Jumat, 30 Oktober 2009

ALL A BOUT KUJANG


KUJANG MENURUT BERITA PANTUN BOGOR

Purwaka

Berbicara tentang kujang, identik dengan berbicara Sunda Pajajaran masa silam. Sebab, alat ini berupa salah sastu aspek identitas eksistensi budaya Sunda kala itu. Namun, dari telusuran kisah keberadaannya tadi, sampai sekarang belum ditemukan sumber sejarah yang mampu memberitakan secara jelas dan rinci. Malah bisa dikatakan tidak adanya sumber berita sejarah yang akurat.

Satu-satunya sumber berita yang dapat dijadikan pegangan (sementara) yaitu lakon-lakon pantun. Sebab dalam lakon-lakon pantun itulah kujang banyak disebut-sebut. Di antara kisah-kisah pantun yang terhitung masih lengkap memberitakan kujang, yaitu pantun (khas) Bogor sumber Gunung Kendeng sebaran Aki Uyut Baju Rambeng. Pantun Bogor ini sampai akhir abad ke-19 hanya dikenal oleh warga masyarakat Bogor marginal (pinggiran), yaitu masyarakat pedesaan. Mulai dikenalnya oleh kalangan intelektual, setelahnya tahun 1906 C.M. Pleyte (seorang Belanda yang besar perhatiannya kepada sejarah Pajajaran) melahirkan buku berjudul Moending Laja Di Koesoemah, berupa catatan pribadinya hasil mendengar langsung dari tuturan juru pantun di daerah Bogor sebelah Barat dan sekitarnya.

Ia lebih menaruh perhatian besar kepada Pantun Bogor, karena menurut penelitiannya Pantun Bogor termasuk yang paling utuh jika dibandingkan dengan pantun-pantun daerah Jawa Barat sebelah Timur, baik dalam cara memainkan pantunnya, bahasa Sundanya, juga termasuk sumber sejarah yang dikisahkannya. Sedangkan pantun-pantun daerah Jawa Barat sebelah Timur, kala itu katanya sudah banyak yang semrawut tidak utuh lagi.

Pemberitaan tentang kujang selalu terselip hampir dalam setiap lakon dan setiap episode kisah serial Pantun Bogor, baik fungsi, jenis, dan bentuk, para figur pemakainya sampai kepada bagaimana cara menggunakannya. Malah ungkapan-ungkapan konotatif yang memakai kujang-pun tidak sedikit. Contoh kalimat gambaran dua orang berwajah kembar; “Badis pinang nu munggaran, rua kujang sapaneupaan” atau melukiskan seorang wanita; “Mayang lenjang badis kujang, tembong pamor tembong eluk tembong combong di ganjana” dsb. Demikian pula bendera Pajajaran yang berwarna “hitam putih” juga diberitakan bersulamkan gambar kujang “Umbul-umbul Pajajaran hideung sawaréh bodas sawaréh disulaman kujang jeung pakujajar nu lalayanan”.

Sejak sirnanya Kerajaan Pajajaran sampai sekarang, kujang masih banyak dimiliki oleh masyarakat Sunda, yang fungsinya hanya sebagai benda obsolete tergolong benda sejarah sebagai wahana nostalgia dan kesetiaan kepada keberadaan leluhur Sunda pada masa jayanya Pajajaran, di samping yang tersimpan di museum-museum.

Di samping itu, sebutan kujang banyak pula yang masih abadi seperti pada:

Nama kampung; Parungkujang, Cikujang, Gunungkujang, Parakankujang.
Nama Tangtu Baduy; Tangtu Kadukujang (Cikartawana), Sanghyang Kujang (Undak ke-3 pamujaan Baduy di Gunung Pamuntuan).
Nama Batalyon; Batalyon Kujang pada Kodam Siliwangi.
Nama perusahaan; Pupuk Kujang, Semen Kujang, dsb.
Nama tugu peringatan: Tugu Kujang di Kota Bogor.

Pengabadian kujang lainnya, banyak yang menggunakan gambar bentuk kujang pada lambang-lambang daerah, pada badge-badge organisasi kemasyarakatan atau ada pula kujang-kujang tempaan baru (tiruan), sebagai benda aksesori atau cenderamata.

Selain keberadaan kujang seperti itu, di kawasan Jawa Barat dan Banten masih ada komunitas yang masih akrab dengan kujang dalam pranata hidupnya sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” (tersebar di wilayah Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak – Provinsi Banten, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dan di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi – Provinsi Jawa Barat). Dan masyarakat “Sunda Wiwitan Urang Kanékés” (Baduy) di Kabupaten Lebak – Provinsi Banten.

Dalam lingkungan budaya hidup mereka, tiap setahun sekali kujang selalu digunakan pada upacara “Nyacar” (menebangi pepohonan untuk lahan ladang). Patokan pelaksanaannya yaitu terpatri dalam ungkapan “Unggah Kidang Turun Kujang”, artinya jika bintang Kidang telah muncul di ufuk Timur di kala subuh, pertanda musim “Nyacar” sudah tiba, kujang (Kujang Pamangkas) masanya digunakan sebagai pembuka kegiatan “Ngahuma” (berladang).


Bentuk dan Jenis Kujang

Pada zaman masih jayanya kerajaan Pajajaran, kujang terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya:

1.       Kujang Ciung; yaitu kujang yang bentuknya dianggap menyerupai burung Ciung.
2.     Kujang Jago; kujang yang bentuknya menyerupai ayam jago.
3.     Kujang Kuntul; kujang yang menyerupai burung Kuntul.
4.     Kujang Bangkong; kujang yang menyerupai bangkong (kodok).
5.     Kujang Naga; kujang yang bentuknya menyerupai naga.
6.     Kujang Badak; kujang berbadan lebar dianggap seperti badak.
7.     Kudi; perkakas sejenis kujang.

Berdasarkan jenisnya, kujang memiliki fungsi sebagai:

1.       Kujang Pusaka; yaitu kujang sebagai lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan lainnya dengan kadar kesakralannya sangat tingi seraya memiliki tuah dan daya gaib tinggi.

2.     Kujang Pakarang; yaitu kujang untuk digunakan sebagai alat berperang dikala diserang musuh.

3.     Kujang Pangarak; yaitu kujang bertangkai panjang seperti tombak sebagai alat upacara.

4.     Kujang Pamangkas; kujang sebagai alat pertanian (perladangan).


Nama-nama Bagian Kujang

Wujud sebilah kujang memiliki bagian yang masing-masing mempunyai namanya sendiri-sendiri, meskipun tidak seluruh bentuk kujang memiliki bagian sama lengkapnya. Kujang yang memiliki bagian-bagian secara lengkap, biasanya dimiliki oleh para raja, para menak (bangsawan), dan para pangagung (pejabat tinggi) kerajaan lainnya.

Bagian-bagian kujang tersebut di antaranya:

Papatuk (Congo); bagian ujung kujang yang runcing, gunanya untuk menoreh atau mencungkil.

Eluk (Siih); lekukan-lekukan atau gerigi pada bagian punggung kujang sebelah atas, gunanya untuk mencabik-cabik perut musuh.

Waruga; nama bilahan (badan) kujang.

Mata; lubang-lubang kecil yang terdapat pada bilahan kujang yang pada awalnya lubang-lubang itu tertutupi logam (biasanya emas atau perak) atau juga batu permata. Tetapi kebanyakan yang ditemukan hanya sisasnya berupa lubang-lubang kecil. Gunanya sebagai lambang tahap status si pemakainya, paling banyak 9 mata dan paling sedikit 1 mata, malah ada pula kujang tak bermata, disebut “Kujang Buta”.

Pamor; garis-garis atau bintik-bintik pada badan kujang disebut Sulangkar atau Tutul, biasanya mengandung racun, gunanya selain untuk memperindah bilah kujangnya juga untuk mematikan musuh secara cepat.

Tonggong; sisi yang tajam di bagian punggung kujang, bisa untuk mengerat juga mengiris.

Beuteung; sisi yang tajam di bagian perut kujang, gunanya sama dengan bagian punggungnya.

Tadah; lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang, gunanya untuk menangkis dan melintir senjata musuh agar terpental dari genggaman.

Paksi; bagian ekor kujang yang lancip untuk dimasukkan ke dalam gagang kujang.

Combong; lubang pada gagang kujang, untuk mewadahi paksi (ekor kujang).

Selut; ring pada ujung atas gagang kujang, gunanya untuk memperkokoh cengkeraman gagang kujang pada ekor (paksi).

Ganja (landéan); nama khas gagang (tangkai) kujang.

Kowak (Kopak); nama khas sarung kujang.

