Sabtu, 24 April 2010

SHIGETADA NISHIJIMA, SAKSI PERUMUSAN NASKAH PROKLAMASI

WAWANCARA DENGAN SHIGETADA NISHIJIMA

Basyral Hamidy Harahap

Pengantar dari penulis:
Artikel ini dimuat oleh Harian KOMPAS edisi 16 Agustus 2001, halaman 28 kolom 1 s.d. 9 yang disalin kembali seperti di bawah ini dengan koreksi nama Shigetada Nishijima yang di KOMPAS tertulis Sigetada Nishijima.

SAYA merasa beruntung mendapat peluang mewawancarai satu-satunya saksi hidup peristiwa bersejarah perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dia adalah Shigetada Nishijima (90), yang kini hidup bersama isterinya di suatu apartemen di Tokyo. Pertemuan kami berlangsung dalam suasana kekeluargaan yang kental. Ini merupakan wawancara saya yang kedua dengan Nishijima. Pertama, pada bulan November 1990 di kediaman Nu. Adam Malik di Jalan Diponegoro 29, Jakarta Pusat. Kedua, tanggal 10 Oktober 2000 di Meguro-ku, Tokyo.





PERTEMUAN itu diatur beberapa hari sebelumnya. Kedatangan saya diterima dalam suasana kekeluargaan yang hangat oleh Shigetada Nishijima dan Hideki Nishijima, puteranya kelahiran Bandung. Ketika itu Ny. Nishijima sedang sakit.

Berbincang-bincang selama satu jam penuh dengan tokoh seperti Shigetada Nishijima, merupakan suatu kehormatan bagi saya. Nishijima telah menyediakan sjumlah bahan-bahan wawancara. Nishjima memperlihatkan beberapa dokumen penting, antara lain empat halaman surat Mr. Ahmad Subarjo bertanggal 18 Oktober 1954, sepucuk surat Adam Malik, surat asli Bung Hatta bersama amplopnya yang masih berperangko. Nishijima menyerahkan dokumen-dokumen tersebut kepada saya. Sebuah naskah memoarnya dalam bahasa Jepang menjadi rujukan dalam wawancara itu.

Nishijima adalah pribadi yang menarik. Dia seorang yang periang, ingatannya masih cerelang, suaranya lantang, fasih berbahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda. Sebelum pendudukan Jepang, Nishijima tinggal di Jakarta, kemudian pindah ke Bandung sebagai pegawai di Toko Jepang, Chiyoda. Karena pergaulannya yang erat dengan para pemuda pejuang Indonesia menjelang pendudukan Jepang, pemerintah colonial Belanda menangkap Nishijima. Dia mendekam di kamp tahanan politik berpenghuni kira-kira 500 orang di Garut. Di antara tahanan itu ada Adam Malik, Asmara Hadi, S.K. Trimurti, dan lain-lain.

Pada masa pendudukan Jepang, Nishijima adalah tangan kanan sekaligus penerjemah bagi Laksamana Tadashi Maeda. Menjelang proklamasi kemerdekaan, Nishijima banyak membantu para pemuda, antara lain Adam Malik, Sukarni, Chairul Saleh, Elkana Lumban Tobing, B.M. Diah, Wikana, Pandu, dan lain-lain.

Wawancara dengan Nishijima saya fokuskan pada peristiwa perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1945 malam di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1, Jakarta Pusat sekarang.

Laksamana Tadashi Maeda dan Shigetada Nishijima telah sepakat, bertekad bulat untuk tidak menceritakan kepada Sekutu tentang keterlibatan mereka dalam perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu. Alasannya antara lain untuk melindungi nama baik Republik Indonesia. Terlebih, Sekutu sudah mencium keterlibatan pihak Jepang. Sekutu menuduh bahwa Proklamasi itu adalah rekayasa pihak Jepang. Di bawah ini beberapa petikan wawancara dengan Shigetada Nishijima, sebagai berikut:

Tanya (T): Pak Nishijima, bagaimana sikap Laksamana Tadashi Maeda dan Pak Nishijima sendiri menghadapi tuduhan Sekutu tentang keterlibatan pihak Jepang dalam perumusan naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 16 Agustus 1945?

