Jumat, 04 September 2009

HURIP - MAKNA HURUF JAWA PADA KATA “HURIP” DAN “GESSANG”




Sepanjang sejarah kesusasteraan Jawa, telah dikenal berbagai tulisan asli yang antara lain adala htulisan Jawa yang merupakan unsur penting dari kebudayaan Jawa itu sendiri.

Tersebut suatu legenda yang menceriterakan kisah Pangeran Ajisaka yang rupa-rupanya bermula sebagai sebuah ceritera untuk menerangkan artinya dari kalimat yang muncul dari susunan abjad Jawa yang terdiri dari dua puluh huruf dengan artinya sebagai berikut:

Ha na ca ra ka : ada dua orang utusan
Da ta sa wa la : saling bertengkar
Pa dha ja ya nya : sama-sama kuat
Ma ga ba tha nga : kedua-duanya mati.

Masyarakat umum menganggap bahwa Ajisaka yang menciptakan huruf Jawa. Sementara para ahli menyatakan bahwa tulisan Jawa berasal dari suatu bentuk tulisan Sankerta Dewanagari dari India Selatan.

Dalam perkembangannya orang Jawa sudah banyak menggunakan huruf Latin dari pada huruf Jawa, namun di beberapa tempat masih ditemui tulisan yang menggunakan huruf Jawa. Bahkan oleh beberapa orang dinyatakan bahwa huruf Jawa memiliki falsafah atau makna bagi kehidupan manusia. Sebagai contoh:

Huruf ha diberi makna hidup: na berarti ada. Jadi ha na berarti adanya hidup, ca ra ka diartikan sebagai cipta rasa karsa: caraka berarti juga utusan atau duta.

Dengan demikian makna hana caraka adalah adanya hidup diciptakan oleh Tuhan yang diutus untuk memelihara alam lingkungan dengan berpedoman pada tuntunan-Nya sehingga manusia tidak banyak berbuat salah.

Huruf da berati Dhat: ta berarti tan (tanpa) sa wa la berarti salah. Jadi Da ta sawala berarti petunjuk yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa tidak pernah salah.

Huruf pa dha ja ya nya mengandung makna penggambaran diri manusia yang mana hati nuraninya tergoda oleh nafsu, maka sering timbul pertentangan di dalam dirinya. Oleh karena itu manusia diajarkan untul selalu memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa agar senantiasa berada dalam kebenaran.

Huruf ma ga ba tha nga; ma dan ga berarti sukama dan angga yang hidup dan berbudaya untuk mewujudkan tindak yang baik. Akhirnya ma, ga akan menjadi ba tha nga, yaitu mati apabila tugas sebagai caraka (utusan) telah selesai atau telah dikehendaki oleh Tuhan kembali (meninggal dunia). Demikian antara lain pengungkapan makna huruf Jawa ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga.

Dalam kehidupan berbudaya ada beberapa orang yang dalam menghayati makna hidup dan kehidupannya menggunakan huruf Jawa sebagai alat untuk dapat memahami makna hidup tersebut. Seseorang sadar sepenuhnya bahwa di dalam dirinya diberi hidup sehingga dia berusaha memahami apa makna hidup itu. Berikut akan diungkap makna hidup dengan menggunakan uraian dari kata yang berhuruf Jawa.

Penjelasannya sebagai berikut: Yang disebut hidup itu terdiri dari dua jenis, yaitu yang disebut hurip dan gesang. Kata “urip” dalam huruf Jawa terdiri dari ha; berasal dari sebutan ma ha (maha) suku (u) mengandung makna tenaga, ra: berasal dari sebutan ha ra (getaran) wulu (i) mengandung maksud bahwa huruf yang di dulu adalah positif pa: mengandung maksud meliputi apa saja karena berasal dari sebutan apa-apa (apa) pangku (tanda huruf mati) mengandung maksud kebahagiaan hu: berasal dari sebutan satuhu 9suatu sifat nyata) rip: berasal dari sesebutan mirip (serupa). Kata “hurip” sebelum diberikan sandangan akan tertulis ha ra pa yang artinya hadap dan kehendak (nafsu).

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut “hurip” (hidup) adalah Maha Tenaga yang bergetar, yang memiliki kebahagiaan seperti mulia dan kebiasaan yang bermacam-macam serta mempunyai kehendak. Adapun sifat hidup adalah getaran-getaran yang memenuhi dan meliputi alam semesta yang kesemuanya berujud mirip antara yang satu dengan lain. Getaran itu disebut “hara”. Sebutan nama tersebut berasal dari adanya pengetahuan suatu gerak yang sangat cepat dan hanya bisa ditirukan oleh gerakan lidah, sehingga akan keluar bunyi dari mulut: “rrrraaaaa”. Karena hal tersebut bersifat maha, maka sebutan maha dan ra dijadikan satu sebutan “mahara” yang disingkat “hara”. Hara memiliki kebiasaan, maka sebutan “hara” dan “bisa” disatukan menjadi “harabisa”, yang kemudian disingkat “rasa”, karena sebutan “rasa” berasal dari sebutan “hurip”, maka rasa adalah hurip yang memiliki hadap kehendak kebiasaan kebahagiaan yang semuanya bersifat nyata serupa/mirip.

Berikut makna hidup dari apa yang disebut dengan gessang. Kata “gessang” dalam huruf Jawa terdiri dari: ga: berasal dari sebuta ra ga (raga/sifat berwujud) pepet (e) mengandung maksud perasaan/rasa kulit. Sa: berasal dari sebutan ra sa (rasa) pangku (tanda huruf mati): mengandung maksud sanga (sembilan) sa: berasal dari sebutan ra sa (rasa) setcak (tanda bunyi sengau) mengandung maksud sanga (sembilan). Ges: berasal dari sebutan teges (arti). Sang: berasal dari sebutan tumangsang (terkait) kata “gesang” sebelum mendapatkan sandangan tertulis ga sa sa nga, yang berasal dari sebutan gagasa (gagasan(, sanga (sembilan) maksudnya gagasa atau pikir itu terkait oleh sembilan rasa. Dari penjelasan tersebut disimpulkan bahwa yang disebut “gessang” adalah hidup yang memiliki raga, mengandung sembilan rasa positif dan rasa kulit yang mengikat pikir.

Sembilan rasa tersebut:
2 rasa pengelihatan kanan dan kiri
2 rasa pendengaran kanan dan kiri
2 rasa pembauan kanan dan kiri
1 rasa lidah
1 rasa dubur dan 1 rasa kelamin.

Sembilan rasa tersebut masing-masing mengikat gagasan/pikir. Hidup yang berwujud demikian berada di atas permukaan bumi dan harus mempunyai arti atau berguna.

Hidup yang disebut dengan “gessang” ini berasal dari “hurip” yang masing-masing memiliki tenaga hadap dan kehendak. Demikian makna hidup yang dijelaskan melalui kata “hurip” dan “gessang”.

Sebutan “hidup” erat sekali hubungannya dengan sebutan yang Maha Hidup. Untuk memberikan pengertian Yang Maha Hidup, dijelaskan dengan menggunakan kata “halah” dalam huruf Jawa sebagai berikut:
Ha: berasal dari sebutan ma-ha (maha). Suara Ha adalah suara bernafas yang menunukkan hidup. Maka ha mengandung maksud “Yang Maha Hidup”.
Ia: berasal dari sebutan hala (kasar).
Wignyan (huruf mati): mengandung maksud sebagian dari Yang Maha.
Lah: berasal dari sebutan oleh dan polah (memasak dan bergerak).

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut “Halah” (Alah) adalah Yang Maha Hidup, yaitu yang memasak atau mengadakan segala sesuatu mulai dari tidak ada menjadi ada, dari sifat yang terhalus menjadi sifat yang terkasar yang semuanya itu digerakkan atau dihidupi. Adapun dijadikannya sifat-sifat kasar atau berwujud itu hanya sebagian dari sifat ke-MahaanNya.

Demikian makna dari kata berhuruf Jawa “hurip” dan “gessang” yang mengandung arti hidup, yang ternyata di dalamnya terkandung makna yang dalam dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Dari uraian tersebut dapat diketahui betapa tingginya pengetahuan yang telah dicapai oleh leluhur bangsa kita dengan membuat suatu bahasa dan tulisan yang bermakna luhur. Hal demikian dapat menambah pengetahuan dan khasanah budaya bangsa kita.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1995. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

BHUMI PARAHYANGAN


Sesuai dengan falsafah Tiada masa kini tanpa ada masa lalu - masa kini adalah peninggalan masa lalu (Wasiat dari : Galunggung) penulis terpanggil untuk mempostingkan tulisan dibawah ini :

CARITA TATAR PARAHYANGAN

Periode Awal sampai Taruma Nagara

Konon menurut wangsakerta, kerajaan pertama di tanah jawa adalah Salaka Nagara atau Rajatapura (Negeri Perak) dengan pendiri Aki Tirem (=Argyre : Ptolemy). Letaknya di teluk lada Pandeglang sekarang sekitar tahun 150 M. Pemerintahan Salaka Nagara dipimpin oleh raja-raja dengan gelar Dewawarman. Tercatat bahwa gelar Dewawarman diturunkan selama 8 generasi (Dewawarman I - VIII). Diperkirakan kejayaannya hanya sampai tahun 362 M. Selanjutnya penguasaan wilayah Jawa (bag Barat) dilanjutkan oleh Taruma Nagara dan Salaka Nagara pun menjadi kerajaan kecil.

Kerajaan Taruma Nagara tercatat dimulai sejak tahun 358 M dengan raja pertama bernama Jayasingawarman. Jayasingawarman berasal dari negeri Salankayana di India. Ia melarikan diri dari negerinya yang diserang oleh raja Samudragupta dari kerajaan Magada. Dia juga merupakan menantu Dewawarman VIII.

Pada pemerintahan raja Taruma Nagara yang ke-3, cucu Jayasingawarman yaitu Purnawarman (395 – 434), ibukota kerajaan dipindah ke kota baru dengan nama Sundapura (Kota Suci) disekitar muara Ciaruteun. Inilah catatan sejarah pertama mengenai awal digunakannya kata Sunda. Beliau juga memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Chandrabaga (Bhagasasi/Bekasi) sepanjang 6.114 tumbak (11 km).

Selanjutnya, pada masa Suryawarman (535 - 561 M) yang merupakan cucu Purnawarman, kekuasaan Taruma dilebarkan ke arah timur. Untuk itu dalam tahun 526 M, Manikmaya, menantu Suryawarman dari Tirta Kancana, diberikan kekuasaan untuk mendirikan kerajaan baru di Kendan, sekarang terletak di daerah Nagreg (terletak antara Bandung dan Garut). Yang pada masa selanjutnya, cicit Manikmaya yang bernama Wretikandayun (612) memindahkan ibukota Kendan ke kota baru yang diberi nama Galuh (=Permata). Kota tersebut diapit 2 sungai yaitu Citanduy dan Cimuntur. Kota tersebut sekarang bernama Desa Karang Kamulyan di Ciamis.

Cerita terus berlanjut dan raja-raja terus silih berganti sampai dengan raja terakhir Taruma Nagara yaitu Linggawarman. Ia merupakan raja yang ke-12 Taruma yang memerintah sekitar tahun 669 M. Dalam masa penguasaan Taruma telah terdapat 48 kerajaan bawahan diantaranya adalah Salaka Nagara, Galuh, Kendan serta Sunda Sambawa. Dikarenakan tidak memiliki anak laki-laki maka kekuasaan Linggawarman turun kepada menantu pertamanya Tarusbawa.
Sebenarnya dia mempunyai 2 anak perempuan yang bernama Manasih dan Sobakancana. Manasih menikah dengan Tarusbawa pewaris kerajaan Sunda Sambawa dan Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Jayanasa pendiri kerajaan Sriwijaya.

Pada masa pemerintahan Tarusbawa, terjadi perselisihan antara 2 menantu Lingawarman. Akibat perselisihan ini Jayanasa/Sriwijaya menyerang Tarusbawa/Taruma (wangsakerta). Akibat serangan itu Taruma melemah, sehingga Tarusbawa kembali ke kerajaan asalnya Sunda Sambawa dengan membawa kekuasaan Taruma. Selanjutnya Taruma Nagara dia ubah namanya menjadi Kerajaan Sunda. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa raja Sunda pertama (sebagai kerajaan besar) adalah Tarusbawa.

Penggantian nama Taruma menjadi Sunda dijadikan momen oleh Galuh/Wretikandayun untuk menyatakan lepas dari Sunda/Taruma (670). Dengan alasan merasa sederajat dengan kerajaan Sunda (sama-sama kerajaan bawahan Taruma). Wretikandayun (cicit Manikmaya) mengklaim wilayah kekuasaan Taruma sebelah Timur dari Kali Cipamali sampai kali Citarum. Saat itu Wretikandayun sudah berumur 78 tahun. Sehingga dia sudah mengenal betul kondisi politik Taruma. Klaim Galuh tersebut berlangsung mulus, karena Tarusbawa menghindari terjadinya peperangan. Bahkan saat itu Tarusbawa merupakan sahabat dari Bratasena anak dari Wretikandayun. Sehingga itulah akhir dari cerita Taruma Nagara yang melemah dan menjadi 2 kerajaan dengan sungai citarum sebagai batas.



Masa Keemasan Galuh

Setelah lepasnya Galuh dari Sunda, Tarusbawa masih berkuasa. Tarusbawa merupakan raja yang panjang umur dan berkuasa lama, diperkirakan berkuasa dari 669-723 M. Dia digantikan oleh cucu menantunya yang bernama Rakeyan Jamri atau lebih dikenal dengan Prabu Sanjaya Harisdharma. Adapun sang putera mahkota (anak Tarusbawa) meninggal sebelum dinobatkan, menyebabkan Tarusbawa digantikan oleh cucu perempuannya yang bernama Tejakancana yang bersuamikan Sanjaya ini. Sanjaya sendiri merupakan anak Sanaha adik perempuan dari Bratasena raja Galuh saat itu.

Sementara itu di Galuh, diceritakan bahwa Wretikandayun yang bergelar Maharaja Suradharma Jayaprakosa setidaknya memiliki 3 anak dari Pohaci Bunga Mangle (Manawati/Candrarasmi) yaitu :
Sempakwaja (Jatmika), Jantaka dan Mandiminyak (Amara). Diantara anaknya yang menggantikan dirinya adalah anak bungsunya yang bernama Mandiminyak. Dikarenakan anak tertuanya bernama Sempakwaja dan anak keduanya Jantaka dianggap cacat jasmani.

Selanjutnya Mandiminyak digantikan oleh anaknya dari Rababu yang bernama Bratasena (Sena). Sebenarnya permaisuri Mandiminyak adalah Dewi Parwati yang menurunkan putri Sanaha. Dewi Parwati adalah anak dari maharani Shima dari kerajaan Kalingga (sebelum Mataram Kuno). Namun kekuasaan Sena tak berlangsung lama, ia digulingkan oleh sepupunya, anak dari Sempakwaja yang bernama Purbasora. Purbasora saat itu dibantu oleh raja Indraprahasta dari sekitar daerah Cirebon. Hal ini menyebabkan Sena lari ke Kalingga.

Sanjaya yang merupakan keponakan Bratasena, melakukan serangan balas dendam ke Purbasora. Serangan ini dia lakukan setelah ia dinobatkan menjadi raja Sunda (723-732 M) Hal ini mengakibatkan keluarga Purbasora dimusnahkan. Sedangkan panglima perangnya yang bernama senopati Bimaraksa (Aki Balangantrang) berhasil melarikan diri ke daerah Geger Sunten. Bimaraksa merupakan anak dari Jantaka (anak kedua Wretikandayun). Dengan Serangan balas dendam ini, Galuh pun dikuasai oleh Sanjaya.

Sanjaya tak lama berkuasa di Galuh, untuk menciptakan ketentraman di Galuh, selanjutnya kekuasaan Galuh ia serahkan kepada Permana Dikusuma. Permana merupakan cucu dari Pubasora. Namun sebelumnya, Permana oleh Sanjaya dijodohkan dengan Dewi Pangrenyep anak dari Anggada (Patih Sunda). Dia juga mengangkat anaknya Tamperan sebagai kepala pasukan Galuh. Untuk Demunawan adik Purbasora (anak Sempakwaja dan Wulansari), dia memberikan kekuasaan atas Kuningan dan Galunggung.

Tahun 732 M, Sanjaya juga mewarisi Mataram/Kalingga dari ayahnya yang mengakibatkan ia melepaskan tahta kekuasaan di Sunda kepada anaknya Tamperan. Untuk itu Tamperan yang dikenal juga sebagai Rakai Panaraban (saat itu panglima di Galuh) dia panggil pulang dari Galuh ke Sunda untuk diserahi tahta Sunda. Sehingga saat itu sebenarnya kekuasaan Sanjaya meliputi Kerajan Sunda, Kerajaan Galuh serta kerajaan (Bhumi) Mataram (Kalingga Utara).

Sebelum dijodohkan dengan Pangrenyep, Permana sudah memiliki anak dari Naganingrum (anak dari Bimaraksa) yang bernama Surotama atau Manarah atau lebih dikenal dengan Ciung Wanara. Sedangkan selanjutnya dari Pangrenyep, ia memiliki anak bernama Kamarasa atau (Hariang/Arya) Banga. Banga sendiri diyakini sebagai anak hasil hubungan gelap antara Tamperan dan Pangrenyep. Sehingga saat Permana Dikusuma wafat (konon dibunuh atas perintah Tamperan) yang diangkat menjadi raja Galuh adalah Banga. Ia diberi gelar Prabu Kretabuwana Yasawiguna Aji Mulya.

Saat diadakan pesta sabung ayam di Galuh yang dihadiri juga oleh Tamperan yang saat itu sudah menjadi raja Sunda, Manarah melakukan kudeta terhadap Banga. Kudeta ini dilakukan dengan sokongan dari Bimaraksa dan bantuan Indraprahasta serta Kuningan. Dalam serangan ini Tamperan dan Pengrenyep tewas. Sehingga Sanjaya/Mataram mengirimkan pasukan untuk membalas dendam sekaligus membantu Banga. Peperangan pun akhirnya berubah menjadi peperangan yang besar.

Dalam peperangan tersebut, Harya Banga terdesak. Perang besar tersebut Akhirnya didamaikan oleh Demunawan yang saat itu sudah menjadi Resi. Dalam perdamaian itu Sunda Galuh kembali menjadi terpisah. Sunda diberikan kepada Banga dan Galuh diberikan kepada Manarah. Selanjutnya untuk memperkuat perdamaian, Manarah dan Banga dijodohkan dengan cicit Demunawan. Manarah dengan Kancanawangi dan Banga dengan Kancanasari adik dari Kencana Wangi.

Sang Manarah setelah menjadi raja mendapat gelar Prabu Jayaprakasa Mandaleswara Salakabuwana. Manarah memiliki 7 anak, namun kesemuanya perempuan. Tahta akhirnya turun ke anak perempuannya yang ke-7 yang bernama Purbasari yang bersuamikan Guruminda Sang Ministri. Kisah ratu Purbasari lebih dikenal di masyarakat dengan cerita pantun Lutung Kasarung. Namun selain cerita pantun tersebut, tidak ada catatan lain yang lebih lanjut untuk menjelaskan keadaan pemerintahannya pada waktu itu.

Keturunan Manarah putus hanya sampai cicit dari Purbasari yang bernama Prabulinggabumi (813 - 852). Tahta Galuh diserahkan kepada suami adiknya yaitu Rakeyan Wuwus alias Prabu Gajah Kulon (819 - 891). Sedangkan rakeyan Wuwus merupakan cicit dari Harya Banga yang menjadi Raja Sunda ke-8 (dihitung dari Tarusbawa). Sejak tahun 852, Galuh dan Sunda kembali bersatu dibawah kekuasaan Rakeyan Wuwus dan selanjutnya disebut jaman Sunda Galuh.


Masa Sunda Galuh sampai Sunda Pajajaran

Sunda Galuh terus bertahan dalam perjalanan waktu, hingga pada suatu masa dalam kepemimpinan Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030-1042) raja Sunda ke-20, terjadi kejadian yang disebut Pralaya. Pralaya adalah penyerangan besar besaran Wurawuri/Sriwijaya terhadap kerajaan Medang. Peristiwa ini menjadi istimewa karena Ia beribu seorang puteri Sriwijaya saudara dari Raja Wurawuri. Adapun istri Sri Jayabupati adalah puteri dari Dharmawangsa, raja Kerajaan Medang, dan juga merupakan adik Dewi Laksmi isteri Airlangga.

Penerus Sri Jayabupati yang ke-5 adalah Prabu Dharmasiksa. Seyogyanya Prabu Dharmasiksa akan digantikan oleh Rakeyan Jayadarma. Jayadarma adalah suami Singamurti (Dyah Lembu Tal) yang merupakan anak Mahisa Campaka yang berarti cicit dari Ken Arok. Mereka memiliki anak yang bernama Sang Nararya Sanggrama Wijaya (Raden Wijaya). Namun sang putera mahkota Jaya Dharma meninggal sebelum dinobatkan. Akibat meninggalnya Jaya Dharma, Singamurti kembali ke negerinya bersama Raden Wijaya. Di negerinya setelah dewasa, Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit.

Kedudukan putera mahkota Jayadarma akhirnya digantikan oleh adiknya yang bernama Ragasuci (1297-1303). Ragasuci merupakan suami dari Dara Puspa puteri Kerajaan Melayu (Jambi) adik dari Dara Kencana istri Kertanegara, penguasa Singasari. Dan akhirnya Ragasuci dinobatkan menjadi raja kerajaan Sunda.

Selanjutnya keturunan ke-5 Ragasuci adalah Prabu Linggabuana (1350-1357). Prabu Linggabuana adalah raja Sunda yang tewas dalam perang Bubat. Sebagai penghargaan atas keberaniannya melawan Majapahit saat itu, Linggabuana diberi gelar Prabu Wangi. Kedudukan Linggabuana digantikan sementara oleh adiknya Bunisora selaku Pemangku Jabatan. Hal ini dikarenakan anak Linggabuana (Niskalawastukancana) waktu itu belum dewasa. Setelah dewasa maka Niskalawastu dinobatkan menjadi raja Sunda. Diperkirakan sejak saat Prabu Niskalawastu gelar Siliwangi muncul. Silih wangi berarti pengganti Prabu Wangi selanjutnya raja-raja penggantinya juga disebut sebagai Siliwangi.

Niskalawastu mempunyai anak dari Lara Sakarti yang bernama Susuktunggal dan dari Mayangsari bernama Dewaniskala. Kedua anaknya masing-masing diwarisi bagian kerajaan. Akibat pembagian waris tersebut Sunda kembali menjadi dua kerajaan. Bekas kerajaan Sunda di berikan kepada Susuktunggal, sedangkan bekas kerajaan Galuh diberikan kepada Dewa Niskala.

Dewa Niskala memiliki anak yang bernama Jaya Dewata (=Sri Baduga Maharaja). Jaya Dewata dinikahkan dengan Kentring Manik Mayang Sunda anak dari Susuktunggal. Saat Jayadewata mewarisi Galuh (1482-1521), Susuktunggal pun memberikan tahtanya kepada menantunya tersebut sehingga Sunda Galuh kembali menyatu. Beliau memindahkan ibukota dari kawali (Galuh) ke Pakuan. Dimasa Jaya Dewata inilah Sunda lebih dikenal dengan sebutan Pajajaran. Sebutan Pajajaran sendiri merupakan kependekan dari Pakuan Pajajaran. Pakuan Pajajaran kurang lebih berarti Istana(=Pakwwan) yang berjajar. Ini gambaran dari keadaan ibukota yang terdiri dari banyak istana yang rapi berjajar. Sehingga kerajaan tersebut dinamai Pakuan Pajajaran dengan lebih singkatnya Pajajaran.

Selain dengan Kentring Manik Mayang Sunda, Jaya Dewata pun menikah dengan Ambetkasih puteri Ki Gedeng Sindang Kasih juga dengan Subanglarang puteri Ki Gendeng Tapa raja Singapura (daerah sekitar Cirebon). Subanglarang adalah murid dari Pondok Pesantren Quro pimpinan Syekh Hasanuddin di Karawang. Dari Subanglarang ini Jaya Dewata memiliki anak yang bernama Kian/Rakean Santang/Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana, Rara Santang dan raja Sangara (Haji Mansyur). Rara Santang kemudian memiliki anak yang bernama Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati.

Penerus tahta Jaya Dewata adalah Surawisesa anak dari Kentring Manik Mayang Sunda. Sedangkan Kian Santang diberikan kekuasaan untuk mengkontrol pelabuhan Cerbon menggantikan kakeknya Ki Gendeng Tapa. Selanjutnya Cerbon berkembang dari asalnya kerajaan bawahan menjadi sebuah kesultanan setelah mendapat dukungan Demak. Kekuasaan Kian Santang turun kepada menantu sekaligus keponakannya anak dari Rara Santang yang bernama Syarif Hidayatullah. Dalam masa kepemimpinan Syarif Hidayatullah, Cirebon menyatakan melepaskan diri dari Pajajaran. Pernyataan ini ditandai dengan tidak lagi melakukan pengiriman upeti ke Pajajaran.

Pada masa pemerintahan Surawisesa (1521 – 1535) dia membangun kerjasama dengan Portugis. Kerjasama ini dibangun oleh Surawisesa yang saat itu sudah merasa terancam oleh kesultanan Cerbon yang mendapat dukungan Kesultanan Demak. (Tome Pires). Portugis diberi keleluasaan oleh Sunda untuk beroperasi di Sunda Kelapa. Kekhawatiran Surawisesa terbukti, 1524 Cirebon dibantu Demak merebut Banten. Selanjutnya anak Sunan Gunung Jati yang bernama Maulana Hasanuddin diangkat sebagai Sultan Banten. Maulana Hasanuddin sendiri merupakan anak sunan dari istrinya yang bernama Nyai Kawunganten. Ia
adalah anak dari Surasowan yang merupakan adik kandung dari Surawisesa.

Tahun 1527 Sunda Kalapa diserang Cirebon dengan tujuan untuk membalas serangan portugis atas Malaka (1511). Serangan dipimpin oleh Fatahillah/Tubagus Pasai yang merupakan veteran perang Malaka yang juga menantu Sunan Gunung Jati, dibantu Banten dan Demak. Serangan menyebabkan Sunda Kelapa jatuh ke Cirebon dan kemudian namanya di ubah menjadi Jayakarta. Sejak masa tersebut perselisihan antara Sunda dan para sultan (Cerbon+Banten) pun semakin membesar.

Akhirnya pada 11 Wesaka 1501 tahun Saka (8 Mei 1579) Kerajaan Sunda Pajajaran Akhirnya benar-benar runtuh. Kejadian ini pada masa Raja Sunda keturunan Jaya Dewata yang ke-5 yaitu Prabu Surya Kancana/Ragamulya/Nusyamulya (1567-1579). Sunda runtuh setelah beberapa kali diserang Kesultanan Banten dan Cirebon. Keruntuhan ditandai dengan dibawanya Watu Gigilang/Palangka Sriman Sriwacana batu tempat penobatan raja Sunda ke istana Surosowan Banten. Sejak itu tidak ditemukan lagi catatan mengenai keberadaan sang Prabu Surya Kancana. Di masyarakat Sunda peristiwa ini dikenal dengan peristiwa ”Ngahyang”. Sehingga sampai saat ini masih dipercayai sebagian besar masyarakat Sunda bahwa Prabu Siliwangi (yang terakhir) Ngahyang.

Pada masa Kerajaan Pajajaran sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh Kesultanan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf anak Maulana Hasanuddin. Prabu Surya Kancana sebelum meninggalkan Pakuan, mengutus empat prajurit pilihan (Kandaga Lante) untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang untuk mencari perlindungan. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Dengan diberikannya pusaka tersebut kepada Prabu Geusan Ulun (1580-1608), maka dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran telah menyerahkan kekuasaan kepada Kerajaan Sumedang Larang.

Sementara itu, kesultanan Banten dikarenakan telah memiliki batu Gigilang serta merupakanketurunan langsung Jaya Dewata dari kakeknya (=Sunan Gunung Jati), Maulana Yusuf mengklaim sebagai pewaris sah atas tahta Pajajaran. Sehingga Banten pun bersitegang dengan Sumedang. Namun secara de facto, wilayah sisa kerajaan Sunda waktu itu tidak pernah berada dalam administrasi kekuasaan kesultanan Banten.

Pada masa Surya Kancana sudah keluar dari Pakuan (Ngahyang), Istana Pakuan jatuh ke tangan pasukan koalisi Islam (Demak, Banten + Cirebon). Dalam perjanjian terakhir, Sunan Gunung Jati selaku tetua (keturunan dekat Siliwangi) meminta bagi para penghuni kota pakuan yang tidak mau beragama Islam untuk keluar. Hasil perjanjian ini mengakibatkan 40 orang anggota pasukan elit kerajaan sunda keluar dan akhirnya bermukim di Cibeo dan konon menjadi Masyarakat Kanekes (=”Urang Baduy”).


MASA SUMEDANG LARANG SAMPAI JATUH KE TANGAN BELANDA

Pada saat pemerintahan Sumedang berada di tangan Prabu Geusan Ulun/Angkawijaya, Mataram (=Sultan Agung) sedang dalam masa kejayaannya. Sehingga demi kepentingan politik (terutama untuk menghadapi Banten) Sumedang menyatakan bergabung dengan Mataram. Pada masanya pula terjadi perselisihan yang menimbulkan peperangan dengan Cirebon. Peperangan ini berhasil didamaikan oleh Mataram. Hasil perdamaian menyebabkan Sumedang kehilangan wilayah Majalengka. Namun Geusan Ulun mendapatkan Ratu Harisbaya (puteri kerabat Mataram) yang menandakan kedekatan dengan Mataram serta kemerdekaan dari Cerbon (akibat kejatuhan Pajajaran).

Penerus Geusan Ulun adalah anak tirinya dari Ratu Harisbaya yaitu Rangga Gempol Kusumah Dinata atau Raden Aria Suradiwangsa (1620-1624). Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, Mataram semakin kuat. Pada tahun 1620 M Sumedang Larang tunduk kepada Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung, dan statusnya sebagai ‘kerajaan’ diubahnya menjadi ‘kadipaten’.

Suatu saat Rangga Gempol diperintahkan oleh Sultan Agung untuk memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Namun sejak saat itu Rangga Gempol tidak pernah kembali ke Sumedang, konon ia selanjutnya diangkat menjadi orang dalam istana Mataram. Pemerintahan Sumedang kemudian diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.

Dalam masa pemerintahannya Sumedang Larang diserang pasukan Kesultanan Banten. Karena Rangga Gede/Rangga Gempol II tidak mampu menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menangkap dan menghukum penjara Dipati Rangga Gede, dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.

Sebagai tanda bakti, Dipati Ukur diperintahkan oleh Sultan Agung untuk bersama-sama pasukan Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa untuk menyerang dan merebut pertahanan Belanda di Batavia (Jakarta). Serangan tersebut mengalami kegagalan (1628) dan Bahureksa pun tewas. Karena menolak untuk dihukum akibat kekalahan ini, Dipati Ukur memberontak terhadap kekuasaan Mataram. Namun pemberontakan ini dapat dipatahkan dan menyebabkan Dipati Ukur akhirnya dihukum oleh Sultan Agung (1632).

Dengan dihukumnya Dipati Ukur, Pemerintahan dikembalikan kepada Rangga Gede. Saat itu wilayah Sunda telah kehilangan kekuasaan atas Cerbon dan Majalengka (Sultan Cerbon), Banten (Sultan Banten), Jakarta (VOC) dan Galuh (Mataram). Sehingga sisa wilayah Sunda yang masih dipimpin oleh pewaris tahta yang ”sah” tinggal empat kadipaten yaitu Sumedang, Sukapura (=Tasikmalaya), Parakan Muncang dan Tatar Ukur (=Bandung). Keempat kadipaten ini lebih dikenal dengan nama Priangan. Namun demikian sisa wilayah ini pun sebenarnya tunduk kepada Mataram. Adapun kadipaten lain yang langsung dibawah kontrol Mataram (Amangkurat I) adalah Karawang, Imbanagara, Kawasen, Wirabaja (Galuh), SekacĂ© (Sindangkasih), Banyumas, Ayah (Dayeuhluhur), jeung Banjar (Panjer).

Pada saat kekuasaan Mataram mulai menurun, wilayah Priangan sisa kerajaan Sunda yang terakhir diserahkan oleh Mataram kepada Belanda (1677). Dan tahun 1705 Belanda juga berhasil menguasai Cerbon dan Priangan Timur (Galuh) melalui perjanjian dengan Mataram. Sehingga wilayah Sunda kecuali Banten telah berada dalam kontrol Belanda. Disusul tahun 1808 Istana Surosowan Banten jatuh ke tangan Raffless/Belanda (saat itu dibawah Inggris). Tahun 1813 Banten sepenuhnya dikuasai Belanda. Sehingga sejak saat itu, secara otomatis wilayah kerajaan Sunda telah sepenuhnya dikuasai Belanda.

Sumber dari : Firman Raharja - 090108

Keterangan:

1. Dari berbagai sumber yang konon berasal dari Naskah Wangsakerta, Carita Parahyangan, prasasti-prasasti, Bujangga Manik, Babad Pajajaran, Carita Warunggu Guru, Naskah Sukapura, Caruban dsb. dengan acuan utama tulisan ini adalah situs Wikipedia.

2. Tulisan ini merupakan analisa bebas dari penulis dari beberapa interpretasi sejarah dari berbagai sumber. Tidak berdasarkan atas ilmu sejarah yang valid. Hanya ditujukan untuk kepuasan penulis sendiri.

3. Jika ada yang penasaran dengan cerita lebih valid maka disarankan untuk membaca sumber langsung seperti yang tercantum dalam poin 1.

HAKEKAT PERKAWINAN MENURUT JAWA


(from My Lovely Daddy)

Anak saya yang saat ini kuliah di sebuah Perguruan Tinggi Negeri mendapatkan rasa tidak nyaman dalam hatinya dikarenakan dalam `kuliah agama', dosennya menyoal tentang tatacara adat perkawinan Jawa yang dinilai penuh dengan `klenik' dan `ketahayulan'.

Demikian pula ketika saya mengijinkan anak saya yang lain menikah `lintas agama', maka saya mendapat `penyikapan' yang kurang nyaman dari teman-teman saya yang `tidak mudheng Jawa'.

Sebagai wong Jawa (kodrat ketentuan Tuhan untuk saya)dan mudheng tentang ke-Jawa-an saya, maka saya perlu memberi penjelasan kepada anak-anak saya (khususnya) dan para lajer Jawa yang lain (umumnya) tentang `hakekat Perkawinan' menurut Kejawen.

Kejawen adalah ajaran `kajatening urip' (sejatining urip, hakekat hidup). Maka dalam hal perkawinan dua sejoli merupakan bagian `hakekat hidup' tadi.

Artinya, bahwa perkawinan itu hakekatnya adalah ujud `sabda dhawuh'-nya Tuhan (kodrat Tuhan) kepada manusia untuk berkembang biak. Maka dalam pandangan Kejawen, perkawinan itu sakral dan berhubungan dengan`penciptaan' manusia baru (anak) oleh Tuhan.

Dalam Kejawen, perkawinan bukan sekedar urusan `hukum kawin mawin' yang pijakannya sekedar memberi payung hukum masalah kebirahian (hubungan seks), tetapi mendalam kepada tingkat pemahaman keber-Tuhan-an. Yaitu kesadaran tentang bagaimana manusia itu diciptakan, bagaimana hubungan penciptaan itu dengan alam semesta, dan bagaimana manusia yang menyatakan beradab Menyikapi `penciptaan' itu.

Tatacara perkawinan Jawa merupakan wujud nyata penjelasan pandangan Jawa terhadap `hakekat perkawinan' yang fokus utamanya kepada kodrat Tuhan untuk penciptaan atau perkembang biakan manusia. Pokok ajaran (filosofi) Jawa tentang perkawinan ditujukan kepada `titising wiji'. Maka tatacara adat perkawinan Jawa lebih tertuju kepada penjelasan `titising wiji' tersebut. Penjelasannya menggunakan simbul-simbul yang bermakna dalam.

Dimulai dengan acara lamaran yang mengekspresikan bahwa kedua keluarga calon penganten mendapatkan kesadaran tentang terpilihnya dua keluarga tersebut oleh Tuhan dalam rangka akan menciptakan `manusia-manusia baru' (anak). Kedua keluarga tersebut akan `besanan' yang artinya bahwa kedua keluarga tersebut bersedia `dipilih Tuhan' untuk penciptaan (perkembang biakan) manusia yang akan menjadi anak-keturunan kedua keluarga tersebut.

Karena landasannya berupa `penerimaan' sabda dhawuhing Gusti untuk penciptaan manusia, maka fokus perhatian adat istiadat Jawa tertuju kepada `penciptaan' tersebut. Oleh karena itu dalam upacara perkawinan ditentukan persyaratan-persyaratan (berupa simbul-simbul) yang intinya: kesucian, keindahan, kesemestaan, dan doa untuk segera terjadi `titising wiji'.

`Titising wiji' merupakan wujud nyata `penciptaan',maka menjadi pokok perhatian adat Jawa dalam hal perkawinan. Wujud perhatian tersebut diawali berupa doa harapan yang diekspresikan dalam upara robyongan atau temon dan pesan-pesan serta larangan-larangan Yang harus dijalani penganten setelah Menikah.

Kemudian dilanjutkan dengan adanya upacara dan persyaratan-persyaratan yang harus dijalani kedua mempelai ketika yang perempuan sudah mulai mengandung.

Diantaranya berupa ritual tiga bulanan dan tujuh bulanan serta larangan macam-macam bagi si calon ibu dan calon bapak (diantaranya larangan membunuh mahluk bernyawa). Upacaranya mengacu kepada `syukur' atas `kebenaran' sabda dhawuhing Gusti, sedang larangan yang harus dijalani si calon ibu dan calon ayah
sebagian besarnya merupakan `pra natal edukasi'.

Apakah dalam budaya dan peadaban lain (termasuk yang bertolak dari ajaran agama) mengenal ritual untuk terciptanya manusia di kandungan Ibu sebagaimana yang ada di budaya dan peradaban Jawa ?

Hendaknya manusia tidak `samar kalingan padhang' sehingga tanpa sadar menyangkal adanya kemahakuasaan Tuhan' tentang `penciptaan'. Bagi manusia yang `samar kalingan padhang' memandang `aneh' akan kekuasaan Tuhan mempertemukan dua sejoli berbeda agama sebagai `sarana penciptaan', maka mereka ini membuat aturan-aturan yang melarang perkawinan lintas agama.

Lhoh kok malah dijadikan panutan ? Apa tidak ketatab suwung, kesandhung rata, kebenthus ing tawang namanya ? Rumangsane bener dan suci dhewe, jebule malah jauh dari kreteria beradab. Perkawinan kok mik dipandang dari urusan hubungan seks. Hukumnya juga mengacu ke masalah itu saja. Contohnya, masalah masa haid, nifas dan masa idah itu kok ujung-ujungnya begitu rendah, kapan seorang perempuan bisa dipergauli bukan ? Kok tidak ngrembuk masalah `titising wiji' ya ?

Demikian, semoga bermanfaat untuk lebih memahami `sejatining urip' yang merupakan landasan pokok ajaran Kejawen. Suwun.

AJARAN MARTABAT TUJUH


Ajaran martabat tujuh di susun oleh Muhammad Ibn Fadhilah dalam kitabnya Al Tuhfah al Mursalah ila Ruhin-Nabi. Dalam kitab ini diterangkan bahwa Dzat Tuhan merupakan Wujud Mutlak, tidak dapat dipersepsikan oleh akal, perasaan, khayal dan indera.. Dzatullah sebagai aspek bathin segala yang maujud (ada), karena Tuhan meliputi segala sesuatu (Lihat surat Fushilat :54) dan untuk bisa memahami wujud Tuhan yang sebenarnya secara transenden harus setelah bertajalli sebanyak tujuh martabat yakni :

1. Martabat Ahadiyat, yaitu martabat la Ta'yun dan ithlaq. Ialah tahap yang belum mengenal individuasi, inilah martabat yang tersembunyi (kosong), karena belum ada ide-ide, namanya Dzat Mutlak. Hakikat ketuhanan.tak seorangpun dapat meraih-Nya, bahkan nabi-nabi dan wali-walipun tidak. Para malaikat yang berdiri dekat Allah tidak dapat meraih hakikat Yang Maha Luhur, tak seorangpun mengetahui atau merasakan hakikat-Nya. Sifat-sifat dan nama-nama belum ada, sebuah manifestasi yang jelaspun belum ada. Hanya Dialah yang ada dan nama-Nya ialah " wujud makal" Dzat Yang langgeng, hakikat segala hakikat. AdaNya ialah kesepian atau kekosongan ( kosong tapi ADA). Siapakah gerangan yang tahu akan hal keadaan ini? (mungkin ini kali yee..... yang dinamakan ada tiada, tiada ada).
Diantara semua martabat, tak ada satupun yang melebihi martabat ini yang bernama ahadiyah. Semua martabat lainnya berada dibawahnya.

2. Martabat kedua bernama Martabat ta'yun awal ( awal kenyataan). Pada tahap wahdah ini mulailah individuasi. Inilah kenyataan Muhammad yang tersembunyi di dalam rahasia Tuhan, didalam cara-cara berada dzatNya. Semua kenyataan belum terpisah antara yang satu dengan yang lainnya, karena masih terikat satu sama lain dalam cara-cara berada itu. Antara ide yang satu belum ada perbedaan dengan ide yang lain, karena masih tersembunyi di dalam wahdat. Mereka masih terkumpul di dalam (kenyataan) Muhammad yang merupakan awal pemancaran cara-cara berada hakikat sejati. Yang dinamakan wahdah ialah hakikat Muhammad, semua hakikat masih berkumpul dalam martabat wahdah dan belum terpisah-pisah. Martabat wahdah ini dapat di ibaratkan dengan sebutir biji; batang, cabang-cabang dan daun-daunnya masih tersembunyi di dalam biji itu dan belum terpisah-pisah. Batang, cabang-cabang dan daun-daun melambangkan engkau, aku, mereka, sedangkan bijinya tunggal (wahdat)

Masih ada perumpamaan lain, yaitu tinta dalam wadahmya. Semua huruf terkumpul di dalam tinta, huruf yang satu belum dibedakan dari huruf lain. demikian juga dalam wahdah semua huruf, tuhan dan kita, sebelum terpisahkan

Dari tinta inilah segala sesuatu itu terjadi, gambar rumah, gambar gunung, gambar manusia , batu, angin dan bentuk-bentuk lainnya. Dan Tinta itu bukanlah yang menulis, akan tetapi Dialah Yang menggerakkan, Yang hidup, Kuasa, Yang Gagah, dengan demikian muncullah sifat-sifat "siapa" yang menggoreskan tinta itu. Bisa ditarik kesimpulan bahwa sifat bukan hakikat ketuhanan akan tetapi sifat adalah yang bersandar kepada Dzat Tuhan. Sesuatu yang bersandar kepada Dzat bukanlah Tuhan, kedudukannya sama halnya dengan tanaman, pohonan, gunung, surga dan neraka, karena semua muncul karena adanya Dzat yang Hidup, dzat-lah Yang menggerakkan semua ini.

Mengetahui Martabat ini disebut wahdat dan hakikat kemuhammadan atau Nur Muhammad artinya cahaya yang penuh pujian Tuhan. Inilah permulaan segala sesuatu, sehingga Allah bisa disifati karena Ia Yang Menciptakan (Al Khaliq), Yang Memelihara (Al hafidz), Yang Perkasa (Al Jabbar), Yang Maha Kuat (Al qawwiyu), Yang Hidup (Al Hayyu) dst, sedangkan sifat itu sendiri bergantung kepada sang Dzat (tidak berdiri sendiri ), oleh karena itu Islam melarang berhenti kepada sifat. Karena sifat itu bukan Dzat itu sendiri. dan untuk mengetahui Dzatullah harus meninggalkan sifat-Nya (mengembalikan kepada martabat pertama, yaitu keadaaan hakikat Tuhan yang belum ada apa-apa ) karena sifat merupakan sesuatu yang bergantung (membutuhkan sandaran) Dan sifat Allah itu masih bisa dirasakan oleh makhluk-Nya seperti Ar Rahman (Pengasih) Ar Rahiem (Penyayang), Al Qawiyyu ( Kuat) sedangkan sifat itu muncul karena persepsi sang hamba (inna dzanni 'abdi, Aku tergantung persepsi hamba-hamba-KU)

Hal ini digambarkan oleh kaum Hindu sebagai Trimurti (tiga sifat Tuhan yang tidak terpisahkan), yaitu sifat Tuhan Hyang Widi Wasa, dimana ketiga sifat itu tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya yaitu Dewa Brahma (Pencipta/ Al Khaliq), Wisnu ( Pemelihara/ Al Hafidz), Siwa ( Perusak atau pelebur/ Al Jabbar). Kaum Hindu menyadari bahwa Tuhan yang sebenarnya tidak bisa digambarkan dengan pikiran, tidak bisa diserupakan dengan yang lainnya, Aku berada dimana-mana diseluruh alam semesta dalam bentuk-Ku yang tidak terwujud (tidak bisa dibayangkan). Semua makhluk hidup berada didalam diri-Ku(liputan-Ku) tetapi Aku tidak berada di dalam mereka ( Bhagavat Gita Sloka 9.0 ) dan tidak boleh menyembah sifatnya seperti tercantum dalam kitab Bhagavat Gita sloka 9.25 : Yanti deva-vranta devan pitrn yanti pitr-vantrah, bhutani yanti bhutejya , yanti mad-yajino 'pimam artinya : orang yang menyembah dewa-dewa akan dilahirkan diatara para dewa , orang yang menyembah leluhur akan pergi ke leluhur, orang yang menyembah hantu dan roh halus akan dilahirkan ditengah-tengah makhluk-makhluk seperti itu. Dan orang yang menyembah-KU akan hidup bersama-Ku.

Begitu jelas ajaran hindu melarang menyembah dewa-dewa atau sifat-sifat seperti Brahmana, wisnu dan siwa, akan tetapi mereka membatasi diri terhadap sifat-sifatnya saja, mereka menyadari manusia tidak akan pernah sampai kepada Dzat Mutlak tersebut kecuali para Guru Suci, kaum Brahmana yang memiliki kasta lebih tinggi dari pada kaum Sudra dan Vaisa.

Sebaliknya Islam menyempurnakannya dengan langsung kepada Dzatullah, tidak berhenti kepada sifat-Nya ,yaitu dengan menafikan (mengabaikan) segala sesuatu kecuali Allah. Laa ilaaha illallah …atau laa syai'un illallah ( tiada sesuatu kecuali Allah) juga terdapat dalam Surat Thaha:14 innanii Ana Allah, laa ilaaha illa ANA, fa'budnii , sesungguhnya AKU ini Allah, tidak ada Tuhan selain AKU maka sembahlah AKU dan dirikanlah Shalat untuk Menyembah AKU !!

Jelas dengan tegas bahwa Allah mengarahkan kita untuk menyembah DZAT-NYA bukan Nama-Nya bukan Sifat-Nya. Itulah bedanya kaum Hindu dengan Islam. Islam tidak mengenal perantara, seperti tercantum dalam Surat Al; An'am 79 : Sesungguhnya aku hadapkan diriku kepada wajah Dzat Yang Menciptakan langit dan bumi dengan lurus, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (aku tidak melalui perantara siapapun). Ditegaskan dalam Baghavat Gita sloka 2.61 : orang-orang yang mengekang dan mengendalikan indriya-indriya sepenuhnya dan memusatkan kesadarannya sepenuhnya Kepada-KU , dikenal sebagai orang yang mempunyai kesadaran yang mantap !! (hehehehe... taman langit men....)

3. Martabat ta'yun kedua, atau wahidiyat. Yaitu kesatuan yang mengandung kejamakan, tiap-tiap bagian telah jelas batas-batasnya. Sebagai hakikat manusia. Ibarat ilmu Tuhan terhadap segala sesuatu secara terperinci, sebagian terpisah dengan lain.

Ketiga martabat tersebut bersifat bathin dan ilahi, terjadi semenjak dari qadim. Urutan kejadian dari ketiganya bersifat akal, bukan perbedaan jaman. Dari ketiga martabat bathin muncullah tiga martabat lahir. (satu banyak, banyak satu).

4. Martabat alam arwah. Merupakan aspek lahir yang masih dalam bentuk mujarrad dan murni.

5. Martabat alam mitsal, ibarat sesuatu yang telah tersusun dari bagian-bagian, tetapi masih bersifat halus, tidak dapat dipisah-pisahkan.

6. Martabat alam ajsam (tubuh) Yakni ibarat sesuatu dalam keadaan tersusun secara marteriil telah menerima pemisahan dan dapat dibagi-bagi. Yaitu telah terukur tebal tipisnya.

7. Martabat Insan, mencakup segala martabat diatasnya, sehingga dalam manusia terkumpul tiga martabat yang sifat bathin dan tiga martabat lahir.

Kalau kita perhatikan ajaran martabat tujuh, pada dasarnya adalah mengungkapkan secara berurutan asal muasal kejadian manusia maupun alam semesta. Didalam pengurutannya Syekh Muhammad Ibnu Fadhilah menempatkan Dzat sebagai hakikat dari segala sesuatu. Karena itu Dzat disebut sebagai la ta'yun tidak bisa dikenal hakikatnya. Keadaan-Nya tidak kenal penyebutan karena segala persepsi tidak bisa menggambarkan keadaan-Nya. Keadaan yang masih belum ada apa-apa, masih awang uwung (ithlaq ), yang wilayah ini digambarkan oleh Al Qur'an sebagai orang yang pingsan ( suatu keadaan yang di alami oleh Nabi Musa As, lihat QS: 7:143).

(apakah ini yang disebut elmu asal)
Inilah objek yang kita tuju, bukan kepada sifat dan Nur-Nya. Kepada Dzat itulah kita kembali innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun, kita memuja, bersujud, kita bergantung !!

Kesadaran ketuhanan ini jarang sekali dipahami masyarakat kita dengan baik, karena sudah dihambat oleh para pengajar, bahwa kita tidak boleh langsung kepada Tuhan. Karena Tuhan itu suci, maka harus melalui perantaranya, atau kita hanya sampai kepada cahaya-Nya. Pendapat ini sering bercampur dengan ajaran yang memang mengajarkan hal serupa yaitu harus melalui birokrasi ketuhanan ( wasilah)

Oleh karena itu, apabila manusia dapat mengembangkan kehidupan rohaninya, sehingga dapat memperhatikan ke tujuh martabat tersebut, maka dia akan menjadi manusia sempurna (insan kamil). Sedangkan insan kamil yang paling tinggi dan yang paling sempurna adalah Nabi Muhammad SAW.

Dasar pandangan yang terdapat pada rumusan martabat tujuh tersebut, adalah paham pantheisme-monoisme. Menurut Muhammad Ibn Fadhilah, bahwa segala yang ada ini dari segi hakikat adalah Tuhan, sedangkan dari segi yang kelihatan secara lahir bukan Tuhan. Sebagai tamsil misalnya uap, air, es, salju dan buih, dari segi hakikat adalah air. Akan tetapi dari wujud lahir bukan air.

Untuk sedikit memahami ajaran ini, saya akan mengajak anda keluar ruangan dan memperhatikan sebuah pohon kacang hijau yang baru tumbuh (kecambah), atau pohon apa saja yang anda lihat di depan rumah anda. Mari kita perhatikan dengan seksama !!

Berasal dari sebuah biji yang kecil lalu tumbuh bergerak menjadi batang yang tinggi, menjadi pucuk daun, menjadi ranting, menjadi akar, lalu mati …..biji-biji yang lainnya akan berlaku sama seperti itu……, kemudian anda perhatikan Bumi bergerak , bulan bergerak, atom-atom bergerak pada aturan yang harmoni….. kemudian anda pandangi seluruh alam semesta, pandangnlah dengan hening …lihatlah alam itu …semuanya bergerak serentak dengan rencana yang baik dan sempurna, ia tidak berdaya mengikuti kemauan yang tidak bisa dibendung dari dalam ..mereka pasrah terhadap gerak yang Yang menggerakkan, mereka tidak bisa menolaknya ….ada sebuah gerak yang meliputi seluruh alam yang tidak kelihatan, yang tidak bisa dijangkau oleh mata dan perasaan. Akan tetapi gerak itu tampak sekali dengan jelas sehingga bumi itu bergerak, matahari bergerak, tumbuhan bergerak, jantung kita bergerak, atom-atom bergerak. SEMUA MENGIKUTI GERAK HAKIKI, bukan kehendak kita … lihatlah sekali lagi dengan seksama, anda akan melihat Yang Menggerakkan, Yang Hidup, Yang Nyata (Dhohir), Yang Tersembunyi (Bathin), dan Dialah Yang tidak bisa dijangkau oleh kata-kata dan sifat.

Dan bersujudlah kepada yang Tampak itu, bukan kepada alam semesta yang fana, yang bergantung kepada Sang Hidup, anda akan melihat semua alam bersujud dengan caranya masing-masing kemudian semuanya bertasbih dengan bahasanya yang khusus.

Kemudian lihatlah yang menggerakkan jantung anda, jangan lihat jantungnya… tetapi yang menggerakkan itu, yang amat dekat itu, yang hidup itu, yang kuasa itu, yang lebih dekat dari jantung anda sendiri !! maha suci Engkau..maha suci Engkau..maha Suci Engkau.

(saya sarankan apabila anda belum memahami hal ini, jangan diteruskan . saya tidak berani mengupas lebih dalam mengenai hakikat ini karena saya mengajarkan melalui tahapan pengertian yang kontinyu agar tidak salah persepsi . Atau cukup dijadikan wacana dan bahan renungan . akan tetapi jika anda penasaran ingin sampai mencapai keadaan tersebut sebaiknya di rencanakan dengan baik agar kita memulai dari yang paling dasar dari sisi keTuhanan dan tidak sekedar main-main mempelajari ilmu hakikat ini apalagi hanya untuk sekedar tahu)

Mudah-mudahan ini akan mengawali perjalanan anda lebih baik setelah mengerti Dzat dan arah beragama kita, bukan bergejolak dalam retorika ilmu tauhid yang tidak ada habisnya. Akan tetapi mari kita jalani sampai memasuki hakikat yang sebenarnya !

Kesimpulan :
Di dalam ajaran tasawuf para sufi tidak wajib melalui martabat tujuh. Tidak wajib .Akan tetapi disarankan memiliki wawasan ketuhanan yang baik agar kita tidak mudah taqlid kepada orang yang menyelewengkan ajaran ini. Ajaran Martabat tujuh ini baik untuk pegangan atau referensi di dalam perjalanan menuju Tuhan. disamping ilmu-ilmu yang lainnya sebagai pendukung. Insya Allah jika anda memahami ajaran ini anda akan memahami tulisan saya pada bab Objek fikir dalam Inilah objek yang kita tuju, bukan kepada sifat dan Nur-Nya. Kepada Dzat itulah kita kembali innalillahi wa inna ilaihi raaji'uun, kita memuja, bersujud, kita bergantung!!

Kamis, 03 September 2009

Istana GUSTI ALLAH di Tubuh Anak Adam


Dalam tubuh setiap manusia itu terdapat istana-istana GUSTI ALLAH. Kita harus memahami keberadaan istana-istana tersebut agar kita menjadi manungso sejati (manusia yang sejati). Dimana sajakah istana-istana dari GUSTI ALLAH yang terdapat dalam tubuh kita? 

Istana dari GUSTI ALLAH itu ada di tiga lokasi dalam tubuh kita. Ketiga lokasi tersebut adalah:

 

1. Lokasi Pertama di Baitul Makmur

Penjelasannya adalah sebagai berikut: AKU mengatur singgasana dalam Baitul Makmur. Itulah tempat kesenangan-KU. Tempatnya ada di kepala anak Adam. Dalam kepala anak Adam terdapat dimak yaitu otak. Diantara dimak/otak itu terdapat manik. Di dalam manik itu terdapat premana atau pranawa. Di dalam pranawa terdapat sukma. Dalam sukma ada rahsa. Dalam rahsa ada AKU. Tidak ada GUSTI ALLAH, selain AKU.

 

2. Lokasi Kedua di Baitul Muharram

Penjelasannya adalah sebagai berikut: AKU menata singgasana dalam Baitul Muharram. Itulah tempat Kesukaan-KU. Tempatnya ada di dada anak Adam. Dalam dada itu ada hati, yang berada diantara hati itu ada jantung. Dalam jantung ada budi. Dalam Budi ada jinem. Dalam Jinem ada sukma. Dalam sukma ada Rahsa. Dalam Rahsa ada AKU. Tidak ada GUSTI ALLAH, selain AKU.

 

3. Lokasi Ketiga di Baitul Mukadas

Penjelasannya adalah sebagai berikut: AKU mengatur singgasana dalam Baitul Mukadas. Itulah tempat yang AKU sucikan dan berada pada kemaluan Anak Adam. Dalam kemaluan laki-laki itu ada pelir. Dalam pelir ada nutfah yakni mani, dalam mani ada madi. Dalam madi ada manikem. Dalam manikem terdapat rahsa. Dalam rahsa itu ada AKU. Tidak ada GUSTI ALLAH, selain AKU. 

Dengan memahami keberadaan istana-istana itu, setidaknya kita bisa lebih meningkatkan tapa brata dan lelaku guna bisa lebih mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH. 


SANGKAN PARANING DUMADI



Dalam hidup ini, manusia senantiasa diingatkan untuk memahami filosofi Kejawen yang berbunyi "Sangkan Paraning Dumadi". Apa sebenarnya Sangkan Paraning Dumadi? Tidak banyak orang yang mengetahuinya. Padahal, jika kita belajar tentang Sangkan Paraning Dumadi, maka kita akan mengetahuikemana tujuan kita setelah hidup kita berada di akhir hayat.

Manusia sering diajari filosofi Sangkan Paraning Dumadi itu ketika merayakan Hari Raya Idul Fitri. Biasanya masyarakat Indonesia lebih suka menghabiskan waktu hari raya Idul Fitri dengan mudik. Nah, mudik itulah yang menjadi pemahaman filosofi Sangkan Paraning Dumadi. Ketika mudik, kita dituntut untuk memahami dari mana dulu kita berasal, dan akan kemanakah hidup kita ini nantinya.

Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak tembang dhandanggula warisan para leluhur yang sampai detik ini masih terus dikumandangkan.

Kawruhana sejatining urip/
(ketahuilah sejatinya hidup)
urip ana jroning alam donya/
(hidup di dalam alam dunia)
bebasane mampir ngombe/
(ibarat perumpamaan mampir minum)
umpama manuk mabur/
(ibarat burung terbang)
lunga saka kurungan neki/
(pergi dari kurungannya)
pundi pencokan benjang/
(dimana hinggapnya besok)
awja kongsi kaleru/
(jangan sampai keliru)
umpama lunga sesanja/
(umpama orang pergi bertandang)
njan-sinanjan ora wurung bakal mulih/
(saling bertandang, yang pasti bakal pulang)
mulih mula mulanya
(pulang ke asal mulanya)

Kemanakah kita bakal 'pulang'?
Kemanakah setelah kita 'mampir ngombe' di dunia ini?
Dimana tempat hinggap kita andai melesat terbang dari 'kurungan' (badan jasmani) dunia ini?
Kemanakah aku hendak pulang setelah aku pergi bertandang ke dunia ini?
Itu adalah suatu pertanyaan besar yang sering hinggap di benak orang-orang yang mencari ilmu sejati.

Yang jelas, beberapa pertanyaan itu menunjukkan bahwa dunia ini bukanlah tempat yang
langgeng. Hidup di dunia ini hanya sementara saja. Oleh karena itu, tidak ada salahnya jika kita menyimak tembang dari Syech Siti Jenar yang digubah oleh Raden Panji Natara dan digubah lagi oleh Bratakesawa yang bunyinya seperti ini:

"Kowe padha kuwalik panemumu, angira donya iki ngalame wong urip,
akerat kuwi ngalame wong mati; mulane kowe pada kanthil-kumanthil marang
kahanan ing donya, sarta suthik aninggal donya." ("Terbalik pendapatmu, mengira dunia ini alamnya orang hidup, akherat itu alamnya orang mati. Makanya kamu sangat lekat dengan kehidupan dunia, dan tidak mau meninggalkan alam dunia")

Pertanyaan yang muncul dari tembang Syech Siti Jenar adalah:
Kalau dunia ini bukan alamnya orang hidup, lalu alamnya siapa?

Syech Siti Jenar menambahkan penjelasannya:
"Sanyatane, donya iki ngalame wong mati, iya ing kene iki anane swarga lan naraka, tegese, bungah lan susah. Sawise kita ninggal donya iki, kita bali urip langgeng, ora ana bedane antarane ratu karo kere, wali karo bajingan." (Kenyataannya, dunia ini alamnya orang mati, iya di dunia ini adanya surga dan neraka, artinya senang dan susah. Setelah kita meninggalkan alam dunia ini, kita kembali hidup langgeng, tidak ada bedanya antara yang berpangkat ratu dan orang miskin, wali ataupun bajingan")

Dari pendapat Syech Siti Jenar itu kita bisa belajar, bahwa hidup di dunia ini yang serba berubah seperti roda (kadang berada di bawah, kadang berada di atas), besok mendapat kesenangan, lusa memperoleh kesusahan, dan itu bukanlah merupakan hidup yang sejati ataupun langgeng.

Wejangan beberapa leluhur mengatakan:
"Urip sing sejati yaiku urip sing tan keno pati". (hidup yang sejati itu adalah hidup yang tidak bisa terkena kematian). Ya, kita semua bakal hidup sejati. Tetapi permasalahan yang muncul adalah, siapkah kita menghadapi hidup yang
sejati jika kita senantiasa berpegang teguh pada kehidupan di dunia yang serba fana?

Ajaran para leluhur juga menjelaskan:
"Tangeh lamun siro bisa ngerti sampurnaning pati,
yen siro ora ngerti sampurnaning urip."
(mustahil kamu bisa mengerti kematian yang sempurna,
jika kamu tidak mengerti hidup yang sempurna).

Oleh karena itu, kita wajib untuk menimba ilmu agar hidup kita menjadi sempurna dan mampu meninggalkan alam dunia ini menuju ke kematian yang sempurna pula.