Di antara bagian-bagian kujang tadi, ada satu bagian yang memiliki lambang “ke-Mandalaan”, yakni mata yang berjumlah 9 buah. Jumlah ini disesuaikan dengan banyaknya tahap Mandala Agama Sunda Pajajaran yang juga berjumlah 9 tahap, di antaranya (urutan dari bawah): Mandala Kasungka, mandala Parmana, Mandala Karna, Mandala Rasa, Mandala Séba, Mandala Suda, Jati Mandala, Mandala Samar, Mandala Agung. Mandala tempat siksaan bagi arwah manusia yang ketika hidupnya bersimbah noda dan dosa, disebutnya Buana Karma atau Jagat Pancaka, yaitu Neraka.

Kelompok Pemakai Kujang

Meskipun perkakas kujang identik dengan keberadaan Kerajaan Pajajaran pada masa silam, namun berita Pantun Bogor tidak menjelaskan bahwa alat itu dipakai oleh seluruh warga masyarakat secara umum. Perkakas ini hanya digunakan oleh kelompok tertentu, yaitu para raja, prabu anom (putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan agama, para puteri serta kaum wanita tertentu, para kokolot. Sedangkan rakyat biasa hanya menggunakan perkakas-perkakas lain seperti golok, congkrang, sunduk, dsb. Kalaupun di antaranya ada yang menggunakan kujang, hanya sebatas kujang pamangkas dalam kaitan keperluan berladang.

Setiap menak (bangsawan), para pangagung (pejabat negara) sampai para kokolot, dalam pemilikan kujang, tidak sembarangan memilih bentuk. Namun, hal itu ditentukan oleh status sosialnya masing-masing. Bentuk kujang untuk para raja tidak boleh sama dengan milik balapati. Demikian pula, kujang milik balapati mesti berbeda dengan kujang miliknya barisan pratulup, dan seterusnya.

Dalam kaitan pemakaian kujang tadi, akan tergambar dari tahapan fungsi para pejabat yang tertera dalam struktur jabatan pemerintahan Negara Pajajaran sebagai berikut:

1.       Raja
2.     Léngsér
3.     Brahmesta
4.     Prabu Anom (Putera Mahkota)
5.     Bupati Panangkes dan Balapati
6.     Geurang Seurat
7.     Para Bupati Pakuan dan Bupati Luar Pakuan
8.     Para Patih termasuk Patih Tangtu dan Mantri Paséban
9.     Para Lulugu
10.  Para Kanduru
11.   Para Sambilan
12.  Para Jaro termasuk Jaro Tangtu
13.  Para Bareusan, Para Guru, Para Pangwereg
14.  Para Kokolot

Jabatan Prabu Anom (3) sampai para Bareusan, para Guru, juga para Pangwereg (12), tergabung di dalam golongan Pangiwa dan Panengen. Tetapi dalam pemilikan dan pemakaian kujang, ditentukan oleh kesejajaran tugas dan fungsinya masing-masing, seperti:


1.       Kujang Ciung mata-9: hanya dipakai khusus oleh Raja;
2.     Kujang Ciung mata-7: dipakai oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom;
3.     Kujang Ciung mata-5: dipakai oleh Girang Seurat, Bupati Pamingkis,dan para Bupati Pakuan;
4.     Kujang Jago: dipakai oleh Balapati, para Lulugu, dan Sambilan;
5.     Kujang Kuntul: dipakai oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu Patih Jaba, dan Patih Palaju), juga digunakan oleh para Mantri (Mantri Majeuti, Mantri Paséban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero);
6.     Kujang Bangkong:  dipakai  oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru Alas, Guru Cucuk;
7.     Kujang Naga: dipakai oleh para Kanduru, para Jaro, Jaro Awara, Tangtu, Jaro Gambangan;
8.     Kujang Badak: dipakai oleh para Pangwereg, para Pamatang, para Palongok, para Palayang, para Pangwelah, para Bareusan, parajurit, Paratulup, Sarawarsa, para Kokolot.

Selain diperuntukkan bagi para pejabat tadi, kujang digunakan pula oleh kelompok agama, tetapi kesemuanya hanya satu bentuk yaitu Kujang Ciung, yang perbedaan tahapannya ditentukan oleh banyaknya “mata”. Kujang Ciung bagi peruntukan Brahmesta (pendeta agung negara) yaitu yang bermata-9, sama dengan peruntukan raja. Kujang Ciung bagi para Pandita bermata-7, para Geurang Puun, Kujang Ciung bermata-5, para Puun Kujang Ciung bermata-3, para Guru Tangtu Agama dan para Pangwereg Agama Kujang Ciung bermata-1.

Di samping masing-masing memiliki kujang tadi, golongan agama menyimpan pula Kujang Pangarak, yaitu kujang yang bertangkai panjang yang gunanya khusus untuk upacara-upacara sakral seperti Upacara Bakti Arakana, Upacara Kuwera Bakti, dsb., malah kalau dalam keadaan darurat, bisa saja dipakai untuk menusuk atau melempar musuh dari jarak jauh. Tapi fungsi utama seluruh kujang yang dimiliki oleh golongan agama, sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh isi negara.

Kelompok lain yang juga mempunyai kewenangan memakai kujang yaitu para wanita Menak (Bangsawan) Pakuan dan golongan kaum wanita yang memiliki fungsi tertentu, seperti para Puteri Raja, para Puteri Kabupatian, para Ambu Sukla, Guru Sukla, para Ambu Geurang, para Guru Aés, dan para Sukla Mayang (Dayang Kaputrén). Kujang bagi kaum wanita ini, biasanya hanya terdiri dari Kujang Ciung dan Kujang Kuntul. Hal ini karena bentuknya yang langsing, tidak terlalu “galabag” (berbadan lebar”, dan ukurannya biasanya lebih kecil dari ukuran kujang kaum pria.

Untuk membedakan status pemiliknya, kujang untuk kaum wanita pun sama dengan untuk kaum pria, yaitu ditentukan oleh banyaknya mata, pamor, dan bahan yang dibuatnya. Kujang untuk para puteri kalangan menak Pakuan biasanya kujang bermata-5, Pamor Sulangkar, dan bahannya dari besi kuning pilihan. Sedangkan (kujang) wanita fungsi lainnya kujang bermata-3 ke bawah malah sampai Kujang Buta, Pamor Tutul, bahannya besi baja pilihan.

Kaum wanita Pajajaran yang bukan menak tadi, di samping menggunakan kujang ada pula yang memakai perkakas “khas wanita” lainnya, yaitu yang disebut Kudi, alat ini kedua sisinya berbentuk sama, seperti tidak ada bagian perut dan punggung, juga kedua sisinya bergerigi seperti pada kujang, ukurannya rata-rata sama dengan ukuran “Kujang Bikang” (kujang pegangan kaum wanita), langsing, panjang kira-kira 1 jengkal termasuk tangkainya, bahannya semua besi-baja, lebih halus, dan tidak ada yang memamai mata.

Proses Pembuatan Kujang

Pada zamannya Kerajaan Pajajaran Sunda masih jaya, setiap proses pembuatan benda-benda tajam dari logam termasuk pembuatan senjata kujang, ada patokan-patokan tertentu yang harus dipatuhi, di antaranya:


Patokan Waktu

Mulainya mengerjakan penempaan kujang dan benda-benda tajam lainnya, ditandai oleh munculnya Bintang Kerti, hal ini terpatri dalam ungkapan “Unggah kidang turun kujang, nyuhun kerti turun beusi”, artinya ‘Bintang Kidang mulai naik di ufuk Timur waktu subuh, pertanda masanya kujang digunakan untuk “nyacar” (mulai berladang). Demikian pula jika Bintang Kerti ada pada posisi sejajar di atas kepala menyamping agak ke Utara waktu subuh, pertanda mulainya mengerjakan penempaan benda-benda tajam dari logam (besi-baja)’. Patokan waktu seperti ini, kini masih berlaku di lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy).

Kesucian “Guru Teupa” (Pembuat Kujang)

Seorang Guru Teupa (Penempa Kujang), waktu mengerjakan pembuatan kujang mesti dalam keadaan suci, melalui yang disebut “olah tapa” (berpuasa). Tanpa syarat demikian, tak mungkin bisa menghasilkan kujang yang bermutu. Terutama sekali dalam pembuatan Kujang Pusaka atau kujang bertuah. Di samping Guru Teupa mesti memiliki daya estetika dan artistika tinggi, ia mesti pula memiliki ilmu kesaktian sebagai wahana keterampilan dalam membentuk bilah kujang yang sempurna seraya mampu menentukan “Gaib Sakti” sebagai tuahnya.


