Kamis, 02 Juni 2011

INDONESIA: BANGSA YANG SEDANG MABOK AGAMA!


1. Pengantar
Siapa tidak risau melihat kenyataan yang terjadi di Indonesia. Ada berbagai agama besar dengan umatnya yang besar (terutama Islam), namun kasih sayang, ketentraman, kesejahteraan, kebenaran dan keadilan malah nyaris tidak ada. Atau justru sebaliknya, kekerasan, kerusuhan, pembunuhan, ketidak adilan, kriminalitas, keterbelakangan, kemiskinan, ketidak jujuran, kemunafikan, korupsi, kolusi, dan berbagai pelanggaran HAM justru marak terjadi di Indonesia; dan barangkali mencapai index prestasi nomor wahid didunia. Kalau begini, apanya yang salah? Berikut ini adalah butir-butir analisis yang mendalam tentang masalah ini.

3. Keterbatasan Agama
Agama berbasis kitab suci. Dengan demikian, agama mempunyai keterbatasan yang cukup mencolok seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci Al-Quran dan Injil. Misal dalam Al-Quran ditandaskan bahwa apabila semua ajaran Allah SWT dituliskan, maka tinta sebanyak samudera rayapun tidak akan mencukupi. Demikian pula dengan Injil yang menandaskan apabila semua ajaran Isa Almasih dituliskan maka dunia beserta isinya pun tidak akan bisa memuat. Dengan demikian, kedua agama terbesar didunia ini menandaskan bahwa Allah adalah Maha Besar atau Maha Tak TERBATAS, jadi mana mungkin sesuatu yang Tak Terbatas (Allah, milyaran tahun) cukup dijelaskan oleh satu orang saja yang sangat terbatas (para nabi, yang umurnya mencpai k.l. 80 tahun)! Jika Allah itu dari minus tak terhingga (alpha, tak tahu kapan awalnya) dan berakhir di plus terhingga (omega, tak tahu kapan berakhirnya), maka seorang manusia yang hidup di suatu range (daerah) umur yang sangat terbatas (katakan 80 tahun) adalah tidak mungkin menjelaskan secara tuntas sesuatu yang tak terhingga (milyaran tahun)! Bumi dan universe sudah milyaran tahun, dan masih milyaran tahun lagi, maka seribu, sejuta atau bahkan semilyar nabi disertai ilmuwan tidak akan pernah selesai mempelajari universe dan Tuhan! Jadi, benarlah ayat-ayat diatas, ke "Mahabesaran Tuhan" tidak mungkin cukup diwadahi dalam buku setebal/setipis kitab suci. Ke "Mahabesaran Tuhan" juga tercermin pada luas dan dalamnya ilmu pengetahuan. Ilmuwan di negara modern sudah tidak lagi mencari hanya agama yang terbatas, melainkan selalu terus mencari Tuhan beserta rahasiaNya (ilmu pengetahuan) yang tak terbatas namun sangat indah untuk terus menerus dieksplorasi. Maka sungguh sangat besar dosa para pemuka agama terhadap Tuhan bila mereka terus menerus mengajarkan bahwa “Tuhan itu Maha Terbatas” (membatasi Tuhan), dan sungguh besar dosa para pemuka agama terhadap manusia bila mereka terus menerus mengajarkan “agama yang bernuansa SARA” (agama justru menjadi sekat/pembatas antar manusia).

2. Definisi Mabok Agama
Definisi mabok atau mendem (Jawa) adalah keadaan dimana seseorang mengkonsumsi/memahami tentang sesuatu/paham yang melebihi batas normal/kewajaran; orang yang mendem menjadi seperti: tidak normal tingkah lakunya, tidak wajar cara berpikirnya (bloon, tidak cerdas), dan sulit diajak berdiskusi/berdialog. Contoh mabok adalah mabok minuman keras dan mendem gadung (di Jawa). Analog definisi ini, maka mabok agama dapat didefinsikan sebagai orang (atau kumpulan orang) yang mengkonsumsi/memahami agama secara berlebihan, melupakan keterbatasan agama, melupakan penyalah gunaan agama yang lumrah terjadi (terutama politisasi agama), dan menganggap bahwa semua persoalan dunia dapat diatasi hanya dengan agama saja.