PUASA ALA KEJAWEN

Puasa dan tapa adalah dua hal yang sangat penting bagi peningkatan spiritual seseorang. Disemua ajaran agama biasanya disebutkan tentang puasa ini dengan berbagai versi yang berbeda. Menurut sudut pandang spiritual metafisik, puasa mempunyai efek yang sangat baik dan besar terhadap tubuh dan fikiran. Puasa dengan cara supranatural mengubah sistem molekul tubuh fisik dan eterik dan menaikkan vibrasi/getarannya sehingga membuat tubuh lebih sensitif terhadap energi/kekuatan supranatural sekaligus mencoba membangkitkan kemampuan indera keenam seseorang.

Apabila seseorang telah terbiasa melakukan puasa, getaran tubuh fisik dan eteriknya akan meningkat sehingga seluruh racun,energi negatif dan makhluk eterik negatif yang ada didalam tubuhnya akan keluar dan tubuhnya akan menjadi bersih. Setelah tubuhnya bersih maka roh-roh suci pun akan datang padanya dan menyatu dengan dirinya membantu kehidupan nya dalam segala hal.

Didalam peradaban/tradisi pendalaman spiritual ala kejawen, seorang penghayat kejawen biasa melakukan puasa dengan hitungan hari tertentu (biasanya berkaitan dengan kalender jawa). Hal tersebut dilakukan untuk menaikkan kekuatan dan kemampuan spiritual metafisik mereka dan untuk memperkuat hubungan mereka dengan saudara kembar gaib mereka yang biasa disebut SADULUR PAPAT KALIMA PANCER.

Apapun nama dan pelaksanaan puasa, bila puasa dilakukan dengan niat yang tulus, maka tak mungkin akan membuat manusia yang melakoninya celaka. Bahkan medis mampu membuktikan betapa puasa memberikan efek yang baik bagi tubuh, terutama untuk mengistirahatkan oragan-oragan pencernaan.

Intinya adalah ketika seseorang berpuasa dengan ikhlas, maka orang tersebut akan terbersihkan tubuh fisik dan eteriknya dari segala macam kotoran. Ada suatu konsep spiritual yang berbunyi “matikanlah dirimu sebelum engkau mati”, arti dari konsep tersebut kurang lebih kalau kita sering ‘menyiksa’ tubuh maka jiwa kita akan menjadi kuat. Karena yang hidup adalah jiwa, raga akan musnah suatu saat nanti. Itulah sedikit konsep spiritual jawa yang banyak dikenal.

Para penghayat kejawen telah ‘menemukan’ metode-metode untuk membangkitkan spirit kita agar kita menjadi manusia yang kuat jiwanya dan luas alam pemikirannya, salah satunya yaitu dengan menemukan puasa-puasa dengan tradisi kejawen. Atas dasar konsep ‘antal maut qoblal maut’ diatas puasa-puasa ini ditemukan dan tidak lupa peran serta para ghaib, arwah leluhur serta roh-roh suci yang membantu membimbing mereka dalam peningkatan spiritualnya.

Macam-macam puasa ala Kejawen :

1. Mutih
Dalam puasa mutih ini seseorang tdk boleh makan apa-apa kecuali hanya nasi putih dan air putih saja. Nasi putihnya pun tdk boleh ditambah apa-apa lagi (seperti gula, garam dll.) jadi betul-betul hanya nasi putih dan air puih saja. Sebelum melakukan puasa mutih ini, biasanya seorang pelaku puasa harus mandi keramas dulu sebelumnya dan membaca mantra ini : “niat ingsun mutih, mutihaken awak kang reged, putih kaya bocah mentas lahirdipun ijabahi gusti allah.”

2. Ngeruh
Dalam melakoni puasa ini seseorang hanya boleh memakan sayuran / buah-buahan saja. Tidak diperbolehkan makan daging, ikan, telur dsb.

3. Ngebleng
Puasa Ngebleng adalah menghentikan segala aktifitas normal sehari-hari. Seseorang yang melakoni puasa Ngebleng tidak boleh makan, minum, keluar dari rumah/kamar, atau melakukan aktifitas seksual. Waktu tidur-pun harus dikurangi. Biasanya seseorang yang melakukan puasa Ngebleng tidak boleh keluar dari kamarnya selama sehari semalam (24 jam). Pada saat menjelang malam hari tidak boleh ada satu lampu atau cahaya-pun yang menerangi kamar tersebut. Kamarnya harus gelap gulita tanpa ada cahaya sedikitpun. Dalam melakoni puasa ini diperbolehkan keluar kamar hanya untuk buang air saja.

4. Pati geni
Puasa Patigeni hampir sama dengan puasa Ngebleng. Perbedaanya ialah tidak boleh keluar kamar dengan alasan apapun, tidak boleh tidur sama sekali. Biasanya puasa ini dilakukan sehari semalam, ada juga yang melakukannya 3 hari, 7 hari dst. Jika seseorang yang melakukan puasa Patigeni ingin buang air maka, harus dilakukan didalam kamar (dengan memakai pispot atau yang lainnya). Ini adalah mantra puasa patigeni : “niat ingsun patigeni, amateni hawa panas ing badan ingsun, amateni genine napsu angkara murka krana Allah taala”.

5. Ngelowong
Puasa ini lebih mudah dibanding puasa-puasa diatas Seseorang yang melakoni puasa Ngelowong dilarang makan dan minum dalam kurun waktu tertentu. Hanya diperbolehkan tidur 3 jam saja (dalam 24 jam). Diperbolehkan keluar rumah.

6. Ngrowot
Puasa ini adalah puasa yang lengkap dilakukan dari subuh sampai maghrib. Saat sahur seseorang yang melakukan puasa Ngrowot ini hanya boleh makan buah-buahan itu saja! Diperbolehkan untuk memakan buah lebih dari satu tetapi hanya boleh satu jenis yang sama, misalnya pisang 3 buah saja. Dalam puasa ini diperbolehkan untuk tidur.

7. Nganyep
Puasa ini adalah puasa yang hanya memperbolehkan memakan yang tidak ada rasanya. Hampir sama dengan Mutih , perbedaanya makanannya lebih beragam asal dengan ketentuan tidak mempunyai rasa.

8. Ngidang
Hanya diperbolehkan memakan dedaunan saja, dan air putih saja. Selain daripada itu tidak diperbolehkan.

9. Ngepel
Ngepel berarti satu kepal penuh. Puasa ini mengharuskan seseorang untuk memakan dalam sehari satu kepal nasi saja. Terkadang diperbolehkan sampai dua atau tiga kepal nasi sehari.

10. Ngasrep
Hanya diperbolehkan makan dan minum yang tidak ada rasanya, minumnya hanya diperbolehkan 3 kali saja sehari.

11. Senin-kamis
Puasa ini dilakukan hanya pada hari senin dan kamis saja seperti namanya. Puasa ini identik dengan agama islam. Karena memang Rasulullah SAW menganjurkannya.

12. Wungon
Puasa ini adalah puasa pamungkas, tidak boleh makan, minum dan tidur selama 24 jam.

13. Tapa Jejeg
Tidak duduk selama 12 jam

14. Lelono
Melakukan perjalanan (jalan kaki) dari jam 12 malam sampai jam 3 subuh (waktu ini dipergunakan sebagai waktu instropeksi diri).

15. Kungkum
Kungkum merupakan tapa yang sangat unik. Banyak para pelaku spiritual merasakan sensasi yang dahsyat dalam melakukan tapa ini.

Tatacara tapa Kungkum adalah sebagai berikut :
a) Masuk kedalam air dengan tanpa pakaian selembar-pun dengan posisi bersila (duduk) didalam air dengan kedalaman air se tinggi leher.
b) Biasanya dilakukan dipertemuan dua buah sungai
c) Menghadap melawan arus air
d) Memilih tempat yang baik, arus tidak terlalu deras dan tidak terlalu banyak lumpur didasar sungai
e) Lingkungan harus sepi, usahakan tidak ada seorang manusiapun disana
f) Dilaksanakan mulai jam 12 malam (terkadang boleh dari jam 10 keatas) dan dilakukan lebih dari tiga jam (walau ada juga yang memperbolehkan pengikutnya kungkum hanya 15 menit).
g) Tidak boleh tertidur selama Kungkum
h) Tidak boleh banyak bergerak
i) Sebelum masuk ke sungai disarankan untuk melakukan ritual pembersihan (mandi dulu)
j) Pada saat akan masuk air baca mantra ini :
“Putih-putih mripatku Sayidina Kilir, Ireng-ireng mripatku Sunan Kali Jaga, Telenging mripatku Kanjeng Nabi Muhammad.”
k) Pada saat masuk air, mata harus tertutup dan tangan disilangkan di dada
l) Nafas teratur
m) Kungkum dilakukan selama 7 malam biasanya

16. Ngalong
Tapa ini juga begitu unik. Tapa ini dilakuakn dengan posisi tubuh kepala dibawah dan kaki diatas (sungsang). Pada tahap tertentu tapa ini dilakukan dengan kaki yang menggantung di dahan pohon dan posisi kepala di bawah (seperti kalong/kelelawar). Pada saat menggantung dilarang banyak bergerak. Secara fisik bagi yang melakoni tapa ini melatih keteraturan nafas. Biasanya puasa ini dibarengi dengan puasa Ngrowot.

17. Ngeluwang
Tapa Ngeluwang adalah tapa paling menakutkan bagi orang-orang awam dan membutuhkan keberanian yang sangat besar. Tapa Ngeluwang disebut-sebut sebagai cara untuk mendapatkan daya penglihatan gaib dan menghilangkan sesuatu. Tapa Ngeluwang adalah tapa dengan dikubur di suatu pekuburan atau tempat yang sangat sepi. Setelah seseorang selesai dari tapa ini, biasanya keluar dari kubur maka akan melihat hal-hal yang mengerikan (seperti arwah gentayangan, jin dlsb). Sebelum masuk kekubur, disarankan baca mantra ini :
“ Niat ingsun Ngelowong, anutupi badan kang bolong siro mara siro mati, kang ganggu maang jiwa insun, lebur kaya dene banyu krana Allah Ta’ala.”

Dalam melakoni puasa-puasa diatas, bagi pemula sangatlah berat jika belum terbiasa. Oleh karena itu disini akan dibekali dengan ilmu lambung karang. Ilmu ini berfungsi untuk menahan lapar dan dahaga. Dengan kata lain ilmu ini dapat sangat membantu bagi oarang-orang yang masih ragu-ragu dalam melakoni puasa-puasa diatas. Selain praktis dan mudah dipelajari, sebenarnya ilmu lambung karang ini berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang kebanykan harus ditebus/dimahari dengan puasa.

Selain itu syarat atau cara mengamalkannyapun sangat mudah, yaitu :
1. Mandi keramas/jinabat untuk membersihkan diri dari segala macam kekotor
2. Menjaga hawa nafsu.
3. Baca mantra lambung karang ini sebanyak 7 kali setelah shalat wajib 5 waktu, yaitu :
Bismillahirrahamanirrahim
Cempla cempli gedhene
Wetengku saciplukan bajang
Gorokanku sak dami aking
Kapan ingsun nuruti budine
Aluamah kudu amangan wareg
Ngungakna mekkah madinah
Wareg tanpa mangan
Kapan ingsun nuruti budine
Aluamah kudu angombe
Ngungakna segara kidul
Wareg tanpa angombe
Laailahaillallah Muhammad Rasulullah

Selain melakoni puasa-puasa diatas masyarakat kejawen juga melakukan puasa-puasa yang diajarkan oleh agama islam, seperti puasa ramadhan, senin kamis, puasa 3 hari pada saat bulan purnama, puasa Nabi Daud AS dll. Inti dari semua lakon mereka tujuannya hanya satu yaitu mendekatkan diri dengan Allah SWT agar diterima iman serta islam mereka.


KAWERUH KEJAWEN



Catatan Pendahuluan :
Ajaran dalam Kejawen Murni TIDAK ADA yg namanya macam2 ilmu2 gaib. Kejawen hanya satu intinya Mengenal Diri Sendiri dg menanyakan Sapa Saya ini?.
dan satu lagi perlu di jelaskan sedikit Aliran itu Islam Kejawen Atau Kejawen Islam sebab menurut dilihat dari tahunnya Kejawen atau jawa ini ada terlebih dahulu dari pada islam coba ingat2 Kerajaan Majapahit pertama tahun berapa menurut para antropologi bukan majapahit yg sekarang kita kenal ini....sedangkan para wali songo masuk ke Negara NUSA DAN BANGSA yg sekarang kita kenal dg INDONESIA ini baru tahun berapa....jd sapa yg ikut sapa sebenarnya...

Sore hari tepatnya tanggal 28 Desember 2008, merupakan acara pergantian tahun Jawa sekaligus tahun Hijriah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, pergantian tahun Jawa yang diawali dengan bulan Suro atau tahun Hijriah yang juga disebut sebagai bulan Muharram tidak ada hiruk pikuk apapun. Berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi yang selalu dirayakan oleh manusia seluruh dunia.

Memasuki bulan Suro ataupun Muharram, maka kita kembali harus melakukan ibadah. Ibadah apa itu? Ibadah itu terdiri dari 2 jenis yakni ibadah raga dan ibadah bathin. Dalam satu tahun yang berisi 12 bulan, terbagi menjadi 2 bulan dimana kita harus melaksanakan ibadah. 2 bulan tersebut adalah bulan poso/Ramadhan dan Suro/Muharram. Di ke 2 bulan tersebut, ibadah yang dilakukan pun berbeda.

Pada bulan poso/ramadhan, ibadah yang dilakukan adalah ibadah ragawi. Artinya, kita berpuasa dengan menggunakan raga kita dengan tidak makan dan minum dan dipadukan dengan ibadah bathin seperti menahan hawa nafsu. Tetapi ketika menginjak ke bulan Suro/Muharram, maka ibadah yang dilakukan cenderung mengarah ke ibadah bathin.

Dari pemahaman Kejawen, ritual di bulan Suro diawali pada malam 1 Suro hingga berakhirnya bulan. Artinya, laku dan olah bathin yang merupakan ibadah bathin tersebut lebih sering dilakukan dibandingkan bulan-bulan lainnya. Semuanya itu semata-mata hanya untuk berupaya mendekatkan diri dengan GUSTI ALLAH.

Lho, apakah bulan-bulan lain tidak boleh sering melakukan laku dan olah bathin? Boleh saja, siapa yang bilang tidak boleh. Malah jika sesering mungkin kita berhubungan dengan GUSTI ALLAH, akan semakin mendekatkan diri kita denganNYA.

Ada 2 hal utama yang patut untuk kita lakukan di tahun Je 1942 ini seperti pada tahun-tahun sebelumnya yakni "tansah manembah marang GUSTI ALLAH" (Selalu menyembah GUSTI ALLAH) dan apik marang sak-padan-padane urip" (berbuat baik pada sesama makhluk hidup). Kenapa disebut utama, karena itulah hakekat dari hidup kita di dunia ini. Beberapa hal cara yang bisa dilakukan antara lain tebarkan senyum di manapun Anda berada, carilah teman sebanyak-banyaknya, janganlah mencari musuh. Itu merupakan beberapa cara berbuat baik pada sesama makhluk hidup. Selamat tahun baru tahun Je 1942.


Bonus Halangi Kedekatan dengan GUSTI ALLAH


Setiap manusia selalu memiliki keinginan untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH sebagai Sang Khalik. Tetapi niat untuk mendekatkan diri tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak sekali godaan yang membuat upaya dan niat manusia untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH terhalang. Mengapa?

Penghalang terbesar dari diri manusia untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH itu adalah berasal dari dalam diri manusia itu sendiri. Salah satu yang penghalang terbesar adalah nafsunya yang memang sudah disetir oleh syetan. Maka tidak heran, jika kita senantiasa meminta perlindungan dan pengayoman dari GUSTI ALLAH untuk menapaki jalan yang lurus, jalan orang-orang yang dirihai dan bukannya jalan orang-orang yang sesat, seperti ayat-ayat dalam surat Al Fatihah dalam Al Qur'an.

Syetan yang menguasai nafsu manusia akan berupaya untuk senantiasa menyesatkan jalan kita sehingga kita tidak bisa mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH. Apalagi bagi para pelaku spiritual, godaan tersebut akan semakin besar. Bagi para pelaku spiritual yang ingin mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH akan digoda dengan beraneka bonus-bonus dan aneka kemampuan ghaib yang muncul dalam diri mereka.

Contohnya, seperti terlihat pada gambar di atas. Upaya untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH bagi para pelaku spiritual umumnya akan terhalang dengan adanya bonus seperti mampu menyembuhkan orang sakit/mengatasi beraneka macam masalah orang lain. Kalau si pelaku spiritual sudah merasa terpikat dengan bonus tersebut dan menjadikan kemampuannya itu untuk mencari nafkah, maka ia hanya akan mendapatkan hal itu saja dan tidak akan pernah dekat pada GUSTI ALLAH.

Contoh bonus yang kedua adalah kebal dari senjata tajam/api. Tentu saja, para pendaki spiritual jika terpikat dengan bonus tersebut, ya itu saja yang akan diterimanya. Ia juga tidak akan bisa mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH. Pasalnya, ia sudah merasa puas mendapatkan kemampuan kebal dari senjata tajam/api.

Contoh bonus yang ketiga adalah mampu untuk ngrogo sukmo (melepaskan sukma dari jasadnya). Inipun merupakan godaan. Jika para pendaki spiritual tidak pandai-pandai menghindari ketertarikan pada bonus tersebut, maka ia pun juga tidak akan pernah bisa dekat dengan GUSTI ALLAH. Dan ia akan menguasai kemampuan untuk menyembuhkan orang sakit, kebal senjata dan ngrogo sukmo saja.

Contoh bonus yang keempat adalah Waskito (tahu yang bakal terjadi). Inipun bonus yang merupakan godaan bagi para pendaki spiritual untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH. Hendaknya para pendaki spiritual tidak merasa bangga dan puas dengan hal itu.

Langkah yang baik bagi para pendaki spiritual adalah mengabaikan berbagai macam bonus tersebut. Artinya, setelah menerima bonus tersebut, hendaknya para pendaki spiritual tetap ingat pada tujuan awal yakni mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH. Kenapa begitu? 

Karena jika kita terus berupaya untuk tetap ingat tujuan kita untuk mendekatkan diri pada GUSTI ALLAH, maka beraneka macam bonus tersebut akan dengan mudahnya kita dapatkan. Apa dalilnya? Dalilnya adalah dari Al Qur'an yang berbunyi "...Barang siapa yang dekat kepadaKU, maka akan AKU cukupi semua kebutuhannya. MATAKU menjadi matanya, TANGANKU menjadi tangannya...." Oleh karena itu, selalu dekat dengan GUSTI ALLAH adalah merupakan keberadaan yang terindah bagi manusia.



Belajar dari Sastra Jendra Hayuningrat


Bagi orang yang belajar kawruh Kejawen, tentu sudah tidak asing lagi dengan kata-kata Sastra Jendra Hayuningrat. Meskipun banyak yang sudah mendengar kata-kata tersebut, tetapi jarang ada yang mengetahui apa makna sebenarnya. Menurut Ronggo Warsito, sastra jendra hayuningrat adalah jalan atau cara untuk mencapai kesempurnaan hidup. Apabila semua orang di dunia ini melakukannya, maka bumi akan sejahtera.

Nama lain dari sastra jendra hayuningrat adalah sastra cetha yang berarti sastra tanpa papan dan tanpa tulis. Walaupun tanpa papan dan tulis, tetapi maknanya sangat terang dan bisa digunakan sebagai serat paugeraning gesang.

Ada 7 macam tahapan bertapa yang harus dilalui untuk mencapai hal itu.

1. Tapa Jasad: Tapa jasad adalah mengendalikan atau menghentikan gerak tubuh dan gerak fisik. Lakunya tidak dendam dan sakit hati. Semua yang terjadi pada diri kita diterima dengan legowo dan tabah.

2. Tapa Budhi: Tapa Budhi memiliki arti menghilangkan segala perbuatan diri yang hina, seperti halnya tidak jujur kepada orang lain.

3. Tapa Hawa Nafsu: Tapa Hawa Nafsu adalah mengendalikan nafsu atau sifat angkara murka yang muncul dari diri pribadi kita. Lakunya adalah senantiasa sabar dan berusaha mensucikan diri,mudah memberi maaf dan taat pada GUSTI ALLAH kang moho suci.

4. Tapa Cipta: Tapa Cipta berarti Cipta/otak kita diam dan memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh atau dalam bahasa Jawanya ngesti surasaning raos ati. Berusaha untuk menuju heneng-meneng-khusyuk-tumakninah, sehingga tidak mudah diombang-ambingkan siapapun dan selalu heningatau waspada agar senantiasa mampu memusatkan pikiran pada GUSTI ALLAH semata.

5. Tapa Sukma: Dalam tahapan ini kita terfokus pada ketenangan jiwa. Lakunya adalah ikhlas dan memperluas rasa kedermawanan dengan senantiasa eling pada fakir miskin dan memberikan sedekah secara ikhlas tanpa pamrih.

6. Tapa Cahya: Ini merupakan tahapan tapa yang lebih dalam lagi. Prinsipnya tapa pada tataran ini adalah senantiasa eling, awas dan waspada sehingga kita akan menjadi orang yang waskitha (tahu apa yang bakal terjadi).

Tentu saja semua ilmu yang kita dapatkan itu bukan dari diri kita pribadi, melainkan dari GUSTI ALLAH. Semua ilmu tersebut merupakan 'titipan', sama dengan nyawa kita yang sewaktu-waktu bisa diambil GUSTI ALLAH sebagai si EMPUNYA dari segalanya. Jadi tidak seharusnya kita merasa sombong dengan ilmu yang sudah dititipkan GUSTI ALLAH kepada kita.

Sedulur Papat Antara Kejawen dan Islam

Keberadaan kita hidup di dunia ini tidak sendiri. Semenjak pertama kali kita diturunkan ke alam dunia lewat rahim ibu, Tuhan sudah menitahkan adanya penjaga-penjaga yang senantiasa mendampingi kita hidup di alam dunia. Dan sesuai dengan perintah Tuhan, para penjaga-penjaga itu dengan setia senantiasa berada di sekeliling kita.

Bagi orang Jawa, khususnya orang yang memahami tentang Kejawen, adanya para penjaga tersebut dikenal dengan sebutan “Sedulur Papat”. Siapa saja Sedulur Papat itu? Sedulur papat yang dikenal masyarakat yang memahami Kejawen adalah:
1. Kakang Kawah (Air Ketuban)
2. Adhi Ari-Ari (Ari-ari)
3. Getih (Darah)
4. Puser (Pusar)

Kakang Kawah
Yang disebut dengan Kakang Kawah adalah air ketuban yang menghantarkan kita lahir ke alam dunia ini dari rahim ibu. Seperti kita ketahui, sebelum bayi lahir, air ketuban akan keluar terlebih dahulu guna membuka jalan untuk lahirnya si jabang bayi ke dunia ini. Lantaran air ketuban (kawah) keluar terlebih dulu, maka masyarakat Kejawen menyebutnya Kakak/Kakang (saudara lebih tua) yang hingga kini dikenal dengan istilah Kakang Kawah.

Adhi Ari-Ari
Sedangkan yang disebut dengan adhi ari-ari adalah ari-ari jabang bayi itu sendiri. Urutan kelahiran jabang bayi adalah, air ketuban terlebih dulu, setelah itu jabang bayi yang keluar dan dilanjutkan dengan ari-ari. Karena ari-ari tersebut muncul setelah jabang bayi lahir, maka masyarakat Kejawen biasanya mengenal dengan sebutan Adhi/adik Ari-ari.

Getih
Getih memiliki arti darah. Dalam rahim ibu selain si jabang bayi dilindungi oleh air ketuban, ia juga dilindungi oleh darah. Dan darah tersebut juga mengalir dalam sekujur tubuh si jabang bayi yang akhirnya besar dan berwujud seperti kita ini.

Puser
Istilah Puser adalah sebutan untuk tali pusar yang menghubungkan antara seorang ibu dengan anak yang ada dalam rahimnya. Dengan adanya tali pusar tersebut, apa yang dimakan oleh sang ibu, maka anaknya pun juga ikut menikmati makanan tersebut dan disimpan di Ari-Ari. Disamping itu, pusar juga digunakan oleh si jabang bayi untuk bernapas. Oleh karena itu, hubungan antara ibu dengan anaknya pasti lebih erat lantaran terjadinya kerjasama yang rapi untuk meneruskan keturunan. Semuanya itu atas kehendak dari Gusti Allah Yang Maha Kuasa.

Ketika seorang jabang bayi lahir ke dunia dari rahim ibu, maka semua unsur-unsur itu keluar dari tubuh si ibu. Unsur-unsur itulah yang oleh Gusti Allah ditakdirkan untuk menjaga setiap manusia yang ada di muka bumi ini. Maka bila masyarakat Kejawen hingga kini mengenal adanya doa yang menyebut saudara yang tak tampak mata itu secara lengkap yaitu
“KAKANG KAWAH, ADHI ARI-ARI, GETIH, PUSER, KALIMO PANCER”.


Pancer
Lalu siapakah yang disebut dengan istilah Pancer? Yang disebut dengan istilah Pancer itu adalah si jabang bayi itu sendiri. Artinya, sebagai jabang bayi yang berwujud manusia, maka dialah pancer dari semua ‘saudara-saudara’nya yang tak tampak itu.

Kesamaan Dengan Islam
Antara ajaran Kejawen dengan Islam ada kesamaannya. Dalam Islam disebutkan bahwa setiap manusia dijaga oleh malaikat-malaikat yang ditugaskan oleh Tuhan. Siapa saja malaikat-malaikat itu? Malaikat-malaikat yang ditugaskan oleh Gusti Allah untuk setiap manusia itu antara lain, Jibril, Mikail, Izroil dan Isrofil.

Nah, kesamaan antara ajaran Kejawen dan Islam tersebut yakni Kakang Kawah yang disebutkan sebagai pembuka jalan si jabang bayi, itu di Islam dianggap sama dengan Jibril (Penyampai Wahyu). Malaikat Jibril lah yang membuka jalan bagi keselamatan sang bayi hingga lahir ke dunia.

Sedangkan Adhi Ari-ari yang disebut-sebut di dalam ajaran Kejawen, di dalam Islam dianggap sama dengan Mikail (Pembagi Rezeki). Karena lewat Ari-Ari itulah si jabang bayi dapat hidup dengan sari-sari makanan yang didapatkan dari seorang ibu.

Sementara Getih (darah) , bagi orang Kejawen, pada pemahaman orang Islam dianggap sama dengan keberadaan malaikat Izroil (pencabut nyawa). Buktinya, jika tidak ada darahnya, apakah manusia bisa hidup?

Yang terakhir adalah Puser. Dalam pemahaman masyarakat Kejawen, Puser adalah sambungan tali udara (napas) antara sang ibu dengan anaknya. Nah, pada pemahaman Islam, Puser ini dianggap sama dengan Isrofil (Peniup Sangkakala). Meniup sangkakala menjelang kiamat Qubro (kiamat Besar) adalah dengan napas.

Oleh karena itu, kita wajib mengenali siapa penjaga-penjaga tak nampak yang sudah diperintahkan Gusti Allah untuk senantiasa mendampingi kita. Dengan kita mengenali keberadaan mereka, akhirnya mereka nantinya bisa mawujud (berwujud). Dan yang perlu diingat lagi, jika kita sudah melihat wujud mereka, maka hendaknya kita senantiasa memuji atas kebesaran Gusti Allah yang Maha Agung. Karena atas titah Gusti Allah-lah kita semua bisa hidup berdampingan dengan penjaga-penjaga yang disebut dengan Sedulur Papat, Kalimo Pancer.


Dua Hakekat Hidup

Manusia hidup di dunia ini sebenarnya memiliki dua hakekat. Dua hakekat hidup tersebut sebenarnya juga merupakan janji seorang manusia kepada sang Khalik sebelum manusia dilahirkan ke dunia ini. Dua hakekat hidup itu sendiri juga merupakan perintah Tuhan yang harus dijalankan selama hidup di dunia. Apakah dua hakekat hidup itu?

Masyarakat Jawa mengenal dua hakekat hidup tersebut yaitu tansah eling manembah marang Gusti Allah lan apik marang sak padan-padaning urip. Hakekat hidup yang dikenal oleh masyarakat Jawa tersebut juga dikenal dalam ajaran Islam dengan istilah Hablum Minnallah (selalu menyembah Allah) dan Hablum Minna Nass (berbuat baik pada sesama umat).

Dua hakekat kehidupan tersebut harus senantiasa kita ingat. Pasalnya, jika kita tidak ingat terhadap dua hakekat hidup tersebut, maka kita akan terkena bencana karena ulah kita sendiri. Misalkan, kita tidak berbuat baik terhadap sesama manusia, maka secara langsung maupun tidak langsung, kita tidak akan disenangi manusia lainnya yang ada di sekitar kita. Itu masih masalah hubungan dengan manusia. Nah, kalau hubungan dengan TUhan malah harus lebih baik lagi. Kalau dimusuhi manusia, kita masih bisa berlagak sombong dengan mengatakan tak butuh bantuan dari si fulan yang memusuhi kita, tetapi kalau dimusuhi oleh Gusti Allah, kepada siapa kita berlindung dan meminta pengayoman hidup?

Dua hakekat kehidupan itulah yang harus kita pegang dalam hidup ini. Kalau Anda tidak percaya, silakan Anda mengingkari dua hakekat kehidupan itu dan lihatlah apa yang akan terjadi pada Anda. Oleh karena itu, hayatilah dua hakekat hidup itu sebelum melangkah pada penyembahan Gusti Allah yang maha sempurna. Itu sebagai bukti bahwa kita telah menjalankan apa yang diperintahkan Gusti Allah kang Maha Adil untuk merengkuh CintaNYA.






Butir-Butir Budaya Jawa
Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawalesana
Ngudi Sejatining Becik

Ketuhanan
1. Pangeran iku siji, ana ing ngendi papan langgeng, sing nganakake jagad iki saisine dadi sesembahane wong sak alam kabeh, nganggo carane dhewe-dhewe.
2. Pangeran iku ana ing ngendi papan, aneng siro uga ana pangeran, nanging aja siro wani ngaku pangeran.
3. Pangeran iku adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan.
4. Pangeran iku langgeng, tan kena kinaya ngapa, sangkan paraning dumadi.
5. Pangeran iku bisa mawujud, nanging wewujudan iku dudu Pangeran.
6. Pangeran iku kuwasa tanpa piranti, akarya alam saisine, kang katon lan kang ora kasat mata.
7. Pangeran iku ora mbedak-mbedakake kawulane.
8. Pangeran iku maha welas lan maha asih hayuning bawana marga saka kanugrahaning Pangeran.
9. Pangeran iku maha kuwasa, pepesthen saka karsaning Pangeran ora ana sing bisa murungake.
10. Urip iku saka Pangeran, bali marang Pangeran.
11. Pangeran iku ora sare.
12. Beda-beda pandumaning dumadi.
13. Pasrah marang Pangeran iku ora ateges ora gelem nyambut gawe, nanging percaya yen Pangeran iku maha Kuwasa. Dene kasil orane apa kang kita tuju kuwi saka karsaning Pangeran.
14. Pangeran nitahake sira iku lantaran biyung ira, mulo kudu ngurmat biyung ira.
15. Sing bisa dadi utusaning Pangeran iku ora mung jalma manungsa wae.
16. Purwa madya wasana.
17. Owah gingsiring kahanan iku saka karsaning Pangeran kang murbeng jagad.
18. Ora ana kasekten sing madhani pepesthen awit pepesthen iku wis ora ana sing bisa murungake.
19. Bener kang asale saka Pangeran iku lamun ora darbe sipat angkara murka lan seneng gawe sangsaraning liyan.
20. Ing donya iki ana rong warna sing diarani bener, yakuwi bener mungguhing Pangeran lan bener saka kang lagi kuwasa.
21. Bener saka kang lagi kuwasa iku uga ana rong warna, yakuwi kang cocok karo benering Pangeran lan kang ora cocok karo benering Pangeran.
22. Yen cocok karo benering Pangeran iku ateges bathara ngejawantah, nanging yen ora cocok karo benering Pangeran iku ateges titisaning brahala.
23. Pangeran iku dudu dewa utawa manungsa, nanging sakabehing kang ana iki uga dewa lan manungsa asale saka Pangeran.
24. Ala lan becik iku gandengane, kabeh kuwi saka karsaning Pangeran.
25. manungsa iku saka dating Pangeran mula uga darbe sipating Pangeran.
26. Pangeran iku ora ana sing Padha, mula aja nggambar-nggambarake wujuding Pangeran.
27. Pangeran iku kuwasa tanpa piranti, mula saka kuwi aja darbe pangira yen manungsa iku bisa dadi wakiling Pangeran.
28. Pangeran iku kuwasa, dene manungsa iku bisa.
29. Pangeran iku bisa ngowahi kahanan apa wae tan kena kinaya ngapa.
30. Pangeran bisa ngrusak kahanan kang wis ora diperlokake, lan bisa gawe kahanan anyar kang diperlokake.
31. Watu kayu iku darbe dating Pangeran, nanging dudu Pangeran.
32. Manungsa iku bisa kadunungan dating Pangeran, nanging aja darbe pangira yen manungsa mau bisa diarani Pangeran.
33. Titah alus lan titah kasat mata iku kabeh saka Pangeran, mula aja nyembah titah alus nanging aja ngina titah alus.
34. Samubarang kang katon iki kalebu titah kang kasat mata, dene liyane kalebu titah alus.
35. Pangeran iku menangake manungsa senajan kaya ngapa.
36. Pangeran maringi kawruh marang manungsa bab anane titah alus mau.
37. Titah alus iku ora bisa dadi manungsa lamun manungsa dhewe ora darbe penyuwun marang Pangeran supaya titah alus mau ngejawantah.
38. Sing sapa wani ngowahi kahanan kang lagi ana, iku dudu sadhengah wong, nanging minangka utusaning Pangeran.
39. Sing sapa gelem nglakoni kabecikan lan ugo gelem lelaku, ing tembe bakal tampa kanugrahaning Pangeran.
40. Sing sapa durung ngerti lamun piyandel iku kanggo pathokaning urip, iku sejatine durung ngerti lamun ana ing donyo iki ono sing ngatur.
41. Sakabehing ngelmu iku asale saka Pangeran kang Mahakuwasa.
42. Sing sapa mikani anane Pangeran, kalebu urip kang sempurna.

Kerohanian
1. Dumadining sira iku lantaran anane bapa biyung ira.
2. Manungsa iku kanggonan sipating Pangeran.
3. Titah alus iku ana patang warna, yakuwi kang bisa mrentah manungsa nanging ya bisa mitulungi manungsa, kapindho kang bisa mrentah manungsa nanging ora mitulungi manungsa, katelu kang ora bisa mrentah manungsa nanging bisa mitulungi manungsa, kapat kang ora bisa mrentah manungsa nanging ya ora bisa mrentah manungsa.
4. Lelembut iku ana rong warna, yakuwi kang nyilakani lan kang mitulungi.
5. Guru sejati bisa nuduhake endi lelembut sing mitulungi lan endi lelembut kang nyilakani.
6. Ketemu Gusti iku lamun sira tansa eling.
7. Cakra manggilingan.
8. Jaman iku owah gingsir.
9. Gusti iku dumunung ana atining manungsa kang becik, mulo iku diarani Gusti iku bagusing ati.
10. Sing sapa nyumurupi dating Pangeran iku ateges nyumurupi awake dhewe. Dene kang durung mikani awake dhewe durung mikani dating Pangeran.
11. Kahanan donya ora langgeng, mula aja ngegungake kesugihan lan drajat ira, awit samangsa ana wolak-waliking jaman ora ngisin-ngisini.
12. Kahanan kang ana iki ora suwe mesthi ngalami owah gingsir, mula aja lali marang sapadha-padhaning tumitah.
13. Lamun sira kepengin wikan marang alam jaman kelanggengan, sira kudu weruh alamira pribadi. Lamun sira durung mikan alamira pribadi adoh ketemune.
14. Yen sira wus mikani alamira pribadi, mara sira mulanga marang wong kang durung wikan.
15. Lamun sira wus mikani alamira pribadi, alam jaman kelanggengan iku cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan.
16. Lamun sira durung wikan alamira pribadi mara takono marang wong kang wus wikan.
17. Lamun sira durung wikan kadangira pribadi, coba dulunen sira pribadi.
18. Kadangira pribadi ora beda karo jeneng sira pribadi, gelem nyambut gawe.
19. Gusti iku sambaten naliko sira lagi nandang kasangsaran. Pujinen yen sira lagi nampa kanugrahaning Gusti.
20. Lamun sira pribadi wus bisa caturan karo lelembut, mesthi sira ora bakal ngala-ala marang wong kang wus bisa caturan karo lelembut.
21. Sing sapa nyembah lelembut ikut keliru, jalaran lelembut iku sejatine rowangira, lan ora perlu disembah kaya dene manembah marang Pangeran.
22. Weruh marang Pangeran iku ateges wis weruh marang awake dhewe, lamun durung weruh awake dhewe, tangeh lamun weruh marang Pangeran.
23. Sing sapa seneng ngrusak katentremane liyan bakal dibendu dening Pangeran lan diwelehake dening tumindake dhewe.
24. Lamun ana janma ora kepenak, sira aja lali nyuwun pangapura marang Pangeranira, jalaran Pangeranira bakal aweh pitulungan.
25. Gusti iku dumunung ana jeneng sira pribadi, dene ketemune Gusti lamun sira tansah eling.

Kemanusiaan
1. Rame ing gawe sepi ing pamrih, memayu hayuning bawana.
2. Manungsa sadrema nglakoni, kadya wayang umpamane.
3. Ati suci marganing rahayu.
4. Ngelmu kang nyata, karya reseping ati.
5. Ngudi laku utama kanthi sentosa ing budi..
6. Jer basuki mawa beya.
7. Ala lan becik dumunung ana awake dhewe.
8. Sing sapa lali marang kebecikaning liyan, iku kaya kewan.
9. Titikane aluhur, alusing solah tingkah budi bahasane lang legawaning ati, darbe sipat berbudi bawaleksana.
10. Ngunduh wohing pakarti..
11. Ajining dhiri saka lathi lan budi.
12. Sing sapa weruh sadurunge winarah lan diakoni sepadha-padhaning tumitah iku kalebu utusaning Pangeran.
13. Sing sapa durung wikan anane jaman kelanggengan iku, aja ngaku dadi janma linuwih.
14. Tentrem iku saranane urip aneng donya.
15. Yitna yuwana lena kena.
16. Ala ketera becik ketitik.
17. Dalane waskitha saka niteni.
18. Janma tan kena kinira kinaya ngapa.
19. Tumrap wong lumuh lan keset iku prasasat wisa, pangan kang ora bisa ajur iku kena diarani wisa, jalaran mung bakal nuwuhake lelara.
20. Klabang iku wisane ana ing sirah. Kalajengking iku wisane mung ana pucuk buntut. Yen ula mung dumunung ana ula kang duwe wisa. Nanging durjana wisane dumunung ana ing sekujur badan.
21. Geni murub iku panase ngluwihi panase srengenge, ewa dene umpama ditikelake loro, isih kalah panas tinimbang guneme durjana.
22. Tumprape wong linuwih tansah ngundi keslametaning liyan, metu saka atine dhewe.
23. Pangucap iku bisa dadi jalaran kebecikan. Pangucap uga dadi jalaraning pati, kesangsaran, pamitran. Pangucap uga dadi jalaraning wirang.
24. Sing bisa gawe mendem iku: 1) rupa endah; 2) bandha, 3) dharah luhur; 4) enom umure. Arak lan kekenthelan uga gawe mendem sadhengah wong. Yen ana wong sugih, endah warnane, akeh kapinterane, tumpuk-tumpuk bandhane, luhur dharah lan isih enom umure, mangka ora mendem, yakuwi aran wong linuwih.
25. Sing sapa lena bakal cilaka.
26. Mulat salira, tansah eling kalawan waspada.
27. Andhap asor.
28. Sakbegja-begjane kang lali luwih begja kang eling klawan waspada.
29. Sing sapa salah seleh.
30. Nglurug tanpa bala.
31. Sugih ora nyimpen.
32. Sekti tanpa maguru.
33. Menang tanpa ngasorake
34. Rawe-rawe rantas malang-malang putung
35. Mumpung anom ngudiya laku utama.
36. Yen sira dibeciki ing liyan, tulisen ing watu, supaya ora ilang lan tansah kelingan. Yen sira gawe kebecikan marang liyan tulisen ing lemah, supaya enggal ilang lan ora kelingan.
37. Sing sapa temen tinemu.
38. Melik nggendhong lali.
39. Kudu sentosa ing budi.
40. Sing prasaja.
41. Balilu tau pinter durung nglakoni.
42. Tumindak kanthi duga lan prayogo.
43. Percaya marang dhiri pribadi.
44. Nandur kebecikan.
45. Janma linuwih iku bisa nyumurupi anane jaman kelanggengan tanpa ngalami pralaya dhisik.
46. Sapa kang mung ngakoni barang kang kasat mata wae, iku durung weruh jatining Pangeran.
47. Yen sira kasinungan ngelmu kang marakake akeh wong seneng, aja sira malah rumangsa pinter, jalaran menawa Gusti mundhut bali ngelmu kang marakake sira kaloka iku, sira uga banjur kaya wong sejene, malah bisa aji godhong jati aking.
48. Sing sapa gelem gawe seneng marang liyan, iku bakal oleh wales kang luwing gedhe katimbang apa kang wis ditindakake.





Ngaji dari Kitab 'Kering' dan 'Basah'


Seperti telah banyak disinggung-singgung sebelumnya, bahwa di dunia ini GUSTI ALLAH menciptakannya secara berpasang-pasangan. Ada siang-ada malam, Ada baik-ada buruk, Ada besar-ada kecil. Demikian pula Gusti Allah menciptakan Kitab ajaran bagi manusia itu berpasangan. Ada Kitab secara agama, seperti Al Qur'an, Injil, Taurat, Zabur dan lain-lain yang disebut 'kitab kering'. Selain itu, GUSTI ALLAH juga menciptakan kitab yang disebut 'kitab teles (kitab basah)'. Apakah kitab basah itu? Kitab 'basah' itu adalah semua ciptaan GUSTI ALLAH di muka bumi ini.

Kitab 'kering' dan 'basah' itu sama-sama merupakan petunjuk dari GUSTI ALLAH pada semua umat manusia yang ada di dunia ini. Jadi, selain mengaji pada 'kitab kering', kita juga harus mengaji pada 'kitab basah'. GUSTI ALLAH dalam sebuah surat di Al Qur'an berfirman yang kurang lebihnya berbunyi "Berjalan-jalanlah kamu dimuka bumi, maka kamu akan mengetahui kekuasaanKU bagi orang-orang yang berpikir".

Dari arti ayat Al Qur'an tersebut yang perlu diperhatikan adalah kata-kata 'berjalan-jalan di muka bumi' dan 'bagi orang-orang yang berpikir'. Apakah maksud kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu bermaksud bahwa semua yang ada di muka bumi ini, apakah itu hewan, tumbuhan, gunung, sungai, awan, langit, dan masih banyak lagi adalah merupakan kekuasaan GUSTI ALLAH. Demikian pula dengan manusia. GUSTI ALLAH menyempurnakan kehidupan manusia sebagai makhluk paling mulia di muka bumi.

Sedangkan kata-kata 'bagi orang-orang yang berpikir', merupakan sindiran dari GUSTI ALLAH kepada kita manusia. Artinya, apakah kita termasuk orang-orang yang berpikir dan menggunakan otak kita untuk memahami kekuasaan GUSTI ALLAH atau tidak. Atau malah pikiran kita yang buta dan termasuk orang yang tidak berpikir tentang kekuasaan GUSTI ALLAH.

Sebagai makhluk mulia, seharusnya kita yang dibekali dengan pikiran dan akal sehat harusnya menggunakan pikiran dan akal sehat itu untuk meneliti, mempelajari, setelah itu, memuji kehebatan ciptaan GUSTI ALLAH, selanjutnya adalah Manembah (menyembah) GUSTI ALLAH dengan penuh keyakinan.

Coba Anda perhatikan, Dalam surat Al Qur'an juga disebutkan bahwa dalam penciptaan Siti Hawa, GUSTI ALLAH mengambil salah satu tulang rusuk Nabi Adam. Apa buktinya? Ternyata kita bisa membuktikannya lewat hasil rongent antara seorang laki-laki dan perempuan. Tulang rusuk laki-laki jumlahnya 9, sedangkan tulang rusuk perempuan berjumlah 10. Bukankah itu tanda-tanda yang cukup jelas bagi orang-orang yang berpikir?

Coba Anda pelajari tumbuh-tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan itu daunnya berwarna hijau ketika masih muda, lalu mulai berubah hijau kekuningan, dan berlanjut menjadi kuning kemudian rontok. Apa yang bisa kita pelajari dari situ? Ternyata kita manusia ini juga mengalami proses hidup layaknya tumbuh-tumbuhan, dari muda (hijau), remaja dan dewasa (hijau kekuningan) dan masa tua (kuning), kemudian mati (rontok).

Dari berbagai contoh di atas, setidaknya menjadi pertimbangan bagi Anda semua. Bahkan yang dipikirkan di dunia ini tidak melulu hanya harta dunia yang tidak kekal saja. Tetapi juga memikirkan ciptaan GUSTI ALLAH.

Coba Anda lebih banyak memikirkan makhluk-makhluk ciptaan GUSTI ALLAH yang ada di muka bumi. Pasti! Anda akan menjadi lebih dekat dengan sang Pencipta. Tidak ada Tuhan selain GUSTI ALLAH semata.


SASTRA JENDRA SEBAGAI AJARAN SINENGKER (RAHASIA)

DEFINISI SASTRAJENDRA



1) Ajaran ini bersumber dari istilah Sastra Harjendra Yuning Rat yang bersumber dari kisah Arjoena-Sasra Baoe karya pujangga R.Ng.Sindoesastra (Van Den Broek, 1870:31,33). Ungkapan serupa : Sastra Herjendra Hayuning Bumi (ibid:30) Sastra Hajendra Hayuningrat Pangruwating Barang Sakilar (ibid:31), atau Sastradi (ibid:31), sastra Hajendra (ibid:31), sastra Hajendra Yuningrat Pangruwating Diyu (ibid:31), sastra Hajendra Wadiningrat (ibid:31), Sastrayu (ibid: 32, 34), atau sastra Ugering Agesang Kasampurnaning Titah Titining Pati Patitising Kamuksan (ibid:32), Jatining Sastra (ibid:32).

