Sabtu, 17 Desember 2011

SULUK SUNAN BONANG

Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua:

(1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh JALAN CINTA (Tasawuf) dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). 

(2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru Sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.

Apa itu suluk?
Suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Dzikir dan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). 

Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).

Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan JALAN CINTA (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan mendalam tentang Yang Satu.

Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan Prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).

Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.

Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para Wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.

Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.

Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). 

Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)


Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). 

Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. 

Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. 

Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.

Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.

Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).

PERILAKU AJARAN HASTA BRATA (WAHYU MAKKUTHA RAMA)


Wahyu Makutha Rama yang dikenal dengan nama ajaran HASTABRATA yang artinya HASTA adalah 8 dan BRATA adalah tingkah laku atau watak. Jadi HASTABRATA adalah merupakan 8 guidance (pedoman) ilmu standard perilaku manusia dalam leadership & Manajemen. 

Pertama ilmu HASTABRATA telah di-wejangkan oleh Raden Regowo (Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada adiknya Barata sebelum dinobatkan menjadi raja di Ayodya bergelar Prabu Barata (Dalam Cerita Romo Tundung). 

Yang kedua oleh Raden Regowo juga (Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada Raden Wibisono sebelum dinobatkan menjadi raja di Alengka yang berganti nama menjadi Sindelo bergelar Prabu Wibisono (Dalam Cerita Bedah Alengko). 

Yang ketiga Sri Bathara Kresna (Juga Titisan Bhatara Wisnu) dari Dworowati mewejangkan rahasia ilmu HASTABRATA (Dalam Cerita Wahyu Makutoromo) kepada Raden Arjuna, sebagai penengah Pendawa yang telah menjalani “Perilaku” prihatin dengan cara bertapa. 

Dikatakan bahwa ke-delapan unsur alam semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku sehari-hari dalam pergaulan masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin negara dan bangsa dengan implementasi prinsip-prinsip hukum alamiah.

Ajaran HASTABRATA berisi 8 ajaran perilaku yang harus dipunyai seorang pemimpin, yang terdiri dari sbb;

1. Watak Surya atau matahari diteladani oleh Bhatara Surya

Matahari memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan yang membuat semua makhluk tumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin hendaknya mampu menumbuh kembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negara dengan bekal lahir dan batin untuk dapat tetap berkarya.

2. Watak Candra atau Bulan diteladani oleh Bhatari Ratih

Bulan memancarkan sinar kegelapan malam. Cahaya bulan yang lembut mampu menumbuhkan semangat dan harapan-harapan yang indah. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberikan dorongan atau motivasi untuk membangkitkan semangat rakyatnya, dalam suasana suka dan duka.

3. Watak Kartika atau Bintang diteladani oleh Bhatara Ismoyo

Bintang memancarkan sinar indah kemilau, mempunyai tempat yang tepat di langit hingga dapat menjadi pedoman arah. Seorang pemimpin hendaknya menjadi suri teladan (Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tutwuri Handayani). Tidak ragu lagi menjalankan keputusan yang disepakati, serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang akan menyesatkan.

4. Watak Angkasa yaitu Langit diteladani oleh Bhatara Indra

Langit itu luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan batin dan kemampuan mengendalikan diri yang kuat, hingga dengan sabar mampu menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam.

5. Watak Maruta atau Angin diteladani oleh Bhatara Bayu

Angin selalu ada di mana-mana, tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya, bisa mengetahui keadaan dan keinginan rakyatnya. Mampu memahami dan menyerap aspirasi rakyat.

6. Watak Samudra yaitu Laut atau Air diteladani oleh Bhatara Baruna

Laut, betapapun luasnya, senantiasa mempunyai permukaan yang rata dan bersifat sejuk menyegarkan. Seorang pemimpin hendaknya menempatkan semua orang pada derajat dan martabat yang sama, sehingga dapat berlaku adil, bijaksana, dan penuh kasih sayang terhadap rakyatnya.

7. Watak Dahana atau Api diteladani oleh Bhatara Brahma

Api mempunya kemampuan untuk membakar habis dan menghancur leburkan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan harus bisa menegakkan kebenaran dan keadilan secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu.

8. Watak Bumi yaitu Tanah diteladani oleh Bhatara Wisnu

Bumi mempunyai sifat kuat dan bermurah hati. Selalu memberi hasil kepada siapa pun yang mengolah dan memeliharanya dengan tekun. Seorang pemimpin hendaknya berwatak sentosa, teguh dan murah hati, senang beramal dan senantiasa berusaha untuk tidak mengecewakan rakyatnya.


A. LAKON “WAHYU MAKUTARAMA”

1. Pengantar
Lakon “Wahyu Makutarama” adalah bukti kepiawaian para pujangga Nusantara dalam mengadopsi cerita wayang, yang aslinya dari India. Epos India terdiri dari “Ramayana” dan “Mahabharata”.
Lakon “Wahyu Makutarama” adalah hasil karya leluhur Nusantara kita, merupakan “titik temu” atau “jembatan penghubung” antara kedua kisah tadi,
Dalam lakon ini ada tokoh Gunawan Wibisana dan Anoman, tokoh dalam kisah Ramayana.

2. Ringkasan lakon “Wahyu Makutarama”.

Syahdan, para dewa mengabarkan kepada para insan marcapada, bahwa telah ada Mahkota yang diberi nama Sri Batara Rama. Barangsiapa memiliki mahkota itu, akan menjadi sakti, dan kelak akan menurunkan raja-raja yang memerintah di marcapada. Karena berkhasiat menurunkan raja-raja, kemudian sering disebut sebagai “Wahyu Makutarama”.

Prabu Duryudana dari Astina mengutus Adipati Karna untuk memperoleh mahkota sekaligus wahyu tadi. Adipati Karna, dengan diiringi para senapati Kurawa, pergi menemui Begawan Kesawasidi di pertapaan Kutharunggu. Karna meminta wahyu itu, yang diyakininya berada di tangan Kesawasidi. Kesawasidi mengatakan dia tidak punya Makutarama. Adipati Karna marah, dan melepaskan panahnya, yang disambut oleh Anoman, pendamping Kesawasidi. Panah itu ditangkap Anoman, kemudian dipersembahkan kepada Kesawasidi. Bukannya dipuji, Anoman malah ditegur Kesawasidi, karena, dapat dipandang sebagai meragukan kepiawaian kanuragan gurunya.

Setelah Karna pergi, datanglah Begawan Wibisana, adik Rahwana, yang sudah berusia lanjut dan ingin segera meninggalkan dunia, kembali ke alam asal. Tidak dilayani oleh Kesawasidi, hingga terjadi pertempuran. Kesawasidi “tiwikrama”, dan sadarlah WIbisana bahwa Kesawasidi titisan Rama, bekas junjungannya dulu. Kesawasidi memberi petunjuk cara kembali ke alam asal. Wibisana pamit, dan dalam perjalanan ke alam asal bertemu sukma Kumbakarna, kakaknya dulu, yang sedang gelisah. Wibisana menasehati Kumbakarna supaya menyatu dengan Bima, ksatria Pandawa.

Sementara itu, Arjuna juga berupaya mendapatkan Makutarama. Dia pergi diam-diam dari istananya, kemudian menyamar sebagai pendeta. Selagi bersemedi, Arjuna mendapat “wangsit” untuk menemui Begawan Kesawasidi.
Setelah Arjuna datang menghadap, tahulah Kesawasidi bahwa sudah tiba saatnya memberikan wahyu itu kepada orang yang tepat. Diwedarkannya rahasia bahwa Makutarama bukanlah berujud benda, tetapi berupa ajaran luhur yang patut dijadikan pedoman dan dilakoni oleh manusia, terutama yang mengemban tugas sebagai pemimpin. Ajaran luhur ini dinamakan “Asta Brata”, yang intinya meneladan sifat-sifat alam dalam melakoni kehidupan. Asta Brata ini dulunya diajarkan Rama kepada Wibisana, sepeninggal Rahwana, sebagai bekal bagi Wibisana menjadi raja Alengka menggantikan Rahwana.

Sepeninggal Arjuna, Bima mencarinya. Dalam pencarian itu, ketemu sukma Kumbakarna, yang kemudian merasuk ke paha kiri Bima. Istri Arjuna, Sumbadra, juga mencari Arjuna. Sumbadra dibantu Betara Narada, dan berubah rupa menjadi ksatria, yang kemudian pergi ke Kutharunnggu menantang perang Arjuna.
Dalam perang tanding itu, Kesawasidi datang. dan “badar” lah semuanya. Kesawasidi kembali ke wujud Kresna, sang ksatria penantang kembali menjadi Sumbadra.

Arjuna mewarisi wahyu Makutarama berupa ajaran “Asta Brata”, yang kelak diwariskan kepada puteranya, Abimanyu. Anak Abimanyu, Parikesit, belakangan mewarisi tahta kerajaan Hastina.

B. “ASTA BRATA”.

1. Inti ajaran Asta Brata.

Ajaran Astabrata pada awalnya merupakan ajaran yang diberikan olah Rama kepada Wibisana. Ajaran tersebut terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat, tertuang pada pupuh 27 Pankur, jumlah bait 35 buah. Pada dua pupuh sebelumnya diuraikan kekalahan Rahwana dan kesedihan Wibisana. Disebutkan, perkelahian antara Rahwana melawan Rama sangat dahsyat. Seluruh kesaktian Rahwana ditumpahkan dalam perkelahian itu, namun tidak dapat menendingi kesaktian Rama. Ia gugur olah panah Gunawijaya yang dilepaskan Rama. Melihat kekalahan kakaknya, Wibisana segera bersujud di kaki jasad kakaknya dan menangis penuh kesedihan.

Rama menghibur Wibisana dengan memuji keutamaan Rahwana yang dengan gagah berani sebagai seorang raja yang gugur di medan perang bersama balatentaranya. Oleh Rama, Raden Wibisana diangkat menjadi Raja Alengka menggantikan Rahwana. Rama berpesan agar menjadi raja yang bijaksana mengikuti delapan sifat dewa yaitu Indra, Yama, Surya, Bayu, Kuwera, Brama, Candra, dan Baruna. Itulah yang disebut dengan Asthabrata.

Dalam lakon Wahyu Makutarama, Prabu Rama menitis kepada Kresna untuk melestarikan Asta Brata dan menurunkannya kepada Arjuna. Setelah itu, Asta Brata diturunkan oleh Arjuna kepada Abimanyu dan diteruskan kepada Parikesit yang kemudian menjadi Raja.

Asta Brata adalah simbol alam semesta. Arti harfiahnya “delapan simbol alam”, tetapi sejatinya menyiratkan keharmonisan sistem alam semesta. Pada hakikatnya kedelapan sifat tersebut merupakan manifestasi keselarasan yang terdapat pada tata alam semesta yang diciptakan Tuhan, dan manusia harus menyelaraskan diri
dengan tata alam semesta kalau ingin selamat dan terhindar malapetaka. Bila manusia, sebagai ciptaan Tuhan, bisa selaras dengan alam semesta, maka selaraslah kehidupannya.

Delapan simbol alam itu adalah: bumi, geni, banyu, angin, srengenge, bulan, lintang, dan awan. Mengambil kedelapan simbol alam sebagai contoh, itu lah inti ajaran Asta Brata, sebagai pedoman tingkah laku seorang raja, yang secara singkat dapat dirangkum sebagai:

“Dapat memberikan kesejukan dan ketentraman kepada warganya; membasmi kejahatan dengan tegas tanpa pandang bulu; bersifat bijaksana, sabar, ramah dan lembut; melihat, mengerti dan menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan bagi warganya yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi warganya.”

2. Beberapa versi rumusan Asta Brata

a. Menurut Yasadipura I ((1729-1803 M) dari keraton Surakarta:

-Asta Brata adalah delapan prinsip kepemimpinan sosial yang meniru filosofi/sifat alam, yaitu:

1. Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi)
Seperti halnya bumi, seorang pemimpin berusaha untuk setiap saat menjadi sumber kebutuhan hidup bagi siapa pun. Dia mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan memberikan kepada siapa saja tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan segalanya kepada rakyatnya, dia tidak menunjukkan sifat sombong/angkuh.

2. Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air)
Seperti sifat air, mengalir dari tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sejuk/dingin. Seorang pemimpin harus bisa menyatu dengan rakyat sehingga bisa mengetahui kebutuhan riil rakyatnya. Rakyat akan
merasa sejuk, nyaman, aman, dan tentram bersama pemimpinnya. Kehadirannya selalu diharapkan oleh rakyatnya. Pemimpin dan rakyat adalah mitra kerja dalam membangun persada tercinta ini. Tanpa rakyat, tidak ada yang jadi pemimpin, tanpa rakyat yang mencintainya, tidak ada pemimpin yang mampu melakukan tugas yang diembannya sendirian.

3. Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat angin)
Seperti halnya sifat angin, dia ada di mana saja/tak mengenal tempat dan adil kepada siapa pun. Seorang pemimpin harus berada di semua strata/lapisan masyarakatnya dan bersikap adil, tak pernah diskriminatif (membeda-bedakan).

4. Mahambeg Mring Condro (meniru sifat bulan)
Seperti sifat bulan, yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati rakyatnya dengan sikap keseharian yang tegas/jelas dan keputusannya yang tidak menimbulkan potensi konflik. Kehadiran pemimpin bagi rakyat menyejukkan, karena aura sang pemimpin memancarkan kebahagiaan dan harapan.

5. Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat matahari)
Seperti sifat matahari yang memberi sinar kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat. Energi positif seorang pemimpin dapat memberi petunjuk/jalan/arah dan solusi atas masalah yang dihadapi rakyatnya.

6. Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat laut/samudra)
Seperti sifat lautan, luas tak bertepi, setiap hari menampung apa saja (air dan sampah) dari segala penjuru, dan membersihkan segala kotoran yang dibuang ke pinggir pantai. Bagi yang memandang laut, yang terlihat hanya kebeningan air dan timbulkan ketenangan. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan pandangan, dapat menampung semua aspirasi dari siapa saja, dengan penuh kesabaran, kasih sayang, dan pengertian terhadap rakyatnya.

7. Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat gunung)
Seperti sifat gunung, yang teguh dan kokoh, seorang pemimpin harus memiliki keteguhan-kekuatan fisik dan psikis serta tidak mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun membela rakyatnya. Tetapi juga penuh hikmah tatkala harus memberikan sanksi. Dampak yang ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang pemimpin diharapkan membawa kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi yang dapat menyuburkan tanah.

8. Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat api)
Seperti sifat api, energi positif seorang pemimpin diharapkan mampu menghangatkan hati dan membakar semangat rakyatnya mengarah kepada kebaikan, memerangi kejahatan, dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya.

b. Menurut Serat Aji Pamasa (Pedhalangan) karya Raden Ngabehi Rangga Warsita. Pemimpin dituntut ngerti, ngrasa, dan nglakoni (Tri-Nga) 8 (delapan) watak alam. Hasta berarti delapan, brata berarti laku atau watak.

1. Watak Surya atau srengenge (matahari); sareh sabareng karsa, rereh ririh ing pangarah.
2. Watak Candra atau rembulan (Bulan); noraga met prana, sareh sumeh ing netya, alusing budi jatmika, prabawa sreping bawana.
3. Watak Sudama atau lintang (Bintang); lana susila santosa, pengkuh lan kengguh andriya. Nora lerenging ngubaya, datan lemeren ing karsa. Pitayan tan samudana, setya tuhu ing wacana, asring umasung wasita. Sabda pandhita ratu tan kena wola wali.
4. Watak Maruta atau angin (Udara yang bergerak); teliti setiti ngati-ati, dhemen amariksa tumindake punggawa kanthi cara alus.
5. Watak Mendhung atau mendhung (Awan hujan); bener sajroning paring ganjaran, jejeg lan adil paring paukuman.
6. Watak Dahana atau geni atau latu (Api); dhemen reresik regeding bawana, kang arungkut kababadan, kang apateng pinadhangan.
7. Watak Tirta atau banyu atau samodra (Air); tansah paring pangapura, adil paramarta. Basa angenaki krama tumraping kawula.
8. Watak pratala atau bumi atau lemah (Tanah); tansah adedana lan karem paring bebungah marang kawula.

c. Menurut lakon Wahyu Makutharama, diajarkan oleh Begawan Kesawasidi (Prabu Kresna) kepada Raden Arjuna, sebagai berikut:

1. “kapisan bambege surya, tegese sareh ing karsa, derenging pangolah nora daya-daya kasembadan kang sinedya. Prabawane maweh uriping sagung dumadi, samubarang kang kena soroting Hyang Surya nora daya-daya garing. Lakune ngarah-arah, patrape ngirih-irih, pamrihe lamun sarwa sareh nora rekasa denira misesa, ananging uga dadya sarana karaharjaning sagung dumadi.

2. Kapindho hambege candra yaiku rembulan, tegese tansah amadhangi madyaning pepeteng, sunare hangengsemake, lakune bisa amet prana sumehing netya alusing budi anawuraken raras rum sumarambah marang saisining bawana.

3. Katelu hambeging kartika, tegese tansah dadya pepasrening ngantariksa madyaning ratri. Lakune dadya panengeraning mangsa kala, patrape santosa pengkuh nora kengguhan, puguh ing karsa pitaya tanpa samudana, wekasan dadya pandam pandom keblating sagung dumadi.

4. Kaping pate hameging hima, tegese hanindakake dana wesi asat; adil tumuruning riris, kang akarya subur ngrembakaning tanem tuwuh. Wesi asat tegese lamun wus kurda midana ing guntur wasesa, gebyaring lidhah sayekti minangka pratandha; bilih lamun ala antuk pidana, yen becik antuk nugraha.

5. Kalima ambeging maruta, werdine tansah sumarambah nyrambahi sagung gumelar; lakune titi kang paniti priksa patrape hangrawuhi sakabehing kahanan, ala becik kabeh winengku ing maruta.

6. Kaping nem hambeging dahana, lire pakartine bisa ambrastha sagung dur angkara, nora mawas sanak kadang pawong mitra, anane muhung anjejegaken trusing kukuming nagara.
7. Kasapta hambeging samodra, tegese jembar momot myang kamot, ala becik kabeh kamot ing samodra; parandene nora nana kang anabet. Sa-isene maneka warna, sayekti dadya pikukuh hamimbuhi santosa.

8. Kaping wolu hambeging bantala, werdine ila legawa ing driya; mulus agewang hambege para wadul. Danane hanggeganjar myang kawula kang labuh myang hanggulawenthah.


C. NILAI DAN TELADAN

a. Relevansi Asta Brata dengan ajaran serupa di dunia Internasional.
Ada banyak rumusan Asta Brata. Bahkan, pernah dijadikan pelajaran wajib di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

Apakah ajaran ini bersifat Universal, dalam arti tidak hanya dihayati bangsa Indonesia saja?
Ternyata, memang benar. Ajaran Asta Brata bersifat Universal, dikenal pula di belahan dunia yang lain, walau pun berbeda sebutan dan rumusannya. Berupa apa sifat ajaran Universalnya?
Yaitu, bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam.

Di Negeri China, Korea, dan Jepang dikenal “Fengshui” (harfiahnya Angin dan Air), yang berlandaskan teori lima proses: Logam, Kayu, Tanah, Air, dan Api.

Di anak benua India, dikenal pula Teori 5 Unsur: Api, Tanah, Air, Udara (Angin) dan Ruang.
Mengapa hanya lima? Berarti ajaran Asta Brata lebih lengkap?
Ternyata, tidak sesederhana itu.
Perhatikan, adakah unsur “Ruang” dalam ajaran Asta Brata?
Tanpa ruang, di manakah ke unsur-unsur alam itu berada?

Makna: Tidak semua yang terlihat berbeda itu benar-benar berbeda. Perluaslah wawasan kita untuk bisa melihat, bahwa ada kesamaan di antara perbedaan.

b. Esensi Makna Asta Brata
Asta Brata bukan hanya berlaku bagi para pemimpin saja. Setiap manusia, seyogyanya mengamalkannya, dalam arti “hidup selaras dengan alam”, dan “menjalankan peran yang diembannya, sehingga memberi manfaat bagi sesama”.

Seorang pemimpin yang tidak mampu melaksanakan Asta Brata bagai raja tanpa mahkota. Sebaliknya, rakyat jelata yang dalam hidupnya mampu melaksanakan Asta Brata, berarti ia adalah rakyat jelata yang bermahkota, dialah manusia yang luhur budi pekertinya.

Kamis, 02 Juni 2011

INDONESIA: BANGSA YANG SEDANG MABOK AGAMA!


1. Pengantar
Siapa tidak risau melihat kenyataan yang terjadi di Indonesia. Ada berbagai agama besar dengan umatnya yang besar (terutama Islam), namun kasih sayang, ketentraman, kesejahteraan, kebenaran dan keadilan malah nyaris tidak ada. Atau justru sebaliknya, kekerasan, kerusuhan, pembunuhan, ketidak adilan, kriminalitas, keterbelakangan, kemiskinan, ketidak jujuran, kemunafikan, korupsi, kolusi, dan berbagai pelanggaran HAM justru marak terjadi di Indonesia; dan barangkali mencapai index prestasi nomor wahid didunia. Kalau begini, apanya yang salah? Berikut ini adalah butir-butir analisis yang mendalam tentang masalah ini.

3. Keterbatasan Agama
Agama berbasis kitab suci. Dengan demikian, agama mempunyai keterbatasan yang cukup mencolok seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci Al-Quran dan Injil. Misal dalam Al-Quran ditandaskan bahwa apabila semua ajaran Allah SWT dituliskan, maka tinta sebanyak samudera rayapun tidak akan mencukupi. Demikian pula dengan Injil yang menandaskan apabila semua ajaran Isa Almasih dituliskan maka dunia beserta isinya pun tidak akan bisa memuat. Dengan demikian, kedua agama terbesar didunia ini menandaskan bahwa Allah adalah Maha Besar atau Maha Tak TERBATAS, jadi mana mungkin sesuatu yang Tak Terbatas (Allah, milyaran tahun) cukup dijelaskan oleh satu orang saja yang sangat terbatas (para nabi, yang umurnya mencpai k.l. 80 tahun)! Jika Allah itu dari minus tak terhingga (alpha, tak tahu kapan awalnya) dan berakhir di plus terhingga (omega, tak tahu kapan berakhirnya), maka seorang manusia yang hidup di suatu range (daerah) umur yang sangat terbatas (katakan 80 tahun) adalah tidak mungkin menjelaskan secara tuntas sesuatu yang tak terhingga (milyaran tahun)! Bumi dan universe sudah milyaran tahun, dan masih milyaran tahun lagi, maka seribu, sejuta atau bahkan semilyar nabi disertai ilmuwan tidak akan pernah selesai mempelajari universe dan Tuhan! Jadi, benarlah ayat-ayat diatas, ke "Mahabesaran Tuhan" tidak mungkin cukup diwadahi dalam buku setebal/setipis kitab suci. Ke "Mahabesaran Tuhan" juga tercermin pada luas dan dalamnya ilmu pengetahuan. Ilmuwan di negara modern sudah tidak lagi mencari hanya agama yang terbatas, melainkan selalu terus mencari Tuhan beserta rahasiaNya (ilmu pengetahuan) yang tak terbatas namun sangat indah untuk terus menerus dieksplorasi. Maka sungguh sangat besar dosa para pemuka agama terhadap Tuhan bila mereka terus menerus mengajarkan bahwa “Tuhan itu Maha Terbatas” (membatasi Tuhan), dan sungguh besar dosa para pemuka agama terhadap manusia bila mereka terus menerus mengajarkan “agama yang bernuansa SARA” (agama justru menjadi sekat/pembatas antar manusia).

2. Definisi Mabok Agama
Definisi mabok atau mendem (Jawa) adalah keadaan dimana seseorang mengkonsumsi/memahami tentang sesuatu/paham yang melebihi batas normal/kewajaran; orang yang mendem menjadi seperti: tidak normal tingkah lakunya, tidak wajar cara berpikirnya (bloon, tidak cerdas), dan sulit diajak berdiskusi/berdialog. Contoh mabok adalah mabok minuman keras dan mendem gadung (di Jawa). Analog definisi ini, maka mabok agama dapat didefinsikan sebagai orang (atau kumpulan orang) yang mengkonsumsi/memahami agama secara berlebihan, melupakan keterbatasan agama, melupakan penyalah gunaan agama yang lumrah terjadi (terutama politisasi agama), dan menganggap bahwa semua persoalan dunia dapat diatasi hanya dengan agama saja.


4. Contoh dan Gejala Mabok Agama
Semua negara rupa-rupanya harus mengalami mabok agama dulu. Negara modern seperti Eropa baru selesai mabok agama sekitar abad 19 (seratus tahun yl.). Ketika agama Kristen masih "tidur lelap", namun mendominasi Eropa, maka Eropa mengalami jaman kegelapan dan kemunduran keilmuan luar biasa, baru setelah terjadi revolusi dalam penalaran (demokrasi dan logika, renaisance), Eropa bagaikan lahir kembali. Sekarang, kaum cerdas-cendekia-ilmuwan Eropa sudah tidak tertarik lagi hanya pada agama saja, namun mereka lebih tertarik untuk mengetahui rahasia Tuhan secara lebih dalam-luas-tuntas melalui science, teknologi dan berbagai agama/kepercayaan (jadi tidak terbatas pada satu agama saja). Mereka sudah pada tingkatan kesadaran (kita belum) bahwa sungguh amat sangat bodoh dan berdosa bila membatasi Tuhan yang Maha Takterbatas hanya pada satu buku tipis, satu nabi, dan satu agama saja. Kesadaran di Eropa ini juga dialami oleh intelektual di negara modern yang lain (Jepang, Korea, Taiwan, Singapore, Australia, Canada, USA, Rusia, dst.). Saat ini, di negara modern, agama sudah tidak boleh lagi diajarkan di sekolah negeri (dari SD sampai universitas), mengingat agama itu bersifat sangat personal/privasi, sedangkan yang lebih penting untuk diajarkan adalah budi pekerti.
Contoh kasus mabok yang lain, yang serupa akibatnya, adalah kasus mabok UUD’45 disaat jaman Orde Baru. Saat itu UUD’45 disakralkan, padahal oleh alm. Bung Karno sudah diamanatkan bahwa kitab ini terlalu sederhana karena dibuat dimasa darurat sehingga perlu direvisi apabila situasi dan kondisi negara sudah memungkinkan. Namun oleh regim ORBA justru sebaliknya, melalui berbagai penataran P4 (yang mungkin lebih tepat disebut pembodohan sekaligus brain washing bangsa) ditandaskan bahwa UUD’45 itu walau tipis namun sakti, kenyal, elastis, bisa mengatur segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, bisa diulur dan diungkret sesuai pemesannya/penguasanya; jadi perlu dipertahankan, dihormati, dan barangsiapa berkehendak menentang atau mau merubah UUD’45 jutru akan digebug! Bagaimana mungkin Indonesia yang lebih dari 13 ribu pulau dan lebih 200 juta penduduk dapat di manage dengan baik dengan “kitab suci” negara yang disebut UUD’45, yang oleh pembuatnya (BK) sudah diamanatkan keterbatasannya (tipis sekali dan isinya bersifat darurat)? Akibat UUD’45 ini, jadilah negara RI menjadi carut marut seperti sekarang ini. Demikian pula dengan kitab suci, yang oleh Tuhan sendiri telah ditegaskan keterbatasannya, jadi ya jangan sekali-kali dipertuhankan (disamakan dengan Tuhan)!
Dijaman kegelapan Eropa, ketika agama mulai ditinggalkan oleh para cerdik-cendekia akibat kebekuan dan kekakuannya, beberapa oknum pemuka agama mencoba mengkelabui umatnya dengan menandaskan bahwa kitab suci itu serba bisa-serba pintar, misalnya saja kitab suci bisa menjelaskan fisika, biologi, ekonomi, perbintangan, nuklir, komputer, dst. Hal ini perlu direkayasa demi menyelamatkan agama dari bahaya ditinggalkan oleh para penganutnya. Para ilmuwan busuk lalu diminta mengarang buku-buku yang isinya, sebenarnya mengada-ada serta mereka-reka, tentang keterkaitan fisika, biologi, ekonomi, perbintangan, nuklir, komputer, dst., dengan kitab suci; jadi direkayasa bahwa seolah-olah kitab suci itu maha bisa, maha kuasa, dan maha luar biasa (tanpa pernah membahas keterbatasan kitab suci). Syukurlah masyarakat cerdik-cendekia Eropa saat itu tidak terpancing. Mereka tetap menyadari bahwa kitab suci ditulis untuk menjelaskan adanya kehidupan yang jauh lebih baik setelah mati (surga) beserta cara untuk dapat sampai kesana (surga), jadi kitab suci ditulis bukan untuk menjelaskan fisika, biologi, ekonomi, perbintangan, nuklir, komputer, dst. Mereka juga belajar dari kebijaksanaan ilmuwan top para pemenang hadiah Nobel, yang tidak pernah mengkaitkan kepakaran keilmuannya dengan kitab suci! Mereka tidak terpancing dengan iklan kecap nomor 1 dari oknum pemuka agama yang menyesatkan, membodohi serta membuat bodoh umat beragama! Saat ini, di toko-toko buku di Indonesia, banyak dijumpai buku-buku semacam diatas yang menggambarkan kitab suci itu serba bisa-serba pintar, misalnya saja kitab suci bisa menjelaskan fisika, biologi, ekonomi, perbintangan, nuklir, komputer, dst. Rupanya ada usaha agamisasi (Islamisasi/Kristenisasi) ilmu pengetahuan. Pemimpin agama berkonspirasi dengan ilmuwan untuk membodohi umatnya. Sungguh sangat menyesatkan nalar, apabila ada siswa yang belajar ilmu fisika atau ekonomi dari kitab suci Alqouran atau Injil. Semoga saja umat beragama dapat belajar dari sejarah pembodohan umat oleh pemimpin agama yang busuk di jaman kegelapan Eropa.
Gejala mabok agama di negara kita juga dapat dirasakan dari aktivitas keseharian. Undangan-undangan kegiatan di rumah dan di kantor kebanyakan bersifat keagamaan, misalnya dakwah agama atau pendalaman kitab suci. Jarang sekali undangan yang bersifat keilmuan yang non agama. Demikian pula, mass media seperti televisi, radio, majalah, spanduk, pamlet, selebaran, dan koran dipenuhi oleh berita/renungan keagamaan. Sinetron kita juga banyak yang bernuansa mistik campur agamis. Lagu-lagu di televisi dan radio juga banyak mengandung pesan-pesan agama. Yang sangat menyolok mata adalah cara mengkover hari raya Lebaran selama hampir 40 hari, dimulai dari awal puasa, mudik hari H Min, saat Lebaran, mudik hari H plus, dan usai lebaran untuk masuk kerja, sungguh luar biasa. Apakah pemberitaan semacam ini bermanfaat? Demikian pula saat mengcover ibadat haji, hampir 40 hari pula. Apakah tidak menghambur-hamburkan waktu, biaya, dan tenaga? Coba bayangkan bila cara mengcover berita pemberantasan KKN semacam hari Lebaran dan Haji (full selama 80 hari), dijamin Indonesia cepat bersih! Jika membandingkan dengan negara modern, hal sebaliknyalah yang terjadi, keilmuan, politik,dan bisnis sangat mendominasi, agama sangat minim karena agama dianggap urusan pribadi (privasi). Masyarakat Jepang dikenal sebagai kecanduan kerja, tiada hari tanpa kerja, istilah kerennya: work alcoholic; sedangkan bagi masyarakat Indonesia, tiada hari tanpa dibumbui agama, mungkin istilah kerennya: religion alcoholic. Di negara modern ada falsafah time is money, di kita agak lain: time is religion! Ada iklan Coca Cola begini: Kapan saja, dimana saja, minumlah Coca Cola; di masyarakat kita seolah-olah juga punya iklan yang mirip, yaitu: Kapan saja, dimana saja, tengguklah hanya agama! Dari pengamatan kegiatan keseharian ini, dapat disimpulkan bahwa bangsa Indonesia sedang mabok/mendem agama! Kecanduan agama menyebabkan mendem, mendem agama kalau diteruskan dapat menjadi keracunan agama! Ingat, obat itu juga dapat menjadi racun tubuh kalau dipakai secara overdosis/berlebihan! Namun perlu diketahui, bahwa semua negara yang telah berada ditingkatan modern dipastikan pernah mengalami jaman kerajaan, diktator, semi demokratis, demokratis dan pasti juga pernah mengalami mabok agama. Cuman sebaiknya kita dapat belajar dari sejarah, agar mabok agama tidak berkepanjangan dan tidak mengulangi kesalahan yang telah dibuat oleh mereka itu.

5. Penutup
Kedunguan manusia telah mengubah ajaran suci Tuhan melalui para nabi justru menjadi belenggu/pembatas bagi Tuhan dan umat beragama. Dan sejarah juga sering menjadi saksi bagaimana penguasa politik, militer, birokrat, ilmuwan, ekonom maupun pemuka agama bahu-membahu mendungukan manusia agar dapat dikuasai oleh ambisi-ambisi mereka. Pendunguan manusia ini antara lain dapat dicapai dengan mengkondisikan agar masyarakatnya mabok agama. Para oknum agamawan telah menjadikan Tuhan bersifat statis-kaku-beku; sebaliknya para ilmuwan selalu ingin membebaskan sifat statis-kaku-beku tadi menjadi dinamis-fleksibel-uptodate.

Dengan kondisi mabok agama, minimnya anggaran pendidikan, dan maraknya KKN, sudah dapat dipastikan bahwa bangsa Indonesia akan terus-menerus mengalami krisis kebudayaan dan kemunduran kualitas SDM. Krisis kebudayaan dan kemunduran kualitas SDM adalah sumber dari segala sumber berbagai krisis yang sedang dialami Indonesia. Dengan berbagai krisis ini, maka negara asing dapat “mendominasi dan mengerjain” Indonesia bekerjasama dengan para politisi busuk di pusat (Jakarta), yang sedang berkuasa (namun bodoh) dan sedang lupa diri, dalam bentuk simbiose mutualistis (kerjasama yang saling menguntungkan)!

Kita yakin bahwa dalang mabok agama ini ada pada tingkatan lokal, regional, nasional, bahkan internasional. Mereka ini mempunyai jaringan yang rapi sekali bagaikan jaringan multi-level-marketing (MLM), mereka juga mempunyai dana yang besarnya trilyunan rupiah. Negara asing mempunyai kepentingan untuk menjadi penikmat utama kekayaan alam Indonesia serta ingin menjadikan Indonesia sebagai negara boneka. Bagi politisi busuk di Jakarta, kondisi mabok agama sangat menguntungkan mereka demi mengalihkan perhatian bangsa dari masalah utama (misal KKN) dan masalah penting lainnya (BBM), sekaligus menina bobokan/menghinoptis/menggendam bangsa ini agar hidupnya terkonsentrasi, terlena dan terbuai hanya oleh masalah agama, selain itu demi memberikan rasa nyaman, menerima, dan pasrah (takdir) atas terjadinya kemiskinan dan pemiskinan bangsa yang luar biasa kejamnya!

Last but not least, mendem agama ternyata justru mengakibatkan kemunduran moral, etika dan kebudayaan, aneh ya? Mungkin ini “tanggapan” Tuhan atas pelecehan terhadapNya oleh kaum mendem agama!

Sebagai penutup, kami juga mohon agar artikel2 ini disebar luaskan kepada para: intelektual, aktivis kampus, pemuka agama, dan cendekiawan keagamaan di segenap penjuru Nusantara dan ke seantero dunia baik secara: digital (diforwardkan/disimpan di archive suatu situs internet), suara (dibacakan di radio) maupun secara kertas (dicetak/dibukukan), dengan harapan untuk menjadi sumber pembahasan/diskusi yang sehat dan sumber riset mengarah ke doktoral (PhD) demi memicu pengertian yang lebih mendalam tentang kebudayaan, agama, politik, sex dan Tuhan. Uluran tangan untuk menterjemahkan artikel ini kedalam bhs. Inggris yang baik/standar agar dapat di publish secara internasional melalui internet sangat kami tunggu2. Dengan peningkatan kecerdasan melalui internet, diharapkan kualitas SDM Indonesia dapat meningkat tajam, sehingga diharapkan negara Indonesia (dan dunia) menjadi lebih aman, tenteram dan sejahtera. Sekian dan terima kasih.

Dari pengasuh web blog,
Paguyuban Penanggulangan Krisis Kebudayaan Nasional
di Yogyakarta

BAHWA NAMA TUHAN ITU BERASAL DARI MANUSIA

SANDIWARA

"Bayi itu berasal dari desakan. Setelah menjadi tua menuruti kawan. Karena terbiasa waktu kanak-kanak berkumpul dengan anak, setelah tua pun berkumpul dengan orang-orang tua. Mereka berbincang-bincang tentang nama yang Bunyi hampa. Mereka saling membohongi, meskipun sifat-sifat dan keberadaan yang mereka bicarakan itu, tidak mereka ketahui. "

"Ia berpendapat bahwa nama Tuhan  itu berasal dari manusia. Oleh karena itu, raja agama sesungguhnya raja penipu. Dan, yang demikian itu, sudah selamanya berlangsung. Orang berani mengaku bahwa dengan berzikir, ia berani mengakui Tuhan. Padahal, nyatanya jika orang bermimpi, melihat sesuatu yang serta indah apalagi ia tidur Itu sesunguhnya hanya bayangan yang timbul dari budinya."'

PUPUH tersebut adalah pendapat Ki Kebo Kenongo, Ki Pengging. Ia memperoleh ajaran tersebut dari gurunya, Syekh Siti Jenar. Suatu pandangan yang luar biasa pada zamannya. Suatu pandangan yang biasa dibicarakan di negara-negara maju sekarang! Padahal, pandangan itu diungkapkan 500 tahun yang lalu. Marilah kita kaji kandungan pupuh itu dalam sub-tab kehadiran manusia, Tuhan, dan angan-angan.

HAKIKAT MANUSIA


Hakikat Manusia,terdiri atas dua bagian, yaitu tentang Kesadaran Diri dan Kesadaran Universal.

A. Kesadaran Diri

Didalam filsafat kontemporer secara hakiki terpusat pada pribadi manusia. Boleh jadi, tanpa situasi historis kita tidak bisa memahami apa dan esensi diri yang sebenarnya. Al Qur'an membuka pintu dunia baru, tentang kesadaran diri secara berurutan sampai kepada kesadaran yang universal. Ungkapan ini tidak terikat oleh suatu aliran tertentu. Saat dimana muncul ketikan dihadapkan persoalan manusia terdorong untuk memikirkan eksistensi. Dimana keberadaannya bagaikan terlempar begitu saja. "Aku" yang kehilangan arah, berpaling dari dirinya sendiri, ia mawas diri dan menyelidiki dirinya. Demikianlah suatu motif yang mula-mula bersifat historis dan psikologis berubah menjadi suatu pertanyaan filosofis yang mendesak: "Siapakah aku ini? Dengan kegembiraan dan harapanku? Apakah tujuan hidup ini? Apakah artinya? Mengapa aku bereksistensi? Dan bukannya tidak bereksistensi?"

Mengemukakan masalah mengenai pribadi dalam ungkapan-ungkapan tersebut, berarti mengemukakan masalah kebebasan, masalah tanggung jawab. Hal ini membawa kita kepada penelitian mengenai dasar dari asal usul. Baik dari sisi kebebasan maupun dari sisi tanggung jawab. Hal tersebut akhirnya memunculkan masalah ketuhanan. Apakah Allah itu masuk dalam definisi manusia atau tidak? Apakah eksistensi manusia itu bersifat teosentris ataupun antroposentris? Partisipasi ataupun cukup dalam dirinya sendiri? Ada apakah dengan pernyataan ulama populer "man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu?" (barang siapa tahu akan dirinya, maka ia tahu akan Tuhannya).

Dalam arti yang sebenarnya, kata "eksistensi" berarti data kosmis, sejauh manusia yang terlibat secara aktif di dalamnya. Hubungan erat antara masalah manusia dan masalah ketuhanan, terlihat baik pada mereka yang mengingkari Allah maupun pada mereka yang mengikuti-Nya. Kecenderungan tersebut pada dasarnya merupakan naluri manusia yang tidak bisa dipungkiri dan merupakan fitrah manusia.

Mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri religiusitas dalam pengertian apapun, baik yang sejati maupun yang palsu. Sebenarnya adalah sama dengan mengatakan bahwa setiap pribadi memiliki naluri untuk berkepercayaan. Dalam tinjauan antropologi budaya, Naluri itu muncul berbarengan dengan hasrat memperoleh kejelasan tentang hidup ini sendiri dan alam sekitar yang menjadi lingkungan hidup itu. Karena itu setiap orang dan masyarakat pasti mempunyai keinsafan tertentu tentang apa yang dianggap "pusat" atau "sentral" dalam hidup seperti dikatakan oleh Mircea Elidae:

"Setiap orang cenderung, meskipun tanpa disadari mengarah kepusat dan menuju pusat sendiri, dimana ia akan menemukan hakekat yang utuh yaitu rasa kesucian. Keinginan yang begitu mendalam berakar dalam diri manusia untuk menemukan dirinya pada inti wujud hakiki itu di pusat alam, tempat komunikasi dengan langit menjelaskan penggunaan dimana akan ungkapan pusat alam semesta"

Disini kita akan mencoba menelusuri secara beruntun dari dasar sekali. Al Qur'an menyebutkan dalam Surat Adz Dzariat 21:

"Dan juga pada dirimu, maka apakah kamu tiada memperhatikan"

Juga dalam surat Al Hijir 28-29:

"Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh (cipataan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud". (QS Al Hijir 28-29).

Dalam kerangka ini kita mengambil garis yang jelas dari peristiwa kejadian manusia, dimana para makhluk baik itu setan maupun malaikat mempertanyakan kebijakan Allah yang akan menciptakan manusia, yang menurut pandangan malaikat "manusia" adalah makhluk yang selalu membuat keonaran dan pertumbahan darah (QS Al Baqarah 30). Tidak kalah sengitnya setan memprotes keberadaan manusia yang dipandang rendah, yang hanya diciptakan dari unsur tanah, sambil membanggakan dirinya yang dibuat dari api.

Dalam keadaan ini para malaikat gigit jari dan begitu terheran-heran: rahasia macam apa ini? Bumi yang hina-dina dipanggil kehadirat Zat yang maha tak terjangkau dengan segenap kehormatan dan kemuliaan ini.

Kelembutan illahi dan kebijakan Tuhan berbisik lembut ke dalam relung rahasia dan misteri malaikat,

"Aku tahu apa yang tidak kalian ketahui" (QS:2:30).

Raga manusia termasuk kedalam derajat terendah, sementara ruh manusia termasuk ke dalam derajat tertinggi. Hikmah yang terkandung dalam hal ini ialah bahwa manusia mesti mengemban beban amanat pengetahuan tentang Allah. Karena itu mereka harus mempunyai kekuatan dalam kedua dunia ini untuk mencapai kesempurnaan. Sebab tidak sesuatupun di dunia ini yang memiliki kekuatan yang mampu mengemban beban amanat. Mereka mempunyai kekuatan ini melalui esensi sifat-sifatnya (sifat-sifat ruhnya), bukan melalui raganya.

Karena ruh manusia berkaitan dengan derajat tertinggi dari yang tinggi, tidak satupun di dunia ruh yang menyamai kekuatannya, entah itu malaikat maupun setan sekalipun atau segala sesuatu lainnya. Demikian pula, jiwa manusia berkaitan dengan derajat yang paling rendah, sehingga tidak sesuatupun di dunia jiwa bisa mempunyai kekuatannya, entah itu hewan dan binatang buas atau yang lainnya. Ketika mengaduk dan mengolah tanah, semua sifat hewan dan binatang buas, semua sifat setan, tumbuh-tumbuhan dan benda-benda mati diaktualisasikan. Hanya saja, tanah itu dipilih untuk mengejawantahkan sifat "dua tangan-Ku". Karena masing-masing sifat tercela ini hanyalah sekedar kulit luarnya saja, di dalam setiap sifat itu ada mutiara dan permata berupa sifat illahi.

Penjelasan diatas merupakan urutan ungkapan mengenai hakekat diri yang sebenarnya, dimana manusia sebagai makhluk yang sangat lemah dan hina disisi lain dinobatkan sebagai "khalifah" (wakil Allah). Bertugas mengatur alam semesta dan merupakan wakil Allah untuk menjadi saksi-Nya serta mengungkapkan rahasia-rahasia firman-Nya. Para mahkluk yang lain tidak melihat ada dimensi yang tidak bisa dijangkau olehnya, ia hanya mampu melihat pada tingkat yang paling rendah dalam diri manusia. Sementara ia terhijab oleh ketinggian derajat manusia yang berasal dari tiupan illahi (QS Al Hijir 28-29).

Ungkapan hakikat manusia mengacu kepada kecenderungan tertentu secara berurutan dalam memahami manusia. Hakikat mengandung makna sesuatu yang tetap, tidak berubah-ubah. Yaitu identitas esensial yang menyebabkan sesuatu menjadi dirinya sendiri.

Al Ghazaly yang hidup pada abad pertengahan tidak terlepas dari kecenderungan umum pada zamannya dalam memandang manusia. Didalam buku buku filsafatnya ia mengatakan bahwa manusia mempunyai identitas esensial yang tetap, tidak berubah-ubah yaitu An nafs (jiwanya). Yang dimaksud an nafs adalah substansi yang berdiri sendiri, tidak bertempat dan merupakan tempat pengetahuan intelektual (al makulat) yang berasal dari alam malakut atau alam amr. Ini menunjukkkan esensi manusia bukan fisiknya dan bukan fungsi fisik. Sebab fisik adalah sesuatu yang mempunyai tempat. Dan fungsi fisik adalah sesuatu yang tidak berdiri sendiri. Keberadaannya tergantung kepada fisik. Alam al amr atau alam malakut adalah realitas diluar jangkauan indra dan imaginasi, tanpa tempat, arah dan ruang. Sebagai lawan dari alam al khalq atau alam mulk yaitu dunia tubuh dan aksiden-aksidennya esensi manusia, dengan demikian an nafs adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri dan merupakan subyek yang mengetahui (Bashirah).

Untuk membuktikan adanya substansi immaterial yang disebut an nafs, Al Ghazaly mengemukakan beberapa argumen. Persoalan kenabian, ganjaran perbuatan manusia dan seluruh berita tentang akhirat tidak ada artinya apabila an nafs tidak ada, sebab seluruh ajaran agama hanya ditujukan kepada yang ada (al maujud) yang dapat memahaminya. Yang mempunyai kemampuan bukanlah fisik manusia sebab apabila fisik manusia mempunyai kemampuan memahami, objek-obyek fisik lainnya juga mesti mempunyai kemampuan memahami. Kenyataan tidak demikian. Argumen bersifat keagamaan ini , bagaimanapun tidak dapat meyakinkan orang yang ragu terhadap kenabian dan hari akhirat. Karena untuk mempercayai argumen ini orang terlebih dahulu harus percaya akan kenabian dan hari akhirat.

Selain itu Al Ghazaly juga mengemukakan pembuktian dengan kenyataan faktual dan kesederhanaan langsung, yang kelihatannya tidak berbeda dengan argumen-argumen yang dibuat oleh Ibnu Sina (wafat 1037) untuk tujuan yang sama, melalui pembuktian dengan kenyataan faktual. Al Ghazaly memperlihatkan bahwa; diantara makhluk-makhluk hidup terdapat perbedaan-perbedaan yang menunjukkan tingkat kemampuan masing-masing. Keistimewaan makhluk hidup dari benda mati adalah sifat geraknya. Benda mati mempunyai gerak monoton dan didasari oleh prinsip alam. Sedangkan tumbuhan makhluk hidup yang paling rendah tingkatannya, selain mempunyai gerak yang monoton, juga mempunyai kemampuan bergerak secara bervariasi. Prinsip tersebut disebut jiwa vegetatif. Jenis hewan mempunyai prinsip yang lebih tinggi dari pada tumbuh-tumbuhan, yang menyebabkan hewan, selain kemampuan bisa bergerak bervariasi juga mempunyai rasa. Prinsip ini disebut jiwa sensitif. Dalam kenyataan manusia juga mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia selain mempunyai kelebihan dari hewan. Manusia juga mempunyai semua yang dimiliki jenis-jenis makhluk tersebut, disamping mampu berpikir dan serta mempunyai pilihan untuk berbuat dan untuk tidak berbuat. Ini berarti manusia mempunyai prinsip yang memungkinkan berpikir dan memilih. Prinsip ini disebut an nafs al insaniyyat. Prinsip inilah yang betul-betul membedakan manusia dari segala makhluk lainnya.

Argumen kesadaran langsung yang dikemukakan seorang manusia menghentikan segala aktivitas fisiknya1, sehingga ia berada dalam keadaan tenang dan hampa aktivitas. Ketika ia menghilangkan segala aktivitasnya, menurut Al Ghazaly, ada sesuatu yang tidak hilang di dalam dirinya yaitu "kesadaran" yakni kesadaran akan dirinya. Ia sadar bahwa ia ada. Bahkan ia sadar bahwa ia sadar. Pusat kesadaran itulah yang disebut an nafs al insaniyyat (diri sejati). Dikatakan dalam suatu tafsir shafwatu at tafasir karangan Prof. As Shabuny dalam surat Al Qiyamah ayat 14:

"akan tetapi di dalam diri manusia ada bashirah (yang tahu)."

Kata bashirah ini disebut sebagai yang tahu atas segala gerak manusia yang sekalipun sangat rahasia. Ia biasa menyebut diri (wujud)-nya adalah "Aku".