4. Contoh dan Gejala Mabok Agama
Semua negara rupa-rupanya harus mengalami mabok agama dulu. Negara modern seperti Eropa baru selesai mabok agama sekitar abad 19 (seratus tahun yl.). Ketika agama Kristen masih "tidur lelap", namun mendominasi Eropa, maka Eropa mengalami jaman kegelapan dan kemunduran keilmuan luar biasa, baru setelah terjadi revolusi dalam penalaran (demokrasi dan logika, renaisance), Eropa bagaikan lahir kembali. Sekarang, kaum cerdas-cendekia-ilmuwan Eropa sudah tidak tertarik lagi hanya pada agama saja, namun mereka lebih tertarik untuk mengetahui rahasia Tuhan secara lebih dalam-luas-tuntas melalui science, teknologi dan berbagai agama/kepercayaan (jadi tidak terbatas pada satu agama saja). Mereka sudah pada tingkatan kesadaran (kita belum) bahwa sungguh amat sangat bodoh dan berdosa bila membatasi Tuhan yang Maha Takterbatas hanya pada satu buku tipis, satu nabi, dan satu agama saja. Kesadaran di Eropa ini juga dialami oleh intelektual di negara modern yang lain (Jepang, Korea, Taiwan, Singapore, Australia, Canada, USA, Rusia, dst.). Saat ini, di negara modern, agama sudah tidak boleh lagi diajarkan di sekolah negeri (dari SD sampai universitas), mengingat agama itu bersifat sangat personal/privasi, sedangkan yang lebih penting untuk diajarkan adalah budi pekerti.
Contoh kasus mabok yang lain, yang serupa akibatnya, adalah kasus mabok UUD’45 disaat jaman Orde Baru. Saat itu UUD’45 disakralkan, padahal oleh alm. Bung Karno sudah diamanatkan bahwa kitab ini terlalu sederhana karena dibuat dimasa darurat sehingga perlu direvisi apabila situasi dan kondisi negara sudah memungkinkan. Namun oleh regim ORBA justru sebaliknya, melalui berbagai penataran P4 (yang mungkin lebih tepat disebut pembodohan sekaligus brain washing bangsa) ditandaskan bahwa UUD’45 itu walau tipis namun sakti, kenyal, elastis, bisa mengatur segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, bisa diulur dan diungkret sesuai pemesannya/penguasanya; jadi perlu dipertahankan, dihormati, dan barangsiapa berkehendak menentang atau mau merubah UUD’45 jutru akan digebug! Bagaimana mungkin Indonesia yang lebih dari 13 ribu pulau dan lebih 200 juta penduduk dapat di manage dengan baik dengan “kitab suci” negara yang disebut UUD’45, yang oleh pembuatnya (BK) sudah diamanatkan keterbatasannya (tipis sekali dan isinya bersifat darurat)? Akibat UUD’45 ini, jadilah negara RI menjadi carut marut seperti sekarang ini. Demikian pula dengan kitab suci, yang oleh Tuhan sendiri telah ditegaskan keterbatasannya, jadi ya jangan sekali-kali dipertuhankan (disamakan dengan Tuhan)!
Dijaman kegelapan Eropa, ketika agama mulai ditinggalkan oleh para cerdik-cendekia akibat kebekuan dan kekakuannya, beberapa oknum pemuka agama mencoba mengkelabui umatnya dengan menandaskan bahwa kitab suci itu serba bisa-serba pintar, misalnya saja kitab suci bisa menjelaskan fisika, biologi, ekonomi, perbintangan, nuklir, komputer, dst. Hal ini perlu direkayasa demi menyelamatkan agama dari bahaya ditinggalkan oleh para penganutnya. Para ilmuwan busuk lalu diminta mengarang buku-buku yang isinya, sebenarnya mengada-ada serta mereka-reka, tentang keterkaitan fisika, biologi, ekonomi, perbintangan, nuklir, komputer, dst., dengan kitab suci; jadi direkayasa bahwa seolah-olah kitab suci itu maha bisa, maha kuasa, dan maha luar biasa (tanpa pernah membahas keterbatasan kitab suci). Syukurlah masyarakat cerdik-cendekia Eropa saat itu tidak terpancing. Mereka tetap menyadari bahwa kitab suci ditulis untuk menjelaskan adanya kehidupan yang jauh lebih baik setelah mati (surga) beserta cara untuk dapat sampai kesana (surga), jadi kitab suci ditulis bukan untuk menjelaskan fisika, biologi, ekonomi, perbintangan, nuklir, komputer, dst. Mereka juga belajar dari kebijaksanaan ilmuwan top para pemenang hadiah Nobel, yang tidak pernah mengkaitkan kepakaran keilmuannya dengan kitab suci! Mereka tidak terpancing dengan iklan kecap nomor 1 dari oknum pemuka agama yang menyesatkan, membodohi serta membuat bodoh umat beragama! Saat ini, di toko-toko buku di Indonesia, banyak dijumpai buku-buku semacam diatas yang menggambarkan kitab suci itu serba bisa-serba pintar, misalnya saja kitab suci bisa menjelaskan fisika, biologi, ekonomi, perbintangan, nuklir, komputer, dst. Rupanya ada usaha agamisasi (Islamisasi/Kristenisasi) ilmu pengetahuan. Pemimpin agama berkonspirasi dengan ilmuwan untuk membodohi umatnya. Sungguh sangat menyesatkan nalar, apabila ada siswa yang belajar ilmu fisika atau ekonomi dari kitab suci Alqouran atau Injil. Semoga saja umat beragama dapat belajar dari sejarah pembodohan umat oleh pemimpin agama yang busuk di jaman kegelapan Eropa.
Gejala mabok agama di negara kita juga dapat dirasakan dari aktivitas keseharian. Undangan-undangan kegiatan di rumah dan di kantor kebanyakan bersifat keagamaan, misalnya dakwah agama atau pendalaman kitab suci. Jarang sekali undangan yang bersifat keilmuan yang non agama. Demikian pula, mass media seperti televisi, radio, majalah, spanduk, pamlet, selebaran, dan koran dipenuhi oleh berita/renungan keagamaan. Sinetron kita juga banyak yang bernuansa mistik campur agamis. Lagu-lagu di televisi dan radio juga banyak mengandung pesan-pesan agama. Yang sangat menyolok mata adalah cara mengkover hari raya Lebaran selama hampir 40 hari, dimulai dari awal puasa, mudik hari H Min, saat Lebaran, mudik hari H plus, dan usai lebaran untuk masuk kerja, sungguh luar biasa. Apakah pemberitaan semacam ini bermanfaat? Demikian pula saat mengcover ibadat haji, hampir 40 hari pula. Apakah tidak menghambur-hamburkan waktu, biaya, dan tenaga? Coba bayangkan bila cara mengcover berita pemberantasan KKN semacam hari Lebaran dan Haji (full selama 80 hari), dijamin Indonesia cepat bersih! Jika membandingkan dengan negara modern, hal sebaliknyalah yang terjadi, keilmuan, politik,dan bisnis sangat mendominasi, agama sangat minim karena agama dianggap urusan pribadi (privasi). Masyarakat Jepang dikenal sebagai kecanduan kerja, tiada hari tanpa kerja, istilah kerennya: work alcoholic; sedangkan bagi masyarakat Indonesia, tiada hari tanpa dibumbui agama, mungkin istilah kerennya: religion alcoholic. Di negara modern ada falsafah time is money, di kita agak lain: time is religion! Ada iklan Coca Cola begini: Kapan saja, dimana saja, minumlah Coca Cola; di masyarakat kita seolah-olah juga punya iklan yang mirip, yaitu: Kapan saja, dimana saja, tengguklah hanya agama! Dari pengamatan kegiatan keseharian ini, dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia sedang mabok/mendem agama! Kecanduan agama menyebabkan mendem, mendem agama kalau diteruskan dapat menjadi keracunan agama! Ingat, obat itu juga dapat menjadi racun tubuh kalau dipakai secara overdosis/berlebihan! Namun perlu diketahui, bahwa semua negara yang telah berada ditingkatan modern dipastikan pernah mengalami jaman kerajaan, diktator, semi demokratis, demokratis dan pasti juga pernah mengalami mabok agama. Cuman sebaiknya kita dapat belajar dari sejarah, agar mabok agama tidak berkepanjangan dan tidak mengulangi kesalahan yang telah dibuat oleh mereka itu.

5. Penutup
Kedunguan manusia telah mengubah ajaran suci Tuhan melalui para nabi justru menjadi belenggu/pembatas bagi Tuhan dan umat beragama. Dan sejarah juga sering menjadi saksi bagaimana penguasa politik, militer, birokrat, ilmuwan, ekonom maupun pemuka agama bahu-membahu mendungukan manusia agar dapat dikuasai oleh ambisi-ambisi mereka. Pendunguan manusia ini antara lain dapat dicapai dengan mengkondisikan agar masyarakatnya mabok agama. Para oknum agamawan telah menjadikan Tuhan bersifat statis-kaku-beku; sebaliknya para ilmuwan selalu ingin membebaskan sifat statis-kaku-beku tadi menjadi dinamis-fleksibel-uptodate.

Dengan kondisi mabok agama, minimnya anggaran pendidikan, dan maraknya KKN, sudah dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia akan terus-menerus mengalami krisis kebudayaan dan kemunduran kualitas SDM. Krisis kebudayaan dan kemunduran kualitas SDM adalah sumber dari segala sumber berbagai krisis yang sedang dialami Indonesia. Dengan berbagai krisis ini, maka negara asing dapat “mendominasi dan mengerjain” Indonesia bekerjasama dengan para politisi busuk di pusat (Jakarta), yang sedang berkuasa (namun bodoh) dan sedang lupa diri, dalam bentuk simbiose mutualistis (kerjasama yang saling menguntungkan)!

Kita yakin bahwa dalang mabok agama ini ada pada tingkatan lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Mereka ini mempunyai jaringan yang rapi sekali bagaikan jaringan multi-level-marketing (MLM), mereka juga mempunyai dana yang besarnya trilyunan rupiah. Negara asing mempunyai kepentingan untuk menjadi penikmat utama kekayaan alam Indonesia serta ingin menjadikan Indonesia sebagai negara boneka. Bagi politisi busuk di Jakarta, kondisi mabok agama sangat menguntungkan mereka demi mengalihkan perhatian bangsa dari masalah utama (misal KKN) dan masalah penting lainnya (BBM), sekaligus menina bobokan/menghinoptis/menggendam bangsa ini agar hidupnya terkonsentrasi, terlena dan terbuai hanya oleh masalah agama, selain itu demi memberikan rasa nyaman, menerima, dan pasrah (takdir) atas terjadinya kemiskinan dan pemiskinan bangsa yang luar biasa kejamnya!

Last but not least, mendem agama ternyata justru mengakibatkan kemunduran moral, etika dan kebudayaan, aneh ya? Mungkin ini “tanggapan” Tuhan atas pelecehan terhadapNya oleh kaum mendem agama!

Sebagai penutup, kami juga mohon agar artikel2 ini disebar luaskan kepada para: intelektual, aktivis kampus, pemuka agama, dan cendekiawan keagamaan di segenap penjuru Nusantara dan ke seantero dunia baik secara: digital (diforwardkan/disimpan di archive suatu situs internet), suara (dibacakan di radio) maupun secara kertas (dicetak/dibukukan), dengan harapan untuk menjadi sumber pembahasan/diskusi yang sehat dan sumber riset mengarah ke doktoral (PhD) demi memicu pengertian yang lebih mendalam tentang kebudayaan, agama, politik, sex dan Tuhan. Uluran tangan untuk menterjemahkan artikel ini kedalam bhs. Inggris yang baik/standar agar dapat di publish secara internasional melalui internet sangat kami tunggu2. Dengan peningkatan kecerdasan melalui internet, diharapkan kualitas SDM Indonesia dapat meningkat tajam, sehingga diharapkan negara Indonesia (dan dunia) menjadi lebih aman, tenteram dan sejahtera. Sekian dan terima kasih.

Dari pengasuh web blog,
Paguyuban Penanggulangan Krisis Kebudayaan Nasional
di Yogyakarta

BAHWA NAMA TUHAN ITU BERASAL DARI MANUSIA

SANDIWARA

"Bayi itu berasal dari desakan. Setelah menjadi tua menuruti kawan. Karena terbiasa waktu kanak-kanak berkumpul dengan anak, setelah tua pun berkumpul dengan orang-orang tua. Mereka berbincang-bincang tentang nama yang Bunyi hampa. Mereka saling membohongi, meskipun sifat-sifat dan keberadaan yang mereka bicarakan itu, tidak mereka ketahui. "

"Ia berpendapat bahwa nama Tuhan  itu berasal dari manusia. Oleh karena itu, raja agama sesungguhnya raja penipu. Dan, yang demikian itu, sudah selamanya berlangsung. Orang berani mengaku bahwa dengan berzikir, ia berani mengakui Tuhan. Padahal, nyatanya jika orang bermimpi, melihat sesuatu yang serta indah apalagi ia tidur Itu sesunguhnya hanya bayangan yang timbul dari budinya."'

PUPUH tersebut adalah pendapat Ki Kebo Kenongo, Ki Pengging. Ia memperoleh ajaran tersebut dari gurunya, Syekh Siti Jenar. Suatu pandangan yang luar biasa pada zamannya. Suatu pandangan yang biasa dibicarakan di negara-negara maju sekarang! Padahal, pandangan itu diungkapkan 500 tahun yang lalu. Marilah kita kaji kandungan pupuh itu dalam sub-tab kehadiran manusia, Tuhan, dan angan-angan.

HAKIKAT MANUSIA


Hakikat Manusia,terdiri atas dua bagian, yaitu tentang Kesadaran Diri dan Kesadaran Universal.

A. Kesadaran Diri

Didalam filsafat kontemporer secara hakiki terpusat pada pribadi manusia. Boleh jadi, tanpa situasi historis kita tidak bisa memahami apa dan esensi diri yang sebenarnya. Al Qur'an membuka pintu dunia baru, tentang kesadaran diri secara berurutan sampai kepada kesadaran yang universal. Ungkapan ini tidak terikat oleh suatu aliran tertentu. Saat dimana muncul ketikan dihadapkan persoalan manusia terdorong untuk memikirkan eksistensi. Dimana keberadaannya bagaikan terlempar begitu saja. "Aku" yang kehilangan arah, berpaling dari dirinya sendiri, ia mawas diri dan menyelidiki dirinya. Demikianlah suatu motif yang mula-mula bersifat historis dan psikologis berubah menjadi suatu pertanyaan filosofis yang mendesak: "Siapakah aku ini? Dengan kegembiraan dan harapanku? Apakah tujuan hidup ini? Apakah artinya? Mengapa aku bereksistensi? Dan bukannya tidak bereksistensi?"