Jawab (J): Terus terang, Laksamana Muda T. Maeda dan saya berusaha sekeras-kerasnya untuk menjaga nama baik Republik Indonesia, agar jangan sampai Belanda bias mengecap RI itu sebagai bikinan Jepang. Pada akhir bulan Desember 1946, E.S. Pohan sebagai war crime's suspect, dipindahkan dari salah satu tempat ke penjara Gang Tengah. Dia dimasukkan ke double sel yang tadinya ditempati Tuan T. Maeda. Kemudian Tuan T. Maeda dipindahkan ke dalam sel saya. Memang ini adalah kesalahan dari pihak pengurus penjara. Karena Tuan T. Maeda dan saya masih belum diperiksa mengenai rapat dan kejadian di rumah Tuan T. Maeda. Kami berdua merasa amat senang. Kami berunding betul-betul sampai mana boleh terus terang dan mana harus tinggal diam saja mengenai perumusan naskah proklamasi.
Karena pada waktu itu Belanda berusaha keras untuk mengecap Republik sebagai bikinan Jepang. Karena apa? Karena tanggalnya ditulis ‘05. ’05 artinya artinya tahun Jepang, bukan ’45. Biarpun pemeriksa berturut-turut empat hari menekan saya sampai akhirnya mengeluarkan air kencing berdarah, saya tetap tidak mengaku. Umur saya waktu itu hamper 36 tahun dan masih bisa tahan.

T: Siapa saja yang duduk di meja bundar ketika merumuskan naskah Proklamasi itu?

J: (Sambil menggambarkan suasana di ruangan itu Nishijima berkisah). Di sini duduk Tuan Maeda, Tuan Sukarno, Tuan Hatta, Mr. Subarjo, saya sendiri, Tuan Yoshizumi, dan S. Miyoshi dari Angkatan Darat. Kami membicarakan bagaimana teks proklamasi. Pemuda ada di luar, antara lain Sukarni, Chairul Saleh dan yang lainnya. Pemuda meminta agar supaya teks itu bunyinya keras, artinya hebat. Padahal saya sendiri sebagai pihak Jepang, apalagi saya tahu sedikitnya international law bahwa jika pihak Jepang mengakui dan menyetujui teks itu, kita akan dimarahi oleh Sekutu. Jadi kata-kata itu harus dirumuskan. Sehingga ada perubahan-perubahan. Perubahan itu, tentang kata penyerahan, dikasihkan, atau diserahkan. Itu tidak bisa. Perebutan juga kita tidak mau mengakuinya. Sehingga di sini diadakan pemindahan kekuasaan. Sukarno sendiri menulis diselenggarakan. Pihak Indonesia tidak mengakui bahwa itu dicampuri oleh Jepang.

T: Apakah Pak Nishijima pernah menulis tentang peristiwa perumusan naskah Proklamasi itu?

J: Saya dan sudara Koichi Kishi sudah menerbitkan buku tentang pendudukan Jepang di Indonesia dalam bahasa Jepang berjudul Indonesia niokeru Nihon Gunsei no Kenkyu yang diterbitkan pada bulan Mei 1959. Soal perumusan juga tertera di dalam buku itu. Tidak kurang dari 100 tulisan ditambah televise BBC London dan NHK Tokyo yang menyiarkan keterlibatan saya dalam perumusan naskah Proklamasi.

T: Bagaimana pendapat Pak Nishijima tentang sikap pihak Indonesia yang tidak mengakui keterlibatan Jepang dalam penyusunan naskah Proklamasi itu?