Bahan Pembuatan Kujang

Untuk membuat perkakas kujang dibutuhkan bahan terdiri dari logam dan bahan lain sebagai pelengkapnya, seperti:

1.       Besi, besi kuning, baja, perak, atau emas sebagai bahan membuat waruga (badan kujang) dan untuk selut (ring tangkai kujang).
2.     Akar kayu, biasanya akar kayu Garu-Tanduk, untuk membuat ganja atau landean (tangkai kujang). Akar kayu ini memiliki aroma tertentu.
3.     Papan, biasanya papan kayu Samida untuk pembuatan kowak atau kopak (sarung kujang). Kayu ini pun memiliki aroma khusus.
4.     Emas, perak untuk pembuatan “mata” atau “pamor” kujang pusaka ataukujang para menak Pakuan dan para Pangagung tertentu. Selain itu, khusus untuk “mata” banyak pula yang dibuat dari batu permata yang indah-indah.
5.     “Peurah” (bisa binatang) biasanya “bisa Ular Tiru”, “bisa Ular Tanah”, “Bisa Ular Gibug”, ”bisa Kelabang” atau “bisa Kalajengking”. Selain itu digunakan pula racun tumbuh-tumbuhan seperti ”getah akar Leteng” “getah Caruluk” (buah Enau) atau “serbuk daun Rarawea”, dsb. Gunanya untuk ramuan pelengkap pembuatan “Pamor”. Kujang yang berpamor dari ramuan racun-racun tadi, bisa mematikan musuh meski hanya tergores.
6.     “Gaib Sakti” sebagai isi, sehingga kujang memiliki tuah tertentu. Gaib ini terdiri dari yang bersifat baik dan yang bersifat jahat, bisa terdiri dari gaib Harimau, gaib Ulat, gaib Ular, gaib Siluman, dsb. Biasanya gaib seperti ini diperuntukan bagi isi kujang yang pamornya memakai ramuan racun sebagai penghancur lawan. Sedangkan untuk Kujang Pusaka, gaib sakti yang dijadikan isi biasanya para arwah leluhur atau para “Guriyang” yang memiliki sifat baik, bijak, dan bajik.


Tempat (Khusus) Pembuatan Kujang

Tempat untuk membuat benda-benda tajam dari bahan logam besi-baja, baik kudi, golok, sunduk, pisau, dsb. Dikenal dengan sebutan Gosali, Kawesen, atau Panday. Tempat khusus untuk membuat (menempa) perkakas kujang disebut Paneupaan.

Seperti dalam lakon Pantun Bogor kisah “Kalangsunda Makalangan” terdapat ungkapan yang menggamvarkan kemiripan rupa tokoh Kumbang Bagus Setra dan Rakean Kalang Sunda dengan kalimat berbunyi: “Yuni Kudi sa-Gosali, rua Kujang sa-Paneupaan”, ungkapan tersebut mengindi-kasikan bahwa istilah “Paneupaan” benar-benar berupa nama untuk tempat pembuatan perkakas kujang. Hal ini lebih diperjelas lagi dengan sebutan “Guru Teupa” bagi si pembuat kujang, yang mungkin sederajat dengan “Empu” pembuat keris di lingkungan masyarakat Jawa.

Cara Membawa Kujang

Membawa perkakas kujang tidak hanya satu cara, namun tergantung kepada bentuk dan ukuran besar kecilnya dan kadar kesakralannya.

Disoren; yaitu dengan cara digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk atau tali pengikat yang diikatkan ke pinggang. Yang dibawa dengan cara disoren ini, Kujang Galabag (berbadan lebar) seperti Kujang Naga dan Kujang Badak sebab kowaknya (sarungnya) cukup lebar.

Ditogel; yaitu dengan cara diselipkan pada sabukdi depan perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang yang dibawa dengan cara ini yaitu Kujang Bangking (kujang berbadan kecil) seperti Kujang Ciung, Kujang Kuntul, Kujang Bangkong, Kujang Jago, Kudi yang ukuran kowaknya pun lebih kecil. Demikian pula kujang yang termasuk “Kujang Ageman” (bertuah) selalu dibawa dengan cara ditogel.

Dipundak; yaitu dengan cara dipikul tangkainya yang panjang, seperti membawa tombak. Yang dibawa dengan cara demikian hanya khusus Kujang Pangarak, karena memiliki tangkai panjang.

Dijinjing; yaitu dengan cara ditenteng, dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara ini hanya Kujang pamangkas, sebab kujang ini tidak memakai sarung (kowak) alias telanjang.


Cara Menggunakan Kujang

Tersebar berita, bahwa cara menggunakan kujang konon dengan cara dijepit ekornya (paksi-nya) yang telanjang tanpa “ganja” (tangkai) menggunakan ibu jari kaki. Sedangkan cara lain, yaitu dengan dijepit menggunakan telunjuk dan ibu jari kemudian ditusuk-tusukan ke badan lawan. Alasan mengapa cara menggunakannya demikian, sebab katanya kujang memang berupa senjata “telanjang” tanpa tangkai dan tanpa sarung (kowak).

Jika para Guru Teupa penempa Kujang Pajajaran sengaja membuatnya demikian, hal itu merupakan pekerjaan tanpa perhitungan. Sebab dilihat dari bentuk ekor (paksi) kujang yang banyak ditemukan, bentuknya sama seperti ekor senjata tajam lainnya yang lazim memakai gagang (tangkai) seperti golok, arit, pisau, dsb. Dengan cara menggunakannya seperti diutarakan tadi, sedikitnya ia akan terluka jari jemari kakinya ataupun jari jemari tangannya. Lain halnya jika bentuk ekornya tadi dibuat sedemikian rupa sehingga mudah untuk dijepit dengan jari jemarinya.

Berita tadi jika dibandingkan dengan berita Pantun Bogor dan beberapa temuan penulis, ternyata bertabrakan. Sebagaimana diutarakan pada bagian terdahulu, bahwa Kujang Pajajaran merupakan benda tajam yang lengkap memakai ganja (tangkai) dan memakai kowak (sarung). Kalau timbulnya pendapat seperti tadi, hal ini mungkinberanjak dari temuan-temuan yang tergali dari dalam tanah, mayoritas kujang telanjang tanpa ganja tanpa kowak bahkan tanpa mata (berlubang-lubang).

Sebenarnya, keberadaan kujang yang ditemukan seperti itu akibat dari terlalu lamanya tertimbun tanah, sehingga ganja atau kowak-nya yang terbuat dari kayu mengalami lapuk dan hancur. Sedangkan jarang ditemukan kujang yang masih lengkap dengan matanya, inipun mungkin saja setiap penemu kujang tadi mencungkilnya, sebab kebanyakan mata kujang terbuat dari emas, batu permata yang indah-indah, dan cukup mahal harganya. Kujang yang masih lengkap dengan matanya, kini masih bisa dilihat di Museum Geusan Ulun Kabupaten Sumedang.

Pada bagian-bagian terdahulu diutarakan, bahwa kujang memiliki fungsi sebagai pusaka, pakarang, pangarak, pamangkas.

Sebagai pusaka; tuah/daya kesaktian kujang mengandung nilai sakral. Melalui kekuatan daya gaib/kesaktian tersebut kujang digunakan sebagai pelindung keselamatan diri, keluarga, bahkan masyarakat sekelilingnya, demi terhindar dari marabahaya yang mengancam.

Sebagai pakarang (senjata); kujang dengan ukurannya yang relatif pendek, tidak termasuk alat tebas, tapi tergolong alat tikam, alat tusuk, alat toreh, dan alatkerat. Wujud senjata ini (secara hipotesis), mungkin disesuaikan dengan karakter manusia Sunda Pajajaran itu sendiri yang bersifat defensif tatkala menghadapi marabahaya, tidak bersifat ofensif. Hal ini terungkap dari kisah “Pakujajar Majajaran” yang memberitakan bahwa “Sunda Pajajaran lain mudu pinter perang, tapi mudu pinter diperangan” (Sunda Pajajaran bukan mesti pandai berperang, tapi mesti pandai di kala diperangi). Pernyataan ini terbukti pula, bahwa dalam seluruh cerita pantun, tidak ada satu pun kisah yang memberitakan Kerajaan Pajajaran menyerang atau menaklukan kerajaan lain, kecuali malah digempur negara lain. Mengingat karakter Sunda Pajajaran yang defensif tadi, kujang dengan fungsinya sebagai senjata, bukan hanya untuk menyerang tetapi hanya untuk “bela diri” di kala keadaan susah sangat terdesak. Dalam cara pembelaan diri tersebut, kujang digunakan dengan sekali tusuk ke perut, ketika ditarik mampu merobek-robek seisi perut. Atau dengan sekali toreh dan sekali kerat saja musuh bisa langsung sekarat mendadak dan mati.

Sebagai pangarak (alat upacara); Kujang Pangarak dalam kegiatan upacara menggunakannya dengan dipikul pada satu prosesi tertentu, oleh pelaku barisan terdepan. Dalam keadaan mendesak, kujang semacam ini bisa digunakan sebagai alat membela diri dengan cara ditusukkan atau dilemparkan kepada musuh dari jarak agak jauh, sebab kujang ini bertangkai panjang semacam tombak.