Mengemukakan masalah mengenai pribadi dalam ungkapan-ungkapan tersebut, berarti mengemukakan masalah kebebasan, masalah tanggung jawab. Hal ini membawa kita kepada penelitian mengenai dasar dari asal usul. Baik dari sisi kebebasan maupun dari sisi tanggung jawab. Hal tersebut akhirnya memunculkan masalah ketuhanan. Apakah Allah itu masuk dalam definisi manusia atau tidak? Apakah eksistensi manusia itu bersifat teosentris ataupun antroposentris? Partisipasi ataupun cukup dalam dirinya sendiri? Ada apakah dengan pernyataan ulama populer "man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu?" (barang siapa tahu akan dirinya, maka ia tahu akan Tuhannya).

Dalam arti yang sebenarnya, kata "eksistensi" berarti data kosmis, sejauh manusia yang terlibat secara aktif di dalamnya. Hubungan erat antara masalah manusia dan masalah ketuhanan, terlihat baik pada mereka yang mengingkari Allah maupun pada mereka yang mengikuti-Nya. Kecenderungan tersebut pada dasarnya merupakan naluri manusia yang tidak bisa dipungkiri dan merupakan fitrah manusia.

Mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri religiusitas dalam pengertian apapun, baik yang sejati maupun yang palsu. Sebenarnya adalah sama dengan mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri untuk berkepercayaan. Dalam tinjauan antropologi budaya, Naluri itu muncul berbarengan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup ini sendiri dan alam sekitar yang menjadi lingkungan hidup itu. Karena itu setiap orang dan masyarakat pasti mempunyai keinsafan tertentu tentang apa yang dianggap "pusat" atau "sentral" dalam hidup seperti dikatakan oleh Mircea Elidae:

"Setiap orang cenderung, meskipun tanpa disadari mengarah kepusat dan menuju pusat sendiri, dimana ia akan menemukan hakekat yang utuh yaitu rasa kesucian. Keinginan yang begitu mendalam berakar dalam diri manusia untuk menemukan dirinya pada inti wujud hakiki itu di pusat alam, tempat komunikasi dengan langit menjelaskan penggunaan dimana akan ungkapan pusat alam semesta"

Disini kita akan mencoba menelusuri secara beruntun dari dasar sekali. Al Qur'an menyebutkan dalam Surat Adz Dzariat 21:

"Dan juga pada dirimu, maka apakah kamu tiada memperhatikan"

Juga dalam surat Al Hijir 28-29:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh (cipataan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud". (QS Al Hijir 28-29).

Dalam kerangka ini kita mengambil garis yang jelas dari peristiwa kejadian manusia, dimana para makhluk baik itu setan maupun malaikat mempertanyakan kebijakan Allah yang akan menciptakan manusia, yang menurut pandangan malaikat "manusia" adalah makhluk yang selalu membuat keonaran dan pertumbahan darah (QS Al Baqarah 30). Tidak kalah sengitnya setan memprotes keberadaan manusia yang dipandang rendah, yang hanya diciptakan dari unsur tanah, sambil membanggakan dirinya yang dibuat dari api.

Dalam keadaan ini para malaikat gigit jari dan begitu terheran-heran: rahasia macam apa ini? Bumi yang hina-dina dipanggil kehadirat Zat yang maha tak terjangkau dengan segenap kehormatan dan kemuliaan ini.

Kelembutan illahi dan kebijakan Tuhan berbisik lembut ke dalam relung rahasia dan misteri malaikat,

"Aku tahu apa yang tidak kalian ketahui" (QS:2:30).

Raga manusia termasuk kedalam derajat terendah, sementara ruh manusia termasuk ke dalam derajat tertinggi. Hikmah yang terkandung dalam hal ini ialah bahwa manusia mesti mengemban beban amanat pengetahuan tentang Allah. Karena itu mereka harus mempunyai kekuatan dalam kedua dunia ini untuk mencapai kesempurnaan. Sebab tidak sesuatupun di dunia ini yang memiliki kekuatan yang mampu mengemban beban amanat. Mereka mempunyai kekuatan ini melalui esensi sifat-sifatnya (sifat-sifat ruhnya), bukan melalui raganya.

Karena ruh manusia berkaitan dengan derajat tertinggi dari yang tinggi, tidak satupun di dunia ruh yang menyamai kekuatannya, entah itu malaikat maupun setan sekalipun atau segala sesuatu lainnya. Demikian pula, jiwa manusia berkaitan dengan derajat yang paling rendah, sehingga tidak sesuatupun di dunia jiwa bisa mempunyai kekuatannya, entah itu hewan dan binatang buas atau yang lainnya. Ketika mengaduk dan mengolah tanah, semua sifat hewan dan binatang buas, semua sifat setan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu dipilih untuk mengejawantahkan sifat "dua tangan-Ku". Karena masing-masing sifat tercela ini hanyalah sekedar kulit luarnya saja, di dalam setiap sifat itu ada mutiara dan permata berupa sifat illahi.

