannya. Dilemanya apa? Pelestari keris sangat berterima kasih atas hal ini, secara pasti telah membuat keris terus eksis. Apalagi kita selalu dalam masyarakat yang tutur tinular, glenak-glenik, glembugan dan klenik.... Dilain pihak... ada pandangan yang menganggap hal itulah adalah sumber musryik dan syirik, apalagi jika dengan perlakuan yang disaji bunga, bahkan disembah-sembah... Sehingga keris juga terpinggirkan oleh masyarakat. Bahkan ditekuti jika ada jin setan dan sebangsanya, lalu dilarung dan dicerca.... Padahal "keris" dipuji UNESCO diberi penghargaan cumlaude sebagai warisan budaya dunia. Keris sebagai heritage memang dibungkus oleh berbagai aspek, dan inilah yang harus kita terjemahkan secara rasional, bahwa notasi yang ada harus dikaji secara lebih ilmiah, tentu tak lepas dengan keterkaitan etniknya... Beberapa catatan menyimpulkan bahwa Jaka Sura menyimpulkan bukan empu picisan, karyanya bagus dan estetik dengan garap yang sempurna, saya sering menduga dan mengkaitkan performa gaya keris Jaka Sura menjadi acuan untuk jaman berikutnya yaitu gaya Mataram. Patron karya Jaka Sura ini jelas ada pada Mataram Sultan Agungan hanya ukurannya lebih corok. (tj) Kanan adalah karya empu Jaka Sura (dengan kekancingan keraton) dan kiri karya Jaka Sura produk legenda. Berikut salah satu catatan yang mendukung bahwa empu Jaka Sura memang empu pinunjul dirupakan dalam bentuk sekar Sinom sbb.: Jaka Sura dennya karya/Tosan pirang-pirang dhacin/Den kepel dadya satunggal/Sawusira dadi siji/Kinarya tanpa keni/Dhapur lameng kirang patut/Nanging sepuhe dilat/Tan lami tumuli dadi/Sampun kunjuk marang Sang Sri Brawijaya. Wus dadi denira karya/Ingaturaken pribadi/Prapteng nagri Majalengka/Kendel paregolan Njawi/Yun nlebet den adhangi/Dening Wadya kang atungguk/Langkung kaku ing manah/Jaka Sura nulya bali/Lamengipun tinilar lawang gapura. Kang caos munjuk Sang Nata/Lamun abdi dalem alit/Pangeran Sedayu putra/Yun marak amba pambengi/Gya wangsul wonten kori/Pedhange tinilar kantun/Sang Prabu Majalengka/Kagyat nulya anedhaki/Niti priksa kang tinilar Jaka Sura. Gaweyane Jaka Sura/Apa pasah pada wesi/Jinajal mring wesi lawang/Tugel tan kongsi mindhoni/Eram ingkang ningali/Jaka Sura karyanipun/Landhep ampuh kalintang/Pedhang iki Sun paringi/Aranira si Lawang iku prayoga. Kurang lebih terjemahannya adalah sbb: Karya Jaka Sura, terbuat dari besi beberapa dachin (1 dachin = 100 kati = 61,761 kg) ditempa menjadi satu. Tempaannya matang tanpa celah dan sambungan. Jadilah sebuah pedang berdapur Lameng, meskipun kurang luwes bentuknya namun disepuh Dilat (sepuh “dilat” bukan berarti disepuh dengan menggunakan lidah. Dilat berarti menyala; Jawa: Murub), hal tersebut merupakan metode penyepuhan “sempurna” yaitu pendinginan mendadak ke air saat besi menyala pijar dari perapian - hanya besi dan tempa bermutu tinggi yang mampu disepuh demikian. Setelah jadi, kemudian datang menghadap Sang Sri Brawijaya. Namun apa lacur, sesampai pintu gerbang Kraton Majapahit, dihalang – halangi oleh prajurit penjaga. Meskipun Jaka Sura telah menyampaikan identitasnya, tetap saja prajurit tak percaya. Hal tersebut membuat hati Jaka Sura jengkel, kemudian meninggalkan gerbang (pada referensi lainnya : dikatakan Jaka Sura kemudian “tapa pepe” yaitu duduk berdiam di tenggah Alun-alun). Pedhang buatannya, ditinggalkan di pintu gerbang. Prajurit menghadap Prabu Brawijaya, ia mengatakan ada rakyat jelata ingin menghadap dan mengaku-aku putra dari Pangeran Sedayu. Prajurit terpaksa menghalang-halanginya. Segera Prabu Brawijaya, pergi ke pintu gerbang, ingin tahu siapa gerangan. Sang Prabu terkejut, melihat ada pedang tertinggal, kemudian memeriksa dengan teliti pedang yang ditinggalkan Jaka Sura. Prabu Brawijaya penasaran, mengenai kehebatan pedang buatan Jaka Sura, apakah sanggup memotong besi. Kemudian dicobakan pada besi pintu gerbang, sekali tebas langsung putus, tanpa diulang untuk kedua kalinya. Membuat ngeri setiap orang yang melihat. Buatan Jaka Sura, tajam dan tangguh tak terkira. Kemudian oleh Sri Brawijaya pedang buatan Jaka Sura diberi nama Si (kyai) Lawang. (Tembang Sinom dikutip dari catatan MM. Hidayat dalam Facebook). |
KEPERCAYAAN/KETUHANAN
15 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar