Sabtu, 15 Mei 2010

JATI DIRI KI SUNDA DALAM PERSPEKTIF SEJARAH



I. PENDAHULUAN

  Tema seminar “Ngaguar Budaya Sunda Pikeun Mulangkeun Jati Diri Ki Sunda” (“Mengungkap Budaya Sunda Untuk Mengembalikan Jati Diri Ki Sunda”), sangatlah tepat. Tema itu mengandung makna, bahwa kini jati diri Ki Sunda cenderung luntur. Memang sekarang budaya Sunda seolah-olah terserabut dari akarnya oleh pengaruh budaya lain (budaya deungeun). Banyak orang Sunda yang seolah-olah kehilangan atau lupa akan jati dirinya. Hal itu menyebabkan kondisi Ki Sunda saat ini sering dibahas, baik dalam forum diskusi dan seminar, maupun dalam mass media.

  Berbicara mengenai jati diri Ki Sunda dengan tujuan untuk mengembalikan ke asalnya, berarti harus membicarakan masa awal eksistensi Ki Sunda, karena jatidiri Ki Sunda dapat diketahui dengan memahami eksistensi Ki Sunda di masa lampau. Sumber-sumber yang relevan menunjukkan – secara tersurat atau tersirat --, jati diri itu tercermin dalam budaya kekuasaan, budaya kepemimpinan, dan budaya hidup pribadi dan bermasyarakat. Budaya itu mencerminkan pula sifat dan sikap Ki Sunda. Dalam budaya-budaya itulah adanya unsur-unsur jati diri Ki Sunda. Dengan kata lain, berbicara jati diri Ki Sunda berarti harus ngaguar sejarah Sunda. Perlu dikemukakan, bahwa tradisi (penulisan) sejarah di Indonesia sampai dengan pertengahan abad ke-20, berorientasi kepada sejarah orang besar (tokoh pemerintahan dan politik). Kiprah rakyat (orang kecil/wong cilik) tidak terekam dalam sejarah secara eksplisit. Oleh karena itu, Ki Sunda dalam pembicaraan ini punterutama diwakili oleh kaum elit (golongan ménak), khususnya elit politik (elitbirokrasi).

II. GAMBARAN JATI DIRI KI SUNDA

2.1 Akar Jati Diri Ki Sunda

  Secara historis, akar jati diri Ki Sunda berada pada masa kerajaan. Sejumlah sumber sejarah menunjukkan, bahwa Ki Sunda mulai muncul dalam panggung sejarah ditandai oleh berdirinya kerajaan pertama di Tatar Sunda, yaitu Kerajaan Tarumanagara. Kerajaan itu didirikan oleh Jayasingawarman alias Maharesi Rajadirajaguru pada pertengahan abad ke-4. Ia memerintah tahun 358 – 382 M.).

  Eksistensi Kerajaan Tarumanagara berlangsung selama lebih-kurang tiga setengah abad (pertengahan abad ke-4 s.d. akhir abad ke-7), diperintah oleh 13 orang raja secara berkesinambungan. Raja yang paling terkenal adalah Purnawarman, raja Tarumanagara ketiga (395 – 434 M.). Ketika Kerajaan Tarumanagara diperintah oleh Maharaja Tarusbawa, raja ke- 13 atau raja Tarumanagara terakhir (669 – 723 M.), pamor Tarumanagara sudah menurun. Untuk meningkatkan kembali citra dan kebesaran kerajaan seperti pada jaman Purnawarman, Maharaja Tarusbawa mengubah nama kerajaannya menjadi Kerajaan Sunda (tahun 670 M.). Informasi itu setidaknya mengandung dua arti.

  Pertama, raja-raja Tarumanagara boleh jadi keturunan orang Sunda. Kedua, Maharaja Tarusbawa adalah pendiri Kerajaan Sunda, tetapi kerajaan itu merupakan kelanjutan dari Kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan sebutan Kerajaan Pajajaran, karena Maharaja Tarusbawa memindahkan pusat pemerintahan dari daerah pantai ke Pakuan (Pakuan Pajajaran) di daerah pedalaman. Hampir seiring dengan kemunculan Kerajaan Sunda, di Tatar Sunda berdiri pula Kerajaan Galuh yang diproklamasikan oleh Wretikandayun. Tahun 612 M.

  Wretikandayun mewarisi tahta Kerajaan Kendan (Kerajaan Kendan berlokasi di daerah Nagreg sekarang. Wretikandayun menggantikan ayahnya, yaitu Sang Kandiawan (Rajaresi Dewaraja), raja Kendan yang ketiga) bawahan Tarumanagara. Akan tetapi, Wretikandayun tidak berkedudukan di Kendan. Ia mendirikan ibukota baru dengan nama Galuh (tempat itu sekarang bernama Karangkamulyan). Lemahnya pamor Tarumanagara mendorong Wretikandayun untuk melepaskan diri dari kekuasaan kerajaan tersebut, Hal itu disebabkan Wretikandayun memiliki hubungan keluarga dengan raja-raja Tarumanagara, khususnya keturunan Maharaja Kertawarman, raja Tarumanagara ke-8 (561 – 628 M.). Selain karena faktor hubungan keluarga, hal itu terjadi pula karena Maharaja Tarusbawa miliki sifat suka berdamai.

  Hubungan antara Kerajaan Sunda dengan Kerajaan Galuh terus berlangsung dengan baik, bahkan untuk beberapa waktu lamanya, kedua kerajaan itu bersatu menjadi Kerajaan Sunda-Galuh. Hal itu terjadi mulai tahun 723 M. ketika Kerajaan Sunda/Pajajaran diperintah oleh Maharaja Tarusbawa, dan Kerajaan Galuh diperintah oleh Sanjaya (723 – 732 M.). Maharaja Tarusbawa mewariskan tahta Kerajaan Sunda kepada Sanjaya selaku menantunya. Perpaduan Kerajaan Sunda-Galuh setidaknya berlangsung sampai dengan akhir abad ke-15.

  Pusat kerajaan itu berpindah-pindah, dari Pakuan Pajajaran ke Galuh, dari Galuh ke Kawali, kemudian pindah lagi ke Pakuan Pajajaran (ketika pusat kerajaan berada di Pakuan Pajajaran, pemerintahan di Galuh terus berlangsung. Hal itu berarti terjadi dualisme pemerintahan, yaitu adanya pemerintahan Kerajaan Sunda-

  Pajajaran dan pemerintahan Kerajaan Sunda-Galuh). Pusat kerajaan berada di Galuh diduga berlangsung hingga tahun 739 M., akhir masa pemerintahan Rahiyang Tamperan, putra Sanjaya. Pada masa pemerintahan putra Tamperan, yaitu Rahiyang Banga (739 – 766 M.), pusat pemerintahan pindah lagi ke Pakuan Pajajaran. Sejak pemerintahan Linggadewata (1311 –1333 M.) sampai dengan awal pemerintahan Sri Baduga Maharaja (1482 M.), Kerajaan Sunda-Galuh dikendalikan dari Keraton Surawisesa di Kawali.

  Selama pusat kerajaan berada di Kawali, kerajaan tersebut mengalami kejayaan, diperintah oleh 7 orang raja secara berkesinambungan. Raja-raja yang terkenal antara lain Prabu Maharaja (Ia adalah raja Sunda yang gugur dalam “Perang Bubat” tahun1357 M) alias Linggabuana (1350 – 1357), Niskala Wastu Kancana (1371 – 1475) (Waktu itu penyebaran agama Islam dari Cirebon mulai masuk ke daerah Galuh), dan Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521 M.). Pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja, pusat pemerintahan pindah lagi ke Pakuan Pajajaran. Hal itu berlangsung sampai pemerintahan Nusiya Mulya (1567 – 1579).

  Tahun 1579 pemerintahan Kerajaan Sunda-Pajajaran runtuh akibat gerakan pasukan Banten dalam rangka penyebaran agama Islam. Setelah kejadian itu, Kerajaan Galuh berdiri sendiri dan berlangsung hingga akhir abad ke-16 (Batas-batas wilayah Kerajaan Galuh waktu itu adalah : Sumedang batas sebelah utara). Mulai kira-kira tahun 1580, Kerajaan Galuh diperintah oleh Prabu Sanghiyang Cipta di Galuh, putra Prabu Haurkuning7), dilanjutkan oleh Prabu Galuh Cipta Permana sampai akhir abad ke-16. Ia berkedudukan di Gara Tengah (Cineam).

  Sampai dengan akhir abad ke-16, boleh jadi jati diri Ki Sunda mengakar cukup kuat, karena belum terpengaruh atau terganggu oleh budaya luar. Pengaruh dari luar baru terjadi sejak Mataram menguasai Galuh. Tahun 1595 Galuh jatuh ke dalam kekuasaan Mataram di bawah pemerintahan Senopati (1586 – 1601). Pemerintahan di Galuh dijalankan oleh Adipati Panaekan yang diangkat oleh penguasa Mataram menjadi Bupati Wedana Galuh. Berdasarkan jabatan dan gelar adipati pada diri Adipati Panaekan, diduga sejak itulah Galuh menjadi sebuah kabupaten, yaitu sebagai kabupaten vassal Mataram.

  Perubahan status Galuh dari kerajaan menjadi kabupaten merupakan salah satu pengaruh Mataram (Jawa) terhadap kehidupan Ki Sunda. Pengaruh budaya Mataram yang cukup kuat terhadap Ki Sunda adalah feodalisme. Pengaruh itu terutama terjadi melalui bahasa, sehingga dalam bahasa Sunda terjadi undak-usuk (tingkatan) bahasa Huruf Jawa (Cacarakan) disosialisasikan dengan efektip dalam kehidupan di Tatar Sunda, sehingga sampai sekarang pun masih ada orang Sunda yang menganggap, bahwa Cacarakan adalah huruf Sunda). Dalam eksistensi Ki Sunda masa selanjutnya, perpaduan budaya Sunda dan budaya Jawa, disadari atau pun tidak, menjadi jati diri Ki Sunda.

2.2 Unsur-Unsur Jati Diri Ki Sunda
  Telah disebutkan (pada uraian pendahuluan), bahwa jati diri Ki Sunda dapat dipahami melalui budaya kekuasaan dan kepemimpinan Ki Sunda di masa kerajaan, yang menunjukkan karakter pemiliknya. Beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanagara (Prasasti Tugu, Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, dan Prasasti Cidangiang) menginformasikan tentang keagungan Purnawarman. Ia memiliki kekuasaan besar dan gagah berani. Oleh karena itu ia memiliki kharisma dan wibawa sangat besar, sehingga pemerintahannya berlangsung berdasarkan konsep otoritas-kharismatik.

  Meskipun kekuasaan raja bersifat absolut, tetapi dalam menjalankan kepemimpinannya, ia adalah raja yang memiliki sifat-sifat baik, yait u bijaksana, jujur, kesatria, dermawan, dan hormat kepada para pangeran (pejabat tinggi kerajaan). Kebesaran, wibawa, dan kekuasaan Purnawarman dinyatakan dalam Prasasti Tugu dan Cidangiang, bahwa Purnawarman adalah “panji sekalian raja”. Sifat-sifat tersebut merupakan “akar” dari unsur-unsur jati diri Ki Sunda, karena sifat-sifat itu diwarisi oleh raja-raja Sunda berikutnya, termasuk raja-raja Galuh. Para pejabat tinggi bawahan raja pun kiranya menyerap sifat dan sikap raja melalui hubungan “kawula-gusti”.

  Sumber-sumber sejarah yang akurat, antara lain prasasti, menyatakan bahwa Kerajaan Sunda dan Galuh dalam eksistensinya mengalami kejayaan. Kehidupan kerajaan dan masyarakatnya mengalami kesejahteraan. Hal itu terjadi berkat kepemimpinan yang baik dari raja-raja pada umumnya dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, baik dalam menjalankan pemerintahan maupun dalam mengayomi masyarakat. Kekuasaan raja banyak ditujukan untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu, raja disenangi oleh rakyat dan menjadi panutan. Raja-raja Sunda yang memerintah silih berganti, meninggalkan nama yang wangi (citra yang baik), sehingga muncul julukan “siliwangi” bagi raja-raja Sunda.

  Meskipun raja-raja Sunda memiliki kekuasaan absolut, tetapi mereka pun memiliki dan menerapkan sikap demokratis. Misalnya, Indrawarman, raja Tarumanagara kelima (455 – 515 M.) dan Sanjaya, raja Sunda-Galuh (723 – 732 M.), tidak mengharuskan (memaksa) rakyatnya untuk memluk agama/ajaran yang dianut oleh raja/keluarga kerajaan. Dalam menentukan batas wilayah kerajaan, Sanjaya melakukannya melalui musyawarah. Candrawarman, raja Tarumanagara keenam (515 – 535 M.), menyerahkan kembali pemerintahan beberapa daerah kekuasaannya kepada keturunan raja-raja daerah yang bersangkutan.

  Bahwa sifat demokratis telah terdapat dalam budaya kekuasaan dan kepemimpinan Sunda masa kerajaan, ditunjukkan dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Naskah itu antara lain berisi ajaran kesusilaan (moral) dan gambaran birokrasi Kerajaan Sunda. Bagian awal naskah itu memuat dasar ajaran “Sanghyang Sasanakreta” (cara mencapai kesejahteraan), yaitu ajaran untuk melangsungkan pemerintahan. Dalam ajaran itu antara lain disebutkan bahwa “Siapa (penguasa) yang hendak menegakkan Sasanakreta, agar dapat lama hidup, lama berjaya, ternak berkembang biak, tanaman subur, selalu unggul dalam perang, sumbernya terletak pada orang banyak (rakyat)”. Disebutkan pula, bahwa apabila raja teguh dalam tugasnya sebagai penguasa, maka akan sejahteralah kerajaannya.

  Ajaran tersebut rupanya dilaksanakan oleh raja-raja Sunda. Hal itu antara lain ditunjukkan oleh Prasasti Kawali – yang bertuliskan huruf Sunda -- peninggalan Prabu Wastukancana atau Prabu Raja Wastu (1371 – 1475). Dalam Prasasti Kawali I antara lain dinyatakan “….. parebu raja wastu mangadeg di kuta kawali ….. nu najur sagala desa …..” (“….. Prabu Raja Wastu bertahta di kota Kawali ….. yang mensejahterakan seluruh negeri …..”). Melalui prasasti itu, ia juga berwasiat kepada para penerusnya agar “membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia” (“pakena gawe rahayu pakeun heubeul jaya di buana”). Dalam Prasasti Kawali II, Prabu Wastukancana juga berwasiat agar “membiasakan diri berbuat kesejahteraan sejati agar tetap unggul dalam perang” (“pakena kereta bener pakeun nanjeur na juritan”).

  Data tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan raja-raja Sunda pada umumnya termasuk ke dalam tipe pemimpin ideal, seperti disebutkan dalam naskah Carita Parahiyangan. Secara garis besar, tipe raja yang ideal menurut naskah itu adalah raja yang taat menjalankan ajaran agama, memelihara tradisi leluhur,menghormati pemimpin agama, memakmurkan negeri, mensejahterakan dan menenteramkan kehidupan rakyat.

  Sifat dan sikap raja-raja Sunda tersebut, pada dasarnya terus terpelihara, paling tidak sampai dengan abad ke-19. Meskipun sejak akhir abad ke-16 kehidupan di Tatar Sunda mendapat pengaruh budaya luar (pengaruh Mataram, Belanda, dan pengaruh budaya asing lainnya), tetapi jati diri Ki Sunda pada masa kerajaan padasarnya diwarisi oleh para bupati Sunda umumnya pada masa kolonial. Hal itu ditunjukkan oleh sejumlah sumber sejarah yang cukup akurat, baik secara tersurat maupun secara tersirat.

Itulah gambaran jati diri Ki Sunda yang pada hakekatnya mengacu pada sifat dan sikap yang baik. Sifat dan sikap itu pula yang menjadi pandangan hidup Ki Sunda, seperti tercermin dalam sejumlah ungkapan tradisional. Ungkapan itu menunjukan pandangan hidup Ki Sunda tentang sikap manusia :
a) Manusia secara pribadi.
b) Hubungan pribadi dengan masyarakat (kehidupan bermasyarakat).
c) Sikap manusia yang mengacu pada alam.
d) Hubungan manusia dengan Tuhan.
e) Sikap manusia dalam mengejar kemajuan.

  Contoh ungkapan-ungkapan dimaksud antara lain sebagai berikut :
a) Pandangan hidup manusia secara pribadi.
  • Kudu hadé gogog hadé tagog (Harus baik budi bahasa dan tingkah laku)
  • Teu busik bulu salambar (Pendirian yang kuat)

b) Pandangan hidup mengenai hubungan pribadi dengan masyarakat.
  • Silih asih, silih asah, silih asuh
(Saling mengasihi, saling bantu, saling jaga untuk kebaikan)
  • Ulah nyieun pucuk ti girang (Jangan mencari-cari bibit permusuhan)

c) Sikap manusia yang mengacu pada alam
  • Manuk hiber ku jangjangna, jalma hirup ku akalna
(Setiap mahluk memiliki cara untuk melangsungkan kehidupannya)

d) Pandangan hidup mengenai hubungan manusia dengan Tuhan.
  • Mulih ka jati mulang ka asal (Kematian itu bermakna berasal dari Tuhan,
kembali kepada Tuhan).

e) Sikap manusia dalam mengejar kemajuan.
  • Ulah puraga tamba kadenda (Melakukan suatu pekerjaan harus sungguhsungguh,
jangan asal-asalan).
  • Kudu tungkul ka jukut, tanggah ka sadapan (Dalam menghadapi suatu
urusan/pekerjaan harus konsentrasi, jangan tergoda oleh hal lain).

  Ungkapan-ungkapan tersebut berasal dari masa lampau, kemudian diserap secara turun-temurun. Oleh karena itu, makna ungkapan-ungkapan itu pun merupakan unsur atau bagian dari jati diri Ki Sunda.

III. PENUTUP
  Secara historis, jati diri Ki Sunda berakar dari masa lampau yang bertitik tolak dari masa kerajaan. Jati diri itu ditunjukkan oleh karakter yang tercermin dalam budaya kekuasaan, budaya kepemimpinan, dan budaya hidup pribadi dan bermasyarakat.

  Masa kerajaan di Tatar Sunda berlangsung sangat lama, lebih-kurang 13 abad (pertengahan abad ke-4 s.d. akhir abad ke-16). Oleh karena itu, jati diri Ki Sunda mengakar dengan kuat. Akan tetapi, dalam perjalanan sejarah Ki Sunda, jati diri itu cenderung berangsur-angsur luntur, bahkan sekarang banyak orang Sunda yang terkesan kehilangan jati diri.

  Kondisi tersebut kiranya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, akibat pengaruh budaya lain (budaya deungeun). Unsur-unsur budaya lain, khususnya budaya barat, makin lama makin masuk dan meresap dalam kehidupan Ki Sunda, akibat perkembangan teknologi, antara lain media elektronik (televisi dan lain-lain). Dampaknya, “tontonan menjadi tuntunan”.

  Kedua, dari contoh-contoh kasus yang terjadi, terkesan adanya sikap yang cenderung kebablasan dalam mengartikan kemerdekaan dan reformasi. Kemerdekaan
diartikan sebagai kebebasan, dan reformasi diterapkan pula terhadap jati diri
(reformasi jati diri).

  Ketiga, secara umum, sekarang ini hampir tidak ada pemimpin yang benarbenar
dapat menjadi panutan. Sejak Indonesia merdeka, lepas dari belenggu penjajahan sampai sekarang, Ki Sunda belum memiliki pemimpin yang menduduki jabatan tertinggi di tingkat nasional. Pemimpin Ki Sunda di tingkat daerah, terkesan kurang memelihara jati diri Ki Sunda khususnya dan budaya Sunda umumnya.

  Keempat, bangsa kita, termasuk Ki Sunda, umumnya kurang memiliki kesadaran sejarah. Padahal sejarah berisi akumulasi pengalaman penting manusia, yang maknanya baik untuk dipetik sebagai bahan pelajaran. Oleh karena itu, pikeun mulangkeun deui (untuk mengembalikan lagi) jati diri Ki Sunda, maka Ki Sunda harus mau belajar dari sejarah, dalam arti belajar dari pengalaman dan memahami makna kejadian/peristiwa yang telah terjadi dalam kehidupan Ki Sunda khususnya dan kehidupan bangsa Indonesia umumnya.


SUMBER ACUAN
Alisjahbana, Samiati. 1954. A Preliminary Study of Class Structure Among the Sundanese in the Priangan. Master Thesis. Cornell University.

Atja. 1981. Carita Parahiyangan; Transkripsi, Terjemahan dan Komentar. Bandung :
Poyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.

--------. 1981. Sanghiang Siksa Kanda Ng Karesian. Bandung : Poyek Pengembangan
Permuseuman Jawa Barat.

Berg, L.W.C. van den. 1902. De Inlandsche Rangen en Titels op Java en Madoera. ‘s-Gravenhage : Martinus Nijhoff.

Danasasmita, Saleh et al. 1983/1984. Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Jilid ke-2 dan ke-3. Bandung : Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat.

--------. 1985. Siliwangi Sebagai Pangkal Silsilah Kebangsawanan. Makalah pada Seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Siliwangi. Bandung.

--------. 1987. Sewaka Dharma, Sanghyang Siksakandang Karesian, Amanat dari Galunggung. Bandung : Proyek Sundanologi.

Deenik, A.C. 1929. Aanvulingen op Babad Pasoendan Djeung Ringkesan Babad Hindia Belanda. Groningen : Wolters.

Ekadjati, Edi S. 1997. Wawacan Sajarah Galuh. Bandung : EFEO. Hardjasaputra, A. Sobana. 1985.

Bupati-Bupati Priangan; Kedudukan dan Peranannya Pada Abad Ke-19. Tesis. Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

--------. 2003 Budaya Kekuasaan Sunda; Analisis Historis. Makalah dalam seminar dengan tema “Sunda dan Budaya Kekuasaan”. Bandung : IAIN Sunan Gunung Jati.
Jawa Barat. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I. 1993. Sejarah Pemerintahan di Jawa Barat. Bandung.

Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Ménak Priangan 1800 – 1942. Bandung : Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.

Mayer, L.Th. 1889. Soerat Kandoengan Boeat Goenanja Segala Prijajie-Prijajie jang Memegang Pekerdjaan di Tanah Gouvernemennan di Poelo Djawa dan Madoera. I.
Semarang : Van Dorp.

Rusyana, Yus. 1985. Carita Pantun tentang Prabu Siliwangi dan Tedak Pakuan. Makalah pada Seminar Sejarah dan Tradisi tentang Prabu Siliwangi. Bandung.

Sutaarga, Moh. Amir. 1984. Prabu Siliwangi. Jakarta :Pustaka Jaya.

Warnaen, Suwarsi et al. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti Tercermin Dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung : Depdikbud. Dirjen Kebudayaan. Bagian Proyek Sundanologi.

Sumber Tulisan:

Gentra Galuh, Edisi III/Oktober/2007
*) Penulis Sobana Hardjasaputra adalah sejarawan dan pustakawan pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Makalah disampaikan dalam seminar bertema ‘Ngaguar Budaya Sunda Pikeun Mulangkeun Jati Diri Ki Sunda”. Seminar diselenggarakan oleh Yayasan Wawangi Sunda bekerjasama dengan Pamanahan (Paguyuban Mahasiswa Tanah Pasundan, KPM Galuh Rahayu Yogyakarta, tanggal 25 September 2003 di Kampus UGM) 

TERJEMAHAN SANGHYANG SIKSAKANDANG KARESIAN



Terjemahan Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian
Terjemahan ini diambil dari Buku : “ Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632), Transkripsi dan Terjemahan” oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Ahmad Darsa.

Diterbitkan oleh Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktirat Jendral Kabudayaan Dep Pendidikan Dan Kebudayaan Bandung Tahun 1987. Naskah ini dibuat pada tahun 1518 M, memakai aksara Sunda kuno.


I

Ya inilah yang akan diajarkan oleh sang budiman bagi mereka yang mencari kebahagiaan. Ada (ajaran) yang bernama sanghiyang siksakandang karesian untuk kewaspadaan semua orang. Inilah ujar sang budiman memaparkan sanghiyang siksakandang karesian.

Inilah sanghiyang dasa kreta1 untuk pegangan orang banyak. Siapapun yang hendak menegakkan sarana kesejahteraan agar dapat lama hidup, lama tinggal (di dunia). berhasil dalam peternakan, berha-sil dalam pertanian,2 selalu unggul dalam perang, sumbernya terletak pada orang banyak.

Inilah kenyataan yang disebut sanghiyang dasa kreta. Bayang bayang dasa sila, maya-maya3 sanghiyang dasa marga, perwujudan dasa indera untuk menyejahterakan dunia kehidupan di dunia yang luas.4

Ini (jalan) untuk kita menyejahterakan dunia kehidupan, bersih jalan, subur tanaman, cukup sandang,5 bersih halaman bclakang, bersih halaman rumah. Bila berhasil rumah terisi, lumbung terisi. kandang ayam terisi, ladang terurus, sadapan terpelihara, lama hidup. selalu6 sehat. sumbernya terletak pada manusia sedunia. Seluruh penopang kehidupan; Rumput, pohon-pohonan, rambat. semak, hijau subur tumbuhnya segala macam buah-buahan, banyak hujan, pepohonan tinggi karena subur tumbuhnya, memberikan kehidupan kepada orang banyak. Ya itulah (sanghiyang) sarana kesejahteraan dalam kehidupan namanya.

Ini sanghiyang dasa kreta yang disebutkan sebagai bayang-bayang sanghiyang dasa sila,7 ya maya-maya sanghiyang dasa marga. perwujudan dasa indera. Inilah kenyataannya.

Telinga jangan mendengarkan yang tidak layak didengar karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun kalau telinga terpelihara, kita akan mendapat keutamaan dalam pendengaran.

Mata jangan sembarang melihat yang tidak layak dipandang karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila mata terpelihara, kita akan mendapat keutamaan dalam penglihatan.

Kulit jangan digelisahkan karena panas ataupun dingin sebab menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; tetapi kalau kulit terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari kulit.

Lidah jangan salah kecap karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila lidah terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari lidah.

Hidung jangan salah cium karena menjadi pintu bencana penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan


II

neraka: namun bila hidung terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari hidung.

Mulut jangan sembarang bicara karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila mulut terpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari mulut.

Tangan jangan sembarang ambil karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila tangan terpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari tangan.

Kaki jangan sembarang melangkah karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila kaki tcrpelihara. kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari kaki.

Tumbung8 jangan dipakai keter9 karena menjadi pintu bencana di dasar kenistaan neraka; namun bila tumbung terpelihara, kita akan mendapat keutamaan yang berasal dari tumbung.

Baga-purusa10jangan dipakai berjinah, karena menjadi pintu bencana, penyabab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka; namun bila baga-purusa terpelihara, kita akan memperoleh keutamaan dari baga dan purusa,

Ya itulah yang disebut dasa kreta. Kalau sudah terpelihara pintu (nafsu) yang sepuluh, sempurnalah perbuatan orang banyak. Demikian pula perbuatan sang raja.

Ini yang disebut dasa prebakti. Anak tunduk kepada bapak; isteri tunduk kepada suami; hamba tunduk kepada majikan11 siswa tunduk kepada guru; petani tunduk kepada wado; wado12 tunduk kepada mantri, mantri tunduk kepada nu nangganan; nu nangganan tunduk kepada mangkubumi; mangkubumi tunduk kepada raja; raja tunduk kepada dewata; dewata tunduk kepada hiyang. Ya itulah yang disebut dasa prebak


III

ti

Ini yang harus dilaksanakan, amanat sang budiman sejati. Puji dan sembahku kepada Siwa, horrnatku kepada sanghiyang panca tatagata.13. Panca berarti lima, tata berarti ucap, gata berarti raga, Ya itulah yang memberikan kebaikan kepada semuanya.

Panca aksara14 adalah guru manusia. Panca aksara itu kenyataan yang terlihat, terasa dan tersaksikan oleh indera kita. Guru itu tempat bertanya orang banyak, Karena itu dinamakan guru manusia. Kebodohan itu baru ada setelah adanya dunia.

Ini kenyataanya. Namanya ya panca byapara.15 Sanghiyang pretiwi (tanah), air, cahaya, angin dan angkasa. Ujar sang budiman manusia besar: itu semua milik kita. Yang diibaratkan tanah yaitu kulit, yang diibaratkan air yaitu darah dan ludah, yang diibaratkan cahaya yaitu mata, yang diibaratkan angin yaitu tulang, yang diibaratkan angkasa yaitu kepala. Itulah yang disebut pretiwi dalam tubuh. Ya diibaratkan oleh penguasa bumi. Ya menjelma menjadi para rama, resi, ratu, disi dan tarahan.

Ini panca putera:16 pretiwi adalah Sang Mangukuhan, air adalah Sang Katungmaralah, cahaya adalah Sang Karungkalah, angin adalah Sang Sandanggreba, angkasa adalah Sang Wretikandayun,17

Ini panca kusika:18 Sang Kusika di Gunung, Sang Garga di Rumbut, Sang Mesti di Mahameru, Sang Purusa di Madiri. Sang Patanjala di Panjulan,

Kalau terpahami semua sanghiyang wuku19 lima di bumi tentu (tampak) menyenangkan (keadaan) semua tempat. Tempat itu disebut: purwa, daksina, pasima, utara, madya. Purba yaitu timur, tempat Hiyang Isora, putih warnanya. Daksina yaitu selatan, tempal Hiyang Brahma, merah warnanya. Pasima yaitu barat, tempat Hiyang Mahadewa, kuning warnanya.


IV


Utara yaitu utara, tempat Hiyang Wisnu, hitam warnanya. Madya yaitu tengah, tempat Hiyang Siwa, aneka macam warnanya. Ya sekian itulah wuku lima di bumi.

Ini Wuku lima pada rnaha pendeta. Rahasia itu terasa dalam bertutur; tapa itu terasa dalam berkelana; duduk itu terasa dalam keteguhan; kepastian itu terasa dalam kemustahilan; kelepasan itu terasa dalam memberi tanpa diberi, mengingat (eling) tanpa batas. Sekian wuku lima pada maha pendeta.

Ini modal kesejahteraan yaitu mereka sang dewata lima.20 Semua mewakili namanya sendiri; semua melihat rupanya serdiri. Namun kalau tidak terasa ibarat bengkok bertemu dengan bengkoknya, lurus bertemu dengan lurusnya. Demikianlah karena perbuatan manusia maka sejahtera, karena perbuatan manusia maka sentosa.

Ini pekerjaan hulun21 untuk jalan kita inengabdi. Pekerjaan itu disebut bakal budi, tingkah laku itu namanya jalan. Hendaknya takut, berhati-hati(?), hormat dan sopan dalam tingkah. dalam perbu-atan, dalam ulah dan perkataan.

Demikian pula bila berada di hadapan sang raja. Tetaplah setia dalam pcngabdian, akan pulih dari noda yang sepuluh,22 pasti terha-pus dosa dan hilang23penderitaan, bersua dengan kebahagiaan. Bila benar-benar melaksanakan tugas sebagai hulun, yang demikian itu lebih memadai dari hasrat24 setinggi bukit, bertapa di puncak gunung karena terlarang bertapa di atas gajah atau moncong singa; mudah mendapat bencana besar.

Ini perilaku manusia yang akan berguna bagi orang banyak. Turutlah sanghiyang siksakan-


V

dang karesian. Waspadalah agar kita terluput dari pancagati25 agar tidak sengsara. Jangan hianat jangan culas, jangan menghianati diri sendiri. Yang dikatakan menghianati diri sendiri yaitu: yang ada dikatakan bukan, yang bukan dikatakan benar. Ya begitulah,tekadnya penuh dengan muslihat. Perbuatan memitnah, menyakiti hati (orang lain), itulah kenyataannya yang disebut menghianati diri sendiri.

Yang disebut menghianati orang lain adalah: memetik (milik orang) tanpa izin, mengambil tanpa meminta, memungut tanpa mem-beri tahu. Demikian pula: merampas. mencuri, merampok, menodong; segala macam perbuatan hianat. ya menghianati orang lain namanya.

Demikian pula: merangkum (mengambil barang orang dengan kedua telapak tangan), memasukkan tangan (untuk mengambil barang orang), mencomot, merebut, merogoh, menggerayangi rumah orang, Begitu juga terus menerus tinggal di rumah majikan, rumah penguasa atau pada raja. Hal demikian lebih-lebih jangan dilakukan, jangan diperbuat oleh seorang hulun. Jangan lupa menggunakan ucap yang hormat, sopan dan mantap, bakti dan susila kepada sesama manusia, kepada sanak keluarga.

Demikianlah kepada raja kita. Kaki itu untuk bersila dan tangan untuk menyembah. Hati-hatilah kita berbincang dengan menak, dengan majikan pemilik tanah. dengan kedua orang tua,26 dengan wanita larangan:27 Begitu pula dengan raja kita. Bila kepada kita dipercayakan suatu rahasia, jangan rnunafik pikiran kita, demikian pula salah jawab, kelihatan roman muka tidak senang oleh raja kita. Jangan, pemali ! Nanti gugur hasil kita bertapa, hilang jasa nenek moyang, akan lenyap hasil jerih payah kita, akan tertimpa kesengsaraan, diusir


VI


oleh sang raja.

Kalau tak akan setia kepada raja kita, bila kemudian kita men-derita sakit, menjadi lemah karena tak bertenaga atau merasa bingung, lalu terang-terangan mengatakan bahwa hal itu keterlaluan. Karena itu belajarlah setia kepada raja; tetapi bila kita bertindak, jangan mengeluh, jangan kecewa, jangan enggan diperintah, jangan iri, jangan dengki kepada kawan semajikan.

Demikianlah bila melihat orang yang mendapat pujian, mendapat selir, melihat yang dikasihi oleh raja, kemudian hendak goyah kesetiaan kita. Jangan, pemali! Akibat buruknya ialah jadi murung sa kit hati. Tak akan dapat diobati, jampi tak akan mempan, niat tak akan terlaksana karena tidak dibenarkan oleh sanghiyang siksakandang karesian.

Demikianlah bila kita menjadi anggota pasukan28 janganlah sampai mendapat marah. Kalaupun kita mendapat marah jangan sampai tidak berbakti kepada nu nangganan karena ia tanda29 sang raja.

Bila kita mendapat perintah, jangan melupakan sanghiyang siksakandang karesian. agar kita tetap setia kepada tugas. Namun kalau ada yang (diperintah) ke utara, selatan, barat dan timur. janganlah siwok cante, jangan simur cante, jangan simar cante, jangan darma cante. Ya itulah yang disebut catur yatna (empat kewaspadaan).

Inilah keterangannya. Yang disebut siwok cante30 adalah tergoda oleh makan-minum. Yang disebut simur cante adalah ikut perbuatan orang yang mencuri, merebut dan merangkum. Itulah yang dinamakan salah langkah,31 yang disebut simar cante adalah mengambil dagangan mas dan perak berlembar-lembar tanpa di-


VII

suruh yang empunya barang. Ya salah jualan namanya. Yang disebut darma canten ialah membantu (pihak) yang dibenci oleh raja kita. Disuruh mengambil (menangkap) atau pergi membunuh orang yang durhaka oleh raja, berganti jadi memberi hati karena ragu-ragu, karena terikat rasa kekeluargaan, karena saudara Hal itu jangan dilakukan oleh seorang hulun. Suka terhadap yang dibenci (oleh raja), benci terhadap yang disukai (oleh raja). Hal itu tidak layak kita perbuat selaku seorang hulun.

Ini untuk kita menurut kepada raja, supaya kita lama dijadikan hulun, agar kita lama diaku oleh raja kita. Ikuti sanghiyang siksakandang karesian! Lihatlah sang penguasa. Kalau raja marah kitapun harus ikut marah bersama raja. Kalau raja memuji kitapun harus ikut memuji bersama raja. Kalau tidak ikut memuji atau mencela bersama raja, itulah tanda mungkir bahwa kita berbakti kepada raja.

Kalau kita (diperintah) pergi ke hutan. janganlah lupa baju dan selimut. Kalau tidak bersama raja, perhatikan (peraturan) dalam sik-sakandang karesian. Peraturannya yaitu: jangan memetik sayur di ladang kecil orang lain, juga di kebun orang lain. Akan sia-sia hasil kita beramal baik.

Batas kebun di hutan, kayu yang ditandai tali, pohon buah yang ditandai ranting, kayu bakar yang disandarkan, cendawan yang ditu-tupi, sarang tiwuan, odeng, lebah,


VIII


engang, ulat kayu, parakan32 atau apapun yang telah diberi simpul babayan33 jangan diambil. Demikian pula menurunkan sadapan orang lain jangan sekali-kali dilakukan karena merupakan sumber dosa dan pangkal kenistaan dan noda.

Kalau kite menemukan jalan, besar atau kecil, segeralah ber-cangcut dan berpakaian34 sebab mungkin kita berpapasan (berpandangan) dengan gusti atau mantri. Kita harus berada di sebelah kiri dan berjongkok. Bila (bersua) pujangga. brahmana, raja pendeta, mangkubumi, putera raja, kaya atau miskin, demikian pula bila bersua dengan guruloka, kita hams berada di sebelah kirinya karena dia itu guru sang prabu.

Ingat-ingat dalam siksakandang karesian dan perhatikan dalam godaan.35 Jangan berjalan mengiringi semua wanita larangan, semua rara hulanjar36 agara tidak terkena godaan di perjalanan. Demikian pula memegang tangan(nya), duduk bersama-sama di atas catang, di balai-balai berdua saja, disebut godaan di tempat duduk. Berdiri di belakang rumah atau di halaman berdua saja, disebut-godaan di tempat berdiri namanya.

Menyahut orang batuk, mendeham, membuang dahak, demikian pula menyahut ibu-ibu yang menyanyi, disebut lembu memasuki gelanggang. Bersandar pada bekas orang suci duduk pada tiang, pada kayu, pada batu, padahal kita melihatnya dan setelah mereka pergi kita menggantikannya bersandar di situ, disebut lembu menantang. Itu semua perlu diingat kalau ingin terluput dari neraka.

Demikian pula sepenginapan, setempat-tinggal, seberanda, sebalai-balai dengan semua orang suci, semua wanita larangan, dinamakan kerbau sepemakanan.37 Ya semuanya perlu diingat,


IX

disebut.perbuatan pemali namanya.

Semua itu jangan sekali-kali ditiru oleh hulun semuanya. Kalau
kita hendak; membawa maka berbicaralah kepada penguasa. Kalau disetujui, rundingkanlah peri hal sakitnya, matinya, hilangna, kuburannya semua, bawalah! Tidak akan menjadikan aturan. Kalau tidak disetujui, jangan! Kalau berkeras hendak membawa dia, bila ia sakit harus diurus, bila mati atau hilang harus mengganti sendiri menurut kemampuan, karena itu hati-hatilah!

Ini lagi. Kalau kita kedatangan oleh semua pangurang38 dasa,39 calagara, upeti, panggeres reuma,40 tunjukkanlah rasa suka dalam tingkah kita, anggaplah seperti kedatangan sanak-keluarga, saudara, adik, kakak, anak, sahabat, suan atau keponakan. Demikianlah ibaratnya. Namun bila ada rasa sayang pada kita, sediakanlah makanan, minuman, selimut, kain yang kita miliki.

Resapkanlah puja dan berlindung kepada hiyang dan dewata. Bila kita diperintah bekerja ke ladang, ke sawah, ke serang41 besar, mengukuhkan tepian sungai, menggali saluran, mengandangkan ter-nak. memasang ranjau tajam, membendung sebahagian alur sungai untuk menangkap ikan, menjala, menarik jaring, memasang jaring, menangguk ikan, merentang jaring; segala pekerjaan untuk kepentingan raja, jangan marah-marah. jangan munafik, jangan resah dan uring uringan, kerjakanlah dengan senang hati semuanya.

Resapkanlah tugas kita. Namun bila kita pulang ke kota, jangan berak di pinggir jalan atau di pinggir rumah diujung bagian yang tak berumput, agara tidak tercium oleh menak dan gusti. Timbuni tungku yang berlubang lubang supaya tidak dikutuk dan disalahkan ibu-bapak dan perguruan, disesali oleh orang-orang tua karena perbuatan kita yang ceroboh. Namun kalau


X


menurut sanghiyang siksa, berak harus tujuh langkah dari jalan, kencing harus tiga langkah dari jalan. Pasti tidak akan dimarahi orang lain karena kita mengetahui perbuatan yang terlarang. Kalau dikerjakan akan mcndatangkan sedih. yang terlarang itu dapat mengakibatkan kematian; dan (dalam kota itu) perhatikanlah tempat hukuman (?). ujung kayu penjepit tangan hukuman, mungkin pemandian keraton, kandang larangan, rumah larangan. Demikian pula memintas jalan, menghampiri atau melewati rombongan raja yang sedang bercengkerama, karena semua itu merupakan perbuatan dosa.

Bila kita masuk ke keraton, maka baik baiklah melihat, jangan sampai melanggar, mendorong, mengganggu atau memutus jajaran (orang-orang yang duduk). Bila kita duduk jangan salah menghadap, baik baiklah bersila. Dan sekiranya kita diajak bicara oleh raja, pikirkanlah betul-betul bicara kita. Harus layak supaya menyenangkan raja.

Dan perihatikanlah mereka yang dapat ditiru: mantri, gusti yang terkemuka, bayangkara yang menghadap, pangalasan. juru lukis, pandai besi. ahli kulit, dalang wayang, pembuat gamelan, pemain sandiwara, pelawak, peladang. penyadap. penyawah, penyapu. bela mati, juru moha, barat katiga, prajurit, pemanah, pemarang, petugas dasa dan penangkap ikan, juru selam dan segala macam pekerjaan. Semua setia kepada tugas untuk raja, itu semua patut ditiru sebab mereka melakukan tapan dalam negara,

Jika ada di antara kita yang dimarahi oleh raja, itu semua jangan ditiru perbuatannya, nanti kitapun mendapat marah pula. Ini perbandingannya;kalau orang pergi ke hu-


XI


tan menginjak duri, lalu kitapun penginjaknya, terasa sama sakitnya. Bila ada di antara kita yang terpuji: cekatan, terampil, penuh keutamaan, cermat, teliti. rajin, tekun, setia kepada tugas dari raja. Yang demikian itu perlu ditiru perbuatan dan kemahirannya. pasti kitapun akan mendapat pujian pula.

Bila ada orang baik penampilannya, baik tingkahnya, baik perbuatannya, tirulah seluruhnya karena yang demikian itu disebut manusia utama. Bila ada orang yang buruk penampilannya, pandir tingkahnya, tetapi baik perbuatannya. yang demikian itu jangan ditiru tingkahnya, dan perhatikan penampilannya. Tirulah perbuatannya. Kalau ada orang yang buruk penampilannya, pandir tingkahnya dan buruk pula perbuatannya, yang demikian itu noda dunia, menjadi pengganti (tumbal) kita seluruh dunia, namanya kebusukan (diantara) manusia. Itu semua patut diingat, sengsara dan bahagia, buruk dan baik, tergantung kepada guru.

Ini tandanya. Ada orang mati waktu mencuri, mati ketika menggerayangi rumah orang, mati waktu menodong, mati waktu merangkum, dan segala macam perbuatan hianat, semua itu harus diperhatikan karena jangan dijadikan contoh. Ya itulah yang disebut guru nista.

Ada lagi. Kalau kita menonton wayang, mendengarkan juru pantun, Ialu menemukan pelajaran dari kisahnya. itu disebut guru panggung.

Bila kita menemukan pelajaran yang baik dari membaca ya disebut guru tangtu. Kalau melihat hasil pekerjaan besar seperti: ukir-ukiran, hasil pahatan,

XII

papadungan (papasan kayu?), lukisan, enggan bertanya kepada pembuatnya, terpahami oleh rasa sendiri hasil mengamati karya orang lain, ya disebut guru wreti.

Mendapat ilmu dari anak. disebut guru rare. Mendapat pelajaran dari kakek, disebut guru kaki. Mendapat pelajaran dari kakak, disebut guru kakang. Mendapat palajaran dari toa, disebut guru ua.

Mendapat pelajaran di tempai bepergian, di kampung di tempat bermalam, di tempat berhenti, di tempat menumpang, disebut guru hawan. Mendapat pelajaran dari ibu dan bapak, disebut guru kamulan. Demikian pula kalau berguru kepada maha pendeta, disebut guru utama, ya disebut guru mulya, guru premana, ya guru kaupadesaan. Itulah yang disebut catur utama (empat keutamaan).

Karena itu bila telah selesai menunaikan semua kewajiban dan pekerjaan, periksalah kembali mana yang jelek mana yang bagus, mana yang buruk mana yang baik. Begiiulah bila aya yang memuji kita, hendaknya segan dan sadarlah kita, ganti kembalikan kepada yang memuji supaya kita tidak mementingkan pujian orang lain. Kalau kita senang dipuji, ibarat galah panjang disambung ranting (belalai) karena merasa senang oleh pujian,

Lalu menjadi tekebur karena merasa diri berkecukupan di rumah sendiri dengan makanan, minuman, kesenangan, kenikmatan dan perabotan, lalu dijadikan andalan. Itu disebut galah panjang. Itu ibarat padi hampa namanya.

XIII

Begitulah, kalau ada yang mencela (mengeritik) kepada kita, terimalah kritik orang lain itu. Yang demikian itu ibarat galah sodok dipotong runcing. Ibarat kita sedang dekil, celaan itu bagaikan air pemandian; ibarat kita sedang menderita kekeringan kulit, bagaikan datang orang yang meminyaki; ibarat kita sedang lapar, bagaikan datang yang memberi nasi; ibarat kita sedang dahaga, bagaikan datang orang yang mengantarkan minuman; ibarat kita sedang kesal hati, bagaikan datang orang yang memberi sirih pinang. Itulah yang discbut panca parisuda (lima penawar); ibarat galah sodok diperpendek.

Bila kita merasa bahagia, ibarat padi berat isi. pasti sejahteralah orang banyak, karena bertemu dengan sumber kesenangan dan kenikmatan, (yaitu) tahan celaan dan mengambil (memperhatikan) nasihat orang lain. Bila sedang sibuk tundalah sementara, (lebih-lebih) bila sedang tidak ada pekerjaan, untuk menjenguk ibu-bapak. Itulah yang disebut manusia sejati; yang disebut keutamaan tertinggi: ibarat dewa berwujud manusia namanya; berperibadi sempurna. benih kebajikan dan pohon kebenaran.

Ini pelengkap perbuatan, agar tidak gagal dalarn hidup. agar rumah tangga kita penuh berkah, (yaitu) cermat. teliti, rajin. tekun. cukup sandang, bersemangat, berperibadi pahlawan, bijaksana, berani berkurban, dermawan, cekatan, terampil. Bila kita membuat sawah. untuk sekedar tidak sengsara; bila kita membuat kebun, untuk sekedar tidak mengambil sayur-sayuran di ladang kecil milik orang lain atau ke ladang luas milik orang lain, sebab tak akan dapat meminta-nya: memelihara ternak tiduk sekedar tidak membeli atau menukar (barter), (memiliki) perkakas untuk sekedar tidak meminjam;


XIV

selimut dan pakaian jangan kekurangan; makan dan minum jangan kekurangan; anak dan isteri nasihati supaya tidak dikatakan merusak kesusilaan. Perhatikanlah sanghiyang siksakandang karesian.

Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah ; kita berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa. Demikian pula (mengenai) kejujuran anak-isteri. jangan ber-sikap pembeli hati supaya tidak hanya tampaknya saja berbuat. Bila kita berhasil mengajarinya dan menuruti nasihat, itulah anak kita, isteri kita.

Bila tidak menuruti nasihat, mereka itu sama saja dengan orang lain. Namun bila tetap bandel, isteri dan anak yang demikian, sudahlah jangan kita aku. Pasti kita mendapat beban. pasti tersesat masuk neraka, musnah hasil amal kita, hilang pahala leluhur.


Ini ajaran sang darma pitutur, agar hidup kita tidak tanpa tekad memelihara hasrat. Alat hias itu sisir, bejana berisi air itu jernih, tampak (dasar) tempatnya dan tampak tanpa busa. Dikatakan: seri itu namanya emas, Adapun emas. bila tidak digosok suram warnanya, kalau digosok cemerlang indah sebab terpelihara,

Demikianlah tamsil kita manusia ini. Kalau mentaati sanghyang siksa, sejahteralah perasaan kita ibarat lurus bertemu dengan lurus-nya. Bila tidak mentaati sanghyang siksa kreta ibarat bengkok bertemu dengan bengkoknya. Alat hias itu cermin. Adapun cermin, bila tidaK terlihat, samarlah bayangan kita. Bila terlihat akan jelaslah rupa

XV

kita di dalam cermin itu,

Begitulah manusia ini, dapat meniru perilaku orang lain. Bila sempurna pasti terikuti oleh perasaan kita. Kalau tidak akan bisa menuruti nasihat, membelakangi aturan namanya.

Jemangan itu disebut tempat bercermin. Yang dapat dianggap air bening itu ialah budi kita yang baik. Oleh sebab itu maka lihatlah agar pikiran kita tetap hidup. Negeri itu disebut kota. Adapun kota, bila kosong tak ada yang patut ditiru. Demikian pula perkataan, bila tidak berisi. dusta namanya. Tetapi bila bersih dan pada tempatnya, itu semuanya patut ditiru, Demikianlah semua perkataan. Bila terisi, maka dikatakan benar-benar terbukti.

Demikianlah kita manusia ini. Bila ingin tahu sumber kesenangan dan kenikmatan. ingat-ingatlah kata sang darma pitutur. Inilah selokannya:


telaga dikisahkan angsa

gajah mcngisahkan hu tan

ikan mengisahkan laut

bunga dikisahkan umbang.

Maksudnya, demikianlah bila kita akan bertindak, janganlah salah mencari tempat bertanya. Bila ingin tahu tentang taman yang jernih, telaga berair sejuk tanyalah angsa. Umpamanya ada orang menekuni pedoman hidup, jernih pikiran, hidup hasratnya, bergelora, ibarat angsa berada di telaga bening.

Bila ingin tahu isi laut tanyalah ikan. Ibaratnya orang ingin


tahu tentang budi raja dan budi mahapendeta.

Bila ingin tahu tentang isi hutan tanyalah gajah, Ini maksudnya. Yang diibaratkan isi ialah tahu keinginan orang banyak. Yang diibaratkan gajah ialah tahu tentang kekuatan sang

XVI

raja.

Bila ingin tahu tentang harum dan manisnya bunga, tanyalah kumbang. Maksudnya yang diibaratkan kumbang itu ialah orang dapat pergi mengembara. tahu perilaku orang lain. Yang diibaratkan harum bunga ialah manusia yang sempurna tingkah lakunya, manis tutur katarya selalu tampak tersenyum penuh kebahagiaan. Maksudnya janganlah salah memilih tempat bertanya.

Bila ingin tahu semua ceritera seperti: Damarjati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakarma, Ramayana, Adiparwa. Korawasarma, Bimasorga, Rangga Lawe, Boma, Sumana. Kala Purbaka, Jarini, Tantri; ya segala macam ceritera tanyalah dalang.

Bila ingin tahu segala macam lagu, seperti: kawih bwatuha, kawih panjang, kawih lalanguan. kawih panyaraman, kawih sisi(n)diran, kawih pengpeledan, bongbongkaso, pererane, prord eurih, kawih babahanan, kawih ba(ng)barongan, kawih tangtung, kawih sasa(m)batan, kawih igel-gelan: segala macam lagu, tanyalah paraguna (ahli karawitan).

Bila ingin tahu permainan, seperti: ceta maceuh. ceta nirus, tatapukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neurcuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung. asup kana lantar, ngadu nini: segala macam permaman, tanyalah empul.

Bila ingin tahu tentang pantun, seperti: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; tanyalah juru pantun

Segala macam lukisan, seperti: pupunjengan, hihinggulan, kekembangan, alas-alasan. urang-urangan, memetahan, sisirangan, ta-

XVII

ruk hata, kembang tarate: segala macam lukisan, tanyalah pelukis.

Segala macam hasil tempaan, ada tiga macam yang berbeda. Senjata sang prabu ialah: pedang, abet (pecut), pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk membunuh. Senjata orang tani ialah: kujang. baliung. patik, kored, pisau sadap. Detya yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengambil apa yang dapat dikecap dan diminum. Senjata sang pendeta ialah: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa yang dijadikan dewanya, karena digunakan untuk mengerat segala sesuatu, Itulah ketiga jenis senjata yang berbeda pada sang prebu, pada petani, pada pendeta. Demikianlah bila kita ingin tahu semuanya, tanyalah pandai besi.

Segala macam ukiran ialah: naga-nagaan, barong-barongan. ukiran burung. ukiran kera, ukiran singa; segala macam ukiran, tanyalah maranggi (ahli ukir).

Segala macam masakan, seperti: nyupar-nyapir, rara ma(n)di, nyocobek, nyopong koneng, nyanglarkeun, nyarengseng, nyeuseungit, nyayang ku pedes, beubeuleuman, papanggangan, kakasian, hahanyangan, rarameusan, diruum diamis-amis; segala macam masakan, tanyalah hareup catra (juru masak).

Segala macam kain. seperti: kembang mu(n)cang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi, kalangkang ayakan, poleng re(ng)ganis Jaya(n)ti, cecempaan, paparana-

XVIII

kan, mangin haris, sili ganti, boeh siang, bebernatan, papakanan, surat awi, parigi nyengsoh. gaganjar, lusian besar, kampuh jaya(n)ti, hujan riris, boeh alus, ragen panganten; segala macam kain, tanyalah pangeuyeuk (ahli tekstil).

Bila ingin tahu agama dan parigama: acara tunduk kepada adigama, adigama tunduk kepada gurugama, gurugama tunduk kepada tuhagama, tuhagama tunduk kepada satmata, satmata tunduk kepada surakloka, surakloka tunduk kepada nirawerah. Manusia utama bebas dari dosa, Bebas dari dosa ciri manusia utama; segala hal mengenai agama dan parigama tanyalah pratanda.

Bila ingin tahu tentang perilaku perang, seperti: makarabihwa, katrabihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka, braja panjara, asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngali(ng)ga manik. lemah mrewasa, adipati, prebut sakti, pake prajurit, tapak sawetrik; tanyalah panglima perang.

Bila ingin tahu semua mantra, seperti: jampa-jampa, geugeui(ng). susuratan, sasaranaan, kaseangan, pawayagahan, puspaan, susudaan, hurip-huripan, tu(n)duk iyem, pararasen, pasakwan; segala macam ajian tanyalah-brahmana.

Bila ingin tahu tentang puja dan sanggar, seperti: patah puja daun, gelar palayang, puja kembang, nya(m)pingan lingga, ngomean sanghyang: segala macam hal mengenai memuja tanyalah janggan (biarawan)

Bila ingin tahu tentang-perhitungan waktu, seperti: bu-

XIX

lan gempa, tahun tanpa te(ng)gek, tanpa sirah, sakala lumaku, sakala ma(n)deg. bumi kape(n)dem, bumi grempa: segala macam pengetahuan vvarisan leluhur, tanyalah bujangga.

Bila ingin tahu tentang darmasiksa. siksakandang, pasuktapa, padenaan. maha pawitra, siksa guru, dasa sila, tato bwana. tato sarira, tato ajnyana; segala macam isi pustaka, lanyalah pendeta,

Demikian pulah tentang kesempurnaan di seluruh kerajaan, kemulyaan, keutamaan, kewaspadaan, keagungan, tanyalah raja.

Bila ingin tahu tentang cara-cara mengukur tanah, seperti : mengatur tempat, membagi-bagikan kepada seluruh rakyat, memberi tanda batas, meratakan, membersihkan lahan, mengukur, menyamakan, meluruskan, .mengatur. bila tinggi didatarkan, bila rendah diratakan; segala macam pengaturan tempat. tanyalah mangkubumi.

Bila ingin tahu tentang semua pelabuhan, demikian pula: gosong, gorong, kabua, ryak mokprok, ryak maling, alun agung, tanjung, hujung, nusa, pulo. karang nunggung, tunggara, barat daya: segala macam tempat di laut, pelayaran, tanyalah puhawang (nakhoda).

Bila ingin tahu segala macam harga, seperti: tiga juta, tiga ratus-ribu, tiga puluh ribu, tiga ribu, enam ratus, tiga ratus, tiga puluh, demikian pula kedua belas, ketiga belas, keempat belas, kelima belas, keenam belas. ketujuh belas, kedelapan belas: segala macam harga tanyalah citri-

XX

k byapari (orang terpelajar/pandai).

Bila ingin tahu tentang sandi, tapa, lungguh, pratyaksa. putus tangkes, kaleupaseun, tata hyang, tata dewata, rasa carita, kalpa carita: segala macam mengenai penyebutan para dewata semuanya, tanyalah wiku paraloka.

Bila kita hendak bertindak, jangan salah mencari tempat bertanya. Bila ingin tahu bahasa negara-negara lain, sepertj: bahasa Cina, Keling, Parsi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kelantan, Bangka, Buwun, Beten, Tulangbawang, Sela, Pasay, Negara Dekan, Madinah, Andalas, Tego, Maluku, Badan, Pego, Minangkabau, Mekah, Buretet, Lawe, Sasak, Sumbawa, Ball, Jenggi, Sabini; Ogan, Kanangen, Momering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; segala macam (bahasa) negara-negara lain, tanyalah juru basa darmamurcaya.

Itu semua patut diketahui tepatnya dan perlunya. Bila ada yang mengatakan tidak perlu tahu; itulah yang tidak akan setia kepada keahlian dirinya, mengabaikan ajaran leluhur kita. Pasti ditunggu oleh neraka bila keahlian tidak dimanfaatkan, bila kewajiban tidak dipenuhi, untuk mencapai kebajikan dan kesejahteraan karena semua itu ketentuan dari hyang dan dewata,

Suara panguasa alam waktu menyempurnakan mayapada. Ujar-nya: Brahma, Wisnu, isora, Mahadewa, Siwa-

XXI

h, baktilah kepada Batara! Ujarnya: India. Yama, Baruna, Kowara, Besawarma, baktilah kepada Batara! Ujarnya: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua berbakti kepada Batara Seda Niskala42 Semua menemukan "Yang Hak" dan "Yang Wujud".

Ini yang harus ditemukan dalam sabda, ketentuan Batara di dunia agar teguh menjadi "Permata di dalam sangkar", untuk cahaya seluruh dunia, Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tunduk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru, mantri tunduk kepada nu nangganan, nu nangganan tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata.

Kita harus memperteguh diri, menertibkan hasrat, ucap dan budi. Bila hal itu tidak diterapkan dan dilakukan oleh orang-orang dari golongan rendah, menengah dan tinggi semua akan dijerumuskan ke dalam neraka Si Tambra Go(h)muka. Karena keunggulan ilmu manusia terungguli oleh dewata,

Kata sang darma pitutur mengajarkan ucap para leluhur. Ada lagi perbandingannya. Demikianlah umpamanya kita pergi ke Jawa, tidak mengikuti bahasa dan adatnya, termangu-mangu perasaan kita. Setelah kita kembali ke Sunda, tidak dapat berbicara bahasa Jawa, seperti yang bukan pulang dari rantau. Percuma hasil jerih payahnya sebab tidak bisa berbicara bahasanya.

Demikianlah kita manusia ini. Tetap turun dari alam gaib tidak menemukan jalan kedewataan, ingin cepat-cepat menjelma karena pandir kelakuannya, tidak dapat meniru perbuatan orang yang mengetahui. Malahan yang ditiru itu orang yang tidak setia, yang tidak layak, cepat berbuat kejahatan: menyelinap ke rumah perempuan, lalu main serong dengan orang yang terhitung adik atau kakak. Lalu perempuan merasai pria yang bu-

XXII

kan suaminya, tidak layak nanianya. Laki-laki merasai wanita yang bukan istrinya, ridak layak namanya. Boleh dijerumuskan ke dalam neraka si mregawijaya. (sebagai) manusia yang mengutamakan perbuatan yang salah.

Inilah ungkapan perbuatan manusia yang salah: burangkak, marende, mariris. wirang. Yang disebut catur buta (empat hal yang mengerikan). Maksudnya burangkak berarti mengerikan. Yang dianggap mengerikan yaitu ke'akuan manusia yang ketus, tak mau menyapa se-sama orang. bicara sambil marah dan membentak, bicara sambil membelalak, bicara kasar dengan nada menghina, buruk lakuan, ber-hati panas, tidak layak namanya. Ya itulah yang dianggap mengerikan perbuatan manusia semacam itu. Tak ubahnya seperti raksasa, durgi. durga, kala, buta, layaknya menempati tanah-tanah yang kotor.

Yang disebut tanah-tanah yang kotor ialah: sodong, sarongge, cadas gantung, mungkal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan. lemah sahar, dangdang warian, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kalomberan, jaryan, kuburan; golongan tanah terbuang.

Demikianlah kejadiannya bagi yang berkeras berbuat buruk; karena perbuatan manusia yang bertingkah menakutkan orang lain kejadiannya tergolong kepada maha gila, karena tidak mengikuti sanghyang sasanakreta, karena melanggar sanghyang siksakandang karesian. Maka menjadi maha gila itulah yang dimaksud dengan burangkak.

Marende berarti diduga dingin nyatanya panas. Dimanjakan, dikasihani, dibujuk, disayangi, diberi kesenangan dan kenikmatan, diberi hamba kaula; demikianlah direncanakannya. Nyatanya terkena oleh isi tegal si pantana (sumber kehancuran), yang mengalirkan kurban.

Dari Timur bersenjatakan

XXIII

pedang. Seratus ribu orang terkena di sana. Dari Selatan gunung Batu. Berbarengan seribu orang nista di sana. Dari Barat raksasa bermuka api. Tidak terhitung jumlah orang nista di sana. Dari Utara seperti belalang ditusuki. Berbaieng seratus orang nista di sana. Dari tengah gagak si penghancur dengan sang senayaksa. Beribu-ribu orang nista di sana. Ye kenistaan karena marende namanya.

Mariris berarti jijik, lebih jijik dari tahi, lebih jijik dari bangkai busuK. Demikianlah perbuatan orang yang panjang tangan, suka mengambil barang orang. Memetik apa-apa tanpa meminta, mencuri, merampok, mengecoh, merampas; segala macam dusta terhadap kebenaran,

Bila mati rokhnya sengsara. Seribu seratus tahun terkena kutuk Batara, jauh pada kemungkinan menjadi manusia. Kalau menjelma menjadi binatang kotor. seperii: janggel, ulat tahun. piteuk, titinggi, jambelong, limus sakeureut, mear, pacet, lintah. lohong, gorong; segala macam yang dianggap jijik oleh orang banyak. Itulah yang disebut mariris.

Wirang berarti: tidak mau jujur. tidak mau benar, tidak mau layak. tidak mau terus terang, tidak mau berusaha. Bila memiliki sifat tercela seperti mengancam, membunuh, ketagihan, tak mau kapok. Bila mati rokhnya mengalami sengsara di jembatan goyang (lapuk), titian tua, batu tertutup. Bila menjelma ke dunia menjadi golongan makhluk yang menakutkan, seperti: badak, harimau, buaya, ular besar; segala macam yang menakutkan manusia. Itulahyang disebut wirang. Sekianlah tentang catur buta.

Ini mengumpamakan seseorang pergi ke Cina. Lama tinggal di Cina, paham tentang perilaku orang Cina, tingkah Cina, ulah Ci-


XXIV

na, keberesan Cina. Dapat memahami bahasa ketiga golongannya: yang rendah. sendang, tinggi.

Lalu memahami sabda sang prabu, sang rama. sang resi, bila dapat mengendalikan hasrat, ucap, dan budi. Maka yang demikian itu mengetahui tentang geuing. upageuing. parigeuing; yaitu yang disebut trigeuing.

Geuing ialah dapat makan dan dapat minum dalam kesenangan. Itulah arti geuing. Upageuing berarti dapat bersandang. dapat berpakai, dapat berganti pakaian (selama yang lain dicuci), dapat berbusana. Itulah arti upageuing. Parigeuing berarti dapat memerintah. dapat menyuruh, karena tuturnya manis dan ramah. Sehingga tidak meerasa segan orang yang disuruh karena terkena oleh hasil menyelami seloka.

Kepada yang masih muda panggillah: utun (buyut). eten (upik), orok (bayi), anaking (anakku), adi ing (adikku). kepada yang tua menyebutlah: lanceuk ing (kakakku). suan ing(uaku). euceu ing(kakak perempuanku), aki ing (kakekku). Menyebut nama berkesan keterlaluan. Demikianlah (yang disebut) dasa pasanta (sepululi penenang hati), yaitu bijaksana, ramah, sayang, memikat hati. kasih. iba membujuk, memuji, membesarkan hati, mengambil bati. Maka senang. gembira, dan cerahlah orang yang disuruh. Itulah yang disebut pari-geuing.

Inilah selokannya: emas, perak, pcrmata, intan. yang disebut catur yogya (empat hal yang terpuji. Ini maksudnya. Emas berarti ucapan yang jujur. tepat, nyata panca aksara. Perak berarti hati yang tenteram, baik. bahagia. Permata berarti hidup dalam keadaan cerah. puas, leluasa. Intan berarti mudah tertawa. murah senyum, baik hati. Itulah yang disebut catur yogya.

Ada orang muncul dari kesuciannya (seperti): pancak saji (rumah sajen), pabutelan, pemujaan. rumah adat, candi.

XXV

kuil, palinggan,

sanggar hyang (Bali: Sulinggih), batu perunggu. tempat arca, lalu membuat orang-orangan dan membersihkannya. Demikianlah seluruh permukaan tanah terurus, air dapat disucikan, diberkati. Itulah manusia bahagia, manusia sempurna. ya manusia sejahtera.

Yang dianggap muncul dari kesucian tanah yaitu, ingat kepada sanghyang siksa. berpegang teguh kepada ajaran ibu. bapak, kakek, dan buyut. mengetahui peraturan bagi maha pendeta, menukuhkan kata-kata kesentausaan. Menurut cerita zaman dahulu yang menegakkan sanghyang sasakreta itu ialah: Rahyangta Dewa Raja, Rahyangta Rawunglangit, Rahyangta di Medang, Rahyangta di Menis. Itulah yang disebut catur kreta.

Oleh karena itu sekarang manusia ingat kepada sanghyang darmawisesa, mengetahui kerahasiaan manusia. Itulah yang disebut manusia (yang paham) rahasia. Bila mati sukmanya akan menemukan sorga kebahagiaan. Mengalamj siang tanpa malam, suka tanpa duKa, kemulyaan tanpa kenistaan, senang tanpa penderitaan, indah tanpa buruk, gaib tanpa wujud, menjadi hyang tanpa mendadi dewa kembali. Itulah yang disebut peramalenyep (kesadaran utama).

Demikianlah manusia sekarang. Bila kita mandi, air yang kita temukan mengandung dua pilihan yang keruh dan yang jernih. Demikianlah perbuatan manusia. Dua macam yang dilakukan: yang buruk dan yang baik. Begitulah manusia, mendapat susah karena perbuatan yang menyusahkan dirinya sendiri. Begitulah manusia, mendapat kebahagiaan karena perbuatan yang membahagiakan dirinya sendiri. Ya manusia itu susah karena ulahnya senang karena ulahnya.

Befitulah air itu maka disebut ada dua macam pilihannya. Air


XXVI


sejuk dan bening adalah sanghyang darmawisesa. Itulah yang dilakukan oleh maha pendeta. Air suram dan keruh ialah pada rasa dan kelakuan yang dilakukan oleh sang wiku, masyarakat. orang yang berkedudukan semuanya. Ya ibarat centana (kesadaran) dengan acentana (ketidaksadaran). Yang sadar itu tahu mengingat nasihat dan tak pernah melupakannya; itulah awal manusia bahagian, pokok dunia yang sejahtera. Yang tidak sadar ialah yang lupa kepada hyang, bingung, tidak ada tutur yang diingatnya, ya pokok kehancuran, benih zaman akhir. urnbi keingkaran, benih kebohongan: penyebab manusia masuk neraka. Janganlah hal itu dikukuhi oleh mereka yang ingin benar.

Ini ujar sang budiman waktu menyentosakan pribadinya. Inilah tiga ketentuan di dunia. Kesentosaan kita ibarat raja, ucap kita ibarat rama, budi kita ibarat resi. Itulah tritangtu di dunia, yang disebut peneguh dunia.

Ini triwarga dalam kehidupan. Wisnu ibarat prabu, Brahma ibarat rama, Isora ibarat resi. Karena itulah tritangtu menjadi peneguh dunia, triwarga menjadi kehidupan di dunia. Ya disebut tritangtu pada orang banyak namanya.

Kukuhkan, kuatkan, batas-batas kebenaran, penuh kenyataan sikap baik dalam jiwa. Maka menjadi sentosa dunia. maka menjadi sejahtera kehidupan ini, karena perbuatan manusia yang serba baik.

Demikianlah, bila pendeta teguh dalam kependetaannya, akan sejahtera; bila wiku teguh dalam kewikuannya, akan sejahtera; bila manguyu (ahli gamelan) teguh dalam kemanguyuannya, akan sejahtera; .bila paliken (senirupawan) teguh pada kepalikenannya, akan sejahtera; bila tetega (biarawan) teguh dalam ketetegaannya, akan sejahtera; bila ameng (pelayan biara) teguh dalam keamengannya, akan sejahtera; bila wasi (catrik, pengikut agama) teguh dalam ke-wasiannya, akan sejahtera; bila ebon (biarawati) teguh dalam keebonannya, akan sejahtera; Demikian pula bila walka (pertapa yang me-ngenakan pakaian-kulit kayu) teguh dalam kewalkaan-

XXVII

nya, akan sejahtera; bila petani teguh dalam kepetaniannya, akan sejahtera; bila euwah(?) teguh dalam keeuwahannya, akan sejahtera; bila gusti (tuan tanah) teguh dalam kegustiannya akan sejahtera; bila masang(?) teguh dalam kemasangannya, akan sejahtera: bila bujangga (ahli falak) teguh dalam kcbujangaannya, akan sejahtera: bila tarahan (tukang tambangan perahu) teguh dalam ketarahannya, akan sejahtera: bila disi (ahli siasat/ramal) teguh dalam kedisiannya. akan sejahtera; bila rama teguh dalam keramaannya, akan sejahtera; bila resi teduh dalam keresiannya, akan sejahtera; bila prebu teguh dalam keprebuannya. akan sejahtera.

Demikian, bila pendeta dan raja sungguh-sungguh menyejaht-rakan negara, maka sejahteralah di Utara, Selatan, Barat dan Timur semua yang tersangga oleh bumi, semua yang ternaungi oleh langit; hidup sentosalah serba makhluk semuanya.

Serba makhluk semuanya yaitu: makhluk tumbuhan, makhluk hewan, janma wong, janma siwong, wastu siwong. Ya sekian itulah yang dikatakan serba makhluk seluruhnya.

Makhluk tumbuhan yaitu: rumput, pohon, rambat, perdu.

Semua hidup hijau subur, hamparan rumput; itulah yang disebut makhluk tumbuhan.

Janma wong yaitu: hanya rupanya saja manusia karena tidak baik tabiaatnya. Janma siwong yaitu: hanya baik tabiat. dan turunannya saja tetapi belum mengetahui sanghyang darma. Wastu siwong yaitu: yang teguh pada pengetahuannya, mengetahui sanghyang darma, tahu hakikat sanghyang ajnyana; itulah yang disebut wastu siwong.

Yang ini, barangkali ingin tahu tentang jumlah isi dunia. Inilah namanya: kurija, mataja, bagaja, payuja.

Kurija ialah segala yang keluar dari mulut. Mataja ialah segala yang keluar dari mata (mata tunas); Bagaja ialah segala yang keluar dari

XXVIII

kemaluan (perempuan), Payuja ialah segala yang keluar dari tumbung atau cungap. Itulah yang disebut sanghyang catur mula.

Ini kagunaan manusia di dunia: ngangka, nyigi, ngiket, nyi-geung, ngaruang, ngarombong. Ngangka berarti cita-cita. Nyigi berani untaian. Ngiket berarti segala jenis pekerjaan mengikat. Nyigeung berarti meluruskan, membelah, membaji, membagidua, meratakan, mengetok, mengikur. menyamakan. Ngaruang berarti segala macam kerja menggali Ngarombong berarti segala jenis pekerjaan memenggal-menggal (memberi batas). Itulah yang disebut sadguna (enam ke-gunaan). Sekian kegunaan manusia semuanya.

Ini keinginan manusia: yun suda, yun suka, yun munggah, yun luput. Maksudnya: yun suda ialah ingin sempurna, tidak mau terkena oleh serba penyakit; yun suka ialah ingin kaya, tidak mau ditinggalkan (kehilangan) harta; yun munggah ialah ingin sorga, tidak mau menemui dunia: yun luput bararti ingin moksa, tidak mau terbawa oleh penghuni sorga.

Ini untuk yang pergi mandi. Maksudnya laki-laki dan perempuan harus terpisah. Demikianlah untuk semuanya. Berapa macam bahan dagangan? Sebenarnya hanya mentah dan masak, bagus dan jelek, kecil dan besar.

Berapa macam rasanya? Sebenarnya (hanya)lawana, kaduka, tritka, amba, kasaya, madura. Lawana berarti asin; kaduka berarti pedas; tritka berarti pahit; amba berarti masam, kasaya berarti gurih; madura berarti manis. Sekian terasanya oleh orang banyak.

Ini untuk kita memperoleh kekayaan, yang akan diwariskan kepada keturunan kita semuanya: kepada anak,




XXIX


kepada cucu. kepada umpi, kepada cicip, kepada muning, kepada anggasantana, kepada pratisantana, kepada putuh wekas semua; yang pantas dan yang tidak pantas diwariskan di antara hasii usaha kita.

Yang tidak layak dijadikan pusaka disebut makanan raksasa. Hasil judi, hasil usaha perhiasan tidak layak dijadikan pusaka, Yang demikian disebut diberikan kepada langit. Tetapi pemberian ibu. pemberian bapak, pemberian perguruan, boleh dijadikan pusaka. Yang demikian disebut dewata pelindung diri.

Hasil pertanian boleh dijadikan pusaka. Disebutnya permata yang keluar dari bumi. Hasil peliharaan, hasil ternak, boleh dijadikan pusaka. Disebutnya mirah jatuh dari langit.

Orang kaya yang sanggup menebus (hamba) perempuan, yang tidak diketahui ibu bapaknya janganlah dia dipekerjakan agar kita tidak terbawa salah. Ada lagi kita mengetahui ibu bapaknya, dan (perempuan itu) mencari tempat mengabdi. Bila sifat ibu bapaknya baik terhadap sesama orang, dan anaknya terbawa sifat orang tuanya. Boleh dipekerjakan. Tetapi bila ia sifatnya buruk janganlah dicoba-coba dipekerjakan. Disebutnya manusia sesat di neraka.

Ada lagi orang yang baik kelakuannya. baik alur turunannya. baik orang tuanya, tebuslah. Tetapi jangan lantas diperistri mungkin ia hamba turunan. Jangan pula dikawinkan kepada kerabat kita. Lebih baik pintalah, dan bawakan sirih pinang agar mengabdi kepada kita.

Demikianlah resepnya agar keluarganya kembali kepada asal. Untuk pencegah di-

XXX

ri dari penjara, agar pamor keluarga kita baik untuk pencegah diri mendapat aib.

Ini untuk menjodohkan anak. Jangan terlalu cepat dijodohkan karena belum tentu tepat tindakan kita. Pada umumnya, bila terlalu kecil ibunya akan menurun kepada anak perempuan. Bila terlalu kecil bapaknya. akan menurun kepada anak laki-laki. Bila menurun dari semuany.a dari suami dan istri disebut keburuk merasuk kejelekan.

Jangan menjodohkan anak kecil. agar tidak berbuta kesalahan, agar tidak merepotkan yang menjodohkan.


**

Demikianlah pesan sang budiman, ujar sang darma pitutur me-nguraikan ajaran para leluhur* Yaitu ajaran perilaku y?.ng menjadi pe-lajaran: Sembah keoada Siwa ! Sembah kepada Buda! Sembah sepe-nuhnya kepada Jiwa Mana-sempurna !

Semoga pemoaca menjadi; yang menpikuti ajaran kebajikan, memperhatikan cita-cita kesucian, mengikuti hukum-hukum pengabdian.

Demikianlah yang dikatakan siksakandang karesian, semoga menjadi sumber pengetahuan bagi yang mendengarkari.

Mulai menulis naskah waktu hari bersinar cerah. Selesai dalam bulan katiga,

Ini (tahun) selesainya pustaka: nora (0) catur (4) sagara (4) wulanM)= 1440Saka (1518 M)


1 dasa kreta =10 kesejahteraan yaitu kesejahteraan yang dicapai karena kernampuan men-
jaga 10 sumber nafsu.

2 jadiyan = mudah jadi/tumbuh; tahun = pohon, tanaman.

3 maya-maya :- bayang-bayang yang samar.

4 tan parek sebenarnya berarti tidak dekat, jauh.

5 paka pridana dari paka = mempunyai dan paridhana = pakaian.

6 sowe sebenarnya berarti lama.

7 dasa sila (lihat catatan no. 3 terjemahan K.-408 !).

8 Tumbung adalah terjemahan kata payu (Sks.) yang berarti; lubang dubur (Mcd) atau lubang vagina (Er). Secara umum searti dengan cungap.

9 Keter - liubungan seksua! sejenis (homo sexual);

10 Baga-purusa (baga - kemaluan wanita; purusa - kemaluan laki-laki).

11 pacandaan atau pasandaan - tempat bersandar, majikan,

12 Wado (wadwa) = perajurit vang memimpin para petani melakukan kerja.-bakti untuk raja yang sedang berlangsung.

13 Tatagata dari Sks.: tatha = kenyataan yang ada; gata = yang sedang berlangsung;

14 Panca aksara = 5 huruf yaitu: NA, MQ, SI, WA, YA yang masmg-masing dianggap identik dengan: Isora, Brahma, Mahadewa, Wisnu dan Siwa.

15 Panca byapara = 5 anasir pelindung/pembungkus.

16 Panca putera = 5 orang putera Sang Kandiawan yang dianggap penjelmaan panca kusika.

17 Wretikandayun = pendiri kerajaan Galuh.

18 Panca kusika = 5 orang resi murid Siwa dalam mitologi Hindu.

19 Wuku scbenamva berarti: buku, ruas atau penggalan. .

20 Sang dewata lima = Iswara, Brahma, Mahadewa. Wisnu dan Siwa.

21 Saka = asal, permulaan, tiang, semua.

22 Dasa kalesa - 10 noda adalah dosa yang bersumber kepada ketidak-mampuan memelihara dasa indera.

23 mali (kd: bali) = sembuh, putih.

24 Usya dari kata Skr.: usha = hasrat, keinginan.

25 Pancagati = 5 penvakir serakah, kebodohan, kejahatan, tekebur dan keangkuhan.

26 buhaya di sini berarti ambu + ayah.

27 Estri larangan = wanlta (gadis) yang telah bertunangan dan telah menerima panglarang (tanda pinangan)

28 Nangganan = membariskan; nu runggancn = pemimpin barisan yang kedudukannya setingkat di bawah mangkubumi.

29 Tanda = nu nangganan, pejabat tinggi negara.

30 Cante mungkin dari Sks.: Santya = berkobar, terbakar.

31 Dongdonan (kd.: dongdon = pergi melihat, bergabung).

32 Parakan = bagian sungai tempat menangkap ikan dengan cara mengeringkannya sebahagian.

33 Babayan = tati bergantung sebagai ciri pemilikan.

34 Pangadwa = pakaian yang terdiri atas dua bagian.

35 Halo = berseru (Er); haloan = seruan, godaaan. Mungkin juga dari haIwan (Jk) = zinah.

36 rara hulanjar = janda belum beranak, janda perawan.

37 Sapinaha dari Sks.: pinaha = makanan.

38 pangurung - petugas pajak.

39 lihat glosari I

40 serang = sawah atag ladang yang padinya digunakan untuk.kepentingan upacara umum, atau sawah ladang pejabat

41 Batara Seda Niskata adalah istilah Hyang yang disangsakertakan dan berarti Tuhan Yang Maha Gaib.

Sanghyang Siksakandang Karesian 24 Mar 2010, 4:14 am
Tulisan ini diambil dari Buku : “ Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632), Transkripsi dan Terjemahan” oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Ahmad Darsa.

Diterbitkan oleh Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktirat Jendral Kabudayaan Dep Pendidikan Dan Kebudayaan Bandung Tahun 1987. Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian dibuat pada tahun 1518 M, memakai aksara Sunda kuno.




SANGHYANG SIKSAKANDANG KARESIAN

I

Ndah nihan warahakna sang sadu, de sang mamet hayu. Hana sanghyang siksakandang karesian ngaranya, kayatnakna wong sakabeh. Nihan ujar sang sadu ngagelarkeun sanghyang siksakandang karesian.

Ini sanghyang dasa kreta kundangeun urang reya. Asing nu dek na(n)jeurkeun sasana kreta pakeuneun heubeul hirup, heubeul nyewa na, jadiyan kuras. jadiyan tahun, deugdeug ta(n)jeur jaya prang, Nyewana1 na urang reya.

Ini byakta sanghyang dasa kreta ngaranya, kalangkang dasa sila, maya-maya sanghyang dasa marga, kapretyaksaan dasa indriya na-keun ngretakeun bumi lamba di bumi tan parek.

Ini pakeun urang ngretakeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana, linyih pipir, caang buruan. Anggeus ma imah kaeusi, leuit kaeusi, paranje kaeusi, huma kaomean, sadapan karaksa, palana ta hurip, sowe waras, nyewana2 sama wong (sa)rat. Sangkilang di lamba, trena taru lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wo(h)wohan, dadi na hujan, landung3 tahun, tumuwuh daek, maka hurip na urang reya. Inya eta sanghyang sasana kreta di lamba nga-rana.

Ini sanghyang dasa kreta nu dipajarkeun kalangkang sanghyang dasa sila, ya maya-maya sanghyang dasa marga ta, kapretyaksaan na dasa indriya. Ini byakta: ceuli ulah barang denge mo ma nu sieup didenge kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na iunas papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama ti pang-reungou. Mata ulah barang deuleu mo ma nu sieup dideuleu kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na lunas papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama ning deuleu. Kuril ulah dipake gulang-gasehan, ku panas ku tiis, kenana dora bancana, sangkan nemu mala na Iunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti kulit. Letah ulah salah nu dirasakeun kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinengguh tuama bijilna ti letah. Irung ulah salah ambeu kenana dora bancana. sangkan urang nemu mala na lunas papa


II


naraka; hengan lamun kapehayu ma sinengguh utama bijilna ti irung. Sungut ulah barang carek kenana dora bancana na lunas papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama bijihna ti sungut. Leu-ngeun mulah barang cokot kenana dora bancana na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahavu ma sinengguh utama bijilna ti leungeun. Suku ulah barang tincak kenana dora bancana na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti suku. Payu ulah dipake keter kenana dora bancana na lunas papa naraka. hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti payu, Baga purusa ulah dipake kancoleh kenana dora bancana na lunas papa naraka. hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama dijilna ti baga lawan purusa,

Ya ta sinangguh dasa kreta ngara(n)na. Anggeus kapahayu ma dora sapuluh, rampes twahna urang reya Maka nguni twah sang dewa ratu.

Nihan sinangguh dasa prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki. hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wang tani bakti di wado. wado bakti di mantri, mantri bakti di nu nangganan. nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang. Ya ta sinangguh dasa prebak-


III

ti ngara(n)na.

Ini na lakukeuneun. talatah sang sadu jati. Hong kara name sewaya. senibah ing hulun di sanghyang panca tatagata. Panca ngaran ing lima, tata ma ngaran ing sabda, gata ma ngaran ing raga, Ya eta ma ngaran ing sabda, gata ma ngaran ing raga. Ya eta ma pahayuan sareanana.

Panca aksara guru-guru ning janma. Panca aksara ma byakta nu katongton4 kawreton, kacaksuh ku indriya. Guru ma pananyaan na urang reya. Nya mana dingaranan guru ing janma. Sang moha sa(ng) geusna aya bwana.

Ini byaktana. Ngaranya ya panca byapara. Sanghyang pretiwi, apah, teja, bayu mwang akasa. Carek sang sadu maha purusa. eta keh drebya urang. Kangken pretiwi kulit, kangken apah darah ciduh, kangken teja panon, kangken bayu tulang, kangken akasa kapala. Iya pretiwi di sarira ngaranya. Nya mana dikangkenkeun ku nu mawa bumi. Ya mangupati pra rama, resi, prabu,5 disi mwang tarahan.

Ini panca putra: pretiwi Sang Mangukuhan, apah Sang Katung-maralah, teja Sang Karungkalah, bayu Sang Sandanggreba, akasa Sang Wretikandayun.

Ini panca kusika: Sang Kusika di Gunung, Sang Garga di Rum-but, Sang Mesti di Mahameru, Sang Purusa di Madiri, Sang Patanjala di Panjulan.

Lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima (dina) bwana, boa halimpu ikang desa kabeh. Desa kabeh ngaranya: ppurba, daksina, pasima, utara, madya. Purba, timur, kahanan Hyang Isora, putih rupanya; daksina, kidul, (kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya; Pa-sima, kulon)6 kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya);

IV


utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hireng rupanya; madya, tengah, kahanan Hyang Siwah, (aneka) warna rupanya. Nya mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana.

Ini wuku lima di maha pandita. Sandi ma karasa si tutur, tapa ma karasa si langlang7 lungguh ma karasa si pageuh, pretyaksa ma karasa si asembawa, kaleupaseun ma karasa madumi tan kaduman, manghingetan tanpa hinga(n). Sakitu wuku lima di maha pandita.

Nihan pawwitan ning kreta, sya sang dewata lima. Pahingawakan ngaran di maneh, pahi mireungeuh rua di manen. Hengan lamunna mo karasa ma kadyangga ning wilut tumemu wilutnya, bener tumemu benernya, Kitu keh eta, ku twah ning janma mana kreta, ku twah ning janma mana na layu.

Ini karma ning hulun, saka jalan urang hulun, Karma ma ngaranya pibudieun, ti(ng)kah paripolah saka jalan ngaranya. Maka takut maka jarot, maka atong maka teuang di tingkah di pitwaheun, di ulah di pisabdaan,

Maka nguni lamun hareupeun sang dewa ratu pun. Maka satya di kahulunan, maka lokat dasa kalesa, boa ruat mala mali papa, kapanggih ning kasorgaan. Lamun teu(ng)teuing ngawakan karma ning hulun, kitu eta leuwih madan usya ditindih ukir, ditapa di luhur gunung kena palarang ditapa dina luhur gajah, hunur si(ng)ha; deukeut maha bancana.

Ini twah ing janma pigunacun na urang reya. Ulah mo turut sang hyang siksakan-

V

dang karesian. Jaga rang dek luput ing na pancaga/n/ti, sangsara. Mulah carut mulah sarereh, mulah nyangcarutkeun maneh. Kalingana nyangcarutkeun maneh ma ngaranya: nu aya dipajar hanteu, nu hanteu dipajar waya, nu inya dipajar lain, nu lain dipajar inya. Nya karah (he)dapna ma kira-kira. Budi-budi ngajerum, mijaheutan, eta byaktana nyangcarutkeun maneh ngara(n)na.

Nyangcarutkeun sakalih ma ngara(n)na: mipit mo amit, ngala mo menta, ngajuput mo sadu. Maka nguni tu: tunumpu, maling, ngetal, ngabegal; sing sawatek cekap carut, ya nyangcarutkeun sakalih ngara(n)na.

Sanguni tu: meor, ngodok, nyepet, ngarebut, ngarorogoh, papan jingan. Maka nguni ngotok ngowo di pamajikan, di panghulu tandang. Maka nguni di tohaan di maneh, Itu leuwih mulah dipiguna dipitwah ku urang hulun. Ulah mo pake na sabda atong teuang guru basa, bakti susila di pada janma, di kula kandang baraya.

Maka nguni di tohaan urang. Suku ma pake disila, leungeun ma pake umum, Jaga rang pacarek deung menak deung gu(s)ti deung bu-haya ing kalih deung estri larangan maka nguni deung tohaan urang. Jaga rang dipiguhakeun mulah surah di tineung urang, sanguni salah tembal, kajeueung semu mo suka ku tohaan urang. Ulah, pamali; bisi urug beunang ditapa, hilang beunang cakal bakal, bisi leungit batri hese, kapangguh ku sanghyang jagat sangsara, batigra-

VI

han ku sang dewa ratu.

Lamun hamo satya di tohaan urang, a(ng)geus ma jaga rang waya di kagering, jaga rang palay, jaga rang ireug, duga-duga majar maneh teu(ng)teuing amat. Mana dipajar satya dikahulunan;hengan jaga rang ceta ma mulah luhya, mulah kuciwa, mulah ng(n)tong dipiwarang, mulah hiri mulah dengki deung deungeun sakahulunan. Maka nguni nyeueung nu meunang pudyan, meunang parekan, nyeueung nu dineneh ku tohaan, teka dek nyetnyot tineung urang. Haywa, pamali !. Kapamalyanna karah: jadi neluh bareuh hate. Hamo beunang gitambaan, jampe mo matih, paksa mo mretyaksa, ja hanteu kturutan ku sanghyang siksakandang karesian.

Kitu jaga rang nangganan, mulah kira-kira digelangan. Jaga rang kagelangan, mulah mo bakti di nu nangganan kena itu tanda8 sang dewa ratu.

Jaga rang keuna panyuruhan, mulah mo raksa sanghyang siksa-kandang karesian, pakeun urang satya di piwarangan. Hengan lamur. nu ngalor ngidul ngulon ngetan, geus ma mulah siwok ca(n)te, mulah simur cante, mulah simar cante, mulah darma cante. Ya ta sinangguh sanghyang catur yatna ngaranya.

Ini kalingana. Siwok cante ma ngara(n)na kawujukan ku hakan inum. Simur cante ma ngara(n)na salima hamilu ngaramakeun nu maling, nu ngarebut, nu meor. Ya salah dongdonan ngaranya. Simar cante ma ngara(n)na ngala dagangan mas pirak lalambaran hanteu di-

VII

titah ku nu miwarang. Ya salah sadeya(n) ngara(n)na. Darma cante ma ngara(n)na daranan di kaceuceub tohaan urang. Disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan gumanti ya ngiseusan, kena wageuy, kena kula kadang, kena baraya. Eta ulah dipiguna ku urang hulun. Bogoh di kaceuceub, ceuceub di kabogoh, Itu tan yogya dipitwah ku urang hulun,

Ini pakeun urang nurut ka tohaan, pakeun urang panjang di-pihulun. pakeun urang hsebeul diasa ku tohaan urang. Turut sangyang siksakandang karesian! Bireungeuh na panghulu tandang. Lamun nyeuseul tohaan, milu rang nyeuseul deui deung tohaan. Lamun muji tohaan, milu urang muji deui deung tohaan. Lamun hamo ma milu muji milu meda deung tohaan tosta cingcing tegang urang bakti ka tohaan.

Jaga rang leumpang ngalasan, baju simbut Lamun hamo deung tohaan, iseuskeun na siksakandang karesian. Siksaan(a)na ta ulah dek ngundeur ka huma beet sakalih ka kebon sakalih. Hamo ma beunang urang laku sadu.

Salang keboan ning alas, kayu batri nangtu, bwah beunang nga-rara(ng)gean, tanggeuhkeun suluh, turuban supa, cangreudan tewwan, odeng, nyeru-



VIII

an, engang, ulam, parakan, sing sawatek babayan, ulah urang barang ala. Sanguni nurunkeun sadapan sakalih, ulah eta dipiguna kenana puhun ning dosa, tamikal ning papa kalesa.

Jaga rang nemu jalan, gede beet, bangat dicangcut dipangadwa sugan urang pajeueung deung gusti deung mantri. Ulah mo pangidalkeun pangadokokongkeun. Lamun bujangga brahmana, wikuhaji mangkubumi, anak ratu, beunghar kokoro, maka nguni gutuloka, ulah mo pahi panggidalkeun kena itu guru sang prebu.

Ingetkeun na siksakandang karesian, deung iseuskeun na haloan. Ulah ngeri(ng)keun estri larangan sakalih, rara hulanjar sakalih, bisi keuna ku haloan si panghawanan, Maka nguni ngarowang tangan, sapanglungguhan di catang, di bale, patutunggalan, haloan si panglungguhan ngara(n)na. Patanjeur-tanjeur di pipir, di buruan, patutunggalan, haloan si pana/h/taran ngara(n)na

Nembalan nu batuk, nu ngadehem, nu ngareuhak, maka nguni embuing; kalih ngawih, ya lembu akalang ngaranya. Nyanda di (u)rut sanghyang kalih deuuk di tihang, di kayu, di batu, nyeueung inya anggeus diri disilihan nyanda, ngara(n)na lembu anggasin. Itu kehna ingetkeuneun lamun dek luput ti naraka,

Sa/ng/nguni sapanginepan, sapamajikan, satepas, sabale deung sanghyang kalih, deung estri larangan sakalih ngara(n)na kebo sapinahan. Nya kehna ingetkeuneun,

IX

sinangguh ulah pamali ngara(n)na.

Itu haywa ulah dek (di)turut ku hulun sakalih. Lamun urang dek maan inya ma maka majar ka panghulu tandang. Lamun dipicaya ma samayakeun, ku geringna ku paehna ku leungitna. poron mati sareyanana, eta baan. Hamo tu aya na pidosaeun ja kolot na samaya ni(r)ni na agama. Hamo ma dipicaya, ulah! Lamun keudeu ma dek maan inya, gering ma nulung, paeh leungit ma ngagantyan sakadeugdeugna. Sa/ng/mangkana kayatnakna!

Nihan muwah. Jaga rang kadatangan ku same pangurang dasa, calagara, upeti panggeres reuma maka suka geui(ng) urang, maka rasa kadatangan ku kula kadang, ku baraya, ku adi lanccuk anak mitra suan kaponakan. Sakitu eta kangken Ngan lamun aya panghaat urang, kicap inum si(m)but cawet suka drebya.

Maka rasa puja nyanggraha ka hyang ka dewata, Anggeus ma jaga rang dipigunakeun ka gaga ka sawah ka serang ageung, ngikis, marigi, ngandang, ngaburang, marak, mu(n)day, ngadodoger, mangpayang. nyair bi(n)cang; sing sawatek guna tohaan, ulah sungsut, ulah surah, ulah purik deung giringsing, pahi sukakeun sareyanana.

Maka rasa guna urang. Ngan lamun urang pulang ka dayeuh, ulah ngising di pi(ng)gir jalan, di sisi imah di tungtung caangna. bisi kaambeu ku menak ku gusti. Sunguni tu(ng)ku nu rongah-rongah bisi kasumpah kapadakeun ambu bapa pangguruan, kapapas ka nu karolot ku twah urang gagabah. Ngan lamun

X

(carek) sanghyang siksa, ngising ma tujuh lengkah ti jalan, kiih ma tilu lengkah ti jalan. Boa mo nemu picarekeun sakalih ja urang nyaho di ulah pamali. Kaulah ma duka, pamali ma paeh, deung jeungjeueung gagawar, pucuk tambalung, sugan tampyan dalem, kandang larang(an), bale larangan. Maka nguni ngalangsinang, mapag ngaliwat ratu macangkrama kena itu paranti dosa,

Jaga rang asup dalem, maka rea lieuk, sugan ngarumpak nebuk nembung megat jajarah. Jaga urang deuuk, ulah salah hareup, maka rampes disila. Deung sugan urang dibaan lemek ku tohaan, tineungkeun picarek urang. Asing seueup, maka suka ka tohaan.

Deung maka ilik-ilik dina turutaneun: mantri gusti kaasa-asa, bayangkara nu marek, pangalasan, juru lukis, pande dang, pande mas, pande gelang, pande wesi, guru wida(ng). medu, wayang, kumbang gending, tapukan, banyolan, pahuma, panyadap, panyawah, panyapu, bela mati, juru moha, barat katiga, pajurit, pamanah, pam(a)rahg, pangurang dasa calagara, rare angon, pacelengan, pakotokan, palika, preteuleum, sing sawatek guna, Aya ma satya di guna di kahulunan. Eta kehna turutaneun kena eta ngawakan tapa di nagara.

Aya ma na urang nu kaseuseul ku tohaan, eta keh ulah dituru(t) twah bisi urang kaseuseul deui. Ini babandingna, upama janma leu(m)pang ngala-


XI

san nincak cucuk, tincak keh deui ku urang, sarua sakit/an/na. Nya mana aya ma na urang nu kapuji, «i cangcingan, si langsitan, maka predana, emet imeut rajeun leukeun satya di guna tohaan. Eta ma turut twahna deung gunana, boa urang kapuji deui

Aya ma/na/ janma rampes ruana, rampes ti(ng)kahna, rampes twahna, turut saageungna kena eta sinangguh janma utama ngara(n)na. Aya ma janma goreng ruana. ireug ti(ng)kahna, rampes twahna, itu ma milah diturut ti(ng)kahna dara sok jeueung rwana. Turut ma twahna. Aya janma goreng rwana. ireug tingkahna, goreng twahna, itu ma caru(t) ning bumi, silih diri na urang sabwana, ngara(n)na calang ning janma. itu kehna ingetkeuneun, hala-hayu goreng-rampes ala guru.

Ini pengetna, Aya ma janma paeh maling, paeh papanjingan, paeh ngabegal, paeh meor, sing sawatek cekap carut, eta jeueung kena ulah diturutan. Ya eta kangken guru nista ngara(n)na.

Aya ta deui. Lamun urang nyeueung nu ngawayang, ngadenge-keun nu ma(n)tun, nemu siksaan tina carita, ya kangken guru panggung ngara(n)na. Lamun urang nemu siksaan rampes ti nu maca ya kangken guru tangtu ngara(n)na. Lamun mireungeuh beunang nu kuriak ma: ukir-ukiran, paparahatan.


XII


papadungan, tutulisan, sui nanya ka nu diguna, temu ku rasa sorangan ku beunangna ilik di guna sakalih ya kangken guru wreti ngara(n)na. Nemu agama ti anak, ya kangken guru rare ngara(n)na. Nemu darma ti aki ma ya kangken guru kaki ngara(n)na. Nemu darma ti lanceuk ma ya kangken guru kakang ngara(n)na. Nemu darma ti toa ma ya kangken guru ua ngara(n)na.

Nemu darma ti geusan leumpang di lembur di geusan ngawengi, di geusan eureun, di geusan majik ma ya kangken guru hawan ngara(n)na. Nemu darma ti indung ti bapa ya kangken guru kamulan ngara(n)na. Maka nguni lamun hatur ka mahapandita ya kangken guru utama, ya kangken guru mulya, ya kangken guru premana, ya kangken guru kaupadesaan. Ya sinangguh catur utama ngara(n)na.

Nya mana kitu, lamun a(ng)geus di karma ning akarma, di twah ning atwah, a(ng)geus pahi kaiilikan nu gopel nu rampes, nu hala nu hayu. Kitu lamun aya nu muji urang, suita, maka geuing urang, gumanti pulangkeun ka nu muji, pakeun urang mo kapentingan ku pamuji sakalih. Lamun urang daek dipuji ma kadyangga ning galah dawa sinambungan9 tuna, rasa atoh ku pamuji.

A(ng)geus ma dipake hangkara ja ngarasa maneh aya di imah maneh, ku hakan ku inum, ku suka ku boga, ku pakarang, teka dipake anggeuhan. Eta kangken galah dawa ta. Eta Kangken pare hapa ta ngara(n)na.

XIII

Kitu, lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih. Nya mana kadyangganing galah cedek tinugelan teka. Upamana urang kudil, eta kangken cai pamandyan. Upamana urang kurit kangken datang nu ngaminyakan. Upamana urang ponyo kangkn datang nu mere kejo. Upamana urang henaang kangken (datang nu) mawakeun aroteun. Upamana urang handeueul kangken (datang) nu mere seupaheun. Ya sinangguh panca parisuda ngara(n)na. Eta kangken galah cedek tinugelan.

Lamun maka suka rasa urang, kangken pare beurat sangga. Boa maka hurip na urang reya. Ya katemu wwit ning suka Iawan10 enak. Salang nu ngupat, ala panyaraman. Aya twah urang ma eureunan. Hanteu twah urang ma ungang ambu-bapa. Kalingana janma ngara-(n)na. Ya sinangguh paramar/ra/ta wisesa, ya kangken dewa mangjanma ngara(n)na. Nya sang puma sarira, nya wwit ning hayu, ya puhun ning bener.

Ini pangimbuh ning twah pakeun mo tiwas kala manghurip, pa-keun wastu di imah di maneh. Emet, imeut. rajeun, leukcen, paka predana, morogol-rogol, purusa ning sa, widagda, hapitan. kara wa-leya, cangcingan, langsitan.

Jaga 'rang ngajadikeun gaga-sawh, tihap ulah sangsara. Jaga rang nyieun kebo/a/n, tihap mulah ngu(n)deur ka huma beet sakalih, ka huma lega sakalih. Hamo ma beunang urang laku sadu. Cocooan ulah tihap meuli mulah tihap nukeur. Pakarang ulah tihap nginjeum.

XIV

Simbut-cawet mulah kasarataan, hakan-inum ulah kakurangan, anak-ewe pituturan sugan dipajar durbala siksa. Yatnakeun sanghyang siksakandang karesian.

Jaga rang hees tamba ui(n)duh, nginum twa/h/k tamba hanaang, nyatu tamba ponvo, ulah urang kajo(ng)jonan. Yatnakeun maring ku hanteu. Sa/ng/nguni tu ku anak-ewe, mulah dek paliketan sugan hamo sapitwaheun. Rampes ma beunang urang nyaraman teka nurut na panyaraman, eta keh anak urang ewe urang ngara(n)na.

Hanteu ma nurut na pamagahan, eta sarua deungeun sakalih. Ngan lamun keudeu, ewe-anak geus ma medeng diaku ku urang. Boa urang kabobotan, boa reujeung sasab ka naraka, leungit batri rang ngabakta, hilang beunang cakal-bakal.

Ini warah sang darma pitutur, sugan ura(ng) tanpa hedap mreo-peksah samutatah. Paesan teh ta susuriyem, jambangan eusi ning bayu ma hening, tah desana tah nora buksah. Kalingana ta, sri ma ngaranya omas. Kitu na omas, lamun hamo dila(n)ja pelek rupana, lamun kalanja ma cenang, rampes ja kaopeksa.

Kitu keh upama urang janma ini. Lamun nurut sanghyang siksa, kapahayu rasana di urang kadyangga ning bener tumemu benernya. Kitu, lamun hamo nurut sanghyang siksa kreta kadyangga ning wilut tumemu wilutnya. Paesan ma ngaranya eunteung. Kitu na eunteung, lamun hamo kawaas, samar kalangkang urang. Lamun kawaas ma puguh rua

XV

urang dina jero eunteung eta.

Kitu keh janma ini, bisa nurut upacara sakalih. Rampes ma boa kalihasan ku rasa di maneh. Lamun hamo ma bisa nurut pamagahan, punggunp tata ngara(n)na.

Jambangan ma ngara(n)na pamuruyan. Kangken cai hening ma hedap urang kreha. Ya mana kitu, mana na waas, teger rame a(m)bek. Desa ma ngaranya dayeuh, Na dayeuh, lamun kosong. hanetu turutaneunana. Kitu na sabda, lamun hamo kaeusi'11 carut ngara(n)na. Hengan lamun kaeusian ma na kahanan, eta keh na turutaneun. Kitu keh na sabda. Mana kaeusian, mana dipajar bener laksana.

Kitu keh urang janma ini. Lamun dek nyaho di puhun suka lawan enak ma ingetkeun saur sang darma pitutur. Ini silokana:


tadaga12 carita hangsa

gajendra carita banem

matsyanem13 carita sagarem

puspanem carita bangbarem.

Kalinganya, kitu ja rang dek ceta, ulah salah geusan nanya. La-mun hayang nyaho di tanian herang, talaga banyu atis ma hangsa tanya. Kalingana ma aya janma atisti ring apraniti. herang tineung. rame ambek, nya(ng)kah, kangken hangga dina talaga herang.

Hayang nyaho di j(e)ro ning laut ma. matsya tanya. Kalingana ma upama hayang nyaho di hedap sang dewa ratu deung di hedap mahapandita.14

Hayang nyaho di Iwir15ning leuweung ma gajah tanya. Ini ka-lingana. Kangken Iwir16 ta ma nyaho di tineung nu reya. Kangken gajah ta ma nyaho di bebedas sang

XVI

dewa ratu.

Hayang nyaho di ruum amis ning kembang ma, bangbara tanya. Kalingana ta kangken ba(ng)bara ma janma bisa saba ngumbara, nyaho di tingkah sakalih. Kangken ruum kembang ma janma rampes twahna, amis barungusan semu imut ti(ng)kah suka.

Kalingana ulah salah geusan tanya.

Hayang nyaho di sakweh ning carita ma: Damarjati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakarma. Ramayana, Adiparwa, Korawasarma, Bimasorga, Rangga Lawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri; sing sawatek carita ma memen tanya.

Hayang nyaho di sakweh ning kawih ma: kawih bwatuha. kawih panjang, kawih lalanguan. kawih panyaraman, kawih sisi(n)diran, kawih pengpeledan, bongbong kaso, pererane, porod eurih, kawih babahanan, kawih ba(ng)barongan, kawih tangtung, kawih sasa(m)batan, kawih igel-igelan; sing sawatek kawih ma, paraguna tanya.

Hayang nyaho di pamaceuh ma: ceta maceuh, ceta nirus, tata-pukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini;sing sawatek (ka)ulinan ma, hempul tanya.

Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; prepantun tanya.

Sa(r(wa Iwir/a/ ning tulis ma: pupunjengan, hihinggulan, kekem-bangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, ta-

XVII

ruk hata, kembang tarate; sing sawatek tulis ma, lukis tanya.

Sa(r)wa Iwir/a/ ning teuteupaan ma telu ganggaman palain. Ganggaman di sang prabu ma: pedang, abet, pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa pina/h/ka dewanya, ja paranti maehan sagala. Ganggaman sang wong tani ma: kujang, baliung, patik, kored, sadap. Detya pina/h/ka dewanya, ja paranti ngala kikicapeun iinumeun. Ganggamam sang pandita ma: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina/h/ka dewanya, ja itu paranti kumeureut sagala. Nya mana teluna ganggaman palain deui di sang prebu, di sang wong tani, di sang pandita. Kitu lamun urang hayang nyaho di sarean(ana), eta ma panday tanya.

Sa(r)wa Iwir/a/ ning ukir ma: dinanagakeun, dibarongkeun, ditiru paksi, ditiru were, ditiru singha; sing sawatek ukir-ukiran ma, ma-rangguy tanya.

Sa(r)wa Iwir/a/ ning oolahan ma: nyupar-nyapir rara ma(n)di, nyocobek, nyopong koneng, nyanglarkeun, nyarengseng, nyeuseungit, nyayang ku pedes17 beubeuleuman, panggangan, kakasian, hahanyangan, rarameusan, diruruum, amis-amis; sing sawatek kaolahan, hareup catra tanya.

Sa(r)wa Iwir/a/ ning boeh ma: kembang mu(n)cang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi-pasi, kalangkang ayakan, poleng re(ng)ganis, jaya(n)ti, cecempaan, paparan a-

XVIII

kan, mangin haris sili ganti, boeh siang, bebernatan, papakanan, surat awi, parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jaya(n)ti, hujan riris, boeh alus, ragen panganten; sing sawatek boboehan ma pangeuyeuk tanya.

Lamun hayang nyaho di agama parigama ma: acara eleh ku adigama, adigama eleh ku gurugama, gurugama eleh ku tuhagama, tuhagama eleh ku satmata, satmata eleh ku surakloka, surakloka eleh ku niraweerah. Utama janma wahye dosa. Wahye dosa utama janma; sing sawatek agama parigama ma pratanda tanya.

Sugan hayang nyaho di tingkah prang ma: makarabihwa, katra-bihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka. braja panjara. asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngali(ng)ga manik. lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawetrik;sang hulujurit tanya.

Hayang nyaho di sakweh ning aji mantra ma: jampa-jampa. geugeui(ng), susuratan. sasaranaan, kaseangan, pawayagahan, puspaan, su-sudaan. huriphuripan, tu(n)duk iyem, pararasen, pasakwan:.sing sa-watek aji ma sang brahmana tanya.

Hayang nyaho di puja di sanggar ma: patah puja daun, gelar palayang, puja kembang. nya(m)pingan lingga, ngomean sanghyang, sing sawatek muja ma ja(ng)gan tanya.

Hayang nyaho di dawuh nalika ma: bu-

XIX

lan gempa, tahun tanpa te(ng)gek, tanpa sirah, sakala lumaku, sakala ma(n)deg, bumi kape(n)dem, bumi grempa; sing sawatek nyaho di carek /ma/ nu beuheula, bujangga tanya.

Hayang nyaho di darmasiksa, siksakandang, pasuktapa, padenaan, maha pawitra, siksa guru, dasa sila, tato bwana, tato sarira, tato ajnyana ma; sing sawatek eusi pustaka. sang pandita tanya.

Maka nguni kasorgaan di sakala kaprabuan, kamulyaan, kamul-yaan, kautamaan, kapremanaan, kawisesaan; ratu tanya.

Hayang nyaho dipatitis bumi ma: ngampihkeun bumi, masinikeun na urang sajagat, parin pasini, ngadengdeng, maraspade, ngukur, nyaruakeun, nyipat, midana, lamun luhur dipidatar, ancol dipakpak; sing sawatek ampih-ampih ma mangkubumi tanya.

Lamun hayang nyaho di sakweh ning labuhan ma, maka nguni: gosong, gorong, kabua, ryak mokprok, ryak maling, alun agung, tanjung, hujung, nusa, pulo, karang nunggung, tunggara, barat daya; sing sawatek saba di laut ma, lalayaran, puhawang tanya.

Hayang nyaho di sawatek arega ma: telu sayuta, telu saketi, telu salaksa. telu sariwu, telu satak, telu saratus, telu sapuluh, maka nguni karobelah, katelubelah, kapatbelah, kalimabelah, kanembelah, kapitubelah, kawolubelah; sing sawatek arega ma citri-

XX

k byapari tanya.

Hayang nyaho di sandi, tapa, lungguh, pratyaksa. putus tangkes, kaleupaseun, tata hyang, tata dewata, rasa carita. kal/e/pa carita; sing sawatek nata-nata para dewata kabeh, sang wiku paraloka tanya,

Aya ma nu urang dek ceta, ulah salah geusan nanya. Lamun dek nyaho di carek para nusa ma: carek Cina, Keling, Parasi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kala(n)ten, Bangka, Buwun, Beten. Tulangbawang, Sela, Pasay, Parayaman, Nagara Dekan, Dinah, Andeles, Tego, Maloko, Badan, Pego, Malangkabo, Mekah, Buretet, Lawe, Saksak, Se(m)bawa, Bali, Jenggi, Sabini, Ngogan, Kanangen, Kumering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, /Bali/. Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; sing sawatek para nusa ma sang jurubasa darmamurcaya tanya.

Eta kehna kanyahokeuneun di tuhuna di yogyana. Aya ma nu majar mo nya(h)o, eta nu mo satya di guna di maneh, mo teuing di carek dewata urang. Tan /n/awurung inanti dening kawah lamun guna mo dipiguna, lamun twah mo dipitwah, sahinga ning guna kreta kena itu tangtu hyang tangtu dewata.

Sakala batara jagat basa ngretakeun bumi niskala. Basana: Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwa-

XXI

h. bakti ka Batara! Basana: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besawarma, bakti ka Batara! Basana: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara: Sing para dewata kabeh pada bakti ka Batara Seda Niskala. Pahi manggihkeun si tuhu lawan preityaksa.

Ini na parmanggihkeuneun dina sakala, tangtu batara di bwana pakeun pageuh jadi manik sakurungan, pakeuneun teja sabumi. Hulun bakti di tohaan, ewe bakti di laki, anak bakti di bapa, sisya bakti di guru, mantri bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata.

Disuruh neguhkeun di sarira, matitiskeun bayu sabda hedap. Lamun itu hamo kapiguna kapitwah ku na janma kanista madya utama pada ditibakeun kana kawah si tambrah gomuka. Wijayajana janma kawisesa ku dewata pun.

Saur sang darma pitutur mujarakeun sabda sang rumuhun. Aya deui babandingna. Kitu upamana urang leumpang ka Jawa, hamo nurut carekna deungeun carana, mangu rasa urang. Anggeus ma urang pulang deui ka Sunda, hanteu bisa carek Jawa, asa hanteu datang nyaba. Poos tukuna beunang tandang ja hanteu bisa nurut care(k)na.

Kitu urang ianma ini. Ha(ng)ger turun ti niskala hanteu katemu cara dewata, geura-geura dek mangjanma ja ireug tingkahna, hanteu bisa nurut twah nu nyaho. Aya kapitwah ta nu mo satya, nu tan yogya: lumekas manggawe hala: papanjingan, bubunyan, kapiadi, ka-pilanceuk. Nya mana wadon ngarasa lalaki la-

XXII

in salakina, tan yogya ngara(n)na. Lalaki ngarasa wadon lain eusi imahna, tan yogya ngara(n)na. WSnang ditibakeun kana kawah si mregawijaya. Janma ngawisesakeun nu salah,

Ini silokana twah janma salah: burangkak, marende, mariris, wi-rang. Ya ta catur buta ngara(n)na. Kalingana burangkak ma ngaranya gila. Nu kangken maka gila ta ma twah janma: dengi. tungi, torong, gasong, campelak sabda, gopel twah, panas hate, tan yogya ngara(n)na, Nya keh nu kangken maka gila ta twah janma sakitu. Jadina ta raksasa, durgi, durga, kala, buta, geusan ta di mala ning lemah.

Mala ning Iemah ngara(n)na: sodong, sarongge, cadas gantung. mu(ng)kal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nu(ng)gang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan, Iemah sahar. dangdang wariyan, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kalo(m)beran. jaryan, sema; sawatek lemah kasingsal.

Sakitu kajadian nu keudeu di twah nu gopel; ja twah ning janma nu mere gila ta. Jadina ta sawatek maha gila, ja hanteu nurut sanghyang sasana kreta, ja ngarumpak sanghyang siksakandang karesian. Nya mana jadi maha gila ya ta kalinga ning burangkak ngara(n)na.

Marande ma ngara(n)na dibeka tiis nya karah panah. Diheman-keun, dikarunyaan, diipuk, dineneh, dibere suka-boga hulun-kuring: nya karah kirakirakeuneu(n)ana; byakta keuna ku na kapapaan eusi tegal si pantana, sayajnyana lohna.

Timur makapalap


XXIII

kandaga. Saketi wong kena i rika. Ti kidul ma gunung watu. Pareng sarewu wong papa i rika. Ti barat yaksa geni-muka. Tan keuna wruhan wong kwehnya papa i rika. Ti kaler kadi walang sinudukan, pareng satus wong papa i rika. Ti tengah gagak si antana lawan18 sang senayaksa. Sewu-sewu wong papa i rika. Ya kapapa(n) ning marende ngara(n)na.

Mariris ma ngara(n)na camah, jiji manan tahi, camah manan wangke a(m)beu. Kitu keh twah janma cacarokot. barang cokot. A(ng)geus ma barang ala hamo menta, maling, numpu, meor, ngarebut; song sawatek curaweda ka nu bener.

Paeh ma atmana papa. Sariwu saratus tahun keuna ku sapa batara. tangeh mana jadi janma. Aya jadina ta kotor: janggel, hileud tahun, piteuk, titi(ng)gi, jambelong, limus sakeureut, mear, pacet, lentah, lohong. gorong; sawatek dipake jiji ku na urang reya. Ya ta sinangguh mariris ngara(n)na. .

Wirang ma ngara(n)na: mumul tuhu, mumul bener, mumul yogya, mumul duga-duga, mumul bema. Lamun carut ma: harema, harems(a), bogoh, gawok. Lamun paeh ma eta atmana ma(ng)gihkeun papa, wot gonggang, cukang cueut, batu kacakup. Kajadikeun ma ka bwana jadi watek maha gila: warak, macan, wuhaya, ula /m/ageung; sawatek maka gila janma. Ya ta ma wirang ngara(n)na. Sakitu ma catur buta,

Ini ma upama janma tandang ka Cina. Heubeul mangkuk di Cina, nyaho di karma Cina, di ti(ng)kah Cina, di polah Ci-

XXIV

na, di kararampesan Cina. Katemu na cara telu: kanista, madya, utama. Pahi nyaho di sabda sang prabu, sang rama, sang resi, bisa matitiskeun bayu, sabda, heddap. Nya mana nya ho di geui(ng), di upageui(ng), di parigeui(ng); ya ta tri geui(ng) ngara(n)na.

Geui(ng) ma bisa ngicap bisa ngicup dina kasukaan. Ya geui(ng) ngara(n)na. Upageui(ng) ma ngara(n)na bisa nyandang bisa nganggo, bisa babasahan, bisa dibusana, Ya upageui(ng) ngara(n)na. Parigeui(ng) ma ngara(n)na bisa nitah bisa miwarang ja sabda arum wawangi. Nya mana hanteu surah nu dipiwarang ja katuju nu beunang milabuh siloka.

Lamun ka beet ma basana: utun, eten, orok, anak ing, adi ing. Ka kolot ma basana: lanceuk ing, suan ing, euceu ing, aki ing. Pangwastu nama sumanger teu(ng)teuing amat Sakitu na dasa pasantra, geus ma: guna, rama, hook, pesok, asih, karunya, mupreruk, ngulas, nyecep, ngala angeen. Nya mana suka bungah padang caang nu dipiwarang. Ya ta Sinangguh parigeui(ing) ngara(n)na.

Ini silokana: mas, pirak, komala, hinten, ya ta sanghyang catur yogya ngara(n)na. Ini kalingana. Mas ma ngaranya sabda tuhu tepet byakta panca aksara. Pirak ma ngaranya ambek kreta yogya rahayu! Komala ma ngaranya geui(ng) na padang caang lega loganda. Hinten ma ngaranya cangcing ceuri semu imut rame ambek. Ya ta sinangguh catur yogya ngaranya.

Ya ta janma bijil ti nirmala ning lemah, pahoman, pabutelan, pamujaan, l(e)mah maneuh, candi,

XXV

prasada, lingga linggih, batu gangsa, lemah biningba ginavve wongwongan, sasapuan. Sakitu, saukur lemah kasucikeun, cai kasucikeun, kapawitrakeun. Nya keh janma rahayu, janma rampes, ya janma kreta,

Nu kangken bijil ti nirmala ning lemah ma ngara(n)na, inget di sanghyang siksa, mikuku(h) talatah ambu bapa aki lawan buyut, nyaho di siksaan mahapandita, mageuhkeun ujar ing kreta.

Ini carita baheula nu nanjeurkeun sanghyang sasana kreta: Rahyangtang Dewaraja, Rahyangta Rawunglangit, Rahyangta ti M(e)dang, Rahyangta ri Menir.19 Ya ta sinangguh catur kreta ngara(n)na.

Nya mana kitu ayeuna na janma inget di sanghyang darma(wi)-sesa, nyaho di karaseyan ning janma. Ya ta sinangguh janma rahaseya ngara(n)na, Lamun pati ma eta atmana manggihkeun sorga rahayu. Manggih rahina tanpa balik peteng,20 suka tanpa balik duka, sorga tanpa balik papa, enak tanpa balik lara, hayu tanpa balik hala, nohan tanpa balik wogan, mokta tanpa balik byakta, nis tanpa balik hana, hyang tanpa balik dewa. Ya ta sinangguh parama lenyep ngara(n)na.

Kitu keh janma ayeuna. Upama urang mandi, cai pitemu urang hengan ta na cai dwa piliheun(a)na; nu keruh deungeun nu herang. Kitu keh twah janma. Dwa nu kapaknakeun: nu goce deungeun nu rampes. Kitu keh janma. mana na kapahayu ku twah nu mahayu inya. Nya mana janma mana hala ku twahna mana hayu ku twahna.

Kitu keh cai mana dipajar dwa piliheun ma. Banyu

XXVI

asrep lawan hening ma inya sanghyang darmawisesa, Nya nu dilakukeun ku mahapandita. Nu banyu ha(ng)ker lawan letuh ma inya na rasa carita nu dilakukeun ku na sang wiku lokika paramar/a/ta kabeh. Nya kadyangga ning centana lawan acentana. Nu centana ma wruh menget tutur tanpa balik lupa; ya ta wwit ning janma rahayu. ya tangkal ning bumi kreta. Nu acentana ma ikang lupa hyang, moha tar kahanan tutur: ya tar.gkal ning sanghara, punun ning kaliyuga, .beuti ning jalir, vvwit ning linyok; ya sangkan janma ka naraka. Ulan eta dipitemen ku nu dek berier ma.

Ini ujar sang sadu basana mahayu drebyana. Ini tri-tangtu di bumi. Bayu kita pina/h/ka prebu, sabda kita pina/h/ka rama. h(e)dap kita pina/hka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na.

Ini triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana tritan(g)tu pineguh ning bwana. triwarga hurip ning jagat. Ya sinangguh tritan(g)tu di nu reya ngaranya.

Teguhkeun pageuhkeun sahingga ning tuhu, pepet byakta warta manah. Mana kreta na bwana, mana hayu ikang ja(ga)t, kena twah ning janma kapahayu.

Kitu keh, sang pandita pageuh di kapanditaan(a)na. kreta; sang wiku pageuh di kawikuan(a)na, kreta; sang manguyu pageuh di kamanguyuan(a)na, kreta; sang paliken pageuh di (ka)paliken(a)na. kreta; sang tetega pageuh di katetegaan(a)na, kreta; sang ameng pageuh di kaamengan(a)na, kreta; sang wasi pageuh di kawasian(a)na, kreta; sang ebon pageuh di kaebon(a)na, kreta; maka nguni sang walka pageuh di kawalkaa-

XXVII

n(a)na, kreta; sang wong tani pageuh di katanian(a)na, kreta; sang euwah pageuh di kaeuwahan(a)na, kreta; Sang gusti pageuh di kagustian(a)na. kreta:.sang mantri pageuh dikamantrian(a)na, kreta; sang masang pageuh di kamasangan(a)na, kreta; sang bujangga pageuh di kabujanggaan(a)na. kreta. sang tarahan pageuh di katarahan(a)na, kreta; sang disi pageuh di kadisian(a)na, kre'ta; sang prebu pageuh di kaprebuan(a)na, kreta.

Nguni sang pandita kalawan sang dewa ratu pageuh ngretakeun ing bwana, nya mana kreta lor kidul kulon wetan sakasangga dening pretiwi sakakurung dening akasa; pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh.

Sarwo janma kabeh ngara(n)na: janma tumuwuh, janma triyak. janma wong, janma siwong, wastu siwong. Nya mana sakitu eta nu dipajar sarwo janma .kabeh ta.

Jan tumuwuh ma ngara(n)na: trena, taru, lata, galuma. Pahi manghurip hejo lembok natar dangkura; ya janma tumuwuh ngara(n)na.

Janma wong ma ngara(n)na: ruana janma kena ten hade yunina, Janma siwong ma. ngara(n)na: rampes yuni rampes bangsa kena acan nyaho di sanghyang darma.

Ini ma sugan hayang kalihasan ku eusi bwana. Reyana ta. Ini ngara(njna: kurija, ma/n/taja, bagaja, payuja.

Kurija ma ngara(n)na sawatek bijil ti sungut. Ma/n/taja ma nga-ra(n)na sawatek bijil ti panon. Bagaja ma ngara(n)na sawatek bijil ti

XXVIII

baga. Payuja ma ngara(ii)na sawatek bijil ti tumbling. Ya sinangguh sanghyang catur mula ngara(n)na.

Ini guna janma di bwana: /u/ ngangka, nyigi, ngiket, nyigeung, ngamang, ngarombaong. Ngangka ma ngara(n)na angen-angen. Nyigi ma ngara(n)na uu(n)tayan, Ngiket ma ngara(n)na watek nalikeun. Nyigeung ma ngara(n)na meu(ng)peung meulah, ma(n)cir. midwakeun, ngadar, ngagitaka, ngukur, nyarwakeun. Ngarwang ma ngara(n)na sawatek ngalikeun. Ngarombong ma ngara(n)na sawatek heuleut-heuleut. Ya ta sinangguh sadguna ngara(n)na. Sakitu guna janma sarean(a).

Ini kahayang janma: /ru/ yun suda, yun suka, yun munggah, yun luput. Ini kalingana: yun suda, ma ngara(n)na hayang puma, mu-mul keuna ku saroa kasakit; yun suka ma ngara(n)na hayang beunghar, mumul katunan ku drabya: yun nuinggah ma ngara(n)na hayang sorga, mumul manggihkeun bwana; yun Iuput ma ngara(n)na hayang mokta, mumul /ka/ kabawa ku para sorga. Nya mana sakitu kahayang janma sareyan(a)

Ini nu mandi ka cai. /ru/ Kalingana lanang wadon keudeu mala-wading. Sakitu eta reyana. Sabaraha dagangan dipakeun eta? Kalingana asak deung atah, goce deung rampes, beet deung gede.

Sabaraha rasana? /u/ Kalingana lawana, kaduka, tirtka, amba, kasaya, madura. Lawana ma ngara(n)na pangset; kaduka ma ngara(nV na lada; tritka ma ngara(n)na pahit: amba ma ngara(n)na haseum; kasaya ma ngara(n)na pelem, madura ma ngara(n)na amis. Sakitu kara-sana ku na janma sarean(a)na,

Ini pakeun urang mibogaan maneh, pakeun turun patiwah-tiwah ka anak,

XXIX

ka incu, ka umpi. ka cicip, ka muning, ka anggasantana, ka pratisantana, ka putuh wekas sakabeh; nu sieup dipikakolotan deung21 nu hamo sieup beunang cekap.

Hamo sieup dipikakolotan ngara(n)na pinah ing buta raksasa. Beunang bobotoh, beunang babalanjaan, hamo yogya dipikakolotan. Ngara(n)na wineh ing cipta ambara. Hengan pamere indung, pamere bapa, pamere pangguruan, wenang dipikakolotan. Ngara(n)na dewa rumaksa di urang.

Ladang pepelakan wenang dipikakolotan. Ngara(n)na mani bijil ti pretiwi. Ladang heuyeuk, ladang cocooan wenang dipikakolotan. Ngara(n)na mirah tiba ti akasa.

Janma beunghar teka nebus wadon, teu nyaho indung-bapana, ualah dipikaritikan bisi urang kabawa salah. Aya deui nyaho di indung-bapana, syaran sangkan ahulun. Lamun twah indung-bapana rampes keneh na janma. ngara(n)na kapapanas ku twah kolot, (Eta) wenang dipikari/n/tikan. Hengan lamun ku carut ma ulah dipikaleuleuheungkeun. Ngara(n)na janma mider ing naraka.

Aya deui ma janma /ng/rampes twahna, rampes susukna, rampes wwitna, ulah mo22 tebus. Hengan ulah tuluy dipisomah bisi hulun turuna(na). Ulah majikeun ka kula-kadang urang. Geus ma tanya, bawakeun seupaheun sewaka ka urang.

Sakitu tata jangjawokanana pakeun dapurna pulang ka jatina deui. Pake beuteung di-

XXX

ri ti panjara, pakeun maur bangsa urang rampes pakeun beuteung ka pataka.

Ini pakeun urang ngajajadikeun budak. Ulah hawara dipitotoh-keun nu ma mo /nu/ bener bitan urang. Kareyaan urang, lamun lengkeng bapa turun ka anak lalaki, lamun lengkeng indung turun ka anak wadon. Lamun pahi ma ti panca ti bumi ngara(n)na buta sumurup ing kali. Hanteu yogya mijodokeur. bocah; bisi kabawa salah. bisi kaparisedek nu ngajadikeun.

Samangkana kayatnakeun talatah sang sadu. Saur sang darma pitutur mujarakeun sabda sang rumuhun, tutur twah paka sabda : Namo Siwaya! Nami Budaya! Namo Sidam Jiwa nalipurna!

Sang amaca maka suka, sang nurut ma ujar rahayu ngaregep cipta nirmala, yatna sang sewaka drama.

Ini kawuwusan siksakandang karesian ngaranya, ja na pustaka-nipun sang ngareungeu pun.

Mula nibakeun sastra duk ing teja (di)wasa, huwus ing wulan katiga pun. Ini babar ing pustakanipun: nora catur sagara wulan.

oOo

1 nyawana.

2 nyewana.

3. landuh.

4. katington.

5 tertewat.

6 terlewat.

7 linglang.

9 tinambungan.

10 luwan.

11 kausi.

12 tatakang.

14.Alinea ini seharusnya ditulis setelah alinea berikutnya.

15 Iwar.

16 Iwar.

17 pidis.

18 luwan.

19 mner.

20 ptang.

21 di.

22 ma.

Sanghyang Siksakandang Karesian 24 Mar 2010, 4:14 am
Tulisan ini diambil dari Buku : “ Sewaka Darma (Kropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Kropak 630), Amanat Galunggung (Kropak 632), Transkripsi dan Terjemahan” oleh Saleh Danasasmita, Ayatrohaedi, Tien Wartini, Undang Ahmad Darsa.

Diterbitkan oleh Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktirat Jendral Kabudayaan Dep Pendidikan Dan Kebudayaan Bandung Tahun 1987. Naskah Sanghyang Siksakandang Karesian dibuat pada tahun 1518 M, memakai aksara Sunda kuno.




SANGHYANG SIKSAKANDANG KARESIAN

I

Ndah nihan warahakna sang sadu, de sang mamet hayu. Hana sanghyang siksakandang karesian ngaranya, kayatnakna wong sakabeh. Nihan ujar sang sadu ngagelarkeun sanghyang siksakandang karesian.

Ini sanghyang dasa kreta kundangeun urang reya. Asing nu dek na(n)jeurkeun sasana kreta pakeuneun heubeul hirup, heubeul nyewa na, jadiyan kuras. jadiyan tahun, deugdeug ta(n)jeur jaya prang, Nyewana1 na urang reya.

Ini byakta sanghyang dasa kreta ngaranya, kalangkang dasa sila, maya-maya sanghyang dasa marga, kapretyaksaan dasa indriya na-keun ngretakeun bumi lamba di bumi tan parek.

Ini pakeun urang ngretakeun bumi lamba, caang jalan, panjang tajur, paka pridana, linyih pipir, caang buruan. Anggeus ma imah kaeusi, leuit kaeusi, paranje kaeusi, huma kaomean, sadapan karaksa, palana ta hurip, sowe waras, nyewana2 sama wong (sa)rat. Sangkilang di lamba, trena taru lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wo(h)wohan, dadi na hujan, landung3 tahun, tumuwuh daek, maka hurip na urang reya. Inya eta sanghyang sasana kreta di lamba nga-rana.

Ini sanghyang dasa kreta nu dipajarkeun kalangkang sanghyang dasa sila, ya maya-maya sanghyang dasa marga ta, kapretyaksaan na dasa indriya. Ini byakta: ceuli ulah barang denge mo ma nu sieup didenge kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na iunas papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama ti pang-reungou. Mata ulah barang deuleu mo ma nu sieup dideuleu kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na lunas papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama ning deuleu. Kuril ulah dipake gulang-gasehan, ku panas ku tiis, kenana dora bancana, sangkan nemu mala na Iunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti kulit. Letah ulah salah nu dirasakeun kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinengguh tuama bijilna ti letah. Irung ulah salah ambeu kenana dora bancana. sangkan urang nemu mala na lunas papa


II


naraka; hengan lamun kapehayu ma sinengguh utama bijilna ti irung. Sungut ulah barang carek kenana dora bancana na lunas papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama bijihna ti sungut. Leu-ngeun mulah barang cokot kenana dora bancana na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahavu ma sinengguh utama bijilna ti leungeun. Suku ulah barang tincak kenana dora bancana na lunas papa naraka; hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti suku. Payu ulah dipake keter kenana dora bancana na lunas papa naraka. hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama bijilna ti payu, Baga purusa ulah dipake kancoleh kenana dora bancana na lunas papa naraka. hengan lamunna kapahayu ma sinengguh utama dijilna ti baga lawan purusa,

Ya ta sinangguh dasa kreta ngara(n)na. Anggeus kapahayu ma dora sapuluh, rampes twahna urang reya Maka nguni twah sang dewa ratu.

Nihan sinangguh dasa prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki. hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wang tani bakti di wado. wado bakti di mantri, mantri bakti di nu nangganan. nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang. Ya ta sinangguh dasa prebak-


III

ti ngara(n)na.

Ini na lakukeuneun. talatah sang sadu jati. Hong kara name sewaya. senibah ing hulun di sanghyang panca tatagata. Panca ngaran ing lima, tata ma ngaran ing sabda, gata ma ngaran ing raga, Ya eta ma ngaran ing sabda, gata ma ngaran ing raga. Ya eta ma pahayuan sareanana.

Panca aksara guru-guru ning janma. Panca aksara ma byakta nu katongton4 kawreton, kacaksuh ku indriya. Guru ma pananyaan na urang reya. Nya mana dingaranan guru ing janma. Sang moha sa(ng) geusna aya bwana.

Ini byaktana. Ngaranya ya panca byapara. Sanghyang pretiwi, apah, teja, bayu mwang akasa. Carek sang sadu maha purusa. eta keh drebya urang. Kangken pretiwi kulit, kangken apah darah ciduh, kangken teja panon, kangken bayu tulang, kangken akasa kapala. Iya pretiwi di sarira ngaranya. Nya mana dikangkenkeun ku nu mawa bumi. Ya mangupati pra rama, resi, prabu,5 disi mwang tarahan.

Ini panca putra: pretiwi Sang Mangukuhan, apah Sang Katung-maralah, teja Sang Karungkalah, bayu Sang Sandanggreba, akasa Sang Wretikandayun.

Ini panca kusika: Sang Kusika di Gunung, Sang Garga di Rum-but, Sang Mesti di Mahameru, Sang Purusa di Madiri, Sang Patanjala di Panjulan.

Lamun pahi kaopeksa sanghyang wuku lima (dina) bwana, boa halimpu ikang desa kabeh. Desa kabeh ngaranya: ppurba, daksina, pasima, utara, madya. Purba, timur, kahanan Hyang Isora, putih rupanya; daksina, kidul, (kahanan Hyang Brahma, mirah rupanya; Pa-sima, kulon)6 kahanan Hyang Mahadewa, kuning (rupanya);

IV


utara, lor, kahanan Hyang Wisnu, hireng rupanya; madya, tengah, kahanan Hyang Siwah, (aneka) warna rupanya. Nya mana sakitu sanghyang wuku lima dina bwana.

Ini wuku lima di maha pandita. Sandi ma karasa si tutur, tapa ma karasa si langlang7 lungguh ma karasa si pageuh, pretyaksa ma karasa si asembawa, kaleupaseun ma karasa madumi tan kaduman, manghingetan tanpa hinga(n). Sakitu wuku lima di maha pandita.

Nihan pawwitan ning kreta, sya sang dewata lima. Pahingawakan ngaran di maneh, pahi mireungeuh rua di manen. Hengan lamunna mo karasa ma kadyangga ning wilut tumemu wilutnya, bener tumemu benernya, Kitu keh eta, ku twah ning janma mana kreta, ku twah ning janma mana na layu.

Ini karma ning hulun, saka jalan urang hulun, Karma ma ngaranya pibudieun, ti(ng)kah paripolah saka jalan ngaranya. Maka takut maka jarot, maka atong maka teuang di tingkah di pitwaheun, di ulah di pisabdaan,

Maka nguni lamun hareupeun sang dewa ratu pun. Maka satya di kahulunan, maka lokat dasa kalesa, boa ruat mala mali papa, kapanggih ning kasorgaan. Lamun teu(ng)teuing ngawakan karma ning hulun, kitu eta leuwih madan usya ditindih ukir, ditapa di luhur gunung kena palarang ditapa dina luhur gajah, hunur si(ng)ha; deukeut maha bancana.

Ini twah ing janma pigunacun na urang reya. Ulah mo turut sang hyang siksakan-

V

dang karesian. Jaga rang dek luput ing na pancaga/n/ti, sangsara. Mulah carut mulah sarereh, mulah nyangcarutkeun maneh. Kalingana nyangcarutkeun maneh ma ngaranya: nu aya dipajar hanteu, nu hanteu dipajar waya, nu inya dipajar lain, nu lain dipajar inya. Nya karah (he)dapna ma kira-kira. Budi-budi ngajerum, mijaheutan, eta byaktana nyangcarutkeun maneh ngara(n)na.

Nyangcarutkeun sakalih ma ngara(n)na: mipit mo amit, ngala mo menta, ngajuput mo sadu. Maka nguni tu: tunumpu, maling, ngetal, ngabegal; sing sawatek cekap carut, ya nyangcarutkeun sakalih ngara(n)na.

Sanguni tu: meor, ngodok, nyepet, ngarebut, ngarorogoh, papan jingan. Maka nguni ngotok ngowo di pamajikan, di panghulu tandang. Maka nguni di tohaan di maneh, Itu leuwih mulah dipiguna dipitwah ku urang hulun. Ulah mo pake na sabda atong teuang guru basa, bakti susila di pada janma, di kula kandang baraya.

Maka nguni di tohaan urang. Suku ma pake disila, leungeun ma pake umum, Jaga rang pacarek deung menak deung gu(s)ti deung bu-haya ing kalih deung estri larangan maka nguni deung tohaan urang. Jaga rang dipiguhakeun mulah surah di tineung urang, sanguni salah tembal, kajeueung semu mo suka ku tohaan urang. Ulah, pamali; bisi urug beunang ditapa, hilang beunang cakal bakal, bisi leungit batri hese, kapangguh ku sanghyang jagat sangsara, batigra-

VI

han ku sang dewa ratu.

Lamun hamo satya di tohaan urang, a(ng)geus ma jaga rang waya di kagering, jaga rang palay, jaga rang ireug, duga-duga majar maneh teu(ng)teuing amat. Mana dipajar satya dikahulunan;hengan jaga rang ceta ma mulah luhya, mulah kuciwa, mulah ng(n)tong dipiwarang, mulah hiri mulah dengki deung deungeun sakahulunan. Maka nguni nyeueung nu meunang pudyan, meunang parekan, nyeueung nu dineneh ku tohaan, teka dek nyetnyot tineung urang. Haywa, pamali !. Kapamalyanna karah: jadi neluh bareuh hate. Hamo beunang gitambaan, jampe mo matih, paksa mo mretyaksa, ja hanteu kturutan ku sanghyang siksakandang karesian.

Kitu jaga rang nangganan, mulah kira-kira digelangan. Jaga rang kagelangan, mulah mo bakti di nu nangganan kena itu tanda8 sang dewa ratu.

Jaga rang keuna panyuruhan, mulah mo raksa sanghyang siksa-kandang karesian, pakeun urang satya di piwarangan. Hengan lamur. nu ngalor ngidul ngulon ngetan, geus ma mulah siwok ca(n)te, mulah simur cante, mulah simar cante, mulah darma cante. Ya ta sinangguh sanghyang catur yatna ngaranya.

Ini kalingana. Siwok cante ma ngara(n)na kawujukan ku hakan inum. Simur cante ma ngara(n)na salima hamilu ngaramakeun nu maling, nu ngarebut, nu meor. Ya salah dongdonan ngaranya. Simar cante ma ngara(n)na ngala dagangan mas pirak lalambaran hanteu di-

VII

titah ku nu miwarang. Ya salah sadeya(n) ngara(n)na. Darma cante ma ngara(n)na daranan di kaceuceub tohaan urang. Disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan gumanti ya ngiseusan, kena wageuy, kena kula kadang, kena baraya. Eta ulah dipiguna ku urang hulun. Bogoh di kaceuceub, ceuceub di kabogoh, Itu tan yogya dipitwah ku urang hulun,

Ini pakeun urang nurut ka tohaan, pakeun urang panjang di-pihulun. pakeun urang hsebeul diasa ku tohaan urang. Turut sangyang siksakandang karesian! Bireungeuh na panghulu tandang. Lamun nyeuseul tohaan, milu rang nyeuseul deui deung tohaan. Lamun muji tohaan, milu urang muji deui deung tohaan. Lamun hamo ma milu muji milu meda deung tohaan tosta cingcing tegang urang bakti ka tohaan.

Jaga rang leumpang ngalasan, baju simbut Lamun hamo deung tohaan, iseuskeun na siksakandang karesian. Siksaan(a)na ta ulah dek ngundeur ka huma beet sakalih ka kebon sakalih. Hamo ma beunang urang laku sadu.

Salang keboan ning alas, kayu batri nangtu, bwah beunang nga-rara(ng)gean, tanggeuhkeun suluh, turuban supa, cangreudan tewwan, odeng, nyeru-



VIII

an, engang, ulam, parakan, sing sawatek babayan, ulah urang barang ala. Sanguni nurunkeun sadapan sakalih, ulah eta dipiguna kenana puhun ning dosa, tamikal ning papa kalesa.

Jaga rang nemu jalan, gede beet, bangat dicangcut dipangadwa sugan urang pajeueung deung gusti deung mantri. Ulah mo pangidalkeun pangadokokongkeun. Lamun bujangga brahmana, wikuhaji mangkubumi, anak ratu, beunghar kokoro, maka nguni gutuloka, ulah mo pahi panggidalkeun kena itu guru sang prebu.

Ingetkeun na siksakandang karesian, deung iseuskeun na haloan. Ulah ngeri(ng)keun estri larangan sakalih, rara hulanjar sakalih, bisi keuna ku haloan si panghawanan, Maka nguni ngarowang tangan, sapanglungguhan di catang, di bale, patutunggalan, haloan si panglungguhan ngara(n)na. Patanjeur-tanjeur di pipir, di buruan, patutunggalan, haloan si pana/h/taran ngara(n)na

Nembalan nu batuk, nu ngadehem, nu ngareuhak, maka nguni embuing; kalih ngawih, ya lembu akalang ngaranya. Nyanda di (u)rut sanghyang kalih deuuk di tihang, di kayu, di batu, nyeueung inya anggeus diri disilihan nyanda, ngara(n)na lembu anggasin. Itu kehna ingetkeuneun lamun dek luput ti naraka,

Sa/ng/nguni sapanginepan, sapamajikan, satepas, sabale deung sanghyang kalih, deung estri larangan sakalih ngara(n)na kebo sapinahan. Nya kehna ingetkeuneun,

IX

sinangguh ulah pamali ngara(n)na.

Itu haywa ulah dek (di)turut ku hulun sakalih. Lamun urang dek maan inya ma maka majar ka panghulu tandang. Lamun dipicaya ma samayakeun, ku geringna ku paehna ku leungitna. poron mati sareyanana, eta baan. Hamo tu aya na pidosaeun ja kolot na samaya ni(r)ni na agama. Hamo ma dipicaya, ulah! Lamun keudeu ma dek maan inya, gering ma nulung, paeh leungit ma ngagantyan sakadeugdeugna. Sa/ng/mangkana kayatnakna!

Nihan muwah. Jaga rang kadatangan ku same pangurang dasa, calagara, upeti panggeres reuma maka suka geui(ng) urang, maka rasa kadatangan ku kula kadang, ku baraya, ku adi lanccuk anak mitra suan kaponakan. Sakitu eta kangken Ngan lamun aya panghaat urang, kicap inum si(m)but cawet suka drebya.

Maka rasa puja nyanggraha ka hyang ka dewata, Anggeus ma jaga rang dipigunakeun ka gaga ka sawah ka serang ageung, ngikis, marigi, ngandang, ngaburang, marak, mu(n)day, ngadodoger, mangpayang. nyair bi(n)cang; sing sawatek guna tohaan, ulah sungsut, ulah surah, ulah purik deung giringsing, pahi sukakeun sareyanana.

Maka rasa guna urang. Ngan lamun urang pulang ka dayeuh, ulah ngising di pi(ng)gir jalan, di sisi imah di tungtung caangna. bisi kaambeu ku menak ku gusti. Sunguni tu(ng)ku nu rongah-rongah bisi kasumpah kapadakeun ambu bapa pangguruan, kapapas ka nu karolot ku twah urang gagabah. Ngan lamun

X

(carek) sanghyang siksa, ngising ma tujuh lengkah ti jalan, kiih ma tilu lengkah ti jalan. Boa mo nemu picarekeun sakalih ja urang nyaho di ulah pamali. Kaulah ma duka, pamali ma paeh, deung jeungjeueung gagawar, pucuk tambalung, sugan tampyan dalem, kandang larang(an), bale larangan. Maka nguni ngalangsinang, mapag ngaliwat ratu macangkrama kena itu paranti dosa,

Jaga rang asup dalem, maka rea lieuk, sugan ngarumpak nebuk nembung megat jajarah. Jaga urang deuuk, ulah salah hareup, maka rampes disila. Deung sugan urang dibaan lemek ku tohaan, tineungkeun picarek urang. Asing seueup, maka suka ka tohaan.

Deung maka ilik-ilik dina turutaneun: mantri gusti kaasa-asa, bayangkara nu marek, pangalasan, juru lukis, pande dang, pande mas, pande gelang, pande wesi, guru wida(ng). medu, wayang, kumbang gending, tapukan, banyolan, pahuma, panyadap, panyawah, panyapu, bela mati, juru moha, barat katiga, pajurit, pamanah, pam(a)rahg, pangurang dasa calagara, rare angon, pacelengan, pakotokan, palika, preteuleum, sing sawatek guna, Aya ma satya di guna di kahulunan. Eta kehna turutaneun kena eta ngawakan tapa di nagara.

Aya ma na urang nu kaseuseul ku tohaan, eta keh ulah dituru(t) twah bisi urang kaseuseul deui. Ini babandingna, upama janma leu(m)pang ngala-


XI

san nincak cucuk, tincak keh deui ku urang, sarua sakit/an/na. Nya mana aya ma na urang nu kapuji, «i cangcingan, si langsitan, maka predana, emet imeut rajeun leukeun satya di guna tohaan. Eta ma turut twahna deung gunana, boa urang kapuji deui

Aya ma/na/ janma rampes ruana, rampes ti(ng)kahna, rampes twahna, turut saageungna kena eta sinangguh janma utama ngara(n)na. Aya ma janma goreng ruana. ireug ti(ng)kahna, rampes twahna, itu ma milah diturut ti(ng)kahna dara sok jeueung rwana. Turut ma twahna. Aya janma goreng rwana. ireug tingkahna, goreng twahna, itu ma caru(t) ning bumi, silih diri na urang sabwana, ngara(n)na calang ning janma. itu kehna ingetkeuneun, hala-hayu goreng-rampes ala guru.

Ini pengetna, Aya ma janma paeh maling, paeh papanjingan, paeh ngabegal, paeh meor, sing sawatek cekap carut, eta jeueung kena ulah diturutan. Ya eta kangken guru nista ngara(n)na.

Aya ta deui. Lamun urang nyeueung nu ngawayang, ngadenge-keun nu ma(n)tun, nemu siksaan tina carita, ya kangken guru panggung ngara(n)na. Lamun urang nemu siksaan rampes ti nu maca ya kangken guru tangtu ngara(n)na. Lamun mireungeuh beunang nu kuriak ma: ukir-ukiran, paparahatan.


XII


papadungan, tutulisan, sui nanya ka nu diguna, temu ku rasa sorangan ku beunangna ilik di guna sakalih ya kangken guru wreti ngara(n)na. Nemu agama ti anak, ya kangken guru rare ngara(n)na. Nemu darma ti aki ma ya kangken guru kaki ngara(n)na. Nemu darma ti lanceuk ma ya kangken guru kakang ngara(n)na. Nemu darma ti toa ma ya kangken guru ua ngara(n)na.

Nemu darma ti geusan leumpang di lembur di geusan ngawengi, di geusan eureun, di geusan majik ma ya kangken guru hawan ngara(n)na. Nemu darma ti indung ti bapa ya kangken guru kamulan ngara(n)na. Maka nguni lamun hatur ka mahapandita ya kangken guru utama, ya kangken guru mulya, ya kangken guru premana, ya kangken guru kaupadesaan. Ya sinangguh catur utama ngara(n)na.

Nya mana kitu, lamun a(ng)geus di karma ning akarma, di twah ning atwah, a(ng)geus pahi kaiilikan nu gopel nu rampes, nu hala nu hayu. Kitu lamun aya nu muji urang, suita, maka geuing urang, gumanti pulangkeun ka nu muji, pakeun urang mo kapentingan ku pamuji sakalih. Lamun urang daek dipuji ma kadyangga ning galah dawa sinambungan9 tuna, rasa atoh ku pamuji.

A(ng)geus ma dipake hangkara ja ngarasa maneh aya di imah maneh, ku hakan ku inum, ku suka ku boga, ku pakarang, teka dipake anggeuhan. Eta kangken galah dawa ta. Eta Kangken pare hapa ta ngara(n)na.

XIII

Kitu, lamun aya nu meda urang, aku sapameda sakalih. Nya mana kadyangganing galah cedek tinugelan teka. Upamana urang kudil, eta kangken cai pamandyan. Upamana urang kurit kangken datang nu ngaminyakan. Upamana urang ponyo kangkn datang nu mere kejo. Upamana urang henaang kangken (datang nu) mawakeun aroteun. Upamana urang handeueul kangken (datang) nu mere seupaheun. Ya sinangguh panca parisuda ngara(n)na. Eta kangken galah cedek tinugelan.

Lamun maka suka rasa urang, kangken pare beurat sangga. Boa maka hurip na urang reya. Ya katemu wwit ning suka Iawan10 enak. Salang nu ngupat, ala panyaraman. Aya twah urang ma eureunan. Hanteu twah urang ma ungang ambu-bapa. Kalingana janma ngara-(n)na. Ya sinangguh paramar/ra/ta wisesa, ya kangken dewa mangjanma ngara(n)na. Nya sang puma sarira, nya wwit ning hayu, ya puhun ning bener.

Ini pangimbuh ning twah pakeun mo tiwas kala manghurip, pa-keun wastu di imah di maneh. Emet, imeut. rajeun, leukcen, paka predana, morogol-rogol, purusa ning sa, widagda, hapitan. kara wa-leya, cangcingan, langsitan.

Jaga 'rang ngajadikeun gaga-sawh, tihap ulah sangsara. Jaga rang nyieun kebo/a/n, tihap mulah ngu(n)deur ka huma beet sakalih, ka huma lega sakalih. Hamo ma beunang urang laku sadu. Cocooan ulah tihap meuli mulah tihap nukeur. Pakarang ulah tihap nginjeum.

XIV

Simbut-cawet mulah kasarataan, hakan-inum ulah kakurangan, anak-ewe pituturan sugan dipajar durbala siksa. Yatnakeun sanghyang siksakandang karesian.

Jaga rang hees tamba ui(n)duh, nginum twa/h/k tamba hanaang, nyatu tamba ponvo, ulah urang kajo(ng)jonan. Yatnakeun maring ku hanteu. Sa/ng/nguni tu ku anak-ewe, mulah dek paliketan sugan hamo sapitwaheun. Rampes ma beunang urang nyaraman teka nurut na panyaraman, eta keh anak urang ewe urang ngara(n)na.

Hanteu ma nurut na pamagahan, eta sarua deungeun sakalih. Ngan lamun keudeu, ewe-anak geus ma medeng diaku ku urang. Boa urang kabobotan, boa reujeung sasab ka naraka, leungit batri rang ngabakta, hilang beunang cakal-bakal.

Ini warah sang darma pitutur, sugan ura(ng) tanpa hedap mreo-peksah samutatah. Paesan teh ta susuriyem, jambangan eusi ning bayu ma hening, tah desana tah nora buksah. Kalingana ta, sri ma ngaranya omas. Kitu na omas, lamun hamo dila(n)ja pelek rupana, lamun kalanja ma cenang, rampes ja kaopeksa.

Kitu keh upama urang janma ini. Lamun nurut sanghyang siksa, kapahayu rasana di urang kadyangga ning bener tumemu benernya. Kitu, lamun hamo nurut sanghyang siksa kreta kadyangga ning wilut tumemu wilutnya. Paesan ma ngaranya eunteung. Kitu na eunteung, lamun hamo kawaas, samar kalangkang urang. Lamun kawaas ma puguh rua

XV

urang dina jero eunteung eta.

Kitu keh janma ini, bisa nurut upacara sakalih. Rampes ma boa kalihasan ku rasa di maneh. Lamun hamo ma bisa nurut pamagahan, punggunp tata ngara(n)na.

Jambangan ma ngara(n)na pamuruyan. Kangken cai hening ma hedap urang kreha. Ya mana kitu, mana na waas, teger rame a(m)bek. Desa ma ngaranya dayeuh, Na dayeuh, lamun kosong. hanetu turutaneunana. Kitu na sabda, lamun hamo kaeusi'11 carut ngara(n)na. Hengan lamun kaeusian ma na kahanan, eta keh na turutaneun. Kitu keh na sabda. Mana kaeusian, mana dipajar bener laksana.

Kitu keh urang janma ini. Lamun dek nyaho di puhun suka lawan enak ma ingetkeun saur sang darma pitutur. Ini silokana:


tadaga12 carita hangsa

gajendra carita banem

matsyanem13 carita sagarem

puspanem carita bangbarem.

Kalinganya, kitu ja rang dek ceta, ulah salah geusan nanya. La-mun hayang nyaho di tanian herang, talaga banyu atis ma hangsa tanya. Kalingana ma aya janma atisti ring apraniti. herang tineung. rame ambek, nya(ng)kah, kangken hangga dina talaga herang.

Hayang nyaho di j(e)ro ning laut ma. matsya tanya. Kalingana ma upama hayang nyaho di hedap sang dewa ratu deung di hedap mahapandita.14

Hayang nyaho di Iwir15ning leuweung ma gajah tanya. Ini ka-lingana. Kangken Iwir16 ta ma nyaho di tineung nu reya. Kangken gajah ta ma nyaho di bebedas sang

XVI

dewa ratu.

Hayang nyaho di ruum amis ning kembang ma, bangbara tanya. Kalingana ta kangken ba(ng)bara ma janma bisa saba ngumbara, nyaho di tingkah sakalih. Kangken ruum kembang ma janma rampes twahna, amis barungusan semu imut ti(ng)kah suka.

Kalingana ulah salah geusan tanya.

Hayang nyaho di sakweh ning carita ma: Damarjati, Sanghyang Bayu, Jayasena, Sedamana, Pu Jayakarma. Ramayana, Adiparwa, Korawasarma, Bimasorga, Rangga Lawe, Boma, Sumana, Kala Purbaka, Jarini, Tantri; sing sawatek carita ma memen tanya.

Hayang nyaho di sakweh ning kawih ma: kawih bwatuha. kawih panjang, kawih lalanguan. kawih panyaraman, kawih sisi(n)diran, kawih pengpeledan, bongbong kaso, pererane, porod eurih, kawih babahanan, kawih ba(ng)barongan, kawih tangtung, kawih sasa(m)batan, kawih igel-igelan; sing sawatek kawih ma, paraguna tanya.

Hayang nyaho di pamaceuh ma: ceta maceuh, ceta nirus, tata-pukan, babarongan, babakutrakan, ubang-ubangan, neureuy panca, munikeun le(m)bur, ngadu lesung, asup kana lantar, ngadu nini;sing sawatek (ka)ulinan ma, hempul tanya.

Hayang nyaho di pantun ma: Langgalarang, Banyakcatra, Siliwangi, Haturwangi; prepantun tanya.

Sa(r(wa Iwir/a/ ning tulis ma: pupunjengan, hihinggulan, kekem-bangan, alas-alasan, urang-urangan, memetahan, sisirangan, ta-

XVII

ruk hata, kembang tarate; sing sawatek tulis ma, lukis tanya.

Sa(r)wa Iwir/a/ ning teuteupaan ma telu ganggaman palain. Ganggaman di sang prabu ma: pedang, abet, pamuk, golok, peso teundeut, keris. Raksasa pina/h/ka dewanya, ja paranti maehan sagala. Ganggaman sang wong tani ma: kujang, baliung, patik, kored, sadap. Detya pina/h/ka dewanya, ja paranti ngala kikicapeun iinumeun. Ganggamam sang pandita ma: kala katri, peso raut, peso dongdang, pangot, pakisi. Danawa pina/h/ka dewanya, ja itu paranti kumeureut sagala. Nya mana teluna ganggaman palain deui di sang prebu, di sang wong tani, di sang pandita. Kitu lamun urang hayang nyaho di sarean(ana), eta ma panday tanya.

Sa(r)wa Iwir/a/ ning ukir ma: dinanagakeun, dibarongkeun, ditiru paksi, ditiru were, ditiru singha; sing sawatek ukir-ukiran ma, ma-rangguy tanya.

Sa(r)wa Iwir/a/ ning oolahan ma: nyupar-nyapir rara ma(n)di, nyocobek, nyopong koneng, nyanglarkeun, nyarengseng, nyeuseungit, nyayang ku pedes17 beubeuleuman, panggangan, kakasian, hahanyangan, rarameusan, diruruum, amis-amis; sing sawatek kaolahan, hareup catra tanya.

Sa(r)wa Iwir/a/ ning boeh ma: kembang mu(n)cang, gagang senggang, sameleg, seumat sahurun, anyam cayut, sigeji, pasi-pasi, kalangkang ayakan, poleng re(ng)ganis, jaya(n)ti, cecempaan, paparan a-

XVIII

kan, mangin haris sili ganti, boeh siang, bebernatan, papakanan, surat awi, parigi nyengsoh, gaganjar, lusian besar, kampuh jaya(n)ti, hujan riris, boeh alus, ragen panganten; sing sawatek boboehan ma pangeuyeuk tanya.

Lamun hayang nyaho di agama parigama ma: acara eleh ku adigama, adigama eleh ku gurugama, gurugama eleh ku tuhagama, tuhagama eleh ku satmata, satmata eleh ku surakloka, surakloka eleh ku niraweerah. Utama janma wahye dosa. Wahye dosa utama janma; sing sawatek agama parigama ma pratanda tanya.

Sugan hayang nyaho di tingkah prang ma: makarabihwa, katra-bihwa, lisangbihwa, singhabihwa, garudabihwa, cakrabihwa, suci muka. braja panjara. asu maliput, merak simpir, gagak sangkur, luwak maturut, kidang sumeka, babah buhaya, ngali(ng)ga manik. lemah mrewasa, adipati, prebu sakti, pake prajurit, tapak sawetrik;sang hulujurit tanya.

Hayang nyaho di sakweh ning aji mantra ma: jampa-jampa. geugeui(ng), susuratan. sasaranaan, kaseangan, pawayagahan, puspaan, su-sudaan. huriphuripan, tu(n)duk iyem, pararasen, pasakwan:.sing sa-watek aji ma sang brahmana tanya.

Hayang nyaho di puja di sanggar ma: patah puja daun, gelar palayang, puja kembang. nya(m)pingan lingga, ngomean sanghyang, sing sawatek muja ma ja(ng)gan tanya.

Hayang nyaho di dawuh nalika ma: bu-

XIX

lan gempa, tahun tanpa te(ng)gek, tanpa sirah, sakala lumaku, sakala ma(n)deg, bumi kape(n)dem, bumi grempa; sing sawatek nyaho di carek /ma/ nu beuheula, bujangga tanya.

Hayang nyaho di darmasiksa, siksakandang, pasuktapa, padenaan, maha pawitra, siksa guru, dasa sila, tato bwana, tato sarira, tato ajnyana ma; sing sawatek eusi pustaka. sang pandita tanya.

Maka nguni kasorgaan di sakala kaprabuan, kamulyaan, kamul-yaan, kautamaan, kapremanaan, kawisesaan; ratu tanya.

Hayang nyaho dipatitis bumi ma: ngampihkeun bumi, masinikeun na urang sajagat, parin pasini, ngadengdeng, maraspade, ngukur, nyaruakeun, nyipat, midana, lamun luhur dipidatar, ancol dipakpak; sing sawatek ampih-ampih ma mangkubumi tanya.

Lamun hayang nyaho di sakweh ning labuhan ma, maka nguni: gosong, gorong, kabua, ryak mokprok, ryak maling, alun agung, tanjung, hujung, nusa, pulo, karang nunggung, tunggara, barat daya; sing sawatek saba di laut ma, lalayaran, puhawang tanya.

Hayang nyaho di sawatek arega ma: telu sayuta, telu saketi, telu salaksa. telu sariwu, telu satak, telu saratus, telu sapuluh, maka nguni karobelah, katelubelah, kapatbelah, kalimabelah, kanembelah, kapitubelah, kawolubelah; sing sawatek arega ma citri-

XX

k byapari tanya.

Hayang nyaho di sandi, tapa, lungguh, pratyaksa. putus tangkes, kaleupaseun, tata hyang, tata dewata, rasa carita. kal/e/pa carita; sing sawatek nata-nata para dewata kabeh, sang wiku paraloka tanya,

Aya ma nu urang dek ceta, ulah salah geusan nanya. Lamun dek nyaho di carek para nusa ma: carek Cina, Keling, Parasi, Mesir, Samudra, Banggala, Makasar, Pahang, Kala(n)ten, Bangka, Buwun, Beten. Tulangbawang, Sela, Pasay, Parayaman, Nagara Dekan, Dinah, Andeles, Tego, Maloko, Badan, Pego, Malangkabo, Mekah, Buretet, Lawe, Saksak, Se(m)bawa, Bali, Jenggi, Sabini, Ngogan, Kanangen, Kumering, Simpang Tiga, Gumantung, Manumbi, Babu, Nyiri, Sapari, Patukangan, Surabaya, Lampung, Jambudipa, Seran, Gedah, Solot, Solodong, /Bali/. Indragiri, Tanjung Pura, Sakampung, Cempa, Baluk, Jawa; sing sawatek para nusa ma sang jurubasa darmamurcaya tanya.

Eta kehna kanyahokeuneun di tuhuna di yogyana. Aya ma nu majar mo nya(h)o, eta nu mo satya di guna di maneh, mo teuing di carek dewata urang. Tan /n/awurung inanti dening kawah lamun guna mo dipiguna, lamun twah mo dipitwah, sahinga ning guna kreta kena itu tangtu hyang tangtu dewata.

Sakala batara jagat basa ngretakeun bumi niskala. Basana: Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwa-

XXI

h. bakti ka Batara! Basana: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besawarma, bakti ka Batara! Basana: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara: Sing para dewata kabeh pada bakti ka Batara Seda Niskala. Pahi manggihkeun si tuhu lawan preityaksa.

Ini na parmanggihkeuneun dina sakala, tangtu batara di bwana pakeun pageuh jadi manik sakurungan, pakeuneun teja sabumi. Hulun bakti di tohaan, ewe bakti di laki, anak bakti di bapa, sisya bakti di guru, mantri bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata.

Disuruh neguhkeun di sarira, matitiskeun bayu sabda hedap. Lamun itu hamo kapiguna kapitwah ku na janma kanista madya utama pada ditibakeun kana kawah si tambrah gomuka. Wijayajana janma kawisesa ku dewata pun.

Saur sang darma pitutur mujarakeun sabda sang rumuhun. Aya deui babandingna. Kitu upamana urang leumpang ka Jawa, hamo nurut carekna deungeun carana, mangu rasa urang. Anggeus ma urang pulang deui ka Sunda, hanteu bisa carek Jawa, asa hanteu datang nyaba. Poos tukuna beunang tandang ja hanteu bisa nurut care(k)na.

Kitu urang ianma ini. Ha(ng)ger turun ti niskala hanteu katemu cara dewata, geura-geura dek mangjanma ja ireug tingkahna, hanteu bisa nurut twah nu nyaho. Aya kapitwah ta nu mo satya, nu tan yogya: lumekas manggawe hala: papanjingan, bubunyan, kapiadi, ka-pilanceuk. Nya mana wadon ngarasa lalaki la-

XXII

in salakina, tan yogya ngara(n)na. Lalaki ngarasa wadon lain eusi imahna, tan yogya ngara(n)na. WSnang ditibakeun kana kawah si mregawijaya. Janma ngawisesakeun nu salah,

Ini silokana twah janma salah: burangkak, marende, mariris, wi-rang. Ya ta catur buta ngara(n)na. Kalingana burangkak ma ngaranya gila. Nu kangken maka gila ta ma twah janma: dengi. tungi, torong, gasong, campelak sabda, gopel twah, panas hate, tan yogya ngara(n)na, Nya keh nu kangken maka gila ta twah janma sakitu. Jadina ta raksasa, durgi, durga, kala, buta, geusan ta di mala ning lemah.

Mala ning Iemah ngara(n)na: sodong, sarongge, cadas gantung. mu(ng)kal pategang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nu(ng)gang, catang nonggeng, garunggungan, garenggengan, Iemah sahar. dangdang wariyan, hunyur, lemah laki, pitunahan celeng, kalo(m)beran. jaryan, sema; sawatek lemah kasingsal.

Sakitu kajadian nu keudeu di twah nu gopel; ja twah ning janma nu mere gila ta. Jadina ta sawatek maha gila, ja hanteu nurut sanghyang sasana kreta, ja ngarumpak sanghyang siksakandang karesian. Nya mana jadi maha gila ya ta kalinga ning burangkak ngara(n)na.

Marande ma ngara(n)na dibeka tiis nya karah panah. Diheman-keun, dikarunyaan, diipuk, dineneh, dibere suka-boga hulun-kuring: nya karah kirakirakeuneu(n)ana; byakta keuna ku na kapapaan eusi tegal si pantana, sayajnyana lohna.

Timur makapalap


XXIII

kandaga. Saketi wong kena i rika. Ti kidul ma gunung watu. Pareng sarewu wong papa i rika. Ti barat yaksa geni-muka. Tan keuna wruhan wong kwehnya papa i rika. Ti kaler kadi walang sinudukan, pareng satus wong papa i rika. Ti tengah gagak si antana lawan18 sang senayaksa. Sewu-sewu wong papa i rika. Ya kapapa(n) ning marende ngara(n)na.

Mariris ma ngara(n)na camah, jiji manan tahi, camah manan wangke a(m)beu. Kitu keh twah janma cacarokot. barang cokot. A(ng)geus ma barang ala hamo menta, maling, numpu, meor, ngarebut; song sawatek curaweda ka nu bener.

Paeh ma atmana papa. Sariwu saratus tahun keuna ku sapa batara. tangeh mana jadi janma. Aya jadina ta kotor: janggel, hileud tahun, piteuk, titi(ng)gi, jambelong, limus sakeureut, mear, pacet, lentah, lohong. gorong; sawatek dipake jiji ku na urang reya. Ya ta sinangguh mariris ngara(n)na. .

Wirang ma ngara(n)na: mumul tuhu, mumul bener, mumul yogya, mumul duga-duga, mumul bema. Lamun carut ma: harema, harems(a), bogoh, gawok. Lamun paeh ma eta atmana ma(ng)gihkeun papa, wot gonggang, cukang cueut, batu kacakup. Kajadikeun ma ka bwana jadi watek maha gila: warak, macan, wuhaya, ula /m/ageung; sawatek maka gila janma. Ya ta ma wirang ngara(n)na. Sakitu ma catur buta,

Ini ma upama janma tandang ka Cina. Heubeul mangkuk di Cina, nyaho di karma Cina, di ti(ng)kah Cina, di polah Ci-

XXIV

na, di kararampesan Cina. Katemu na cara telu: kanista, madya, utama. Pahi nyaho di sabda sang prabu, sang rama, sang resi, bisa matitiskeun bayu, sabda, heddap. Nya mana nya ho di geui(ng), di upageui(ng), di parigeui(ng); ya ta tri geui(ng) ngara(n)na.

Geui(ng) ma bisa ngicap bisa ngicup dina kasukaan. Ya geui(ng) ngara(n)na. Upageui(ng) ma ngara(n)na bisa nyandang bisa nganggo, bisa babasahan, bisa dibusana, Ya upageui(ng) ngara(n)na. Parigeui(ng) ma ngara(n)na bisa nitah bisa miwarang ja sabda arum wawangi. Nya mana hanteu surah nu dipiwarang ja katuju nu beunang milabuh siloka.

Lamun ka beet ma basana: utun, eten, orok, anak ing, adi ing. Ka kolot ma basana: lanceuk ing, suan ing, euceu ing, aki ing. Pangwastu nama sumanger teu(ng)teuing amat Sakitu na dasa pasantra, geus ma: guna, rama, hook, pesok, asih, karunya, mupreruk, ngulas, nyecep, ngala angeen. Nya mana suka bungah padang caang nu dipiwarang. Ya ta Sinangguh parigeui(ing) ngara(n)na.

Ini silokana: mas, pirak, komala, hinten, ya ta sanghyang catur yogya ngara(n)na. Ini kalingana. Mas ma ngaranya sabda tuhu tepet byakta panca aksara. Pirak ma ngaranya ambek kreta yogya rahayu! Komala ma ngaranya geui(ng) na padang caang lega loganda. Hinten ma ngaranya cangcing ceuri semu imut rame ambek. Ya ta sinangguh catur yogya ngaranya.

Ya ta janma bijil ti nirmala ning lemah, pahoman, pabutelan, pamujaan, l(e)mah maneuh, candi,

XXV

prasada, lingga linggih, batu gangsa, lemah biningba ginavve wongwongan, sasapuan. Sakitu, saukur lemah kasucikeun, cai kasucikeun, kapawitrakeun. Nya keh janma rahayu, janma rampes, ya janma kreta,

Nu kangken bijil ti nirmala ning lemah ma ngara(n)na, inget di sanghyang siksa, mikuku(h) talatah ambu bapa aki lawan buyut, nyaho di siksaan mahapandita, mageuhkeun ujar ing kreta.

Ini carita baheula nu nanjeurkeun sanghyang sasana kreta: Rahyangtang Dewaraja, Rahyangta Rawunglangit, Rahyangta ti M(e)dang, Rahyangta ri Menir.19 Ya ta sinangguh catur kreta ngara(n)na.

Nya mana kitu ayeuna na janma inget di sanghyang darma(wi)-sesa, nyaho di karaseyan ning janma. Ya ta sinangguh janma rahaseya ngara(n)na, Lamun pati ma eta atmana manggihkeun sorga rahayu. Manggih rahina tanpa balik peteng,20 suka tanpa balik duka, sorga tanpa balik papa, enak tanpa balik lara, hayu tanpa balik hala, nohan tanpa balik wogan, mokta tanpa balik byakta, nis tanpa balik hana, hyang tanpa balik dewa. Ya ta sinangguh parama lenyep ngara(n)na.

Kitu keh janma ayeuna. Upama urang mandi, cai pitemu urang hengan ta na cai dwa piliheun(a)na; nu keruh deungeun nu herang. Kitu keh twah janma. Dwa nu kapaknakeun: nu goce deungeun nu rampes. Kitu keh janma. mana na kapahayu ku twah nu mahayu inya. Nya mana janma mana hala ku twahna mana hayu ku twahna.

Kitu keh cai mana dipajar dwa piliheun ma. Banyu

XXVI

asrep lawan hening ma inya sanghyang darmawisesa, Nya nu dilakukeun ku mahapandita. Nu banyu ha(ng)ker lawan letuh ma inya na rasa carita nu dilakukeun ku na sang wiku lokika paramar/a/ta kabeh. Nya kadyangga ning centana lawan acentana. Nu centana ma wruh menget tutur tanpa balik lupa; ya ta wwit ning janma rahayu. ya tangkal ning bumi kreta. Nu acentana ma ikang lupa hyang, moha tar kahanan tutur: ya tar.gkal ning sanghara, punun ning kaliyuga, .beuti ning jalir, vvwit ning linyok; ya sangkan janma ka naraka. Ulan eta dipitemen ku nu dek berier ma.

Ini ujar sang sadu basana mahayu drebyana. Ini tri-tangtu di bumi. Bayu kita pina/h/ka prebu, sabda kita pina/h/ka rama. h(e)dap kita pina/hka resi. Ya tritangtu di bumi, ya kangken pineguh ning bwana ngara(n)na.

Ini triwarga di lamba. Wisnu kangken prabu, Brahma kangken rama, Isora kangken resi. Nya mana tritan(g)tu pineguh ning bwana. triwarga hurip ning jagat. Ya sinangguh tritan(g)tu di nu reya ngaranya.

Teguhkeun pageuhkeun sahingga ning tuhu, pepet byakta warta manah. Mana kreta na bwana, mana hayu ikang ja(ga)t, kena twah ning janma kapahayu.

Kitu keh, sang pandita pageuh di kapanditaan(a)na. kreta; sang wiku pageuh di kawikuan(a)na, kreta; sang manguyu pageuh di kamanguyuan(a)na, kreta; sang paliken pageuh di (ka)paliken(a)na. kreta; sang tetega pageuh di katetegaan(a)na, kreta; sang ameng pageuh di kaamengan(a)na, kreta; sang wasi pageuh di kawasian(a)na, kreta; sang ebon pageuh di kaebon(a)na, kreta; maka nguni sang walka pageuh di kawalkaa-

XXVII

n(a)na, kreta; sang wong tani pageuh di katanian(a)na, kreta; sang euwah pageuh di kaeuwahan(a)na, kreta; Sang gusti pageuh di kagustian(a)na. kreta:.sang mantri pageuh dikamantrian(a)na, kreta; sang masang pageuh di kamasangan(a)na, kreta; sang bujangga pageuh di kabujanggaan(a)na. kreta. sang tarahan pageuh di katarahan(a)na, kreta; sang disi pageuh di kadisian(a)na, kre'ta; sang prebu pageuh di kaprebuan(a)na, kreta.

Nguni sang pandita kalawan sang dewa ratu pageuh ngretakeun ing bwana, nya mana kreta lor kidul kulon wetan sakasangga dening pretiwi sakakurung dening akasa; pahi manghurip ikang sarwo janma kabeh.

Sarwo janma kabeh ngara(n)na: janma tumuwuh, janma triyak. janma wong, janma siwong, wastu siwong. Nya mana sakitu eta nu dipajar sarwo janma .kabeh ta.

Jan tumuwuh ma ngara(n)na: trena, taru, lata, galuma. Pahi manghurip hejo lembok natar dangkura; ya janma tumuwuh ngara(n)na.

Janma wong ma ngara(n)na: ruana janma kena ten hade yunina, Janma siwong ma. ngara(n)na: rampes yuni rampes bangsa kena acan nyaho di sanghyang darma.

Ini ma sugan hayang kalihasan ku eusi bwana. Reyana ta. Ini ngara(njna: kurija, ma/n/taja, bagaja, payuja.

Kurija ma ngara(n)na sawatek bijil ti sungut. Ma/n/taja ma nga-ra(n)na sawatek bijil ti panon. Bagaja ma ngara(n)na sawatek bijil ti

XXVIII

baga. Payuja ma ngara(ii)na sawatek bijil ti tumbling. Ya sinangguh sanghyang catur mula ngara(n)na.

Ini guna janma di bwana: /u/ ngangka, nyigi, ngiket, nyigeung, ngamang, ngarombaong. Ngangka ma ngara(n)na angen-angen. Nyigi ma ngara(n)na uu(n)tayan, Ngiket ma ngara(n)na watek nalikeun. Nyigeung ma ngara(n)na meu(ng)peung meulah, ma(n)cir. midwakeun, ngadar, ngagitaka, ngukur, nyarwakeun. Ngarwang ma ngara(n)na sawatek ngalikeun. Ngarombong ma ngara(n)na sawatek heuleut-heuleut. Ya ta sinangguh sadguna ngara(n)na. Sakitu guna janma sarean(a).

Ini kahayang janma: /ru/ yun suda, yun suka, yun munggah, yun luput. Ini kalingana: yun suda, ma ngara(n)na hayang puma, mu-mul keuna ku saroa kasakit; yun suka ma ngara(n)na hayang beunghar, mumul katunan ku drabya: yun nuinggah ma ngara(n)na hayang sorga, mumul manggihkeun bwana; yun Iuput ma ngara(n)na hayang mokta, mumul /ka/ kabawa ku para sorga. Nya mana sakitu kahayang janma sareyan(a)

Ini nu mandi ka cai. /ru/ Kalingana lanang wadon keudeu mala-wading. Sakitu eta reyana. Sabaraha dagangan dipakeun eta? Kalingana asak deung atah, goce deung rampes, beet deung gede.

Sabaraha rasana? /u/ Kalingana lawana, kaduka, tirtka, amba, kasaya, madura. Lawana ma ngara(n)na pangset; kaduka ma ngara(nV na lada; tritka ma ngara(n)na pahit: amba ma ngara(n)na haseum; kasaya ma ngara(n)na pelem, madura ma ngara(n)na amis. Sakitu kara-sana ku na janma sarean(a)na,

Ini pakeun urang mibogaan maneh, pakeun turun patiwah-tiwah ka anak,

XXIX

ka incu, ka umpi. ka cicip, ka muning, ka anggasantana, ka pratisantana, ka putuh wekas sakabeh; nu sieup dipikakolotan deung21 nu hamo sieup beunang cekap.

Hamo sieup dipikakolotan ngara(n)na pinah ing buta raksasa. Beunang bobotoh, beunang babalanjaan, hamo yogya dipikakolotan. Ngara(n)na wineh ing cipta ambara. Hengan pamere indung, pamere bapa, pamere pangguruan, wenang dipikakolotan. Ngara(n)na dewa rumaksa di urang.

Ladang pepelakan wenang dipikakolotan. Ngara(n)na mani bijil ti pretiwi. Ladang heuyeuk, ladang cocooan wenang dipikakolotan. Ngara(n)na mirah tiba ti akasa.

Janma beunghar teka nebus wadon, teu nyaho indung-bapana, ualah dipikaritikan bisi urang kabawa salah. Aya deui nyaho di indung-bapana, syaran sangkan ahulun. Lamun twah indung-bapana rampes keneh na janma. ngara(n)na kapapanas ku twah kolot, (Eta) wenang dipikari/n/tikan. Hengan lamun ku carut ma ulah dipikaleuleuheungkeun. Ngara(n)na janma mider ing naraka.

Aya deui ma janma /ng/rampes twahna, rampes susukna, rampes wwitna, ulah mo22 tebus. Hengan ulah tuluy dipisomah bisi hulun turuna(na). Ulah majikeun ka kula-kadang urang. Geus ma tanya, bawakeun seupaheun sewaka ka urang.

Sakitu tata jangjawokanana pakeun dapurna pulang ka jatina deui. Pake beuteung di-

XXX

ri ti panjara, pakeun maur bangsa urang rampes pakeun beuteung ka pataka.

Ini pakeun urang ngajajadikeun budak. Ulah hawara dipitotoh-keun nu ma mo /nu/ bener bitan urang. Kareyaan urang, lamun lengkeng bapa turun ka anak lalaki, lamun lengkeng indung turun ka anak wadon. Lamun pahi ma ti panca ti bumi ngara(n)na buta sumurup ing kali. Hanteu yogya mijodokeur. bocah; bisi kabawa salah. bisi kaparisedek nu ngajadikeun.

Samangkana kayatnakeun talatah sang sadu. Saur sang darma pitutur mujarakeun sabda sang rumuhun, tutur twah paka sabda : Namo Siwaya! Nami Budaya! Namo Sidam Jiwa nalipurna!

Sang amaca maka suka, sang nurut ma ujar rahayu ngaregep cipta nirmala, yatna sang sewaka drama.

Ini kawuwusan siksakandang karesian ngaranya, ja na pustaka-nipun sang ngareungeu pun.

Mula nibakeun sastra duk ing teja (di)wasa, huwus ing wulan katiga pun. Ini babar ing pustakanipun: nora catur sagara wulan.

oOo

1 nyawana.

2 nyewana.

3. landuh.

4. katington.

5 tertewat.

6 terlewat.

7 linglang.

9 tinambungan.

10 luwan.

11 kausi.

12 tatakang.

14.Alinea ini seharusnya ditulis setelah alinea berikutnya.

15 Iwar.

16 Iwar.

17 pidis.

18 luwan.

19 mner.

20 ptang.

21 di.

22 ma.




Edit this page (if you have permission) |
Google Docs -- Web word processing, presentations and spreadsheets.

Carita Parahyangan 24 Mar 2010, 4:13 am
Dicutat tina

Atja (1968) Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda. Bandung:

Jajasan Kebudajaan Nusalarang



Téks Carita Parahyangan

I

Ndéh nihan Carita Parahiyangan.

Sang Resi Guru mangyuga Rajaputra.

Rajaputra miseuweukeun [1] Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati, sida sapilanceukan. Ngangaranan manéh Rahiyangta

Déwaraja. Basa lumaku ngarajaresi ngangaranan manéh Rahiyangta ri Medangjati, inya Sang Layuwatang, nya nu nyieun Sanghiyang Watang Ageung.

Basana angkat sabumi jadi manik sakurungan, nu miseuweukeun pancaputra; Sang Apatiyan [2] Sang Kusika, Sang Garga Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Putanjala inya Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah [3], Sang Sandanggreba, Sang Wretikandayun.


II


Hana paksi Si Uwur-uwur, paksi Si Naragati, nyayang di titrayatra [4] Bagawat Resi Makandria [5]. Dihakan anakna ku salakina. Diseuseul [6] ku éwéna [7].

Carék éwéna, "Papa urang, lamun urang teu dianak, jeueung Bagawat Resi Makandria.

Ditapa sotéh papa, ja hanteu dianak."

Carék Bagawat Resi Makandria, "Dianak ku waya, ja éwé ogé hanteu."

Ti inya carék Bagawat Resi Makandria, "Aing dék leumpang ka Sang Resi Guru, ka Kéndan."

Datang siya ka Kéndan.

Carék Sang Resi Guru, "Na naha siya Bagawat Resi Makandria, mana siya datang ka dinih?"

"Pun samapun [8], aya béja kami pun, kami ménta pirabieun pun. Kéna kami

kapupulihan ku Paksi Si Uwur-uwur, paksi Si Naragati, papa baruk urang hanteu di na anak."

Carék Sang Resi Guru, "Leumpang siya ti heula ka batur siya deui, anaking Pwah Aksari Jabung, leumpang husir Bagawat Resi Makandria, na pideungeuneun satapa, anaking."

Leumpang Pwah Rababu, datang ka baturna, teu diaku rabi. Nyeueung inya wedadari

geulis, ti inya nyieun manéh Pwah Manjangandara, na Bagawat Resi Makandria nyieun

manéh Rakéyan Kebowulan, sida pasanggaman. Carék Sang Resi Guru,

"Étén [9] anaking, Pwah Sanghiyang Sri! Leumpang kita ngajadi ka lanceuk siya, ka

Pwah Aksari Jabung."

Ti inya leumpang Pwah Sanghiyang Sri ngajadi, inya Pwah Bungatak Mangaléngalé.


III


Carék Sang Mangukuhan, "Nam adiing [10] kalih, urang ngaboro [11] leumpang ka

tegal."

Sadatang ka tengah tegal, kasampak Pwah Manjangandara deung Rakéyan Kebowulan.

Digérékeun ku sang pancaputra; beunangna samaya, asing [12] nu numbak inya ti

heula, nu ngeunaan inya, piratueun [13].

Keuna ku tumbak Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara.

Lumpat ka patapaanana, datang paéh. Dituturkeun ku Sang Wretikandayun. Pwah

Bungatak [14] Mangaléngalé kasondong nginang deung Pwah Manjangandara; ku Sang

Wretikandayun dibaan pulang ka Galuh, ka Rahiyangta ri Medangjati.


IV


Lawasniya adeg ratu lima welas tahun, disilihan ku Sang Wretikandayun di Galuh,

mirabi Pwah Bungatak Mangaléngalé.

Na Sang Mangukuhan nyieun manéh panghuma; Sang Karungkalah nyieun manéh

panggérék, Sang Katungmaralah nyieun manéh panyadap; Sang Sandanggreba nyieun

manéh padagang. Ku Sang Wretikandayun diadegkeun Sang Mangukuhan,

Rahiyangtang Kulikuli; sang Karungkalah diadegkeun Rahiyangtang Surawulan; Sang

Katungmaralah diadegkeun Rahiyangtang Pelesawi [15]; Sang Sandanggreba

diadegkeun Rahiyangtang Rawunglangit.

Sang Wretikandayun adeg di Galuh. Ti inya lumaku ngarajaresi, ngangaranan manéh

Rahiyangta ri Menir [16]. Basana angkat sabumi jadi manik sakurungan, inya nu

nyieunna Purbatisti.

Lawasniya ratu salapan puluh tahun.

Disilihan ku Rahiyangtang Kulikuli, lawasniya ratu dalapan puluh tahun.

Disilihan ku Rahiyangtang Sarawulan, lawasniya ratu genep tahun, katujuhna panteg

kana goréng twah.

Disilihan ku Rahiyangtang Rawunglangit, lawasniya adeg ratu genep puluh tahun.


V


Disilihan ku Rahiyangtang Mandiminyak.

Seuweu Rahiyangta ri Menir [17], teluan sapilanceukan; anu cikal nya Rahiyang

Sempakwaja, adeg Batara Dangiyang Guru di Galunggung; Rahiyangtang Kedul, adeg

Batara Hiyang Buyut di Denuh; Rahiyangtang Mandiminyak adeg di Galuh.

Carék Sang Resi Guru, "Karunya aing ka Rahiyang Sempakwaja hanteu diboga [18] éwé.

Anaking Pwah Rababu! Kita leumpang husir Rahiyang Sempakwaja, kéna inya

pideungeuneun siya satapa."

Sang Resi ngagisik tipulung [19] jadi jalalang bodas, leumpang ngahusir Rahiyang

Sempakwaja, eukeur melit [20].

Carék Rahiyang Sempakwaja, "Na naha jalalang bodas éta?"

Top sumpit. Nya mana dihusir, dék nyumpit inya. Kapanggih Pwah Rababu eukeur

mandi di Sanghiyang Talaga Candana.

Carék Rahiyang Sempakwaja, "Ti mana kéh, éta nu mandi?"

Éta diléléd sampingna ku sumpit. Beunang diléléd. Aya deungeunna Pwah Aksari kalih,

tuluy lalumpatan ka tegal. Pwah Rababu dicokot ku Rahiyang Sempakwaja, dipirabi,

dikasiahan na Pwah Rababu. Nya mana diseuweu, inya Rahiyang Purbasora, Rahiyang

Demunawan, dwaan sapilanceukan.


VI


Ngareungeu tatabeuhan humung gumuruh tanpa parungon [21], tatabeuhan di Galuh.

Pulang ka Galuh teter nu ngigel.

Sadatang ka buruan ageung, carék Rahiyangtang Mandiminyak, "Sang Apatih, na saha

éta?"

"Béjana nu ngigel di buruan ageung."

"Éta bawa sinjang saparagi, iweu kéh pamalaan aing. Téhér bawa ku kita keudeukeudeu!"

Leumpang sang apatih ka buruan ageung, dibaan ka kadatwan na Pwah Rababu.

Dipirabi ku Rahiyangtang Mandiminyak, dirabi kasiahan na Pwah rababu. Diseuweu

patemuan, dingaranan Sang Salah.



VII


Carék Rahiyang Sempakwaja, "Rababu leumpang! Ku siya bwatkeun budak éta ka

Rahiyangtang Mandiminyak. Anteurkeun patemuan siya Sang Salahtwah."

Leumpang Pwah Rababu ka Galuh.

"Aing dititah ku Rahiyang Sempakwaja mwatkeun budak éta, beunang siya ngeudeungeudeu

aing téh."

Carék Rahiyangtang Mandiminyak, "Anak aing tu kita, Sang Salah."

Carék Rahiyangtang Mandiminyak, "Sang Apatih, ku siya teundeun kana jambangan.

Bawa ka tegal!"

Dibawa ku sang apatih ka tegal, sapamungkur [22] sang apatih, ti tegal metu ikang

aprama [23] tog ka langit, kabireungeuh ku Rahiyangtang Mandiminyak.

"Sang Apatih, husir deui teundeun siya, budak ta!"

Dihusir ku sang apatih ka tegal, kasondong hirup. Dibaan ka hareupeun Rahiyangtang

Mandiminyak. Dingaranan Sang Sénna.


VIII


Lawasniya ratu tujuh tahun. Na Rahiyangtang Mandiminyak disilihan ku Sang Séna.

Lawasniya ratu tujuh tahun, disilih-jungkat ku Rahiyang Purbasora. Na Sang Séna

diintarkeun ka Gunung Marapi, diseuweu Rakéyan Jambri.

Ageung [24] sakamantrian, lunga ka Rahiyangtang Kedul, ka Denuh [25], ménta

dibunikeun.

Carék Rahiyangtang Kedul, "Putu aing mumul kapangkukan ku siya, sugan siya

kanyahoan ku ti Galuh. Leumpang siya husir Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang

Pandawa ring Kuningan, deung anak saha tu [26] siya?"

Carék Rakéyan Jambri, "Aing anak Rahiyang Sang Séna. Dijungkat, diintarkeun ku

Rahiyang Purbasora."

"Lamun kitu, mawa boga kami ngasuhan. Ngan mulah mo sambut samaya aing. Moga

ulah meunang prangan; lamun siya ngalaga prang [27] ka kami. Ngan siya leumpang

maratkeun, husir Tohaan di Sunda."

Sadatang ka Tohaan di Sunda [28], tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti inya

ditinggalkeun, ngahusir Rabuyut Sawal. Carék Rabuyut Sawal, "Saha siya?"

"Aing pun seuweu Sang Séna. Aing nanyakeun pustaka bawa Rabuyut Sawal. Eusina ma

ratuning bala sariwu; pakeun séda, pakeun sakti, paméré Sang Resi Guru."

Dibikeun ku Rabuyut Sawal.

Ti inya pulang ka Galuh Rakéyan Jambri. Tuluy diprang deung Rahiyang Purbasora.

Paéh Rahiyang Purbasora.

Lawasniya ratu tujuh tahun. Disilihan ku Rakéyan Jambri, inya Rahiyang Sanjaya.


IX


Carék Rahiyang Sanjaya, "Sang Apatih, leumpang siya, nanya ka Batara Dangiyang Guru

ku piparintaheun urang inih!"

Sadatang sang apatih ka Galunggung, carék Batara Dangiyang Guru, "Na naha béja siya,

Sang Apatih?"

"Pun, kami dititah ku Rahiyang Sanjaya ménta piparintaheun [29], adi Rahiyang

Purbasora."

Hanteu dibikeun ku Batara Dangiyang Guru. Carék Batara Dangiyang Guru, "Rahiyang

Sanjaya, leumpang nyandogé manéh. Éléhkeun Guruhaji Pagerwesi, éléhkeun Guruhaji

Mananggul, éléhkeun Guruhaji Tepus, éléhkeun Guruhaji Balitar. Lunga Rahiyang

Sanjaya; éléhkeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan.

Nyandogé na kasaktian, kénana ta Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring

Kuningan, hanteu kawisésa Dangiyang Guru. Mana ingéléhkeun, inya sakti."

Rahiyang Sanjaya ka Kuningan, tuluy diprang. Éléh Rahiyang Sanjaya. Digérékan, teka

ring loh Kuningan [30], undur Rahiyang Sanjaya.

"Dara [31] aing para dinih, digérékan. Éléh [32] pun kami."

Ti inya pulang deui ka Galuh, Rahiyang Sanjaya.

Sang Wulan, Sang Tumanggal pulang deui ka Arilé. Rahiyang Sanjaya tuluy marék ka

Batara Dangiyang Guru. Carék Batara Dangiyang Guru, "Rahiyang Sanjaya, naha béja

siya datang ka dinih?"

"Aya pun béja kami, pun kami dipiwarang, éléh pun kami, supén pun kami [33]. Kami

meunang ku jadi, pun gumanti diboroan ku Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang

Pandawa ring Kuningan."

Pulang deui Rahiyang Sanjaya ka Galuh.


X


Carék Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang pandawa ring Kuningan, "Mawa pisajieun

leumpang ka Galunggung, widihan sajugala ma, palangka wulung, munding

satempahan [34], bras sapadangan."

Sateka siya ka Galunggung, mandeg ring Pakembangan. Kasondong ku Pakembangan,

majar ka Batara Dangiyang Guru. Carék Dangiyang Guru, "Naha béja siya?"

"Pun Batara Dangiyang Guru! Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di

Kuningan."

"Bagéa amat, siya datang ka dinih. Leumpang siya ka Galuh. Ala Rahiyang Sanjaya,

mangka mawa pisajieun; widihan sajugala ma, saha palangka wulung, munding

satémpahan [35], kawali wesi, bras sapadangan."

Sadatang siya ka Galuh, carék Rahiyang Sanjaya, "Naha béja siya, Pakembangan?"

"Kami pun disuruh ku Dangiyang Guru. Rahiyang Sanjaya mangka nu sangkep mawa

pisajieun. Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan."

Lunga Rahiyang Sanjaya. Téka ri hareupeun Dangiyang Guru, carék Batara Dangiyang

Guru, "Rahiyang Sanjaya! Lamun kawisésa ku siya Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang

Pandawa ring Kuningan, aing nurut carék siya. Ja beunang ku aing kawisésa, turut

carékéng! Ja aing wenang nuduh tan [36] katuduh. Ja aing anak déwata."

Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa ring Kuningan kawisésa ku Batara

Dangiyang Guru.

Sang Wulan dijieun Guruhaji Kajaron.

Sang Tumanggal dijieun Guruhaji Kalanggara di Balamoha.

Sang Puki jadi Guruhaji Pagerwesi.

Sang Manisri dijieun Buyuthadén Rahaséa [37], di Puntang.

Buyuthadén Tunjungputih di Kahuripan.

Buyuthadén Sumajajah di Pagajahan.

Buyuthadén Pasugihan di Batur.

Buyuthadén Padurungan di Lembuhuyu.

Buyuthadén Darongdong di Balaraja.

Buyuthadén Pagergunung di Muntur.

Buyuthadén Muladarma di Parahiyangan.

Buyuthadén Batutihang di Kuningan.


XI


Rahiyang Sanjaya kawekasan ring Medang. Ratu

ring Galuh, Sang Seuweukarma. Ikang ari ratu Galuh, mananem sarwijagih Dadalem

gawey puja, lilir désa, séwabakti ring Batara Upati.

Rahiyangtang Wéréh, maka siya dingaran Rahiyangtang Wéréh, masa siya tinggal anak

sapilanceukan.

Rahiyangtang Kedul wurung ngadeg haji, kena rohang, ja mangka ngaran Rahiyang

Sempakwaja.

Rahiyangtang Kedul wurung ngadeg ratu kena kemir, ngaran mangadeg Wikuraja.

Siya jadi Tohaan di Kuningan, anakna ditapa, tu siya seuweu Rahiyang Sempakwaja.

Ujar Rahiyang Sanjaya, "Sama sanak ring aing aki! Lamun kitu ma karah. Ulah anggeus

narahan aing aki, sang apatih!"

Ujar sang apatih, "Mangka dapet deui urang nyayangan Sanghiyang Darmasiksa, mulah

mo déngé!"

Carékna patih kalih ka Rahiyang Sanjaya, "Lamun dék jaya prangrang, mangkat ti

Galuh!"

Prangrang ka Mananggul, éléh sang ratu Mananggul, Pwanala panulak sanjata. Tuluy ka

Kahuripan, diprangrang, éléh Kahuripan, na Rahiyangtang Wulukapeu nungkul. Tuluy

ka Kadul, diprangrang, éléh Rahiyang Supena, nungkul. Tuluy ka Balitar [38], diprang,

éléh sang ratu Bima.

Ti inya Rahiyang Sanjaya nyabrang ka désa Malayu. Diprang di Kemir, éléh

Rahiyangtang Gana. Diprang deui ka Keling, éléh Sang Sriwijaya. Diprangrang ka Barus,

éléh Ratu Jayadana. Diprang ka Cina, éléh Patih Sarikaladarma.

Pulang Rahiyang Sanjaya ka Galuh ti sabrang.

Ndéh humeneng.


XII


Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma di Arile, diheueumdeungna para patih; gusti

winekasan pangajaran kaparamartan.

"Nam urang marek, mawa tanggung ka Rahiyang Sanjaya. Mupu omas sakati, gangsal

(buhniya), bawaeun urang ka Rahiyang Sanjaya."

Ti inya diheueum deui di Galuh deu(ng) para patih kali(h).

"Nam, urang nyieun labur di jalan gedé pakeun nyungsung Sang Seuweukarma, ja turut

Rahiyangtang Kuku."

Sateka ka sisi(m)pang(an) ka Galuh deung ka Galunggung, disungsung, disocaan.

Ujar Rahiyangtang Kuku, "Sang apatih, bawa kami marék ka Rahiyang Sanjaya. Ornas

sakati, gangsal boéhniya."

Ujar sang apatih, "Pun Tohaan! Hanteu dipilarang na omas na beusi ku Rahiyang

Sanjaya, hengan huripna urang réa dipilarang."

Andéh kahimengan Rabiyangtang Kuku, pulang deui ka Arile.

Diheueum deungna para patih kalih.

Ujar Rahiyangtang Kuku, "Na naha pakeun urang bakti ka Rahiyang Sanjaya?"


XIII


Sakitu ménakna, ini tangtu Rahiyang Sempakwaja.

Ndéh nihan ta ujar Rahiyangtang Kuku, lunga ka Arile, ngababakan na Kuningan.

Kareungeu ku Rahiyangtang Kuku, inya Sang Seuweukarma ngadeg di Kuningan,

seuweu Rahiyang Sempakwaja; ramarénana pamarta ngawong rat kabéh.

Dayeuh paradayeuh, désa paradésa, nusa paranusa. Ti KeIing bakti ka Rahiyangtang

Kuku: Rahiyangtang Luda di Puntang. Rahiyangtang Wulukapeu di Kahuripan.

Rahiyangtang Supremana di Wiru. Rahiyang Isora di Jawa. Sang ratu Bima di Bali. Di

kulon di Tungtung Sunda nyabrang ka désa Malayu: Rahiyangtang Gana ratu di Kemir.

Sang Sriwijaya di Malayu. Sang Wisnujaya di Barus. Sang Brahmasidi di Keling.

Patihnira Sang Kandarma di Berawan. Sang Mawuluasu di Cimara-upatah. Sang

Pancadana ratu Cina. Pahi kawisésa, kena inya ku Rahiyangtang Kuku. Pahi

ngadegkeun haji sang manitih Saunggalah. Pahi ku Sang Seuweukarma kawisésa, kena

mikukuh tapak Dangiyang Kuning.

Sangucap ta Rahiyang Sanjaya di Galuh, "Kumaha sang apatih, piparéntaheun urang?

Hanteu di urang dipikulakadang ku Rahiyangtang Kuku. Sang apatih, leumpang,

dugaan ku kita ka Kuningan. Sugan urang dipajar koyo ilu dina kariya, ja urang hanteu

dibéré nyahoan, daék lunga."

Sang patih teka maring Kuningan, marék ka kadaton, umun [39] bakti ka Rahiyangtang

Kuku.

Ujar Rahiyangtang Kuku, "Deuh sang apatih, na naha na béja kita, mana kita datang ka

dinih?"

Ujar sang apatih, "Kami pun dititahan Rahiyangtang Sanjaya. Disuruh ngadugaan ka

dinih. Saha [40] nu diwastu dijieun ratu?"

Carék Rahiyangtang Kuku, "U sang apatih, yogya aing diwastu dijieun ratu ku na urang

réa. Ngan ti Rahiyang Sanjaya ma hanteu nitah ku dék kulakadang deung hamo ka

kami, ja bogoh maéhan kulakadang baraya. Ja aing ogé disalahkeun ka Kuningan ku

Rahiyang Sempakwaja. Aing beunang Rahiyang Sempakwaja nyalahkeun ka Kuningan

ini. Mana aing mo dijaheutan ku Rahiyang Sanjaya."

Pulang deui sang apatih ka Galuh. Ditanya ku Rahiyang Sanjaya, "Aki, kumaha carék

Rahiyangtang Kuku ka urang?"

"Pun Rahiyang Sanjaya! Rahiyangtang Kuku teu meunang tapana. Mikukuh Sanghiyang

Darma kalawan Sanghiyang Siksa. Nurut talatah Sang Rumuhun, ngawayangkeun awak

carita. Boh kéh ku urang turut tanpa tingtimanana. Biyaktakeun ku urang, ja urang

sarwa kaputraan, urang deung [41] Tohaan pahi anak déwata.

Ndéh inalap pustaka ku Rahiyang Sanjaya. Sadatang inungkab ikang pustaka. Sabdana

tangkarah,

"Ong awignam astu krétayugi balem raja kretayem rawanem sang tata dosamem, sewa

ca kali cab pratesora sang aparanya ratuning déwata sang adata adininig ratu déwata

sang sapta ratu na caturyuga."

"Dah umangen-angen ta Sang Resi Guru sidem magawéy Sang Kandiawan lawan Sang

Kandiawati. Mangkana manak Rahiyangtang Kulikuli, Rahiyangtang Surawulan,

Rahiyangtang Pelesawi. Rahiyangtang Rawunglangit, kamiadi Sang Wretikandayun.

Sang Wretikandayun mangka manak Rahiyangtang Sempakwaja, Rahiyangtang

Mandiminyak. Rahitangtang Mandiminyak mangka manak Sang Séna, Rahiyang Sang

Séna mangka manak Rahiyang Sanjaya."

Bo geulisan Dobana bawa bahetra piting deupa, bukana bwatan sarwo sanjata.

"Urang ka nusa Demba!"

Data sira lunga balayar.

Kareungeu ku Sang Siwiragati. Dek mwatkeun Pwah Sang kari Pucanghaji Tunjunghaji

ditumpakkeun dina liman putih. Dék ngajangjang turut buruan; momogana teka

Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma ka nusa Demba, tuluy ka kadatwan, calik

tukangeun Sang Siwiragati.

Rahiyangtang Kuku dihusir ku liman putih, lumpat ka buruan mawa Pwah Sangkari.

Hanteu aya pulang deui ka kadatwan liman putih ta, bakti ka Rahiyangtang Kuku.

Pulang deui Rahiyangtang Kuku ka Arile, dibawa na liman putih deung Pwah Sangkari.

Manguni:

"Naha hanteu omas saguri, sapetong, sapaha sapata-payan?" Tuluy ka Galuh ka

Rahiyang Sanjaya, hanteu sindang ka Arile. Dibawa na liman putih, dirungkup ku

lungsir putih tujuh kayu diwatang ku premata mas mirah komara hinten.

Datang siya ti désa Demba, tuluy ka kadatwan. Sateka Rahiyangtang Kuku ring kadaton,

mojar ka Rahiyang Sanjaya. naha suka mireungeuh liman putih.

Tanyana: "Mana?"

"Tuluy dipitutunggangan, diaseukeun Pwah Sangkari ka Rahiyang Sanjaya. Sateka ring

dalem hanteu pulang deui.

Dah Rahiyang Sanjaya: "Naha tu karémpan? Aing ayeuna kreta, aing deung bapangku,

Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma. Hanteu ngalancan aing ayeuna. Ajeuna nu

tangkarah:

"Alas Dangiyang Guru di tengah, alas Rahiyang Isora di wétan paralor Paraga deung

Cilotiran, ti kulon Tarum, ka kulon alas Tohaan di Sunda."

Dah sedeng pulang Rahiyangtang Kuku ka Arile, sadatang ka Arile panteg hanca di

bwana, ya ta sapalayaga dirgadisi lodah.

Mojar Rahiyang Sanjaya, ngawarah anaknira Rakéan Panaraban, inya Rahiyang

Tamperan: "Haywa dék nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang réya."

Lawasniya ratu salapan tahun,disiliban ku Rahiyang Tamperan.


XV


Tembey Sang Resi Guru ngayuga taraju Jawadipa, taraju ma inya Gulunggung, Jawa ma

ti wétan.

Di pamana Sunda hana pandita sakti, ngaraniya Bagawat Sajalajala, pinejahan tanpa

dosa. Mangjanma inya Sang Manarah, anak Rahiyang Tamperan, dwa sapilanceukan

denung Rahiyang Banga.

Sang Manarah males hutang; Rahiyang Tamperan sinikep deneng anaknira. Ku Sang

Manarah dipanjara wesi na Rahiyang Tamperan.

Datang Rahiyang Banga, ceurik, teher mawakeun sekul kana panjara wesi, kanyahoan

ku Sang Manarah. Tuluy diprangrang deung Rahiyang Banga. Keuna mukana Rahiyang

Banga ku Sang Manarah.

Ti inya Sang Manarah adeg ratu di Jawa pawwatan.

Carék Jawana, Rahiyang Tamperan lawasniya adeg ratu tujuh tahun, kena twah siya

bogoh ngarusak nu ditapa, mana siya hanteu heubeul adeg ratu.

Sang Manarah, lawasniya adeg ratu dalapanpuluh tahun, kena rampés na agama.

Sang Manisri lawas adeg ratu geneppuluh tahun, kena isis di Sanghiyang Siksa.

Sang Tariwulan lawasniya ratu tujuh tahun.

Sang Welengan lawasniya ratu tujuh tahun.


XVI


Ndéh nihan tembey Sang Resi Guru

miseuweukeun Sang Haliwungan, inya Sang Susuktunggal nu munar na Pakwan

reujeung Sanghiyang Haluwesi, nu nyaeuran Sanghiyang Rancamaya.

Mijilna ti [42] Sanghiyang Rancamaya:

"Ngaran kula ta Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiyang

banaspati."

Sang Susuktunggal inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga

Maharajadiraja, ratu haji di Pakwan Pajajaran. Nu mikadatwan Sri-bima-untarayanamadura-

suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratudéwata.

Kawekasan Sang Susuktunggal, pawwatanna lemah suksi, lemah hadi, mangka premana

raja utama.

Lawasniya ratu saratus tahun.


XVII


Rahiyang Banga lawasnia ratu tujuh tahun, kena twah siya, mo makéyan agama bener.

Rakéyanta ri Medang lawasniya adeg ratu tujuh tahun.

Rakéyanta Diwus lawasniya ratu opatlikur tahun.

Rakéyanta Wuwus lawasniya ratu tujuhpuluhdua tahun.

Sang lumahing Hujung Cariang, lawasniya ratu telu tahun, kaopatna panteg kena salah

twah, daék ngala éwé sama éwé.

Rakéyan Gendang lawaniya ratu telulikur tahun.

Déwa Sanghiyang lawasniya ratu tujuh tahun.

Prebu Sanghiyang lawasniya ratu sawelas tahun.

Prebu Ditiya Maharaja lawasniya ratu tujuh tahun.

Sang lumahing Winduraja lawasniya ratu telulikur tahun.

Sang lumahing Kreta lawasniya ratu salapanpuluhdua tahun, kena mikukuh na twah

rampés, turun na kretayuga.

Disiliban deui ku Sang lumahing Winduruja, teu heubeul adeg, lawasniya ratu

dalapanwelas tahun.

Disilihan deui ku Sang Rakéyan Darmasiksa, pangupatiyan Sanghiyang Wisnu, inya nu

nyieun sanghiyang binayapanti, nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang

resi, ti sang disri, ti sang tarahan, tina parahiyangan.

Ti naha bagina?

Ti sang wiku nu ngawakan jati Sunda, mikukuh Sanghiyang Darma ngawakan

Sanghiyang Siksa.

Lawasniya ratu saratuslimapuluh tahun.

Manak Sang lumahing Taman lawasniya ratu genep tahun.

Manak deui Sang lumahing Tanjung, lawasnija ratu dalapan tahun.

Manak Sang lumahing Kikis, lawasniya ratu dwalikur tahun.

Sang lumahing Kiding, lawasniya ratu sapuluh tahun.

Manak Aki Kolot, lawasniya ratu sapuluh tahun.


XVIII


Manak deui Prebu Maharaja, lawasniya ratu tujuh tahun, kena kabawa ku kalawisaya,

kabancana ku seuweu dimanten, ngaran Tohaan. Mundut agung dipipanumbasna.

Urang réya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakian di Sunda. Pan prangrang di

Majapahit.

Aya na seuweu Prebu, wangi ngaranna, inyana Prebu Niskalawastu Kancana nu surup di

Nusalarang ring giri Wanakusuma. Lawasniya ratu saratusopat tahun, kena rampés na

agama, kretajuga.

Tandang pa ompong jwa pon, kenana ratu élé h ku satmata. Nurut nu ngasuh Hiyang

Bunisora, nu surup ka Gegeromas. Batara Guru di Jampang.

Sakitu nu diturut ku nu mawa lemahcai.

Batara Guru di Jampang ma, inya nu nyieun ruku Sanghiyang Pak é, basa nu wastu

dijieun ratu. Beunang nu pakabrata séwaka ka d éwata [43]. Nu di tiru ogé paké

Sanghiyang Indra, ruku ta.

Sakitu, sugan aya nu d ék nurutan inya twah nu surup ka Nusalarang. Daé k él éh ku

satmata. Mana na kretajuga, él éh ku nu ngasuh.

Nya mana sang rama énak mangan, sang resi é nak ngaresisasana, ngawakan na

purbatisti, purbajati. Sang disri énak masini ngawakan na manusasasana, ngaduman

alas pari-alas. Ku b éét hamo diukih, ku gedé hamo diukih. Nya mana sang Tarahan

énak lalayaran ngawakan manu-rajasasana. Sanghiyang apah, teja, bayu, akasa, sangbu

énak-énak,ngalungguh di sanghiyang Jagatpalaka. Ngawakan sanghiyang rajasasana,

angadeg wiku énak di Sanghiyang Linggawesi, brata siya puja tanpa lum. Sang wiku

énak ngadéwasasana ngawakan Sanghiyang Watang Ageung, énak ngadeg manu-rajasuniya.

Tohaan di Galuh, inya nu surup di Gunungtiga. Lawasniya ratu tujuh tahun, kena salah

twah bogoh ka é stri larangan ti kaluaran.


XIX


Disilihan ku Prebu, naléndraputra premana, inya Ratu Jayadéwata, sang mwakta ring

Rancamaya, lawasniya ratu telupuluhsalapan tahun.

Purbatisti, purbajati, mana mo kadatangan ku musuh ganal, musuh alit. Suka kreta tang

lor, kidul, kulon, wétan, kena kreta rasa.

Tan kreta ja lakibi dina urang réya, ja loba di Sanghiyang Siksa.


XX


Disilihan inya ku Prebu Surawisésa, inya nu surup ka Padaré n, kasuran, kadiran,

kuwamén.

Prangrang limawelas kali hanteu éléh, ngalakukeun bala sariwu.

Prangrang ka Kalapa deung Aria Burah. Prangrang ka Tanjung. Prangrang ka Ancol

kiyi. Prangrang ka Wahanten girang. Prangrang ka Simpang. Prangrang ka Gunungbatu.

Prangrang ka Saungagung. Prangrang ka Rumbut. Prangrang ka Gunung. Prangrang ka

Gunung Banjar. Prangrang ka Padang. Prangrang ka Panggoakan. Prangrang ka

Muntur. Prang rang ka Hanum. Prangrang ka Pagerwesi. Prangrang ka

Medangkahiyangan.

Ti inya nu pulang ka Pakwan deui. hanteu nu nahunan deui, panteg hanca di bwana.

Lawasniya ratu opatwelas tahun.


XXI


Prebu Ratudé wata, inya nu surup ka Sawah-tampian-dalem. Lumaku ngarajaresi. Tapa

Pwah Susu.

Sumbé lé han niat tinja bresih suci wasah. Disunat ka tukangna, jati Sunda teka.

Datang na bancana musuh ganal, tambuh sangkané. Prangrang di burwan ageung.

Pejah Tohaan Saréndét deung Tohaan Ratu Sanghiyang.

Hana pandita sakti diruksak, pandita di Sumedeng. Sang panadita di Ciranjang

pinejahan tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri Iinabuhaken ring

sagara.

Hana sang pandita sakti hanteu dosana. Munding Rahiyang ngaraniya linabuhaken ring

sagara tan keneng pati, hurip muwah, moksa tanpa tinggal raga teka ring duniya.

Sinaguhniya ngaraniya Hiyang Kalingan. Nya iyatnajatna sang kawuri, haywa ta sira

kabalik pupuasaan.

Samangkana ta pr écinta.

Prebu Ratudé wata, lawasniya ratu dalapan tahun, kasalapan panteg hanca dina bwana.


XXII


Disilihan ku Sang Ratu Saksi Sang Mangabatan ring Tasik, inya nu surup ka

Péngpéléngan. Lawasniya ratu dalapan tahun, kenana ratu twahna kabancana ku estri

larangan ti kaluaran deung kana ambutéré. Mati-mati wong tanpa dosa, ngarampas

tanpa prégé, tan bakti ring wong-atuha [44], asampé ring sang pandita.

Aja tinut d é sang kawuri, polah sang nata.

Mangkana Sang Prebu Ratu, carita inya.


XXIII


Tohaan di Majaya alah prangrang, mangka tan nitih ring kadatwan. Nu ngibuda

Sanghiyang Panji, mahayu na kadatwan, dibalay manelah taman mihapitkeun dora

larangan. Nu migawe bale-bobot pituweJas jajar, tinulis pinarada warnana cacaritaan.


XXIV


Hanteu ta yuga dopara kasiksa tikang wong sajagat, kreta ngaraniya. Hanteu nu

ngayuga sanghara, kreta, kreta.

Dopara luha gumenti tang kali. Sang Nilak éndra wwat ika sangké lamaniya

manggirang, lumekas madumdum cereng. Manganugraha weka, hatina nunda

wisayaniya, manurunaken pretapa, putu ri patiriyan. Cai tiningkalan nidra wisaya ning

baksa kilang.

Wong huma darpa mamangan, tan igar yan tan pepelakan [45]. Lawasniya ratu kampa

kalayan pangan, ta tan agama gayan kewaliya mamangan sadirasa nu surup ka sangkan

beunghar.

Lawasniya ratu genepwelas tahun.


XXV


Disilihan ku Nusiya Mulia. Lawasniya ratu sadewidasa [46], tembey datang na prebeda.

Bwana alit sumurup ring ganal, metu sanghara ti Selam.

Prang ka Rajagaluh, élé h na Rajagaluh. Prang ka Kalapa, él éh na Kalapa. Prang ka

Pakwan, prang ka Galuh, prang ka Datar, prang ka Madiri, prang ka Paté gé, prang ka

Jawakapala, él éh na JawakapaJa. Prang ka Galé lang. Nyabrang, prang ka Salajo, pahi éléh ku Selam.

Kitu, kawisésa ku Demak deung ti Cirebon [47], pun.

Teks Carita Parahyangan 24 Mar 2010, 4:12 am
Dicutat tina

Atja (1968) Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda. Bandung:

Jajasan Kebudajaan Nusalarang



Téks Carita Parahyangan


Tarjamahan dina basa Sunda kiwari:


I


Enya kieu Carita Parahiyangan teh.

Sang Resi Guru boga anak Rajaputra.

Rajaputra boga anak Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati, duaan adi lanceuk.

Sang Kandiawan teh nyebut dirina Rahiyangta Dewaradja.

Basa ngajalankeun kahirupan sacara rajaresi, ngalandi dirina Rahiangta di Medangjati,

oge katelah Sang Lajuwatang, nya mantenna nu nyieun Sanghiang Watangageung.

Sanggeusna rarabi, nya lahir anak-anakna limaan, mangrupa titisan Sang Kusika, Sang Garga, Sang Mestri, Sang Purusa, Sang Puntandjala, nya eta: Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba jeung Sang Wretikandayun.


II


Aya manuk ngaranna si Uwur-uwur, oge katelah Si Naragati, nyayang di pangjarahan Bagawat Resi Makandria. Anakna dihakan ku jaluna. Dicarekan ku bikangna.

Carek bikangna: "Kacida hinana, lamun urang teu boga anak teh. Bireungeuh tuh

Bagawat Resi Makandria!Tatapa soteh bane bae sangsara da henteu boga anak."

Carek Bagawat Resi Makandria: "Kumaha rek boga anak. Da kawin oge henteu."

Ti dinya, carek Bagawat Resi Makandria: "Aing dek indit ka Sang Resi Guru, ka

Kendan."

Manehna datang ka Kendan.

Carek Sang resi Guru: "Na nahaon bejana, hidep Bagawat Resi Makandria, nu matak

datang ka dieu?" "Pangampura bae; saleresna aya piwartoseun. Dek nyuhunkeun

pirabieun. Lantaran kawartosan ku manuk si Uwur-uwur, nu nelah oge si Nagaragati.

Sanggemna kacida hinana, lamun urang teu gaduh anak."

Carek Sang resi Guru: "Jig hidep ti heula ka patapan deui. Anaking Pwah Rababu

geuwat susul Bagawat Resi Makndria. Lantaran nya manehna pijodoeun hidep teh,

anaking."

Pwah Rababu terus nyusul, dating ka patapan Sang Resi Makandria, teu diaku rabi.

Kabireungeuheun aya widadari geulis, ngarupakeun Pwah Mandjangandara, nya geuwat

Rasi Makandria ngajadikeun dirina Kebowulan. Terus sanggama.

Carek Sang Resi Guru: "Enten, anaking Pwah Sanghiang Sri! Jig hidep indit ngajadi ka

lanceuk hidep, ka Pwah Aksari Jabung."

Ti dinya Pwah Sanghiang Sri indit sarta terus nitis, nya lahir Pwah Bungatak

Mangalengale.


III


Carek sang Mangukuhan: "Nam adi-adi sadaya urang moro ka tegalan."

Sadatang ka tegalan, kasampak Pwah Manjangandara reujeung Rakean Kebowulan.

Diudag ku limaan, sarta beunangna pada jangji, yen saha anu pangheulana keuna

numbakna, nya manehna piratueun.

Keuna ditumbak ku Sang Wretikandayun, Kebowulan jeung Pwah Manjangandara teh.

Kebowulan lumpat ka patapan, sadatangna hos bae paeh.

Ku Sang Wretikandayun dituturkeun, kasampak pwah Bungatak Mangalengale keur

nyusu ka Pwah Manjangandara.

Pwah Bungatak Mangalengale teh ku Sang Wretikandayun di bawa mulang ka Galuh, ka

Rahiangta di Medangjati.


IV


Rahiyangan di Medangjati lawasna ngadeg ratu limawelas taun. Diganti ku Sang

Wretikandayun di Galuh, bari migarwa Pwah ngatak Mangalengale.

Ari Sang Mangukuhan jadi tukang ngahuma, Sang Karungkalah jadi tukang moro, Sang

Katungmaralah jadi tukang nyadap sarta Sang Sandanggreba jadi padagang.

Nya ku Sang Wreti Kandayun Sang Mangukuhan dijungjung jadi Rahiangtung Kulikuli,

Sang Karungkalah jadi Rahiangtang Surawulan, Sang Katungmaralah jadi Rahiyangtang

Pelesawi, Sang Sandanggreba jadi Rahiangtang Rawunglangit.

Sabada Sang Wretikendayun ngadeg ratu di Galuh, nya terus ngajalankeun kahirupan

sacara rajaresi sarta ngalandi dirina jadi Rahiangta di Menir. Dina waktu bumenbumen,

harita teh nya nyusun Purbatisti.

Lawasna jadi ratu salapanpuluh taun. Diganti ku Rahiang Kulikuli, lawasna jadi ratu

dalapanpuluh taun. Diganti ku Rahiangtang Surawulan, lawasna jadi ratu genep taun,

katujuhna diturunkeun, lantaran goring lampah. Diganti ku Rahiangtang Pelesawi,

lawasna jadi ratu saratusdualikur taun, lantaran hade lampah. Diganti ku Rahiangtang

Rawunglangit, lawasna geneppuluh taun.


V


Diganti ku Rahiangtang Mandiminyak.

Anak Rahiangta di Menir teh aya tiluan, nu cikal nya Rahiang Sempakwaja, ngadeg

Batara Dangiang Guru di Galunggung; Rahiangtang Kidul, ngadeg Batara Hiang Buyut

di Denuk; Rahiangtang Mandiminyak ngadeg ratu di Galuh.

Carek Sang Resi Guru: "Karunya aing ku Rahiang Sempakwaja henteu boga pamajikan.

Anaking Pwah Rababu! Hidep leumpang ungsi Rahiang Sempakwaja, lantaran aya

manehna pibatureun hidep tatapa."

Sang Resi Guru ngagesek totopong jadi jaralang bodas, nya indit nyampeurkeun

Rahiang Sempakwaja, nu harita kabeneran keur ngawelit.

Carek Sanghiang Sempakwaja: "Na naha nya aya jaralang bodas etah?"

Cop nyokot sumpit, terus diudag rek disumpit. Pwah Rababu kapanggih eukeur mandi

di talaga Candana.

Carek Rahiang Sempakwaja: "Ti ma etah nu mandi?" Sampingna dileled ku sumpit,

beunang. Aya baturna para Pwah Aksari, tuluy lalumpatan ka tegalan.

Pwah Rababu dibawa ku Rahiang Sempakwaja, dipirabi. Kacida dipikaasihna. Nya lahir

anakna lalaki duaan, nya eta Rahiang Purbasora jeung Rahiang Demunawan.


VI


Barang ngadenge tatabeuhan ngaguruh teu puguh rungukeuneunana, tatabeuhan di

Galuh, Pwah Rababu terus mulang ka Galuh di dinya teh taya kendatna nu ngigel.

Sadatangna kaburuan ageung, cek Rahiangtang Mandiminyak: "Patih, na naon eta

ateh?"

"Bejana nu ngigel di buruan ageung!"

"Eta bawa pakean awewe sapangadeg, sina marek ka dieu. Keun tanggungan aing.

Geuwat bawa sacara paksa!"

Patih indit ka buruan ageung. Pwah Rababu dibawa ka kadaton. Dipirabi ku

Rahiangtang Mandiminyak. Kacida bogohna ka Pwah Rababu. Tina sapatemonna, nya

lahir anak lalaki dingaranan Sang Sena.


VII


Carek Rahiang Sempakwaja: "Rababu jig indit. Ku sia bikeun eta budak ka Rahiangtang

Mandiminyak, hasil jinah sia, Sang Salahlampah."

Rababu tuluy leumpang ka Galuh.

"Aing dititah ku Rahiang Sempakwaja mikeun budak ieu, beunang sia ngagadabah aing

tea."

Carek Rahiangtang Mandiminyak: "Anak aing maneh teh, Sang Salah?"

Carek Rahiangtang Mandiminyak deui: "Patih ku sia budak teh teundeun kana

jambangan. Geus kitu bawa kategalan!"

Dibawa ku patih ka tegalan, Samungkurna patih, ti eta tegalan kaluar kila-kila nepi ka

awang-awang. Kabireungeuh ku Rahiangtang Mandiminyak.

"Patih teang deui teundeun sia nu aya budakna tea!"

Ku patih diteang ka tegalan, kasampak hirup keneh. Terus dibawa ka hareupeun

Rahiangtang Mandiminyak. Dingaranan Sang Sena.


VIII


Lawasna jadi ratu tujuh taun, geus kitu Rahiangtang Mandiminyak diganti ku Sang

Sena. Lawasna jadi ratu tujuh taun, diganti lantaran dilindih ku Rahiang Purbasora.

Kajaba ti eta Sang Sena dibuang Gunung Merapi, boga anak Rakean Jambri.

Sanggeusna manehna sawawa indit ka Rahiangtang Kidul, ka Denuh, menta

dibunikeun.

Carek Rahiangtang Kidul: "Putu, aing sangeuk kacicingan ku sia, bisi sia kanyahoan ku

ti Galuh. Jig ungsi Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,

sarta anak saha sia teh?"

Carek Rakian Jambri: "Aing anak Sang Sena. Direbut kakawasaanana, dibuang ku

Rahiang Purbasora."

"Lamun kitu aing wajib nulungan. Ngan ulah henteu digugu jangji aing. Muga-muga

ulah meunang, lamun sia ngalawan perang ka aing. Jeung deui leuwih hade sia indit ka

tebeh Kulon, jugjug Tohaan di Sunda."

Sadatangna ka Tohaan di Sunda, tuluy dipulung minantu ku Tohaan di Sunda. Ti dinya

ditilar deui da ngajugjug ka Rabuyut Sawal.

Carek Rabuyut sawal: "Sia teh saha?"

"Aing anak Sang Sena. Aing nanyakeun pustaka bogana Rabuyut Sawal. Eusina teh,

'retuning bala sarewu', anu ngandung hikmah pikeun jadi ratu sakti, pangwaris Sang

Resi Guru."

Eta pustaka teh terus dibikeun ku Rabuyut sawal. Sanggeus kitu Rakean jambri miang

ka Galuh.

Rahiang Purbasora diperangan nepi ka tiwasna. Rahiang Purbasora jadina ratu ngan

tujuh taun. Diganti ku Rakean Jambri, jujuluk Rahiang Sanjaya.


IX


Carek Rahiang Sanjaya: "Patih, indit sia, tanyakeun ka Batara Dangiang Guru, saha

kituh anu pantes pikeun nyekel pamarentahan di urang ayeuna."

Sadatangna patih ka Galunggung, carek Batara Dangiang Guru: "Na aya pibejaeun

naon, patih?"

"Pangampura, kami teh diutus ku Rahiang Sanjaya, menta nu bakal marentah, adi

Rahiang purbasora."

Hanteu dibikeun ku Batara dangiang Guru.

Carek Batara Dangiang Guru: "Rahiang Sanjaya, indit beunangkeun ku sorangan.

Elehkeun Guruhaji Pagerwesi, elehkeun Wulan, Sang Tumanggal, elehkeun Guruhaji

Tepus jeung elehkeun Guruhaji Balitar. Jig indit Rahiyang Sanjaya; elehkeun Sang

Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan. Maranehna meunang kasaktian,

nu ngalantarankeun Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan henteu

kabawah ku dangiang Guru. Lamun kaelehkeun bener maneh sakti."

Rahiang Sanjaya tuluy perang ka Kuningan. Eleh Rahiang Sanjaya diubeuber, nepi ka

walungan Kuningan. Rahiang Sanjaya undur.

"Teu meunang hanteu aing kudu ngungsi ka dieu, lantaran diudag-udag, kami kasoran."

Ti dinya Rahiang Sanjaya mulang deui ka Galuh, Sang Wulan, Sang Tumanggal mulang

deui ka Arile.

Rahiang Sanjaya tuluy marek ka Batara Dangiang Guru, Carek Batara Dangiang Guru:

"Rahiang Sanjaya, naon pibejaeun sia, mana sia datang ka dieu?"

"Nya eta aya pibejaeun, apan kami dipiwarang, tapi kami eleh. Ti mana kami unggulna,

anggur kami diuber-uber ku Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di

Kuningan." Sanggeus kitu Rahiang Sanjaya tuluy mulang ka Galuh.


X


Carek Sang Wulan, Sang Tumanggal, sang Pandawa di Kuningan: "Mawa pisajieun,

urang miang ka Galunggung, pakean lalaki sapangadeg, pangcalikan, munding sarakit

(?), beas sacukupna pikeun dahar."

Sadatang ka Galunggung, eureun di Pakembangan. Kasampak ku (Sang) Pakembangan.

tuluy popojan ka Batara Dangiang Guru.

Carek Batara Dangiang Guru: "Aya beja naon?"

"Pun Batara Dangiang Guru! Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di

Kuningan."

"Kacida bagjana sia datang ka dieu. Jung miang ka Galuh. Ondang Rahiang Sanjaya,

caritakeun, kudu mawa pisajieun, pakean lalaki sapangadeg, pangdiukan wulung,

munding sarakit (?), kawali beusi jeung beas sacukupna pikeun dahar."

Sadatang sia ka Galuh, carek Rahiyang Sanjaya: "Aya pibejaeun naon, sia

Pakembangan?"

"Kami teh dititah ku Dangiang Guru. Rahiang Sanjaya supaya mawa pisajieun

salengkepna. Aya Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan."

Rahiang Sanjaya indit.

Barang nepi ka hareupeun Dangiang Guru, carek Dangiang Guru: "Rahiang Sanjaya!

Lamun kaereh ku sia Sang Wulan, Sang Tumanggal jeung Sang Pandawa di Kuningan,

aing bakal nurut kana sagala ucapan sia. Da beunang ku aing kabawah. Turut kana

ucapan aing. Da aing wenang ngelehkeun, hanteu kasoran. Da aing anak dewata."

Sang Wulan, Sang Tumanggal, Sang Pandawa di Kuningan kabawah ku Batara

Dangiang Guru.

Sang Wulan dijenengkeun Guruhaji di Kajaron.

Sang Tumanggal dijieun Guruhaji Kalanggara di Balamoha.

Sang Pandawa di Kuningan jadi Guruhaji Lajuwatang.

Sang Puki jadi Guruhaji di Pagerwesi.

Sang Manisri dijadikeun Buyuthaden Rahesa di Puntang.

Buyuthaden Tujungputih di Kahuripan.

Buyuthaden Sumajajah di Pagajahan.

Buyuthaden Pasugihan di Batur.

Buyuthaden Darongdong di Balaraja.

Buyuthaden Pagergunung di Muntur.

Buyuthaden Muladarma di Parahiangan.

Buyuthaden Batuhiang di Kuningan.


XI


Rahiyang Sanjaya tumetep di Medang Ratu di Galuh, Sang Seuwakarma.

Ari adina Ratu Galuh, miara sabaraha hiji anak munding, nyieun padumukan pikeun

muja. Pindah-pindah tempat, sewabakti ka Batara Upati.

(Nelah) Rahiang Wereh, nu matak disebut kitu, waktu ditilar, adi lanceuk masih laleutik

keneh.

Teu tulus jadi ratu, lantaran (huntuna) rohang, mangkana katelah Rahiang

Sempakwaja. Rahiyang Kidul oge hanteu bisa jadi ratu sabab burut, nya jadi Wikuraja.

Sang Seuweukarma jadi Tohaan di Kuningan, lahirna di patapan, enya eta anak Rahiang

Sempakwaja.

Cek Rahiang Sanjaya: "Atuh masih pernah dulur aing, aki! Lamun kitu mah karah. Ulah

weleh mere bantuan ka aing, aki patih!"

Cek patih: "Muga-muga bae bisa deui urang ngamalkeun Sanghiang Darmasiksa. Ulah

teu digugu!"

Omongan para patih ka Rahiang Sanjaya: "Lamun haying unggul perang, geura

mangkat ti Galuh!" Prang ka Mananggul, eleh sang ratu Mananggul, Pu Anala

pamanggul juritna. Tuluy ka Kahuripan, diperangan, eleh Kahuripan, Rahiangtang

Wulukapeu taluk. Tuluy ka Kadul, diperangan eleh Rahiang Supena, taluk. Tuluy ka

Balitar, diperangan, eleh sang ratu Bima.

Ti dinya Rahiang Sanjaya nyabrang ka wilayah Malayu. Kemir diperangan, eleh

Rahiangtang Gana. Perang deui ka Keling, eleh Sang Sriwijaya. Perang ka Barus, eleh

ratu Jayadana. Perang ka Cina, eleh pati(h) Sarikaladarma.

Mulang Rahiang Sanjaya ka Galuh ti sabrang.

Tunda.


XII


Rahiangtang Kuku, Sang Seuweukarma di Arile, ngayakeun gempungan jeung para

patih; raja dicaritakeun hal pangajaran kaparamartaan.

"Nam urang rek marek, mawa kiriman ka Rahiang Sanjaya. Cokot emas sakati, lima

boehna, bawaeun urang ka Rahiang Sanjaya."

Dina danget eta, oge di Galuh ngayakeun kumpulan jeung para patih sakabeh.

"Nam urang nyieun labur di jalan gede pakeun ngabageakeun Sang Seuweukarma,

lantaran enya eta Rahiang Kuku."

"Barang datang ka sisimpangan ka Galuh jeung ka Galunggung, dipapag, dihormat

disayagian cai pikeun sibanyo."

Carek Rahiangtang Kuku: "Sang patih, bawa kami marek ka rahiang Sanjaya. Tah emas

sakati, lima boehna."

Carek sang patih: "Pun Tohaan! Boh emas boh beusi henteu diajenan ku Rahiang

Sanjaya. Nu diajenan teh ngan huripna jalma rea."

Rahiangtang Kuku jadi kabingungan. Terus mulang deui ka Arile. Carek Rahiangtang

Kuku: "Na naon pakeun urang bakti ka Rahiang Sanjaya?"


XIII


Sakitu mulyana, ieu tangtu Rahiang Sempakwaja. Ayeuna urang caritakeun

Rahiangtang Kuku, indit ka Arile, ngababakan di Kuningan.

Kasohor Rahiangtang Kuku, enya eta Sang Seuweukarma, ngadeg di Kuningan, anakna

Rahiang Sempakwaja. Indung bapana teh tempat panyaluuhan jalma rea.

Dayeuh, desa, pulo jeung sakurilingna: ti Keling bakti ka Rahiangtang Kuku;

Rahiangtang Luda di puntang; Rahiangtang Wulukapeu di Kahuripan; Rahiangtang

Supremana di Wiru; Rahiang Isora di Jawa sang ratu Bima di Bali (tar); di Kulon di

Tu(n)tang Sunda nyabrang ka wilayah Malayu. Rahiangtang Gana ratu di Kemir; Sang

Sriwijaya di Malayu, Sang Wisnujaya di Barus, Sang Bramasidi di Keling. Patihna Sang

Kandarma di Berawan; Sang Mawuluasu di Camara Upatah; Sang Pa(n)cadana ratu di

Cina.

Kabeh kabawah ku Rahiangtang Kuku. Kabeh ngaku ratu ka nu calik di Saunggalah.

Kabawah ku Sang Seuweukarma, sabab Ngukuhan ajaran Dangiang Kuning.

Di Galuh Rahiang Sanjaya nanyakeun: "Kumaha sang patih, pilukeun urang? Urang

hanetu dianggap kulawarga ku Rahiangtang Kuku. Sang patih! Jig indit sidikkeun ku

sorangan ka Kuningan. Bisa jadi urang dipajarkeun turut campur kana karia, padahal

urang henteu dibejaan, daek indit."

Sang patih nepi ka Kuningan, marek ka kadaton, terus ngabakti ka Rahiangtang Kuku.

Carek Rahiangtang Kuku: "Oh sang patih!Na naon bejana, mana dating ka dieu?"

Carek sang patih: "Kami dititah ku Rahiang Sanjaya. Diparentah nyidikkeun ka dieu.

Saha nu dijungjung, nu dijenengkeun ratu?"

Carek Rahiang Kuku: "Eh sang patih! Pantesna nya aing dijungjung dijenengkeun ratu

ku balarea. Ngan ti Rahiang Sanjaya mah henteu diharepkeun, lantaran kulawarga,

jeung moal ka kami mah, sabab dianggapna resep maehan kulakadang baraya. Malah

aing ditempatkeun ka Kuningan oge ku Rahiang Sempakwaja. Aing beunang Rahiang

Sempakwaja nempatkeun ka Kuningan ieu teh.

Mana aing teyu diganggu ku Rahiang Sanjaya."

Sang patih mulang ka Galuh.

Ditanya ku Rahiang Sanjaya: "Aki, kumaha carek Rahiangtang Kukuka urang?" "Pun,

Rahiang Sanjaya! Rahiangtang Kuku teh tapana kataekan. Ngagem Sanghiang Darma

kalawan Sanghiang Siksa. Tumut kana wisik Sang Rumuhun, jadi lulugu dina Hirup

kumbuh. Kukituna ku urang turut tanpa rasa gigis. Tembongkeun ku urang, da urang

jeung Tohaan teh saturunan, kabeh ge pada-pada turunan dewata."

Geuwat dicokot pustaka ku Rahiang Sanjaya. Barang nepi terus diungkab eta pustaka

teh. Unina kieu: "Ong awignam astu, kretajugi balam raja kretayem rawanem sang tata

dosamem, sewa ca kali cab pratesora sang aparanya retuning dewata, sang adata

adining ratu dewata sang sapta ratu na caturyuga. Sang Resi Guru tipekur di nu suni

ngayuga Sang Kandiawan jeung Sang Kandiawati. Nya puputra Rahiangtang Kulikuli,

Rahiangtang Surawulan, Rahiangtang Pelesawi, Rahiangtang Rawunglangit, bungsuna

Sang wretikandayun.

Sang Wretikandayun boga anak Rahiang Sempakwaja, Rahiang Kidul, Rahiangtang

Mandiminyak. Rahiangtang Mandiminyak boga anak Sang Sena, sang Sena boga anak

Rahiang Sanjaya."

Awewe geulis, Dobana mawa parahu, panjangna tujuh deupa, dibagian hareupna

dimomotan rupa-rupa pakarang.

"Urang ka nusa Demba!" Nya terus maranehanana balayar.

Kareungeu ku Sang Siwiragati. Dek ngamuatkeun Pwah Sangkari Pucanghaji

Tunjunghaji, ditumpakkeun dina gajah putih. Kakara ge leumpang sapanjang buruan.

Teu disangka-sangka Rahiangtang Kuku, Sang Seuweukarma cunduk ka nusa Demba,

tuluy ka kadaton, diuk tukangeun Sang Siwiragati.

Rahiangtang Kuku diudag ku gajah putih, lumpat ka buruan mawa Pwah Sangkari.

Henteu aya balik deui ka kadaton gajah putih teh, ngawula ka Rahiangtang Kuku.

Rahiangtang Kuku mulang deui ka Arile, dibawa dina gajah putih jeung Pwah Sangkari.

Pwah sangkari teh ngomong: "Naha henteu aya emas saguri, sapotong sapaha jeung

salengkepna papakean?"

Tuluy bae ka Galuh, ka Rahiang Sanjaya, henteu nyimpang ka Arile. Dibawa na gajah

putih ditutup ku lungsir putih tujuh kayu diwatangan mas mirah komara inten.

Barang dating ti nusa Demba, tuluy ka kadaton, sanggeus cunduk, Rahiangtang Kuku

nyarita ka Rahiang Sanjaya, naha resep mireungeuh gajah putih.

Tanyana: "Mana?"

Tuluy gajah putih teh ditumpakan, Pwah Sangkari disanghareupkeun ka Rahiyang

Sanjaya. Sanggeus nepi ka padaleman, henteu balik deui.

Carek Rahiang Sanjaya: "Na naon nu jadi karempan teh? Ayeuna aing hayang runtut

raut. Aing jeung bapa, Rahiang Kuku, Sang Seuweukarma. Ayeuna aing moal ngalawan.

Ayeuna urang tetepkeun: tanah bagaian Dangiang Guru di tengah, bagian Rangiang

Isora ti Wetan; jauhna nepi ka kalereun Paraga jeung Cilotiran, ti Kulon Tarum, ka

Kulon bagian Tohaan di Sunda."

Sanggeus Rahiangtang Kuku mulang ka Arile, sadatangna ka Arile, putus hancana di

dunya, hilang dina umur nu kacida kolotna.

Rahiang Sanjaya sasauran, ngawulang anakna, Rakean Panaraban, enya eta Rahiang

Tamperan: "Ulah arek nurutan agama aing, lantaran eta aing dipikasieun ku jalma rea."

Lilana jadi ratu salapan taun, diganti ku Rahiang Tamperan.


XV


Mimiti Sang Resi Guru ngawangun kuta pulo Jawa, kutana teh nyaeta Galunggung, ti

wetana Jawa.

Di wates Sunda, aya pandita sakti, dipateni tanpa dosa, ngaranna Bagawal Sajalajala.

Atma pandita teh nitis, nya jadi Sang Manarah. Anakna Rahiang Tamperan duaan jeung

dulurna Rahiang Banga.

Sang manarah males pati.

Rahiang Tamperan ditangkep ku anakna, ku Sang Manarah. Dipanjara beusi Rahiang

Tamperan teh.

Rahiang Banga datang bari ceurik, sarta mawa sangu kana panjara beusi tea.

Kanyahoan ku Sang Manarah, tuluy gelut jeung Rahiang Banga. Keuna beungeutna

Rahiang Banga ku Sang Manarah.

Ti dinya Sang Manarah ngadeg ratu di Jawa, mangrupa persembahan.

Nurutkeun carita Jawa, Rahiang Tamperan lilana ngadeg raja tujuh taun, lantaran

polahna resep ngarusak nu tapa, mana teu lana nyekel kakawasaanana oge.

Sang Manarah, lilana jadi ratu dalapanpuluh taun, lantaran tabeatna hade.

Sang Manisri lilana jadi ratu geneppuluh taun, lantaran pengkuh ngagem Sanghiang

Siksa.

Sang Tariwulan lawasna jadi ratu tujuh taun.

Sang Welengan lawasna jadi ratu tujuh taun.


XVI


Enya kieu, mimiti Sang Resi Guru boga anak Sang Haliwungan, nya eta Sang

Susuktunggal nu ngomean pakwan reujeung Sanghiang Haluwesi, nu nyaeuran

Sanghiang Rancamaya.

Tina Sanghiang Rancamaya aya nu kaluar.

"Ngaran kula Sang Udubasu, Sang Pulunggana, Sang Surugana, ratu hiang banaspati."

Sang Susuktunggal, enya eta nu nyieun pangcalikan Sriman Sriwacana Sri Baduga

Maharajadiraja, ratu pakwan Pajajaran. Nu kagungan kadaton Sri bima-untarayana

madura-suradipati, nya eta pakwan Sanghiang Sri Ratudewata.

Titinggal Sang Susuktunggal, anu diwariskeunana tanah suci, tanah hade, minangka

bukti raja utama.

Lilana ngadeg ratu saratus taun.


XVII


Rahiang Banga lawasna ngadeg ratu tujuh taun, lantaran polahna hanteu didasarkeun

kana adat kabiasaan anu bener.

Rakean di Medang lilana ngadeg ratu tujuh taun.

Rakeanta Diwus lilana jadi ratu opatlikur taun.

Rakeanta Wuwus lilana jadi ratu tujuhpuluh dua taun.

Nu hilang di Hujung Cariang lilana jadi ratu taun, kaopatna teu cucud, lantaran salah

lampah, daek ngala awewe ku awewe.

Rakean Gendang lilana jadi ratu tilulikur taun.

Dewa Sanghiang lilana jadi ratu tujuh taun.

Prebu Sanghiang lilana jadi ratu sawelas taun.

Prebu Datia Maharaja lilana jadi ratu tujuh taun.

Nu hilang di winduraja lilana jadi ratu tilulikur taun.

Nu hilang di Kreta lawasna jadi ratu salapanpuluhdua taun, lantaran ngukuhan kana

lampah anu hade, ngadatangkeun gemah ripah.

Diganti deui ku nu hilang di Winduraja, henteu lila ngadegna ratu ngan dalapanwelas

taun.

Diganti ku Sang Rakean Darmasiksa, titisan Sanghiang Wisnu, nya eta nu ngawangun

sanghiang binajapanti.

Nu ngajadikeun para kabuyutan ti sang rama, ti sang resi, ti sang disri, ti sang tarahan

tina parahiangan.

"Tina naon berkahna?" Ti sang wiku nu mibanda Sunda pituin, mituhu Sanghiang

Darma, ngamalkeun Sanghiang Siksa.

Boga anak nu hilang di Taman, lawasna jadi ratu genep taun.

Boga anak deui nu hilang di Tanjung, lilana jadi ratu dalapan taun.

Boga anak nu hilang di Kikis, lilana jadi ratu dualikur taun.

Nu hilang di Kiding, lilana jadi

ratu tujuh taun.

Boga anak Aki Kolot, lilana jadi ratu sapuluh taun.


XVIII


Boga anak, Prebu Maharaja, lawasna jadi ratu tujuh taun, lantaran keuna ku musibat,

Kabawa cilaka ku anakna, ngaran Tohaan, menta gede pameulina.

Urang rea asalna indit ka Jawa, da embung boga salaki di Sunda. Heug wae perang di

Majapahit.

Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem

di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade

ngajalankeun agama, nagara gemah ripah.

Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu

eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara

Guru di Jampang.

Sakitu nu diturut ku nu ngereh lemah cai.

Batara guru di Jampang teh, nya eta nyieun makuta Sanghiang Pake, waktu nu boga hak

diangkat jadi ratu.

Beunang kuru cileuh kentel peujit ngabakti ka dewata. Nu dituladna oge makuta

anggoan Sahiang Indra. Sakitu, sugan aya nu dek nurutan. Enya eta lampah nu hilang

ka Nusalarang, daek eleh ku satmata. Mana dina jaman eta mah daek eleh ku nu

ngasuh.

Mana sesepuh kampung ngeunah dahar, sang resi tengtrem dina ngajalankeun

palaturan karesianana ngamalkeun purbatisti purbajati 35). Dukun-dukun kalawan

tengtrem ngayakeun perjangjian-perjangjian make aturan anu patali jeung kahirupan,

ngabagi-bagi leuweung jeung sakurilingna, ku nu leutik boh kunu ngede moal aya

karewelanana, para bajo ngarasa aman lalayaran nurutkeun palaturan ratu.

Cai, cahaya, angin, langit, taneuh ngarasa senang aya dina genggaman pangayom jagat.

Ngukuhan angger-angger raja 36), ngadeg di sanghiang linggawesi, puasa, muja taya

wates wangenna.

Sang Wiku kalawan ajen ngajalankeun angger-angger dewa, ngamalkeun sanghiang

Watangageung. Ku lantaran kayakinan ngecagkeun kalungguhanana teh.

Diganti ku Tohaan Galuh, enya eta nu hilang di Gunung tiga. Lawasna jadi ratu tujuh

taun, lantaran salah tindak bogoh ka awewe larangan ti kaluaran.


XIX


Diganti ku Prebu, putra raja pituin, nya eta Sang Ratu Rajadewata, nu hilang di

Rancamaya, lilana jadi ratu tilupuluhsalapan taun.

Ku lantaran ngajalankeun pamarentahanana ngukuhan purbatisti purbajati, mana

henteu kadatangan boh ku musuh badag, boh ku musuh lemes. Tengtrem ayem Beulah

Kaler, Kidul, Kulon jeung Wetan, lantaran rasa aman.

Teu ngarasa aman soteh mun lakirabi dikalangan jalma rea, di lantarankeun ku

ngalanggar Sanghiang Siksa.


XX


Diganti enya eta ku Prebu Surawisesa, anu hilang di Padaren, Ratu gagah perkosa, teguh

jeung gede wawanen.

Perang limawelas kali henteu eleh. Dina ngajalankeun peperangan teh kakuatan

baladna aya sarewu jiwa.

Perang ka Kalapa jeung Aria Burah. Perang ka Tanjung. Perang ka Ancol kiyi. Perang ka

Wahanten Girang. Perang ka Simpang. Perang ka Gunungbatu. Perang ka Saungagung.

Perang ka Rumbut. Perang ka Gunungbanjar. Perang ka Padang. Perang ka Pagoakan.

Perang ka Muntur. Perang ka Hanum. Perang ka Pagerwesi. Perang ka

Madangkahiangan.

Ti dinya mulang ka pakwan deui. Hanteu naunan deui. Ratu tilar dunya. Lawasna jadi

ratu opatwelas taun.


XXI


Prabu Ratudeawata, enya eta nu hilang kasawah-tampian-dalem.

Ngajalankeun kahirupan saperti rajaresi. Tanpa Pwah Susu.

Disunatan, maksudna supaya bersih, suci tina kokotor ari dikumbah, disunat ku

tukangna, pituin Sunda eta teh.

Datang huru-hara, musuh loba teu kanyahoan ti mana asalna. Perang di buruan ageung.

Tohaan Sarendet jeung Tohaan Ratu Sanghiang kasambut.

Aya pandita sakti dianiaya, pandita di sumedang. Sang pandita di Ciranjang dipaehan

tanpa dosa, katiban ku tapak kikir. Sang pandita di Jayagiri digubruskeun ka sagara.

Aya pandita sakti taya dosana. Munding Rahiang ngaranna, digubruskeun ka sagara,

henteu paeh, hirup keneh, ngilang tanpa ninggalkeun ragana di dunya. Katelah

ngaranna Hiang Kalinganja. Ku lantaran eta masing iatna anu masih tinggal di belakang

kali, ulah arek hirup api-api pupuasaan. Tah kitu kaayaan jaman susah teh.

Prebu ratudewata, lilana jadi dalapan taun, kasalapanna tilar dunya.


XXII


Diganti ku Sang Ratusakti Sang Mangabatan di Tasik. Enya eta anu hilang ka

Pengpelengan. Lilana jadi ratu dalapan taun, lantaran ratu lampahna cilaka ku awewe.

Larangan ti kaluaran jeung ku indungtere. Mindeng maehan jalma tanpa dosa,

ngarampas tanpa rasrasan, hanteu hormat ka kolot, ngahina pandita.

Ulah diturut ku nu pandeuri, lampah ratu kitu mah. Tah kitu riwayat sang ratu teh.



XXIII


Tohaan di Majaya eleh perang, lantaran kitu hanteu cicing di kadaton. Manehna nu

nyipta sanghiang Panji, ngendahan kadaton, dibalaj diatur mirupa taman mihapitkeun

panto larangan. Nu ngawangun bale bobot tujuhwelas jajar, diukir diparada

diwujudkeun rupa-rupa carita.


XXIV


Dina jaman jalma sajagat hanteu ngalaman kajahatan disebutna jaman kreta.

Henteu aya nu ngajadikeun ancurna jagat.

Dina jaman dopara, jaman parunggu, saterusna diganti ka jaman kali, jaman beusi,

Sang Nilakendra, dilantarankeun lila teuing dina kasenangan, ngumbar hawa napsu.

Bogana anak, kana hatena geus kaancikan ku rekadaya, nya nurunkeun pertapa, incu

pateterean.

Inuman keras dianggapna saperti cai wujudna godaan napsu. Jelema nu ngahuma

rewog baranghakan, teu gumbira lamun teu pepelakan. Lila ratu ngalajur napsu dina

barang dahar, teu nurutkeun adat kabiasaan, enggoning ngumbar kasenangan borakborak

da nganggap saluyu jeung kabeungharanana.

Lilana jadi ratu genepwelas taun.


XXV


Diganti ku Nusia Mulya. Lilana jadi ratu duawelas (!) taun. Mimiti datangna perobahan.

Buana lemes nyusup ka nu kasar, timbul karusakan ti Islam.

Perang ka Rajagaluh, eleh Rajagaluh. Perang ka Kalapa eleh Kalapa. Perang ka Pakwan,

perang ka Galuh, perang ka Datar. Perang ka Ma(n)diri, perang ka Patege, perang ka

Jawakapala, eleh Jawakapala. Perang ka Gegelang. Meuntas perang ka Salajo; kabeh

eleh ku urang Islam.

Kitu nu matak kabawah ka Demak jeung ti Cirebon.


Dicutat tina

Atja (1968) Carita Parahiyangan: Naskah Titilar Karuhun Urang Sunda. Bandung:

Jajasan Kebudajaan Nusalarang

Motret Benjang Helaran di Ujungberung 23 Mar 2010, 12:22 pm