Penjelasan diatas merupakan urutan ungkapan mengenai hakekat diri yang sebenarnya, dimana manusia sebagai makhluk yang sangat lemah dan hina disisi lain dinobatkan sebagai "khalifah" (wakil Allah). Bertugas mengatur alam semesta dan merupakan wakil Allah untuk menjadi saksi-Nya serta mengungkapkan rahasia-rahasia firman-Nya. Para mahkluk yang lain tidak melihat ada dimensi yang tidak bisa dijangkau olehnya, ia hanya mampu melihat pada tingkat yang paling rendah dalam diri manusia. Sementara ia terhijab oleh ketinggian derajat manusia yang berasal dari tiupan illahi (QS Al Hijir 28-29).

Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu secara berurutan dalam memahami manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri.

Al Ghazaly yang hidup pada abad pertengahan tidak terlepas dari kecenderungan umum pada zamannya dalam memandang manusia. Didalam buku buku filsafatnya ia mengatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah yaitu An nafs (jiwanya). Yang dimaksud an nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat dan merupakan tempat pengetahuan intelektual (al makulat) yang berasal dari alam malakut atau alam amr. Ini menunjukkkan esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisik. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat. Dan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Keberadaannya tergantung kepada fisik. Alam al amr atau alam malakut adalah realitas diluar jangkauan indra dan imaginasi, tanpa tempat, arah dan ruang. Sebagai lawan dari alam al khalq atau alam mulk yaitu dunia tubuh dan aksiden-aksidennya esensi manusia, dengan demikian an nafs adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri dan merupakan subyek yang mengetahui (Bashirah).

Untuk membuktikan adanya substansi immaterial yang disebut an nafs, Al Ghazaly mengemukakan beberapa argumen. Persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia dan seluruh berita tentang akhirat tidak ada artinya apabila an nafs tidak ada, sebab seluruh ajaran agama hanya ditujukan kepada yang ada (al maujud) yang dapat memahaminya. Yang mempunyai kemampuan bukanlah fisik manusia sebab apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami, objek-obyek fisik lainnya juga mesti mempunyai kemampuan memahami. Kenyataan tidak demikian. Argumen bersifat keagamaan ini , bagaimanapun tidak dapat meyakinkan orang yang ragu terhadap kenabian dan hari akhirat. Karena untuk mempercayai argumen ini orang terlebih dahulu harus percaya akan kenabian dan hari akhirat.

Selain itu Al Ghazaly juga mengemukakan pembuktian dengan kenyataan faktual dan kesederhanaan langsung, yang kelihatannya tidak berbeda dengan argumen-argumen yang dibuat oleh Ibnu Sina (wafat 1037) untuk tujuan yang sama, melalui pembuktian dengan kenyataan faktual. Al Ghazaly memperlihatkan bahwa; diantara makhluk-makhluk hidup terdapat perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing. Keistimewaan makhluk hidup dari benda mati adalah sifat geraknya. Benda mati mempunyai gerak monoton dan didasari oleh prinsip alam. Sedangkan tumbuhan makhluk hidup yang paling rendah tingkatannya, selain mempunyai gerak yang monoton, juga mempunyai kemampuan bergerak secara bervariasi. Prinsip tersebut disebut jiwa vegetatif. Jenis hewan mempunyai prinsip yang lebih tinggi dari pada tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan hewan, selain kemampuan bisa bergerak bervariasi juga mempunyai rasa. Prinsip ini disebut jiwa sensitif. Dalam kenyataan manusia juga mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia selain mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia juga mempunyai semua yang dimiliki jenis-jenis makhluk tersebut, disamping mampu berpikir dan serta mempunyai pilihan untuk berbuat dan untuk tidak berbuat. Ini berarti manusia mempunyai prinsip yang memungkinkan berpikir dan memilih. Prinsip ini disebut an nafs al insaniyyat. Prinsip inilah yang betul-betul membedakan manusia dari segala makhluk lainnya.

Argumen kesadaran langsung yang dikemukakan seorang manusia menghentikan segala aktivitas fisiknya1, sehingga ia berada dalam keadaan tenang dan hampa aktivitas. Ketika ia menghilangkan segala aktivitasnya, menurut Al Ghazaly, ada sesuatu yang tidak hilang di dalam dirinya yaitu "kesadaran" yakni kesadaran akan dirinya. Ia sadar bahwa ia ada. Bahkan ia sadar bahwa ia sadar. Pusat kesadaran itulah yang disebut an nafs al insaniyyat (diri sejati). Dikatakan dalam suatu tafsir shafwatu at tafasir karangan Prof. As Shabuny dalam surat Al Qiyamah ayat 14:

"akan tetapi di dalam diri manusia ada bashirah (yang tahu)."