2) Arti masing-masing istilah (Pradipta 1995) adalah sbb:
a. Sastra Hajendra Yuning Rat (ilmu ajaran tertinggi yang jelas tentang keselamatan alam semesta)
b. Sastra Harjendra Wadiningrat (ilmu ajaran keselamatan alam semesta untuk Meruwat raksasa).
c. Sastra Hajendra Wadiningrat (ilmu ajaran tertinggi tentang keselamatan alam semesta rahasia dunia)
d. Sastrayu (ilmu ajaran keselamatan)

3) Penafsiran

a. Seperti diketahui dalam kitab Arjoena-Sasra-Baoe tak ada uraian yang memadai tentang bentuk, isi, dan nilai ajaran Sastra Jendra yang sinengker itu. Namun demikian janganlah lalu ditafsirkan bahwa di kalangan masyarakat Jawa tak ada seorangpun terutama pada waktu itu yang tidak tahu tentang bentuk, isi, dan nilai ajaran tersebut. Bahkan sebaliknya justru karena singkatnya uraian Sindusastra, dapat ditafsirkan bahwa masyarakat sudah tahu dan memahami betul tentang ajaran yang bersifat rahasia itu. Perihal Sinengker dapat ditafsirkan bahwa situasi, kondisi, lingkungan , iklim, suasana sosial dan budaya setempat /waktu Sastra Jendra dilahirkan ,mungkin belum dapat diterima secara iklas dan trasparan,akan kehadiran ajaran Sastra Jendra tersebut

b. Didalam kitab Arjoena-Sasra-Baoe, Sastra Jendra hanya diuraikan secara singkat sbb:

Sastrarjendra hayuningrat, pangruwat barang sakalir, kapungkur sagung rarasan, ing kawruh tan wonten malih, wus kawengku sastradi, pungkas-pungkasaning kawruh, ditya diyu raksasa, myang sato sining wanadri, lamun weruh artine kang sastrarjendra. Rinuwat dening bathara, sampurna patinireki, atmane wor lan manusa, manusa kang wus linuwih, yen manusa udani, wor lan dewa panitipun, jawata kang minulya mangkana prabu Sumali, duk miyarsa tyasira andhandhang sastra.

Terjemahannya :

Ilmu/ajaran tertinggi tentang keselamatan alam semesta, untuk meruwat segala hal, dahulu semua orang membicarakan pada ilmu ini tiada lagi, telah terbingkai oleh sastradi. Kesimpulan dari pengetahuan ini bahwa segala jenis raksasa, dan semua hewan di hutan besar, jika mengetahui arti sastra Jendra. Akan diruwat oleh dewa,menjadi sempurna kematiannya (menjadi) dewa yang dimuliakan, demikianlah Prabu Sumali, ketika mendengar hatinya berhasrat sekali mengetahui Sastra Jendra.

c. Secara esensial ilmu/ajaran Sastra Jendra yang berarti ilmu/ajaran tertinggi tentang keselamatan, mengandung isi dan nilai Ketuhanan YME,mungkin karena pertimbangan tertentu, maka yang dipaparkan baik dalam Serat Arjunasastra maupun didalam lakon-lakon wayang hanyalah sebatas kulit saja, belum mengungkap secara mendasar tentang pokok bahasan dan materi yang sebenarnya secara memadai. Namun demikian bagi orang yang memiliki ilmu semiotik Jawa (ilmu tanda atau ilmu tanggap samita), mungkin dapat menangkap maksud dan tujuan ilmu ini , serta dapat memaknai ilmu Ketuhanan YME dalam proyeksi mikro dan makro.

d. Struktur ilmu/ ajaran sastra Jendra dapat disusun sebagai berikut.:
Sastra Jendra/Sastradi/Jatining Sastra/Satrayu
Sastra Jendra Hayuningrat
(Sastra Jendra untuk setiap tatasurya)
Sastra Jendra Hayuning Bumi
(Sastra Jendra untuk Bumi dimana manusia hidup)
Sastra Jendra Pangruwating Barang Sakelir
(Untuk Meruwat segala Macam mahluk hidup)
SJP SJP SJP SJP
Kewan Dayu Manungsa Lsp
(Hewan) (Raksasa) (Manusia) (Lainnya)

Sastra Jendra Hayuning Bumi

(Sastra Jendra untuk bumi dimana manusia hidup)
Agama Kepercayaan thd Tuhan YME ainnya
Agama :
Sastra Jendra Hayuning Bumi
Sastra Jendra utk Bumi dimana manusia hidup
Islam Katolik Kristen Hindu Budha
Kepercayaan terhadap Tuhan YME :
Sastra Jendra Hayuning Bumi
(Serat Jendta utk Bumi dimana manusia hidup)
Kanuragan Sangkan Paran Kasampurnan Kasucen
(SUAKTTPPK)
*SUAKTTPPK = Sastra Urgening Agesang Kasampurnaning Titah Titining Pati Patising Kamuksan.
(Ilmu/ajaran) pedoman hidup kesempurnaan manusia kesempurnaan mati kesempurnaan moksa).

Lainnya :
Sastra Jendra Hayuning Bumi
(Sastra Jendra untuk Bumi dimana manusia hidup)

Agama Kepercayaan thd Tuhan YME lainnya di dunia

a. Sastra Jendra sebagai paguyuban Kepercayaan terhadap Tuhan YME

Di Indonesia terdapat organisasi budaya spiritual bernama paguyuban Sastra Jendra Hayuningrat Pangaruwating Diyu, anggotanya tersebar luas ke 14 propinsi. Paguyuban ini berpusat di Jakarta, disesepuhi oleh KRMH. Darudriyo Soemodiningrat. Paguyuban ini meyakini adanya Tuhan YME dan keberadaannya tak dapat diibaratkan dengan apapun. Menurut naskah pemaparan Budaya Spiritual. Ada pola dasar ajaran :
1. Ajaran tentang Tuhan YME
2. Ajaran tentang Alam semesta
3. Ajaran tentang Manusia
4. Ajaran tentang Kesempurnaan
(Uraian terperinci tidak disajikan di sini)

Menurut nama sumber Widyo Isworo SH (alm). Salah seorang warga senior dari paguyuban tersebut, Sastra Jendra yang amat luas berasal dari keraton, dipergunakan oleh para raja. Jadi sudah sejak dahulu ada. Sedangkan ilmu yang dikelola oleh paguyuban ini hanyalah terbatas pada Sastra Jendra yang berurusan dengan peningkatan watak dan perilaku raksasa saja. Itulah sebabnya diambil nama Sastra Jemdra Hayuningrat Pranguanting Diyu. Seseorang sebelum menyerap ilmu ini harys mengerti terlebih dahulu tentang mikro dan makro kosmos. Sesudah itu baru secara bertahap ia memahami, menghayati dan mengamalkan :

1). Kasatriyan (Kesatriaan)
2). Khadewasan (Kedewasaan)
3). Kesepuhan
4). Kawredhan

diposkan oleh yulius eka agung seputra pada 10:23 | 0 Komentar
Sastra Jendra

Sastra Jendra disebut pula Sastra Ceta
Suatu hal yang mengandung kebenaran, keluhuran, keagungan akan kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia biasa. Karena itu Ilmu Sastra Jendra disebut pula sebagai ilmu atau pengetahuan tentang rahasia seluruh semesta alam beserta perkembangannya. Jadi tugasnya, Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ialah jalan atau cara untuk mencapai kesempurnaan hidup.

Untuk mencapai tingkat hidup yang demikian itu, manusia harus menempuh berbagai persyaratan atau jalan dalam hal ini berarti sukma dan roh yang manunggal, antara lain dengan cara-cara seperti:
Mutih : makan nasi tanpa lauk pauk yang berupa apapun juga.
Sirik : menjauhkan diri dari segala macam keduniawian.
Ngebleng : menghindari segala makanan atau minuman yang tak bergaram.
Patigeni : tidak makan atau minum apa-apa sama sekali.

Selanjutnya melakukan samadi, sambil mengurangi makan, minum, tidur dan lain sebagainya.

Pada samadi itulah pada galibnya orang akan mendapalkan ilham atau wisik.

Ada tujuh tahapan atau tingkat yang harus dilakukan apabila ingin mencapai tataran hidup yang sempurna, yaitu :

Tapaning jasad
Mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau kegiatannya.
Janganlah hendaknya merasa sakit hati atau menaruh balas dendam, apalagi terkena sebagai sasaran karena perbuatan orang lain, atau akibat suatu peristiwa yang menyangkut pada dirinya.
Sedapat-dapatnya hal tersebut diterima saja dengan kesungguhan hati.

Tapaning budi
Mengelakkan/mengingkari perbuatan yang terhina dan segala hal yang bersifat tidak jujur.

Tapaning hawa nafsu
Mengendalikan/melontarkan jauh-jauh hawa nafsu atau sifat angkara murka dari diri pribadi.
Hendaknya selalu bersikap sabar dan suci, murah hati, berperasaan dalam, suka memberi maaf kepada siapa pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh, dan berusaha sekuat tenaga kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak dapat diombang-ambingkan oleh siapa atau apapun juga, serta kewaspadaan (hening).

Tapaning sukma
Memenangkan jiwanya. Hendaknya kedermawanannya diperluas.
Pemberian sesuatu kepada siapapun juga harus berdasarkan keikhlasan hati, seakan-akan sebagai persembahan sedemikian, sehingga tidak mengakibatkan sesuatu kerugian yang berupa apapun juga pada pihak yang manapun juga.
Pendek kata tanpa menyinggung perasaan.

Tapaning cahya
Hendaknya orang selalu awas dan waspada serta mempunyai daya meramalkan sesuatu secara tepat.
Jangan sampai kabur atau mabuk karena keadaan cemerlang yang dapat mengakibatkan penglihatan yang serba samar dan saru.
Lagi pula kegiatannya hendaknya selalu ditujukan kepada kebahagiaan dan keselamatan umum.

Tapaning gesang
Berusaha berjuang sekuat tenaga secara berhati-hati, kearah kesempurnaari hidup, serta taat kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Mengingat jalan atau cara itu berkedudukan pada tingkat hidup tertinggi, maka:

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu dinamakan pula "Benih seluruh semesta alam."


Jadi semakin jelas bahwa Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu hanya sebagai kunci untuk dapat memahami isi Rasa Jati, dimana untuk mencapai sesuatu yang luhur diperlukan mutlak perbuatan yang sesuai.

Rasajati memperlambangkan jiwa atau badan halus ataupun nafsu sifat tiap manusia, yaitu keinginan, kecenderungan, dorongan hati yang kuat, kearah yang baik maupun yang buruk atau jahat.

Nafsu sifat itu ialah; Lumamah (angkara murka), Amarah, Supiyah (nafsu birahi). Ketiga sifat tersebut melambangkan hal-hal yang menyebabkan tidak teraturnya atau kacau balaunya sesuatu masyarakat dalam berbagai bidang, antara lain: kesengsaraan, malapetaka, kemiskinan dan lain sebagainya.

Sedangkan sifat terakhir yaitu Mutmainah (nafsu yang baik, dalam arti kata berbaik hati, berbaik bahasa, jujur dan lain sebagainya) yang selalu menghalang-halangi tindakan yang tidak senonoh.


Catatan Tambahan untuk
Sastra Cetha / Sastra Jendra Hayuningrat
Tentang
Tehnik pencapaian laku :

Posisi tidur telentang kaki lurus, telapak tangan masing2 menempel ke paha, telapak kaki kanan menempel ke telapak kaki kiri (posisi saluku tunggal).

Nafas & konsentrasi : tarik nafas (dari pusar) naik ke dada - tenggorokan , kemudian naikkan lagi ke ubun2 , (tahan sekuatnya ), kemudian turunkan lagi perlahan –lahan ke pusar sambil membuang nafas.

Pada saat tarik nafas sambil mengucap batin ‘ huu ‘ pada saat melepas ‘ yaa ‘, setiap tahapan dilakukan 3 kali tarikan/ buang nafas (Tripandurat), kemudian baru istirahat dan kemudian dilakukan lagi .

Semakin lama kita bias menahan nafas (di ubun2) semakin bagus, dgn catatan setiap tripandurat hrs ada jeda istirahat sebentar, pada saat bersatunya rah (darah) atau roh di ubun2 (susuhunan) itulah bisa disebut manunggaling kawula gusti, dalam arti jika nafas naik kita jumeneng gusti dan pada saat turun kita kembali jd kawulo, namun yg dimaksud disini bukan berarti nafasnya tetapi adalah Cipta & rasa nya.
Patrap/konsentrasi semedi ini bias dilakukan sambil beraktifitas sehari2 sambil tetap mengatur jalan nafas dan mantra “huu – yaa” diatas.

Banyaknya orang untuk mengetahui tentang sastra jendra ini diikuti sembah tulus kepadaNya, maka yang diperoleh adalah suatu ajaran hidup yang sumende karsaning widi, berserah kepada Tuhannya. Bila kesemuanya dilakoni maka tentunya akan diperoleh ajaran sejati yang berujud sastra jendra pangruwating diyu, kalau di tempat saya sastra = tulis, jendra = papan. Yaitu suatu ilmu yang diajarkan tanpa perantara, berujud tulisan kang tanpa papan (tulisan tanpa tempat menulis), untuk menuju kesana diperlukan papan tanpa tulisan, atau tempat yang tiada apa apa lagi selain Tuhan itu.

Lalu sastra jendra dikatakan sastra cetha, yang artinya jelas, tetapi kok masih dicari, hal ini mengusik kita, walaupun dikatakan sastra cetha/jelas tetapi tanpa laku yang cukup untuk mengetahuinya, maka niscaya tiada pernah didapat. Sastra cetha sendiri juga mengartikan bahwa siapa yang sudah paham akan isi sastra jendra sendiri akan tiada kesamaran sawiji - wiji, tiada akan bimbang akan isi dunia inikarena sudah yakin akan tujuan hidupnya.

Kemudian tentang laku awal untuk mencapai hal tersebut adalah dengan samadhi. Samadhi yang dilakukan dengan sungguh pasrah akan kehendak yang Kuasa dan sungguh pasrah atas segala dosa dan hidup kita.

Olah nafas yang dipergunakan adalah nafas halus, yaitu menjaga (bukan mengatur seperti yg lainya) untuk bernafas dengan teratur antara keluar dan masuknya nafas. Tidak boleh ditahan ataupun sengaja dihabiskan. Betul betul bafas teratur seperti kita tidur, jangan sampai goyah. Pikiran dipusatkan kepada jalannya nafas, terus merasakan keluar dan masuknya nafas. Kalau dalam tahap meditasi ini dirasakan atau pun merasa melihat sesuatu, jangan hiraukan terus kepada pemusatan kepada talining urip (nafas). Dengan terus melakukan ini bila berhasil akan mengetahui dengan sendirinya suatu rahasia kemampuan diri kita

Kemudian tentang laku awal untuk mencapai hal tersebut adalah dengan samadhi. Samadhi yang dilakukan dengan sungguh pasrah akan kehendak yang Kuasa dan sungguh pasrah atas segala dosa dan hidup kita.

Olah nafas yang dipergunakan adalah nafas halus, yaitu menjaga (bukan mengatur seperti yg lainya) untuk bernafas dengan teratur antara keluar dan masuknya nafas. Tidak boleh ditahan ataupun sengaja dihabiskan. Betul betul nafas teratur seperti kita tidur, jangan sampai goyah. Pikiran dipusatkan kepada jalannya nafas, terus merasakan keluar dan masuknya nafas. Kalau dalam tahap meditasi ini dirasakan atau pun merasa melihat sesuatu, jangan hiraukan terus kepada pemusatan kepada talining urip (nafas). Dengan terus melakukan ini bila berhasil akan mengetahui dengan sendirinya suatu rahasia kemampuan diri kita .

Ini yang dikatakan olah rasa, yaitu mengolah dan merasakan rasa jati, berusaha merasakan rasa yang sejati.

Demikianlah Uraian Singkat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sebatas pemahaman saya yang dangkal, namun demikian semoga semoga masih ada manfaatnya.

Rahayu rahayu
TembangLangitBiru