Wujud "Aku" yang memiliki sifat tahu yang memperhatikan dirinya atas perilaku hati, kegundahan, kebohongan, kecurangan, serta kebaikan. Ia tidak pernah bersekongkol dengan perasaan dan pikiran, ia jujur dan suci, sehingga manusia, setan dan jin tidak bisa menembus alam ini karena ia sangat dekat dengan Allah sekalipun manusia itu jahat dan kafir. Adalah pernyataan Allah atas pengangkatan sebagai wakil Allah, sehingga Allah menyebut tentang "Aku" ini sebagai ruh-Ku. Yang oleh As Shabuny sebagai penghormatan yang maha tinggi seperti penghormatan Allah terhadap Baitullah (rumah Allah).

Ketika itu yang disadari bukan fisik dan yang sadarpun bukan fisik. Kesadaran disini tidak melalui alat, tetapi bersifat langsung. Oleh karena itu subyek yang sadar itu jelas bukan fisik dan bukan fungsi fisik melainkan sesuatu substansi yang berbeda dengan fisik.

Mungkin juga dikatakan disini tidak bersifat langsung, tetapi melalui perantara, yaitu melalui perbuatanku. Dalam perbuatanku ada yang mendahului, yaitu kesadaran akan aku yang menjadi subyek perbuatan itu. Kesadaran disini bagaimanapun bersifat langsung dan terlepas dari aktivitas fisik. Dengan demikian subyek yang sadar, yang menjadi esensi manusia itu nyata ada dan merupakan substansi yang berbeda dengan fisik. Hal ini terbukti ketika manusia kehilangan aktivitas pada moment menjelang tidur. Sang "Aku" (kesadaran) mengetahui dengan sadar peristiwa yang dialami pada saat bermimpi. Begitupun Kehidupan keruhanian dalam mendasari kesadaran ihsan dengan menghentikan aktivitas fisik sebagai kendali sahwati, maka yang timbul adalah kesadaran diri yang mampu menembus alam malakut dan uluhiah. Dimana manusia mencapai puncak eksistensi yang sejati. Kesejatian inilah yang di tuntut oleh Allah dalam hal melakukan peribadatan, apakah puasa, zakat, dan shalat. Dengan konteks "ihklaskanlah peribadatanmu dengan tidak melakukan kesyirikan sedikitpun" (QS. Az Zumar 11 & 14). Aktivitas ruhani yang diajarkan oleh Allah adalah peribadatan saum yang mana manusia dalam sementara waktu diwajibkan mengendalikan emosinya dan aktivitas keinginan hawa nafsu selama satu bulan di bulan ramadhan. Selama satu bulan penuh menahan rasa dan keinginan ragawi, samar-samar akan terjadi proses transformasi kejiwaan yang tadinya emosional berubah menjadi ketenangan, dan fisik seolah tidak lagi menuruti keinginannya, sehingga sang fisik mengikuti kehendak-kehendak diri yang sejati. Maka oleh Allah dikatakan mereka itu telah mendapatkan karunia lailatul qadar, dimana ia mampu menembus seluruh semesta ruhani dan kembali sebagai manusia sejati dan fitrah. Keadaan Fitrah ini diungkap Al Qur'an, bahwa apabila telah terjadi fitrah pada diri manusia maka sesungguhnya fitrah itu sama dengan kehendak Allah (QS. 30:30):

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."

Dalam hal ini manusia tersebut mendapat karunia kepatuhan dan ketaqwaan seperti patuhnya alam semesta serta patuhnya tubuh manusia, dimana dimengerti bahwa tidak pernah dirinya merencanakan ada, kemudian kenapa aku ini laki-laki? Atau nafas ini mengalir keluar masuk tanpa aku kehendaki dan bisakah aku menangguhkan jangan keburu tua dulu. Hal ini merupakan renungan hakiki, kenapa pikiran ini tidak sepatuh alam dan tubuh yang diselimuti kekuasaan Allah. Ia begitu tampak jelas dalam gerakan dan keberadaan alam dan diri ini.

Dengan argumen di atas bahwa an nafs berdiri sendiri dipertegas bahwa ia tidak bertempat, baik didalam badan maupun diluar badan. Karena an nafs bukan materi maka dengan sendirinya tidak mengambil ruang dan tidak mempunyai tempat. Sifat dasar an nafs tidak mengandung kemungkinan bertempat. Artinya pernyataan tempat tidak sesuai dihubungkan kepada an nafs, sebagaimana tidak sesuai sifat mengetahui atau tidak mengetahui diletakkan pada benda mati. Al Ghazaly tidak menerima pandangan bahwa an nafs berada di luar badan. Sebab an nafs dalam keadaan demikian, menurutnya tidak mungkin mengatur badan, tetapi kalau an nafs berada di dalam badan keberatan lain akan timbul. An nafs bertempat di dalam badan tidak terlepas dua kemungkinan, yaitu bertempat pada seluruh badan atau pada sebagiannya saja. Kalau bertempat pada seluruh badan, an nafs semestinya menyusut atau berpindah, jika sebagian anggauta tubuh manusia terpotong dan ini tidak mungkin.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa esensi atau hakikat manusia adalah substansi immaterial yang berdiri sendiri, bersifat illahi (berasal dari alam amr), tidak bertempat di dalam badan, bersifat sederhana, mempunyai kemampuan mengetahui dan menggerakkan badan, diciptakan (tidak kadim) dan bersifat kekal pada dirinya. Ia berusaha menunjukkan bahwa kesadaran jiwa dan sifat-sifat dasarnya tidak dapat diperoleh melalui akalnya saja, tetapi dengan akal dan sara' . Untuk itu selain kutipan ayat 29 surat Al Hijir di atas juga ayat-ayat yang lain yang menerangkan esensi manusia seperti surat Ali Imron 169:

"Jangan engkau sangka orang-orang yang terbunuh pada jalan Allah itu mati, mereka itu hidup dan diberi rezeki disisi Tuhan."

"Katakan jiwa itu dari amr Tuhanku." (QS. Al Isra 85).

Ayat yang pertama menunjukkan kekekalan jiwa dan ayat yang kedua untuk menunjukkan bahwa ia berasal dari dunia yang sangat dekat dengan Allah, alam amr.

Pembangkitan kesadaran akan diri, dikatakan para ulama kerohanian sebagai ajang mujahadah untuk menemukan kesejatian, dan dengan kesejatian itu pula manusia akan mencapai hakikat "diri" serta terbukanya kebenaran adanya Allah secara hakiki, yakni makrifatullah.

Periode pertengahan kejayaaan Islam di Jawa, berlangsung semaraknya hidup berkerohanian yang dipelopori para dai (wali songo) masa itu. Namun kita melihat kelebihan dan kekurangan metode yang diajarkan, masih banyak menyesuaikan budaya masyarakat kerohanian Hindu. Sehingga peribadatan yang masih tersisa sekarang kelihatan asimilasi peninggalan Hindu dan Budha. Akan tetapi kita melihat dengan jernih ajaran yang disampaikan oleh beliau dengan tetap memurnikan ketauhidan kita kepada Allah. Misalnya dalam mantra berbahasa Jawa, tentang perenungan hakiki manusia serta penyadaran dan pencarian kesejatian yang dikatakan dalam Al Qur'an sebagai "bashirah"(Aku yang mengetahui).

Bismillahirrahmanirrahim (dengan nama Allah yang maha pengasih dan penyayang). Melebu Allah. Metu Allah (masuknya nafas karena Allah ... keluarnya nafas karena Allah). Anekadaken urip iku Allah (yang mengadakan hidup itu Allah). Utek dunungno kodrate Allah (otak letakkan atas kodrat Allah). Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah Ya Hu ... Allah (ya hu ... Allah ya hu ... Allah ya hu ... Allah). Nabi Muhammad iku utusane Allah (nabi Muhammad itu rasullullah).

Artinya: (perlu diketahui dalam membaca kalimat mantra ini diperlukan penghayatan dan pendalaman makna yang hakiki).

Masuk dan keluarnya nafas ini adalah kodrat Allah yang tidak bisa dicegah. Manusia hanya menerima dengan pasrah atas kekuasaan Allah yang meliputi nafas. Sehingga fikiran ini diajak patuh dan pasrah bersamaan dengan patuhnya nafas tanpa reserve (totalitas). Yang mengadakan hidup pada manusia (semesta) itu adalah Allah. Dimana seluruh makhluk, apakah itu binatang, manusia, tumbuhan serta bumi, matahari semuanya bergerak dinamis atas sifat hidup Allah (Al Hayyu). Otak adalah merupakan bentuk kekuasaan Allah atas manusia, yang mana manusia diwajibkan berfikir dan berkontemplasi untuk menyatakan sebagai wakil Allah (khalifah) maka dengan itu otak harus sesuai dengan kehendak-kehendak Allah (perintah Allah).