Sebagai pamangkas (alat pertanian); kujang untuk kegiatan ini yaitu Kujang Pamangkas, menggunakannya untuk menebangi pepohonan dalam rangka membuka lahan “huma” (ladang). Sampai dewasa ini kujang semacam ini masih digunakan di lingkungan masyarakat “Urang Kanékés” (Baduy) dan masyarakat “Pancer Pangawinan”. Dalam keadaan darurat, kujang ini pun bisa saja digunakan sebagai senjata untuk bela diri jika satu saat si pemakai mendapat serangan dari fihak musuh, dengan cara ditebaskan atau dibacokkan, karena bentuk kujang semacam ini berukuran agak panjang dan agak besar.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan

Pantun Bogor memberitakan, bahwa zaman jayanya Kerajaan Pajajaran, kujang berupa perkakas yang multiguna.

Kujang dalam kapasitas dan fungsinya sebagai alat pertanian (Kujang Pamangkas), kini masih dipergunakan di lingkungan masyarakat adat “Urang Kanekes” (Baduy) dan masyarakat “Pancer Pangawinan”.

Kujang peninggalan masa silam yang kini banyak tersimpan banyak dimiliki oleh perorangan mayoritas sudah tidak lengkap, karena bahagian lainnya sudah banyak yang rusak/hilang.

Saran

Untuk lebih dikenalinya lagi kujang sebagai salah satu perkakas Pajajaran Sunda masa silam, perlu dilahirkan buku tentang kujang sebagai bahan bacaan SD, SLTP, SMU, PerguruanTinggi dan bacaan umum.
Produksi kujang pada masa kini perlu ditingkatkan baik bentuknya, penggunaan pamor sampai kepada bahannya, agar mampu jadi cendera mata bagi tamu-tamu penting dari luar negeri. Atau agar bisa dimiliki oleh orang-orang Sunda yang berkepentingan.

2 Comments »
pami aya kujang anu jumlah liangna langkung ti 9 … kalebet kujang anu kumaha nya kang ?

Comment by abibarudak — 12 July 2008 @ 17:35

Sumuhun, simkuring oge gaduh anu 12 … samentawismah tina guneman aya sababaraha hiji kamungkinan, nu kahiji eta mangrupa kujang anyar (pang ropea anyar), aya deui anu neybat eta teh kujang 5 7 … duka tah teu acan kapaluruh, samalih mah kamari nguping aya kujang liang 33


KUJANG KHAS SUNDA

Posted by PD USA on 4/11/2007, 5:31 am
66.167.246.87

Salam Pencak Silat Kang Ian Samsudin
kalau baca artikel Kang Ian Samsudin saya banyak belajar untuk memacu dan menimba wawasan yang berkaitan budaya Indonesia melalui penca silat.
Saya tambahkan sedikit mengenai "kujang" dalam tahapan keberadaan adanya kujang seolah-olah dimunlainya sejak jaman hindu kemudian islam itu menurut pandangan orang barat dalam penelitian / pustaka /wawasan orang barat.

Ada hal yang sangat penting dalam menimba sumber yang terbaik adalah di gali dari para karuhun urang sunda. Saya telah membuktikan dan berdialog dengan para tetua urang sunda dimana mereka punya paguyuban urang sunda yang menyatukan semua aspek-aspek budaya dll. urang sunda termasuk cerita "kujang". Juga ibarat penca Beksi seolah pengaruh Cina padahal Cina belajar dari silat beksi asal sunda.

Kujangpun demikian sebelum hindu (India) dan islam (Arab) datang ke tanah Jawa bangsa kita telah berbudaya luhur dari bangsa-bangsa pendatang. Setelah "step down pa Harto" dengan kekuasaan selama 32 tahun semua impormasi budaya urang sunda yang 42 juta orang akan lebih terbuka dalam berbagai aspek. Misal para ahli telah menemukan suatu budaya urang sunda telah ada 40 000 ribu tahun yang lalu tepatnya di sekitar tatar sunda. Dulu orang hanya seolah olah kiblatnya orang Jawa yang di promosikan oleh para ahli seolah-olah budaya mereka yang paling unggul (paling nomor wahid) misal penemuan orang jawa tertua 15 000 tahun yang lalu. Ternyata orang sunda lebih tua umurnya tentu budayanyapun akan lebih tua dan berbudaya (beradab).

Ada suatu candi urang sunda yang sangat besar di sekitar kota Karawang tidak ada kaitan dengan hindu dan islam dengan membawa budaya mereka yang berbaur di tanah nusantara.
Coba teliti olah pencinta silat pasti ada wangsit silat sunda yang sebenarnya dimasa mereka bersilat dengan kujang sebagai simbol gaib urang sunda.

Hartina Kujang nyaeta HATE NU SUCI URANG SUNDA (artinya Kujang ialah hati , qolbu (Arab) yang suci orang sunda). Simbul kujang sagelempeng kujang nyaeta TANGTUNG SUNDA (simbul bentuk kujang itu sendiri ialah JATI DIRI URANG SUNDA. Tangtung nyimbulkeun SANG HYANG TUNGGAL" (Yang Maha Tunggal /Allah menurut Arab).

Urang sunda sudah punya keyakinan (AGEMAN) sekarang dalam bahasa Indonesia jadi "agama" asal kata "ageman" dari sunda. Pada saat orang -orang pendatang dari India Cina, Arab dan Bule-Bule maka jadi baur agama hindu, agama buda, agama islam, agama kristen. Dari kata agama /ageman tidak ada asal kata agama dari kaum pendatang India, Cina,Arab dan Bule.

Kang Ian sekalian minta izin artikelnya diforaward di www.silatpdusa.com , sekian dulu tambahan dari urang sunda yang sedang merantau di tanah leluhur bangsa Astek, Maya.... tepatnya di Amerika


Kang Yana
www.silatpdusa.com


--- Ian Samsudin wrote:

Sahabat Silat,
Pernah liat bentuk kujang? pernah pegang dan memainkan kujang?
Kalo belum tau bentuknya ato pengen liat ato pengen memiliki, bisa pesan pada sahabat silat Iwan (anggota milis juga kok). Jangan kuatir, kujangnya (juga senjata tradisionil lainnya) memiliki kualitas terbaik..

Berikut ini sedikit artikel (lama) yang kuposting ulang untuk penyegaran dan nambah wawasan ttg  kujang.

kalo ada yang mau koreksi ato nambahin ya dipersilahkan

Kujang, Warisan Leluhur Tatar Pasundan
(diambil dari www.bogor.net)

Kujang adalah sebuah senjata unik, yang pada > mulanya berasal dari daerah Jawa Barat, tepatnya di Pasundan (Sunda). Senjata ini dikenal dengan namaKujang. Tak adanya kata yang pantas di dalam bahasa Inggris, sehingga Kujang dianggap sama dengan “sickle” (arit/sabit), sekalipun wujudnya menyimpang dari bentuk asli sebuah arit/sabit. Tidak sama juga dengan “scimitar” yang bentuknya cembung. Dan di Indonesia disebut “chelurit” (celurit).

Kehidupan orang-orang Jawa di sebelah Timur Pulau Jawa menyebut Kujang sebagai “kudi”. Bagi mereka yang tidak mengetahui, penduduk asli Pulai Jawa tidak semuanya asli orang Jawa. Sementara di bagian Barat Pulau Jawa mayoritas diduduki oleh etnik Sunda.

Selama ini senjata Kujang telah di abadikan dalam sebuah monumen di pusat kota bekas kerajaan tatar sunda, Kerajaan Pajajaran, yakni di Kota Bogor.  Bahkan keberadaan Tugu Kujang ini dapat pula disebut sebagai tuju satu-satunya yang ada di Indonesia.

Kujang penuh dengan misteri. Pasalnya, menurut cerita di dalam senjata Kujang itu memiliki sebuah kekuatan magis dengan maksud yang penuh rahasia  (gaib). Menambahkan di dalam figur Kujang yang  sesungguhnya, terletak/terdapat suatu filosofi Warisan Hindu. Adalah jelas sekali dari sebelumnya bahwa “pedang” mistik ini telah diciptakan lebih sebagai azimat, a symbolical object d’art, daripada sebagai sebuah senjata.

Selanjutnya, ciptaan asli dari Kujang sebenarnya terinspirasi dari sebuah alat kebutuhan pertanian. Alat ini telah dipergunakan secara luas pada abad ke-4 sampai dengan abad ke-7 Masehi. Kujang terbaru dibuat sedikit berbeda from the tilling implements fashioned by the pandai besi terkenal, Mpu Windu Sarpo, Mpu Ramayadi, dan Mpu Mercukundo, sebagaimana yang dapat kita lihat di museum lokal. Hanya saja pada abad ke-9 sampai abad ke-12 Masehi wujud dari Kujang berbentuk seperti yang dikenal sekarang ini.