J: Saya memahami perasaan pihak Indonesia bahwa soal proklamasi itu betul-betul peristiwa bersejarah. Jadi mereka tidak mau mengakui bahwa orang Jepang campur tangan dalam hal itu.

T: Bagaimana reaksi pemimpin-pemimpin Indonesia terhadap klarifikasi Pak Nishijima bahwa sebenarnya pihak Jepang mengambil bagian dalam perumusan Proklamasi itu?

J: Sampai sekarang saya tidak menerima “bantahan secara terbuka” dari pihak Indonesia, baik dari pelaku-pelaku maupun pemuda-pemuda atau pemimpin-pemimpin yang mengintip.

T: Apakah ada saksi lain yang dapat membenarkan keterangan Pak Nishijima itu?

J: Ada, Nyonya Satsuki Mishima, alamat 1-28-16, Bukomotomachi, Amagasaki-shi, telepon 064-31-2509. Dialah yang menyediakan makan sahur bagi Bung Karno dan Bung Hatta. Saya Tanya kepadanya tentang berapa orang Jepang duduk di meja bundar bersama-sama Bung Karno, Drs. Hatta dan Mr.
Subarjo. Dia menjawab tegas bahwa ada Laksamana T. Maeda, T. Yoshizumi, S. Nishijima, dan S. Miyoshi dari Angkatan Darat.

T: Sejauh mana Pak Nishijima mengenal Bung Karno, Bung Hatta, Adam Malik, dan Ahmad Subarjo?

J: Saya mengenal Bung Karno dan Bung Hatta di Jakarta. Ketika itu pemuda begitu berkobar. Sehingga saya menjadi pengantara. Ketika itu saya sudah kenal baik sama Bung Karno dan Bung Hatta. Saya bersama-sama pergi ke Makassar pada masa perang. Jadi ketika itu saya terpaksa menjadi pengantara pemuda, Karni, dan Chairul Saleh. Bung Karno juga baik sekali sama saya. Adam Malik melihat saya sebagai saudara. Saya juga menganggap dia sebagai saudara. Dia bekas pejuang. Jadi saya menghargai betul.Mr. Subarjo adalah sahabat baik saya. Dia menulis surat kepada saya pada tanggal 18 Oktober 1954. Subarjo antara lain menulis, “Percayalah bahwa sampai mati saya tak akan lupa teman-teman di Jepang yang dengan hati suci dan sungguh-sungguh membantu kami dalam melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Hanya orang sedikit saja yang tahu menahu akan seluk-beluknya di sekitar Proklamasi. Dan, sudah barang biasa dalam sejarah dunia bahwa di belakang kejadian-kejadian yang sangat penting masih terbenam beberapa faktor-faktor yang tak diketahui oleh umum. Seperti dalam Proclamation of Independence daripada Amerika Serikat, baru saja belakangan hari ini diketahui bahwa bukan Thomas Jefferson yang merancangkannya, tetapi seorang bernama Thomas Paine yang menulis beberapa buku ilmu filsafat, seperti The Rights of Man. Baru 150 tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan Amerika, orang mulai mengetahui bahwaThomas Paine itu yang merancangkan kata-kata Declaration of Independence itu.

Maka dari itu, penting sekali kalau orang-orang seperti Tuan yang tahu betul seluk-beluknya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia menulis feitennya (faktanya, penulis). Terserah kepada historicus yang akan dating untuk menulis dengan cara obyektif dan perasaan tanggung jawab terhadap kebenaran, bagaimana terjadinya Proklamasi kita iti.”

Itu yang ditulis Subarjo. Adam Malik sendiri pernah mengatakan kepada saya, 22 Desember 1976 di Hotel Takanawa Prince, Tokyo, “Saya dengar dari Sdr. Sukarni almarhum bahwa Sdr. Nishijima ikut serta merumuskan naskah proklamasi, dan saya mengerti sikap saudara yang menutup hal itu terhadap Belanda untuk menolong Republik,” kata Adam Malik.

Bung Karno juga mengakui bahwa orang-orang Jepang secara pribadi tidak sedikit yang ikut berjuang bersama-sama bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. Untuk menghargai jasa-jasa mereka, khususnya Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro, pada tanggal 15 Februari 1958, ketika Bung Karno berada di Tokyo menyerahkan kepada saya teks sebuah prasasti untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo.
Terasa wawancara selama satu jam berlalu sangat cepat. Keinginan saya untuk menggali informasi lainnya terpaksa diurungkan, karena Pak Nishijima tampak kelelahan. Itulah sekelumit wawancara dengan Shigetada Nishijima. Mudah-mudahan harapan Nishijima dan Mr. Ahmad Subarjo tercapai, yaitu agar ada sejarawan yang menulis peristiwa penyusunan naskah Proklamasi sesuai fakta.

Basyral Hamidy Harahap
Sekretaris Yayasan Adam Malik

Sabtu, 03 April 2010

MENGAJI RASA DALAM MENGENAL GHOIB




Banyak orang yang bertanya, mengapa dalam mempelajari Agama mesti harus mengenal Rasa ? Memang kalau hanya sampai pada tingkat Syariat, bab rasa tidak pernah dibicarakan atau disinggung. Tetapi pada tingkat Tarekat keatas bab rasa ini mulai disinggung. Karena bila belajar ilmu Agama itu berarti mulai mengenal siapa Sang Percipta itu.

Karena ALLAH maha GHOIB maka dalam mengenal hal GHOIB kita wajib mengaji rasa.

Jadi jelas berbeda dengan tingkat syariat yang memang mengaji telinga dan mulut saja.Dan mereka hanya yakin akan hasil kerja panca inderanya.Bukan Batin!

Bab rasa dapat dibagi dalam beberapa golongan .
Yaitu :
  1. RASA TUNGGAL,
  2. SEJATINYA RASA,
  3. RASA SEJATI,
  4. RASA TUNGGAL JATI.

Mengaji Rasa sangat diperlukan dalam mengenal GHOIB.Karena hanya dengan mengaji rasa yang dimiliki oleh batin itulah maka kita akan mengenal dalam arti yang sebenarnya,apa itu GHOIB.

1. RASA TUNGGAL
Yang empunya Rasa Tunggal ini ialah jasad/jasmani. Yaitu rasa lelah, lemah dan capai. Kalau Rasa lapar dan haus itu bukan milik jasmani melainkan milik nafsu.
Mengapa jasmani memiliki rasa Tunggal ini. Karena sesungguhnya dalam jasmani/jasad ada penguasanya/penunggunya. Orang tentu mengenal nama QODHAM atau ALIF LAM ALIF. Itulah sebabnya maka didalam AL QUR’AN, ALLAH memerintahkan agar kita mau merawat jasad/jasmani. Kalau perlu, kita harus menanyakan kepada orang yang ahli/mengerti. Selain merawatnya agar tidak terkena penyakit jasmani, kita pun harus merawatnya agar tidak menjadi korban karena ulah hawa nafsu maka jasad kedinginan, kepanasan ataupun masuk angin.

Bila soal-soal ini kita perhatikan dengan sungguh-sungguh, niscaya jasad kita juga tahu terima kasih. Kalau dia kita perlakukan dengan baik, maka kebaikan kita pun akan dibalas dengan kebaikan pula. Karena sesungguhnya jasad itu pakaian sementara untuk hidup  sementara dialam fana ini. Kalau selama hidup jasad kita rawat dengan sungguh-sungguh (kita bersihkan 2 x sehari/mandi, sebelum puasa keramas, sebelum sholat berwudhu dulu, dan tidak menjadi korban hawa nafsu, serta kita lindungi dari pengaruh alam), maka dikala hendak mati jasad yang sudah suci itu pasti akan mau diajak bersama-sama kembali keasal, untuk kembali ke sang pencipta. Seperti halnya kita bersama-sama pada waktu dating/lahir kealam fana ini. Mati yang demikian dinamakan mati Tilem (tidur) atau mati sempurna. Pandangan yang kita lakukan malah sebaliknya. Mati dengan meninggalkan jasad. Kalau jasad sampai dikubur, maka QODHAM atau ALIF LAM ALIF, akan mengalami siksa kubur. Dan kelak dihari kiamat akan dibangkitkan.