Kata bashirah ini disebut sebagai yang tahu atas segala gerak manusia yang sekalipun sangat rahasia. Ia biasa menyebut diri (wujud)-nya adalah "Aku".

Wujud "Aku" yang memiliki sifat tahu yang memperhatikan dirinya atas perilaku hati, kegundahan, kebohongan, kecurangan, serta kebaikan. Ia tidak pernah bersekongkol dengan perasaan dan pikiran, ia jujur dan suci, sehingga manusia, setan dan jin tidak bisa menembus alam ini karena ia sangat dekat dengan Allah sekalipun manusia itu jahat dan kafir. Adalah pernyataan Allah atas pengangkatan sebagai wakil Allah, sehingga Allah menyebut tentang "Aku" ini sebagai ruh-Ku. Yang oleh As Shabuny sebagai penghormatan yang maha tinggi seperti penghormatan Allah terhadap Baitullah (rumah Allah).

Ketika itu yang disadari bukan fisik dan yang sadarpun bukan fisik. Kesadaran disini tidak melalui alat, tetapi bersifat langsung. Oleh karena itu subyek yang sadar itu jelas bukan fisik dan bukan fungsi fisik melainkan sesuatu substansi yang berbeda dengan fisik.

Mungkin juga dikatakan disini tidak bersifat langsung, tetapi melalui perantara, yaitu melalui perbuatanku. Dalam perbuatanku ada yang mendahului, yaitu kesadaran akan aku yang menjadi subyek perbuatan itu. Kesadaran disini bagaimanapun bersifat langsung dan terlepas dari aktivitas fisik. Dengan demikian subyek yang sadar, yang menjadi esensi manusia itu nyata ada dan merupakan substansi yang berbeda dengan fisik. Hal ini terbukti ketika manusia kehilangan aktivitas pada moment menjelang tidur. Sang "Aku" (kesadaran) mengetahui dengan sadar peristiwa yang dialami pada saat bermimpi. Begitupun Kehidupan keruhanian dalam mendasari kesadaran ihsan dengan menghentikan aktivitas fisik sebagai kendali sahwati, maka yang timbul adalah kesadaran diri yang mampu menembus alam malakut dan uluhiah. Dimana manusia mencapai puncak eksistensi yang sejati. Kesejatian inilah yang di tuntut oleh Allah dalam hal melakukan peribadatan, apakah puasa, zakat, dan shalat. Dengan konteks "ihklaskanlah peribadatanmu dengan tidak melakukan kesyirikan sedikitpun" (QS. Az Zumar 11 & 14). Aktivitas ruhani yang diajarkan oleh Allah adalah peribadatan saum yang mana manusia dalam sementara waktu diwajibkan mengendalikan emosinya dan aktivitas keinginan hawa nafsu selama satu bulan di bulan ramadhan. Selama satu bulan penuh menahan rasa dan keinginan ragawi, samar-samar akan terjadi proses transformasi kejiwaan yang tadinya emosional berubah menjadi ketenangan, dan fisik seolah tidak lagi menuruti keinginannya, sehingga sang fisik mengikuti kehendak-kehendak diri yang sejati. Maka oleh Allah dikatakan mereka itu telah mendapatkan karunia lailatul qadar, dimana ia mampu menembus seluruh semesta ruhani dan kembali sebagai manusia sejati dan fitrah. Keadaan Fitrah ini diungkap Al Qur'an, bahwa apabila telah terjadi fitrah pada diri manusia maka sesungguhnya fitrah itu sama dengan kehendak Allah (QS. 30:30):

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

Dalam hal ini manusia tersebut mendapat karunia kepatuhan dan ketaqwaan seperti patuhnya alam semesta serta patuhnya tubuh manusia, dimana dimengerti bahwa tidak pernah dirinya merencanakan ada, kemudian kenapa aku ini laki-laki? Atau nafas ini mengalir keluar masuk tanpa aku kehendaki dan bisakah aku menangguhkan jangan keburu tua dulu. Hal ini merupakan renungan hakiki, kenapa pikiran ini tidak sepatuh alam dan tubuh yang diselimuti kekuasaan Allah. Ia begitu tampak jelas dalam gerakan dan keberadaan alam dan diri ini.