Pada tahun 1170 terjadi perubahan pada Kujang. Nilai Kujang sebagai sebuah jimat atau azimat telah diakui secara berangsur-angsur oleh raja dan bangsawan dari Kerajaan Pajajaran Makukuhan, khususnya pada masa  pemerintahan Prabu Kudo Lalean. Pada waktu di salah satu tempat bertapanya, Kudo Lalean mendapat ilham untuk mendesain ulang bentuk dari Kujang dengan menyesuaikan bentuknya dengan bentuk dari Pulau  “Djawa Dwipa”, yang dikenal sebagai jawa pada saat  itu. Dengan segera raja menugaskan keluarga kerajaan pandai besi, Mpu Windu Supo, untuk membuat mata pisau (Kujang) yang ada di dalam pikirannya. Ini telah menaruh sifat-sifat mistik dan filosofi spiritual, sebuah objek bertenaga gaib, unik di dalam desainnya, sesuatu yang pada generasi mendatang akan selalu berasosiasi dengan Kerajaan Pajajaran Makukuhan.

Setelah masa meditasinya, Mpu Windu Supo menetapkan bayangan dari Kudo Lalean (visualisasi) dan memulainya dengan membuat sebuah prototype (bentuk dasar/purwa rupa) Kujang tersebut. Kujang ini memiliki 2 buah karateristik yang mencolok bentuknya yang menyerupai Pulau Jawa dan terdapat 3 lubang di suatu tempat pada mata pisaunya.

Membuat pisau Kujang yang menyerupai bentuk Pulau Jawa mengartikan cita-cita akan penyatuan kerajaan-kerajaan kecil Jawa menjadi satu Kerajaan Makukuhan. Tiga lubang pada pisaunya untuk melambangkan Trimutri, atau tiga aspek Ketuhanan dari agama Hindu, yang juga ditaati oleh Kudo Lalean. Tiga aspek Ketuhanan menunjuk kepada Brahama, Wishnu dan Shiva, Trinitas Hindu (Trimurti) juga digambarkan/diwakilkan dengan 3 kerajaan utama pada masanya, secara berturut-turut, Kerajaan Pengging Wiraradja, berlokasi di bagian Timur Jawa Kerajaan Kambang Putih, berlokasi di north-east of island dan Kerajaan Pajajaran Makukuhan berlokasi di Barat.

Bentuk Kujang berkembang lebih jauh pada generasi mendatang. Model-model yang berbeda bermunculan.  Ketika pengaruh Islam tumbuh di masyarakat, Kujang telah dibentuk ulang menyerupai hurus Arab “Syin”.  Ini sebagian muslihat dari wilayah Pasundan, Prabu Kian Santang, yang merasa khawatir untuk merubah rakyat menjadi Islam.

Mengetahui bahwa Kujang menyimpan filosofi Hindu dan agama dari kultur yang ada, para raja muslim, imam,  sajak (kalimat) syahadat dalam setiap manusia bersaksi akan Tuhan Yang Esa dan Nabi Muhamad  sebagai utusan-Nya. Dengan mengucapkan kalimat syahadat, ia (tiap manusia) secara otomastis masuk Islam. Modifikasi Kujang memperluas area mata pisau dimana secara geografis sesuai kepada Pasundan atau  Jawa bagian Barat untuk menyesuaikan diri dengan bentuk dari huruf Syin. Kujang model terbaru seharusnya dapat mengingatkan si pemiliknya dengan kesetiannya kepada Islam dan ajaranya 5 lubang ini melambangkan 5 tiang dalam Islam (rukun Islam).

Dengan pengaruh agama Islam, beberapa model Kujang melukiskan inter-blending penghapusan paduan akan 2 style/gaya dasar dari Kujang yang didesain oleh Prabu Kudo Lalean dan Prabu Kian Santang.

Seiring berkembangnya zaman, saat ini Kujang biasa dipajang untuk mendekorasi rumah yang diyakini bisa membawa semacam keberuntungan, memberi perlindungan,  kehormatan, dll. Kujang biasanya dipajang berpasangan di dinding mata pisau yang tajam sebelah dalam saling berhadapan. Ini merupakan tabu. Larangan, bagaimanapun, tidak seorangpun boleh mengambil fotonya sedang berdiri diantara 2 kujang  tersebut, ini akan menyebabkan kematian terhadap orang tersebut didalam waktu 1 tahun tidak lebih tapi bisa kurang. Saya telah diyakinkan oleh seorang praktisioner senior Kejawen mengenai kebenaran hal ini, sebagaimana beliau telah menyaksikan sendiri.

Kenapa kejadian ini tidak diketahui secara pasti, kita mungkin menganggap ini sebagai takhayul, suatu kebetulan atau synchronicity tetapi di balik setiap fenomena hukum alam dan intelejensi/ kecerdasan > bekerja kita hanya perlu mencaritahu apakah hukum tersebut dan kesiapan fikir/pemikiran tentang kecerdasan metafisika mengarah pada hukum tersebut untuk mengetahui alasan atas keganjilan.

(dari berbagai sumber)

Aku Yang Sejati dari sudut pandang Siu Tao*)




Judul tulisan ini mungkin bisa dianggap lucu dan tidak terlalu serius , tetapi sebenarnya dalam belajarmengenali diri sendiri adalah bagian dari proses menemukan Aku Sejati (jati diri yang sesungguhnya). Selain itu mengenali diri sendiri juga seharusnya merupakan tahap awal dari proses Siu Sing Yang Sin (revisi jiwa dan raga), karena tanpa mengenali diri sendiri berarti kita tidak mengetahui apa dan bagaimana diri kita ini, lalu apa yang mau direvisi supaya lebih baik?

Apakah Aku Sejati Itu?

Menurut saya, aku sejati adalah jati diri kita (berupa eksistensi) yang sesungguhnya yang ada dahulu, sekarang dan yang akan datang. Setiap orang memiliki jati diri yang mempunyai keunikannya masing- masing. Kata "keunikan" ini sengaja dipakai untuk menggantikan kata "kelebihan dan kekurangan" agar kita tidak terjebak dalam pandangan untuk saling membandingkan. Keunikan jati diri masing-masing ini adalah merupakan hasil dari proses-proses terdahulunya dan merupakan awal dari proses kedepan yang juga tidak perlu dibandingkan dan dinilai berlebihan, akan tetapi haruslah dipahami dan disadari sepenuhnya.

Justru Siu Tao ( ) itu tujuan pokoknya adalah untuk meningkatkan kualitas dari "Aku Sejati" kita masing-masing. Maka alangkah ironisnya jika kita Siu Tao ( ), tetapi tidak tahu dulu apa dan bagaimana "Aku Sejati" kita masing-masing ?!?

Bagi seorang yang praktis dan simpel, apalagi yang sudah memiliki dasar-dasar pengertian mengenai konsep Tao yang relatif cukup kuat memang akan lebih mudah menangkap pengertian dan mencernanya sehingga dapat membayangkan dan mempersepsikan apakah AKU SEJATI itu.

Tetapi tentunya wajar dan sangat manusiawi jika seorang yang belum mengerti menjadi semakin bingung dan tidak mengerti apa dan bagaimanakah AKU SEJATI itu sebenarnya, apalagi jika dalam pembahasan dan penjelasan-penjelasannya banyak menggunakan bahasa dan istilah-istilah yang cenderung membingungkan . Contohnya ada Nyawa, Roh, Jiwa, Sukma, Hati, Hati Nurani, Kesadaran, Bawah Sadar, Mental, Aku Sejati, Yensen, Linghuen, Sin, Sing dan lain-lainnya.

Pada dasarnya pemikiran pokok dalam penulisan ini bukanlah mau membahas dan memperdebatkan semua istilah dan kata-kata diatas. Adapun saya lebih cenderung untuk mengajak pembaca berpikiran praktis dan simpel dalam permasalahan merevisi diri dengan titik tolak pengenalan diri (katakanlah "Aku Sejati") yang lebih dipandang dari sudut psikologi modern yaitu dengan mengenal kepribadian diri kita masing-masing untuk kemudian melangkah kedalam suatu usaha pengontrolan dan perbaikan kepribadian kearah yang lebih positif.

Hal ini menurut saya mungkin lebih relevan, jelas dan lebih bermanfaat sebelum kita berbicara terlalu jauh dalam keabstrakan yang sangat dalam.