Dalam mencari nafkah baik lahir maupun batin, jangan mengabaikan jasad. Jangan melupakan waktu istirahat. Sebab itu ALLAH ciptakan waktu 24 jam (8 jam untuk mencari nafkah, 8 jam untuk beribadah, dan 8 jam untuk beristirahat). Juga dalam hal berpuasa, jangan sampai mengabaikan jasad. Sebab itu ALLAH tidak suka yang berlebih-lebihan. Karena yang suka berlebih-lebihan itu adalah Dzad (angan-angan). Karena dzad mempunyai sifat selalu tidak merasa puas.


2. SEJATINYA RASA
Apapun yang datangnya dari luar tubuh dan menimbulkan adanya rasa, maka rasa itu dinamakan sejatinya rasa. Jadi sejatinya rasa adalah milik panca indera:

  1. MATA : Senang karena mata dapat melihat sesuatu yang indah atau tidak senang bila mata melihat hal-hal yang tidak pada tenpatnya.
  2. TELINGA : Senang karena mendengar suara yang merdu atau tidak senang mendengar isu atau fitnahan orang.
  3. HIDUNG : Senang mencium bebauan wangi/harum atau tidak senang mencium  bebauan yang busuk.
  4. KULIT : Senang kalau bersinggungan dengan orang yang disayang atau tidak senang  bersunggungan dengan orang yang nerpenyakitan.
  5. LIDAH : Senang makan atau minum yang enak-enak atau tidak senang memakan makanan yang busuk.


3. RASA SEJATI
Rasa sejati akan timbul bila terdapat rangsangan dari luar, dan dari tubuh kita akan mengeluarkan sesuatu. Pada waktu keluarnya sesuatu dari tubuh kita itu, maka timbul Rasa Sejati. Untuk jelasnya lagi Rasa Sejati timbul pada waktu klimaks/pada waktu melakukan hubungan seksual.


4. RASA TUNGGAL JATI
Rasa Tunggal Jati sering diperoleh oleh mereka yang sudah dapat melakukan Meraga Sukma (keluar dari jasad) dan Solat Dha’im.

Beda antara Meraga Sukma dan Sholat Dha’im ialah :

  1. 1.Kalau Meraga Sukma jasad masih ada.batin keluar dan dapat pergi kemana saja.
  2. 2.Kalau Sholat Dha’im jasad dan batin kembali keujud Nur dan lalu dapat pergi kemana  saja yang dikehendaki. Juga dapat kembali / bepergian ke ALAM LAUHUL MAKHFUZ.

Bila kita Meraga Sukma maupun sholat Dha’im, mula pertama dari ujung kaki akan terasa seperti ada “aliran“ yang menuju ke atas / kekepala. Pada Meraga sukma, bila “aliran“ itu setibanya didada akan menimbulkan rasa ragu-ragu/khawatir atau was-was.

Bila kita ikhlas, maka kejadian selanjutnya kita dapat keluar dari jasad, dan yang keluar itu ternyata masih memiliki jasad. Memang sesungguhnyalah, bahwa setiap manusia itu memiliki 3 buah wadah lagi, selain jasad/jasmani yang tampak oleh mata lahir ini.

Pada bagian lain bab ini akan kita kupas.Kalau sholat Dha’im bertepatan dengan adanya “Aliran“ dari arah ujung kaki, maka dengan cepat bagian tubuh kita akan “Menghilang“ dan kita akan berubah menjadi seberkas Nur sebesar biji ketumbar dibelah 7 bagian. Bercahaya bagai sebutir berlian yang berkilauan. Nah, rasa keluar dari jasad atau rasa berubah menjadi setitik Nur. Nur inilah yang disebut sebagai Rasa Tunggal Jati.