Wahai zat yang tidak sama dengan makhluknya.
Aku bersaksi bahwa nabi Muhammad itu rasulullah.

Disini kita melihat sejarah manusia ketika mensikapi atas dirinya dalam pencarian diri sejati secara universal. Al Qur'an telah memaparkan sebelum para pemikir barat memulai.

Minggu, 27 Februari 2011

SERAT WEDHATAMA (lanjutan)


Melanjutkan wejangan atau pitutur Serat Wedhatama terdahulu. Serat Wedhatama terdiri dari empat pupuh yakni; pangkur, sinom, gambuh, dan  kinanthi.



TEMBANG KINANTHI
83
Mangka kanthining tumuwuh,
Salami mung awas eling,
Eling lukitaning alam,
Dadi wiryaning dumadi,
Supadi nir ing sangsaya,
Yeku pangreksaning urip.
Padahal bekal hidup,
selamanya waspada dan ingat,
Ingat akan pertanda yang ada
di alam ini,
Menjadi kekuatannya asal-usul, supaya lepas dari sengsara.
Begitulah memelihara hidup.
84
Marma den taberi kulup,
Anglung lantiping ati,
Rina wengi den anedya,
Pandak panduking pambudi,
Bengkas kahardaning driya,
Supaya dadya utami.`
Maka rajinlah anak-anakku,
Belajar menajamkan hati,
Siang malam berusaha,
merasuk ke dalam sanubari,
melenyapkan nafsu pribadi,
Agar menjadi (manusia) utama.
85
Pangasahe sepi samun,
Aywa esah ing salami,
Samangsa wis kawistara,
Lalandhepe mingis mingis,
Pasah wukir reksamuka,
Kekes srabedaning budi.
Mengasahnya di alam sepi (semedi),
Jangan berhenti selamanya,
Apabila sudah kelihatan,
tajamnya luar biasa,
mampu mengiris gunung penghalang,
Lenyap semua penghalang budi.
86
Dene awas tegesipun,
Weruh warananing urip,
Miwah wisesaning tunggal,
Kang atunggil rina wengi,
Kang mukitan ing sakarsa,
Gumelar ngalam sakalir.
Awas itu artinya,
tahu penghalang kehidupan,
serta kekuasaan yang tunggal,
yang bersatu siang malam,
Yang mengabulkan segala kehendak,
terhampar alam semesta.
87
Aywa sembrana ing kalbu,
Wawasen wuwus sireki,
Ing kono yekti karasa,
Dudu ucape pribadi,
Marma den sembadeng sedya,
Wewesen praptaning uwis.
Hati jangan lengah,
Waspadailah kata-katamu,
Di situ tentu terasa,
bukan ucapan pribadi,
Maka tanggungjawablah,  perhatikan semuanya sampai  tuntas.
88
Sirnakna semanging kalbu,
Den waspada ing pangeksi,
Yeku dalaning kasidan,
Sinuda saka sethithik,
Pamothahing nafsu hawa,
Linalantih mamrih titih.
Sirnakan keraguan hati,
waspadalah terhadap pandanganmu,
Itulah caranya berhasil,
Kurangilah sedikit demi sedikit godaan hawa nafsu,
Latihlah agar terlatih.
89
Aywa mematuh nalutuh,
Tanpa tuwas tanpa kasil,
Kasalibuk ing srabeda,
Marma dipun ngati-ati,
Urip keh rencananira,
Sambekala den kaliling.
Jangan terbiasa berbuat aib,
Tiada guna tiada hasil,
terjerat oleh aral,
Maka berhati-hatilah,
Hidup ini banyak rintangan,
Godaan harus dicermati.
90
Umpamane wong lumaku,
Marga gawat den liwati,
Lamun kurang ing pangarah,
Sayekti karendhet ing ri.
Apese kasandhung padhas,
Babak bundhas anemahi.
Seumpama orang berjalan,
Jalan berbahaya dilalui,
Apabila kurang perhitungan,
Tentulah tertusuk duri,
celakanya terantuk batu,
Akhirnya penuh luka.
91
Lumrah bae yen kadyeku,
Atetamba yen wus bucik,
Duweya kawruh sabodhag,
Yen tan nartani ing kapti,
Dadi kawruhe kinarya,
Ngupaya kasil lan melik.
Lumrahnya jika seperti itu,
Berobat setelah terluka,
Biarpun punya ilmu segudang,
bila tak sesuai tujuannya,
ilmunya hanya dipakai mencari nafkah dan pamrih.
92
Meloke yen arsa muluk,
Muluk ujare lir wali,
Wola wali nora nyata,
Anggepe pandhita luwih,
Kaluwihane tan ana,
Kabeh tandha tandha sepi.
Baru kelihatan jika keinginannya muluk-muluk,
Muluk-muluk bicaranya seperti wali,
Berkali-kali tak terbukti,
merasa diri pandita istimewa,
Kelebihannya tak ada,
Semua bukti sepi.
93
Kawruhe mung ana wuwus,
Wuwuse gumaib gaib,
Kasliring thithik tan kena,
Mancereng alise gathik,
Apa pandhita antiga,
Kang mangkono iku kaki,
Ilmunya sebatas mulut,
Kata-katanya di gaib-gaibkan,
Dibantah sedikit saja tidak mau, mata membelalak alisnya menjadi satu,
Apakah yang seperti itu  pandita palsu,..anakku ?
94
Mangka ta kang aran laku,
Lakune ngelmu sejati,
Tan dahwen pati openan,
Tan panasten nora jail,
Tan njurungi ing kahardan,
Amung eneng mamrih ening.
Padahal yang disebut “laku”,
sarat menjalankan ilmu sejati tidak suka omong kosong dan tidak suka memanfaatkan hal-hal sepele yang bukan haknya,
Tidak iri hati dan jail,
Tidak melampiaskan hawa nafsu. Sebaliknya, bersikap tenang agar menggapai keheningan jiwa.
95
Kaunanging budi luhung,
Bangkit ajur ajer kaki,
Yen mangkono bakal cikal,
Thukul wijining utami,
Nadyan bener kawruhira,
Yen ana kang nyulayani.
Luhurnya budipekerti,
pandai beradaptasi, anakku !
Demikian itulah awal mula,
tumbuhnya benih keutamaan,
Walaupun benar ilmumu,
bila ada yang mempersoalkan..
96
Tur kang nyulayani iku,
Wus wruh yen kawruhe nempil,
Nanging laire angalah,
Katingala angemori,
Mung ngenaki tyasing liyan,
Aywa esak aywa serik.
Walau orang yang mempersoalkan itu, sudah diketahui ilmunya dangkal,
tetapi secara lahir kita mengalah,
berkesanlah persuasif,
sekedar menggembirakan hati orang lain.
Jangan sakit hati dan dendam.
97
Yeku ilapating wahyu,
Yen yuwana ing salami,
Marga wimbuh ing nugraha,
Saking heb Kang mahasuci,
Cinancang pucuking cipta,
Nora ucul ucul kaki.
Begitulah sarat turunnya wahyu,
Bila teguh selamanya,
dapat bertambah anugrahnya,
dari sabda Tuhan Mahasuci,
terikat di ujung cipta,
tiada terlepas-lepas anakku.
98
Mangkono ingkang tinamtu,
Tampa nugrahaning Widhi,
Marma ta kulup den bisa,
Mbusuki ujaring janmi,
Pakoleh lair batinnya,
Iyeku budi premati.
Begitulah yang digariskan,
Untuk mendapat anugrah Tuhan.
Maka dari itu anakku,
sebisanya, kalian pura-pura menjadi orang bodoh terhadap perkataan orang lain,
nyaman lahir batinnya,
yakni budi yang baik.
99
Pantes tinulat tinurut,
Laladane mrih utami,
Utama kembanging mulya,
Kamulyan jiwa dhiri,
Ora ta yen ngeplekana,
Lir leluhur nguni-uni.
Pantas menjadi suri tauladan yang ditiru,
Wahana agar hidup mulia,
kemuliaan jiwa raga.
Walaupun tidak persis, seperti nenek moyang dahulu.
100
Ananging ta kudu kudu,
Sakadarira pribadi,
Aywa tinggal tutuladan,
Lamun tan mangkono kaki,
Yekti tuna ing tumitah,
Poma kaestokna kaki.
Tetapi harus giat berupaya, sesuai kemampuan diri,
Jangan melupakan suri tauladan,
Bila tak berbuat demikian itu anakku,
pasti merugi sebagai manusia.
Maka lakukanlah anakku !