Dengan argumen di atas bahwa an nafs berdiri sendiri dipertegas bahwa ia tidak bertempat, baik didalam badan maupun diluar badan. Karena an nafs bukan materi maka dengan sendirinya tidak mengambil ruang dan tidak mempunyai tempat. Sifat dasar an nafs tidak mengandung kemungkinan bertempat. Artinya pernyataan tempat tidak sesuai dihubungkan kepada an nafs, sebagaimana tidak sesuai sifat mengetahui atau tidak mengetahui diletakkan pada benda mati. Al Ghazaly tidak menerima pandangan bahwa an nafs berada di luar badan. Sebab an nafs dalam keadaan demikian, menurutnya tidak mungkin mengatur badan, tetapi kalau an nafs berada di dalam badan keberatan lain akan timbul. An nafs bertempat di dalam badan tidak terlepas dua kemungkinan, yaitu bertempat pada seluruh badan atau pada sebagiannya saja. Kalau bertempat pada seluruh badan, an nafs semestinya menyusut atau berpindah, jika sebagian anggauta tubuh manusia terpotong dan ini tidak mungkin.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa esensi atau hakikat manusia adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat illahi (berasal dari alam amr), tidak bertempat di dalam badan, bersifat sederhana, mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan (tidak kadim) dan bersifat kekal pada dirinya. Ia berusaha menunjukkan bahwa kesadaran jiwa dan sifat-sifat dasarnya tidak dapat diperoleh melalui akalnya saja, tetapi dengan akal dan sara' . Untuk itu selain kutipan ayat 29 surat Al Hijir di atas juga ayat-ayat yang lain yang menerangkan esensi manusia seperti surat Ali Imron 169:

"Jangan engkau sangka orang-orang yang terbunuh pada jalan Allah itu mati, mereka itu hidup dan diberi rezeki disisi Tuhan."

"Katakan jiwa itu dari amr Tuhanku." (QS. Al Isra 85).

Ayat yang pertama menunjukkan kekekalan jiwa dan ayat yang kedua untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari dunia yang sangat dekat dengan Allah, alam amr.

Pembangkitan kesadaran akan diri, dikatakan para ulama kerohanian sebagai ajang mujahadah untuk menemukan kesejatian, dan dengan kesejatian itu pula manusia akan mencapai hakikat "diri" serta terbukanya kebenaran adanya Allah secara hakiki, yakni makrifatullah.

Periode pertengahan kejayaaan Islam di Jawa, berlangsung semaraknya hidup berkerohanian yang dipelopori para dai (wali songo) masa itu. Namun kita melihat kelebihan dan kekurangan metode yang diajarkan, masih banyak menyesuaikan budaya masyarakat kerohanian Hindu. Sehingga peribadatan yang masih tersisa sekarang kelihatan asimilasi peninggalan Hindu dan Budha. Akan tetapi kita melihat dengan jernih ajaran yang disampaikan oleh beliau dengan tetap memurnikan ketauhidan kita kepada Allah. Misalnya dalam mantra berbahasa Jawa, tentang perenungan hakiki manusia serta penyadaran dan pencarian kesejatian yang dikatakan dalam Al Qur'an sebagai "bashirah"(Aku yang mengetahui).

Bismillahirrahmanirrahim (dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang). Melebu Allah. Metu Allah (masuknya nafas karena Allah ... keluarnya nafas karena Allah). Anekadaken urip iku Allah (yang mengadakan hidup itu Allah). Utek dunungno kodrate Allah (otak letakkan atas kodrat Allah). Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah (ya hu ... Allah ya hu ... Allah ya hu ... Allah). Nabi Muhammad iku utusane Allah (nabi Muhammad itu rasullullah).

Artinya: (perlu diketahui dalam membaca kalimat mantra ini diperlukan penghayatan dan pendalaman makna yang hakiki).

Masuk dan keluarnya nafas ini adalah kodrat Allah yang tidak bisa dicegah. Manusia hanya menerima dengan pasrah atas kekuasaan Allah yang meliputi nafas. Sehingga fikiran ini diajak patuh dan pasrah bersamaan dengan patuhnya nafas tanpa reserve (totalitas). Yang mengadakan hidup pada manusia (semesta) itu adalah Allah. Dimana seluruh makhluk, apakah itu binatang, manusia, tumbuhan serta bumi, matahari semuanya bergerak dinamis atas sifat hidup Allah (Al Hayyu). Otak adalah merupakan bentuk kekuasaan Allah atas manusia, yang mana manusia diwajibkan berfikir dan berkontemplasi untuk menyatakan sebagai wakil Allah (khalifah) maka dengan itu otak harus sesuai dengan kehendak-kehendak Allah (perintah Allah).

Wahai zat yang tidak sama dengan makhluknya.
Aku bersaksi bahwa nabi Muhammad itu rasulullah.

Disini kita melihat sejarah manusia ketika mensikapi atas dirinya dalam pencarian diri sejati secara universal. Al Qur'an telah memaparkan sebelum para pemikir barat memulai.