Secara singkat dapat saya utarakan bahwa hal - hal yang harus dapat kita kenali dari diri kita adalah sebagai berikut:
Sifat - sifat dan karakter

Setiap orang pasti membawa sifat-sifat dan karakternya sendiri-sendiri, setiap orang walaupun bisa saja ada kemiripan tapi tidak pernah ada yang sama persis dalam hal ini.

Menurut saya sebenarnya sifat-sifat dan karakter dalam diri seseorang ini tidak ada batasan "baik-buruknya" karena bagaikan "rasa dan aroma dalam setiap masakan saja", hanya saja kalau banyak orang yang dapat menerima dan menyenangi maka dianggap "baik" sedangkan kalau banyak orang tidak dapat menerima dan tidak suka maka dinilai "tidak baik". Tentu pada akhirnya mau tidak mau harus "ada penilaian", yang mana sebagai kaum Siu Tao ( ) kitapun tidak bisa terlepas dan sudah sewajarnya berusaha mengejar nilai-nilai berlaku yang baik.

Hasrat dan keinginan

Setiap orang pasti memiliki hasrat dan keinginannya masing-masing, yang biasanya adalah merupakan refleksi dari sebuah bentuk ideal / cita-cita yang awalnya bersumber dari ego. Dalam bentuk yang paling sederhana dan murni bisa disimpulkan bahwa ego semua manusia itu pada dasarnya adalah "baik" karena secara alamiah bersumber dari "survival spirit" (naluri mempertahankan hidup). Sehingga setiap manusia selalu bermotivasi untuk mempertahankan hidupnya serta terus mengembangkan hidup ke kondisi yang semakin baik dan jauh dari resiko - resiko kesusahan baik secara fisik maupun mental.

Nah, karena begitu kompleknya keadaan yang ada maka akhirnya latar belakang dan kesempatan yang ada pada seseorang akan berbeda dengan orang lainnya. Hal ini pulalah yang kemudian harus bisa juga dipahami dan disadari sehingga kita bisa benar-benar menyatu dengan hasrat dan keinginan kita sesuai kealamiahannya masing-masing (hasrat dan keinginan ini saya anggap sebagai suatu daya pendorong gerak yang sangat murni dan tulus). Tetapi tentunya keadaan sosial tetap harus dijadikan rambu-rambu keseimbangan geraknya.

Kemampuan

Penguasaan terhadap suatu hal yang merupakan ciri khas seseorang yang dimiliki dan didapat secara dan dalam kealamiahannya masing - masing, haruslah terus digali dan dikembangkan serta dipergunakan secara positif demi kepentingan kebaikan yang semakin luas semakin baik. Dalam hal ini yang namanya kemampuan itu, normalnya memang akan selalu terasa kurang bagi semuanya, karena adanya kondisi persaingan yang semakin mengetat.

Oleh karena itu jika bisa mengenal kemampuan diri maka secara lebih gampang pula kita dapat terus mengembangkannya sehingga mencapai suatu level yang relatif tinggi. Biasanya kemampuan seseorang itu berupa wawasan, pengetahuan, kepandaian dan keahlian, yang merupakan hasil dari perpaduan antara intelegensi dan emosi melalui proses belajar (baik sekolah maupun otodidak) serta pengalaman-pengalaman sepanjang hidupnya.

Dari sini, maka kita dapat disimpulkan bahwa "belajar" dan "berlatih" adalah dua hal pokok yang sangat berperan dalam usaha meningkatkan kemampuan diri.

Ketidakmampuan & keterbatasan

Diluar kemampuan yang ada, maka adalah hal yang alami pula bahwa setiap insan didunia ini selalu diliputi juga oleh ketidakmampuan dan keterbatasan (sengaja penulis tidak menggunakan kata "kelemahan" untuk memberikan nuansa optimisme).

Adapun merupakan hal yang juga tidak kalah pentingnya dalam proses pengenalan diri kita masing-masing untuk justru lebih mengenal ketidakmampuan dan keterbatasan yang ada dengan motif untuk memperbaiki dan merubahnya sebisa mungkin sehingga menjadi faktor yang bahkan dapat diandalkan. Dalam masalah ini memang kemauan dan usaha keras secara konsisten mutlak diperlukan , karena biasanya untuk dapat bisa "mengakui" bahwa kita mempunyai ketidakmampuan dan keterbatasan saja sudah sangat sulit (karena harus melawan ego dan kesombongan kita) apalagi untuk merubahnya.

Modal dasar utama yang diperlukan untuk mengatasi hal ini adalah kejujuran dan keterbukaan. Akan tetapi dilain sisi, jangan pula kita sampai terjerumus dan terseret arus pola berpikir pesimis yang akhirnya justru membesar-besarkan faktor ketidakmampuan dan keterbatasan yang ada menjadi senjata dan alasan untuk meng "cover" semua hal dalam kehidupan ini yang memang sulit dan berat bagi siapapun.

Latar belakang

Latar belakang bisa dianggap sebagai akar dari semua perkembangan yang timbul dan ada sekarang ini bagi siapapun juga. Walau kita pada akhirnya memang tidak perlu mempermasalahkan tapi bisa memahami latar belakang dari diri kita sedikit banyak dapat berguna untuk mengetahui siapa dan bagaimana diri kita yang sesungguhnya.

Oleh karena itu pula dalam metode-metode pengembangan kepribadian yang paling modern sekalipun, pemanfaatan latar belakang diri seseorang sebagai alat refleksi diri untuk membangkitkan pemicu semangat kearah yang lebih efektif masih sangat ampuh dan bermanfaat. Didalam hal ini kita sebagai seorang insan Tao modern yang proaktif tentunya diharapkan juga dapat memahami dan menyadari hal tersebut, sehingga dapat memandang diri sekarang ini secara komprehensif sebagai suatu hasil dari proses-proses terdahulu yang berkesinambungan untuk dijadikan landasan kearah depan yang lebih baik dan semakin baik.

Bagi sebagian orang mengenali diri sendiri mungkin adalah masalah yang mudah tapi umumnya sebagian besar orang menganggap adalah masalah yang sukar dan sulit. Secara pribadi saya sendiri berpendapat bahwa mengatasi proses pengenalan diri sendiri ini memang bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah dan gampang. Permasalahan utama yang sering timbul dan menghambat kita untuk dapat mengenali diri kita ini adalah kemampuan diri untuk berdiri secara "jujur, obyektif dan adil" dalam memberikan pandangan terhadap diri sendiri.

Nah, dalam kenyataannya memang hal inilah yang justru jarang bisa dilakukan oleh setiap orang . Akhirnya proses mengenali diri sendiri ini memang akan menjadi sangat sulit dan membingungkan karena faktor ketidak jujuran, ketidak obyektifan dan ketidak adilan dalam memandang diri itu sendirilah yang harus bisa disadari dan diperbaiki (revisi).

*) Sumber http://foxladys.blogspot.com  tulisan Hendra

Kamis, 15 Oktober 2009

MENGENAL KERIS



Ada pepatah yang menyatakan : "Penghargaan pada seseorang tergantung karena busananya." Mungkin pepatah itu lahir dari pandangan psikolog yang mendasarkan pada kerapian, kebersihan busana yang dipakai seseorang itu menunjukkan watak atau karakter yang ada dalam diri orang itu.

Di kalangan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya untuk suatu perhelatan tertentu, misalnya pada upacara perkawinan, para kaum prianya harus mengenakan busana Jawi jangkep (busana Jawa lengkap). Dan kewajiban itu harus ditaati terutama oleh mempelai pria, yaitu harus menggunakan/memakai busana pengantin gaya Jawa yaitu berkain batik, baju pengantin, tutup kepala (kuluk) dan juga sebilah keris diselipkan di pinggang. Mengapa harus keris? Karena keris itu oleh kalangan masyarakat di Jawa dilambangkan sebagai simbol "kejantanan." Dan terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris merupakan lambang pusaka.

Pandangan ini sebenarnya berawal dari kepercayaan masyarakat Jawa dulu, bahwa awal mula eksistensi mahkluk di bumi atau di dunia bersumber dari filsafat agraris, yaitu dari menyatunya unsur lelaki dengan unsur perempuan. Di dunia ini Allah Swt, menciptakan makhluk dalam dua jenis seks yaitu lelaki dan perempuan, baik manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Kepercayaan pada filsafat agraris ini sangat mendasar di lingkungan keluarga besar Karaton di Jawa, seperti Karaton Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan lain-lain. Kepercayaan itu mulanya dari Hinduisme yang pernah dianut oleh masyarakat di Jawa. Lalu muncul pula kepercayaan tentang bapa angkasa dan ibu bumi/pertiwi. Yang juga dekat dengan kepercayaan filsafat agraris di masyarakat Jawa terwujud dalam bentuk upacara kirab pusaka pada menjelang satu Sura dalam kalender Jawa dengan mengkirabkan pusaka unggulan Karaton yang terdiri dari senjata tajam: tombak pusaka, pisau besar (bendho). Arak-arakan pengirab senjata pusaka unggulan Karaton berjalan mengelilingi komplek Karaton sambil memusatkan pikiran, perasaan, memuji dan memohon kepada Sang Maha Pencipta alam semesta, untuk beroleh perlindungan, kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin.

Fungsi utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk membela diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh. Namun kemudian fungsi dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak pusaka itu berubah. Di masa damai, kadang orang menggunakan keris hanya sebagai kelengkapan busana upacara kebesaran saat temu pengantin. Maka keris pun dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris. Bahkan sarungnya yang terbuat dari logam diukir sedemikian indah, berlapis emas berkilauan sebagai kebanggaan pemakainya. Lalu, tak urung keris itu menjadi komoditi bisnis yang tinggi nilainya.

Tosan Aji atau senjata pusaka itu bukan hanya keris dan tombak khas Jawa saja, melainkan hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki senjata tajam pusaka andalan, seperti rencong di Aceh, badik di Makasar, pedang, tombak berujung tig (trisula), keris bali, dan lain-lain.

Ketika Sultan Agung menyerang Kadipaten Pati dengan gelar perang Garudha Nglayang, Supit Urang, Wukir Jaladri, atau gelar Dirada Meta, prajurit yang mendampingi menggunakan senjata tombak yang wajahnya diukir gambar kalacakra.

Keris pusaka atau tombak pusaka yang merupakan pusaka unggulan itu keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsur besi baja, besi, nikel, bahkan dicampur dengan unsur batu meteorid yang jatuh dari angkasa sehingga kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan doa kepada Sang Maha Pencipta Alam (Allah SWT) dengan suatu upaya spiritual oleh Sang Empu. Sehingga kekuatan spiritual Sang Maha Pencipta Alam itu pun dipercayai orang sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah sehingga dapat mempengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka itu. Pernah ada suatu pendapat yang berdasarkan pada tes ilmiah terhadap keris pusaka dan dinyatakan bahwa keris pusaka itu mengeluarkan energi/kekuatan yang tidak kasat mata (tak tampak dengan mata biasa).

Yang menarik hati adalah keris yang dipakai untuk kelengkapan busana pengantin pria khas Jawa. Keris itu dihiasi dengan untaian bunga mawar melati yang dikalungkan pada hulu batang keris. Ternyata itu bukan hanya sekedar hiasan, melainkan mengandung makna untuk mengingatkan orang agar jangan memiliki watak beringas, emosional, pemarah, adigang-adigung-adiguna, sewenang-wenang dan mau menangnya sendiri seperti watak Harya Penangsang.

Kaitannya dengan Harya Penangsang ialah saat Harya Penangsang berperang melawan Sutawijaya, karena Penangsang pemarah, emosional, tidak bisa menahan diri, perutnya tertusuk tombak Kyai Plered yang dihujamkan oleh Sutawijaya. Usus keluar dari perutnya yang robek. Dalam keadaan ingin balas dendam dengan penuh kemarahan Penangsang yang sudah kesakitan itu mengalungkan ususnya ke hulu keris di pinggangnya. Ia terus menyerang musuhnya. Pada suatu saat Penangsang akan menusuk lawannya dengan keris Kyai Setan Kober di bagian pinggang, begitu keris dihunus, ususnya terputus oleh mata keris pusakanya. Penangsang mati dalam perang dahsyat yang menelan banyak korban. Dari peristiwa itulah muncul ide keris pengantin dengan hiasan untaian bunga mawar dan melati.

Tosan aji atau senjata pusaka seperti tombak, keris dan lain-lain itu bisa menimbulkan rasa keberanian yang luar biasa kepada pemilik atau pembawanya. Orang menyebut itu sebagai piyandel, penambah kepercayaan diri, bahkan keris pusaka atau tombak pusaka yang diberikan oleh Sang Raja terhadap bangsawan Karaton itu mengandung kepercayaan Sang Raja terhadap bangsawan unggulan itu. Namun manakala kepercayaan sang raja itu dirusak oleh perilaku buruk sang adipati yang diberi keris tersebut, maka keris pusaka pemberian itu akan ditarik/diminta kembali oleh sang raja.

Hubungan keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat Jawa diartikan secara ilosoi sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai keharmonisan hidup di dunia. Maka lahirlah filosofi "manunggaling kawula – Gusti", bersatunya abdi dengan rajanya, bersatunya insan kamil dengan penciptanya, bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, sehingga kehidupan selalu aman damai, tentram, bahagia, sehat sejahtera. Selain saling menghormati satu dengan yang lain masing-masing juga harus tahu diri untuk berkarya sesuai dengan porsi dan fungsinya masing-masing secara benar. Demikianlah makna yang dalam dari tosan aji sebagai karya seni budaya nasional yang mengandung pelbagai aspek dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya.

RICIKAN ATAU ANATOMI KERIS

Anatorni keris dikenal juga dengan istilah ricikan keris. Berikut ini akan diuraikan anatorni keris satu persatu :
  1. Pesi, yaitu tangkai keris yang masuk ke dalam pegangan atau ukir.
  2. Ganja, yaitu dasar bilah keris yang tebal. Ganya dapat menyatu atau terpisah dengan bilah.
  3. Buntut Mimi, merupakan bentuk meruncing pada ujung ganja.
  4. Gunungan, yaitu bentuk menonjol atau membukit sebelum buntut.
  5. Greneng, yaitu ornamen berbentuk huruf Jawa Dha ( ) yang berderet.
  6. Thingil, yaitu tonjolan kecil pada grenelig atau pada dasar huruf Jawa Dha.
  7. Ri pandhan, yaitu bentuk ujung yang meruncing menyerupai duri pada huruf Jawa Dha.
  8. Ron Dha, yaitu ornamen pada huruf Jawa Dha.
  9. Sraweyan, yaitu dataran yang merendah di belakang sogogwi, di atas ganja.
  10. Bungkul, bentuknya seperti bawang, terletak di tengah-tengah dasar bilah dan di atas ga~qa.
  11. Pejetan, bentuknya seperti bekas pijatan ibu jari yang terletak di belakang gandik.
  12. Lambe Gajah, bentuknya menyerupai bibir gajah. Ada yang rangkap dan Ietaknya menempel pada gandik.
  13. Gandik, berbentuk penebalan agak bulat yang memanjang dan terletak di atas sirah cecak atau ujung ganja.
  14. Kembang Kacang, menyerupai belalai gajah dan terletak di gandik bagian atas.
  15. Jalen, menyerupai taji ayam jago yang menempel di gandik.
  16. Greneng, yaitu ornamen berbentuk huruf Jawa Dha ( ) yang berderet.
  17. Tikel Alis, terietak di atas pejetan dan bentuknya rnirip alis mata.
  18. Janur, bentuk lingir di antara dua sogokan.
  19. Sogokan depan, bentuk alur dan merupakan kepanjangan dari pejetan.
  20. Sogokan belakang, bentuk alur yang terletak pada bagian belakang.
  21. Pudhak sategal, yaitu sepasang bentuk menajam yang keluar dari bilah bagian kiri dan kanan.
  22. Juga Pudhak Sategal.
  23. Poyuhan, bentuk yang menebal di ujung sogokan.
  24. Landep, yaitu bagian yang tajam pada bilah keris.
  25. Gusen, terletak di be!akang landep, bentuknya memanjang dari sor-soran sampai pucuk.
  26. Gula Milir, bentuk yang meninggi di antara gusen dan kruwingan.
  27. Kruwingan, dataran yang terietak di kiri dan kanan adha-adha.
  28. Adha-adha, penebalan pada pertengahan bilah dari bawah sampal ke atas.

Mengenal Ilmu Tayuh Keris




Mengenal Ilmu Tayuh Keris

Ilmu Tayuh Keris adalah sejenis ilmu tradisional yang digunakan untuk menentukan apakah sebilah keris akan cocok dipakai atau dimiliki oleh seseorang, atau tidak. Ilmu ini terutama bermanfaat untuk meningkatkan kepekaan seseorang agar dia dapat menangkap kesan karakter sebilah keris dan menyesuaikan dengan kesan karakter dari calon pemiliknya.

Contohnya, keris yang menampilkan karakter keras, galak, tidak baik dipakai oleh seorang yang sifatnya keras dan kasar. Untuk orang semacam itu sebaiknya dipilihkan keris yang karakternya lembut, dingin.

Cara Me-nayuh

Ada berbagai cara untuk me-nayuh sebilah keris atau tombak. Di Pulau Jawa dan dibeberapa daerah lainnya, yang terbanyak adalah dengan cara meletakkan keris atau tombak itu di bawah bantal, atau langsung dibawah tengkuk, sebelum tidur. Agar aman, keris atau tombak itu lebih dahulu diikat dengan sehelai kain dengan sarungnya. Dengan cara ini si Pemilik atau orang yang me-nayuh itu berharap dapat bertemu dengan 'isi' keris dalam mimpinya. Namun cara ini tidak senantiasa berhasil. Kadang-kadang mimpi yang dinantikan tidak muncul, atau seandainya mimpi, sesudah bangun lupa akan isi mimpinya.

Jika malam pertama tidak berhasil biasanya akan diulangi pada malam berikutnya, dan seterusnya sampai mimpi yang diharapkan itu datang. Keris atau tombak itu dianggap cocok atau jodoh, bilamana pada saat ditayuh orang bermimpi bertemu dengan seorang bayi, anak, gadis, atau wanita, pemuda atau orang tua, yang menyatakan ingin ikut, ingin diangkat anak, atau ingin diperistri.

Bisa jadi, yang ditemui dalam mimpi termasuk juga makhluk yang menakutkan. Mimpi yang serupa itu ditafsirkan sebagai isyarat dari 'isi' keris yang cocok atau tidak cocok untuk dimiliki.

Bagi orang awan, cara me-nayuh lewat mimpi inilah yang sering dilakukan, juga sampai sekarang. Selain cara itu masih banyak lagi cara lainnya. Untuk dapat me-nayuh keris atau tosan aji lainnya, tidak harus lebih dulu menjadi seorang ahli. Orang awan pun bisa, asalkan tahu caranya.

Dalam masyarakat perkerisan juga dikenal apa yang disebut keris tayuhan, yaitu keris yang dalam pembuatannya lebih mementingkan soal tuah daripada keindahan garap, pemilihan bahan besi, dan pembuatan pamornya. Keris semacam itu biasanya mempunyai kesan wingit, angker, memancarkan perbawa, dan ada kalanya menakutkan.

Walaupun segi keindahan tidak dinomorsatukan, namun keris itu tetap indah karena pembuatnya adalah seorang empu. Padahal seorang empu, tentulah orang yang mempunyai kepekaan keindahan yang tinggi. Patut diketahui, keris-keris pusaka milik keraton, baik di Yogyakarta maupun di Surakarta, pada umumnya adalah jenis keris tayuhan. Dapur keris tayuhan, biasanya juga sederhana, biasanya juga sederhana, misalnya, Tilam Upih, Jalak Dinding, dan Mahesa Lajer.

Bukan jenis dapur keris yang mewah semacam Nagasasra, Naga Salira, Naga Kikik, atau Singa Barong. Selain itu, keris tayuhan umumnya berpamor tiban. Bukan pamor rekan. Di kalangan peminat dan pecinta keris, keris tayuhan bukan keris yang mudah diperlihatkan pada orang lain, apalagi dengan tujuan untuk dipamerkan. Keris tayuhan biasanya disimpan dalam kamar pribadi dan hanya dibawa keluar kamar jika akan dibersihkan atau diwarangi.

Selasa, 13 Oktober 2009

Sastra Cetha / Sastra Jendra Hayuningrat Tentang Tehnik pencapaian laku

Catatan Tambahan untuk

Sastra Cetha / Sastra Jendra Hayuningrat
Tentang
Tehnik pencapaian laku :

Posisi tidur telentang kaki lurus, telapak tangan masing2 menempel ke paha, telapak kaki kanan menempel ke telapak kaki kiri (posisi saluku tunggal).

Nafas  &  konsentrasi  :  tarik  nafas  (dari  pusar)  naik  ke  dada  - tenggorokan , kemudian naikkan lagi ke ubun2 , (tahan sekuatnya ), kemudian  turunkan  lagi  perlahan  –lahan  ke  pusar  sambil  membuang nafas.

Pada  saat  tarik  nafas  sambil  mengucap  batin    huu    pada  saat melepas „ yaa „, setiap tahapan dilakukan 3 kali tarikan/ buang nafas (Tripandurat), kemudian baru istirahat dan kemudian dilakukan lagi .

Semakin lama kita bias menahan nafas (di ubun2) semakin bagus, dgn catatan  setiap  tripandurat  hrs  ada  jeda  istirahat  sebentar,  pada saat  bersatunya  rah  (darah)  atau  roh  di  ubun2  (susuhunan)  itulah bisa  disebut  manunggaling  kawula  gusti,  dalam  arti  jika  nafas  naik kita  jumeneng  gusti  dan  pada  saat  turun  kita  kembali  jd  kawulo, namun yg dimaksud disini bukan berarti nafasnya tetapi adalah Cipta & rasa nya.

Patrap/konsentrasi  semedi  ini  bias  dilakukan  sambil  beraktifitas sehari2  sambil  tetap mengatur  jalan  nafas  dan mantra  “huu    yaa” diatas.

Banyaknya  orang  untuk mengetahui  tentang  sastra  jendra  ini diikuti sembah  tulus  kepadaNya, maka  yang  diperoleh  adalah  suatu  ajaran hidup yang sumende karsaning widi, berserah kepada Tuhannya. Bila kesemuanya dilakoni maka tentunya akan diperoleh ajaran sejati yang berujud  sastra  jendra  pangruwating  diyu,  kalau  di  tempat  saya sastra = tulis, jendra = papan. Yaitu suatu ilmu yang diajarkan tanpa perantara,  berujud  tulisan  kang  tanpa  papan  (tulisan  tanpa  tempat menulis),  untuk menuju  kesana  diperlukan  papan  tanpa  tulisan,  atau tempat yang tiada apa apa lagi selain Tuhan itu.

Lalu sastra jendra dikatakan sastra cetha, yang artinya jelas, tetapi kok  masih  dicari,  hal  ini  mengusik  kita,  walaupun  dikatakan  sastra cetha/jelas tetapi tanpa laku yang cukup untuk mengetahuinya, maka niscaya tiada pernah didapat. Sastra cetha sendiri juga mengartikan bahwa  siapa  yang  sudah  paham  akan  isi  sastra  jendra  sendiri  akan tiada  kesamaran  sawiji  -  wiji,  tiada  akan  bimbang  akan  isi  dunia ini karena sudah yakin akan tujuan hidupnya.

Kemudian  tentang  laku  awal  untuk  mencapai  hal  tersebut  adalah dengan samadhi. Samadhi yang dilakukan dengan sungguh pasrah akan kehendak yang Kuasa dan sungguh pasrah atas segala dosa dan hidup kita.

Olah  nafas  yang  dipergunakan  adalah  nafas  halus,  yaitu  menjaga (bukan  mengatur  seperti  yg  lainya)  untuk  bernafas  dengan  teratur antara  keluar  dan  masuknya  nafas.  Tidak  boleh  ditahan  ataupun sengaja  dihabiskan.  Betul  betul  bafas  teratur  seperti  kita  tidur, jangan  sampai  goyah.  Pikiran  dipusatkan  kepada  jalannya  nafas, terus  merasakan  keluar  dan  masuknya  nafas.  Kalau  dalam  tahap meditasi  ini  dirasakan  atau  pun  merasa  melihat  sesuatu,  jangan hiraukan  terus  kepada  pemusatan  kepada  talining  urip  (nafas).

Dengan  terus  melakukan  ini  bila  berhasil  akan  mengetahui  dengan sendirinya suatu rahasia kemampuan diri kita

Kemudian  tentang  laku  awal  untuk  mencapai  hal  tersebut  adalah dengan samadhi. Samadhi yang dilakukan dengan sungguh pasrah akan kehendak yang Kuasa dan sungguh pasrah atas segala dosa dan hidup kita.

Olah  nafas  yang  dipergunakan  adalah  nafas  halus,  yaitu  menjaga (bukan  mengatur  seperti  yg  lainya)  untuk  bernafas  dengan  teratur antara  keluar  dan  masuknya  nafas.  Tidak  boleh  ditahan  ataupun sengaja  dihabiskan.  Betul  betul  nafas  teratur  seperti  kita  tidur, jangan  sampai  goyah.  Pikiran  dipusatkan  kepada  jalannya  nafas, terus  merasakan  keluar  dan  masuknya  nafas.  Kalau  dalam  tahap meditasi  ini  dirasakan  atau  pun  merasa  melihat  sesuatu,  jangan hiraukan  terus  kepada  pemusatan  kepada  talining  urip  (nafas).

Dengan  terus  melakukan  ini  bila  berhasil  akan  mengetahui  dengan sendirinya suatu rahasia kemampuan diri kita .

Ini  yang  dikatakan  olah  rasa,  yaitu  mengolah  dan  merasakan  rasa jati, berusaha merasakan rasa yang sejati.

Demikianlah Uraian Singkat Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu semoga semoga masih ada manfaatnya.

Rahayu  rahayu

HAL Tjakraningrat Pakubhumi Prarahyangan