Selain itu, baik dalam Meraga Sukma maupun Sholat Dha’im. Bila hendak bepergian kemana-mana kita tinggal meniatkan saja maka sudah sampai. Rasa ini juga dapat disebut Rasa Tunggal Jati. Sebab dalam bepergian itu kita sudah tidak merasakan haus, lapar, kehausan, kedinginan dan lain sebagainya.

Bagi mereka yang berkeinginan untuk dapat melakukan Meraga Sukma dianjurkan untuk sering Tirakat/Kannat puasa. Jadikanlah puasa itu sebagai suatu kegemaran. Dan yang penting juga jangan dilupakan melakukan Dzikir gabungan NAFI-ISBAT dan QOLBU. Dalam sehari-hari sudah pada tahapan lillahi ta’ala.

Hal ini berlaku baik mereka yang menghendaki untuk dapat melakukan SHOLAT DHA’IM. Kalau Meraga Sukma mempergunakan Nur ALLAH, tapi bila SHOLAT DHA’IM sudah mempergunakan Nur ILLAHI. Karena ada Rasa Sejati, maka Rasa merupakan asal usul segala sesuatu yang ada.

Oleh sebab itu bila hendak mendalami ilmu MA’RIFAT Islam dianjurkan untuk selalu bertindak berdasarkan rasa. Artinya jangan membenci, jangan menaruh dendam, jangan iri, jangan sirik, jangan bertindak sembrono, jangan bertindak kasar terhadap sesame manusia, dll.

Sebab dihadapan Tuhan Yang Maha Kuasa, kita ini semua sama , karena masing-masing memiliki rasa. Rasa merupakan lingkaran penghubung antara etika pergaulan antar manusia, juga sebagai lingkaran penghubung pergaulan umat dengan Penciptanya. Rasa Tunggal jati ini mempunyai arti dan makna yang luas. Karena bagai hidup itu sendiri. Apapun yang hidup mempunyai arti. Dan apapun yang mempunyai arti itu hidup. Sama halnya apapun yang hidup mempunyai Rasa. Dan apapun yang mempunyai Rasa itu Hidup.

Dengan penjelasan ini, maka dapat diambil kesimpilan bahwa yang mendiami Rasa itu adalah Hidup. Dan Hidup itu sendiri ialah Sang Pencipta/ALLAH. Padahal kita semua ini umat yang hidup. Jadi sama ada Penciptanya. Oleh sebab itu, umat manusia harus saling menghormati, tidak saling merugikan, bahkan harus saling tolong menolang dll.

Dan hal ini sesuai dalam firman ALLAH : “HAI MANUSIA! MASUKLAH KALIAN DALAM PERDAMAIAN, JANGAN BERPECAH BELAH MENGIKUTI LANGKAH SYAITAN, SESUNGGUHNYA SYAITAN ITU MUSUHMU YANG NYATA”

MENGOLAH DAN MEMPERTAJAM NURANI

MENGOLAH DAN MEMPERTAJAM NURANI

“Mangreh landeping mimising cipta, cipta panggraitaning rahsa.
Haywa lena kaki, awit hamung pinda sak gebyaring thathit”

Agar memiliki ketajaman nalar (daya cipta/intelegensia otak), nalar harus bisa menangkap makna yang terbersit dalam nurani. Jangan sampai lengah, sebab proses untuk menangkap gerataran nurani hanya berlangsung secepat kilat.

Nurani milik siapapun pastilah setajam “sembilu”, jika dirasa tumpul, itu bukan berarti salah nuraninya, melainkan tugas nalar sebagai cipta panggraitaning rahsa telah mengalami kegagalan.

Tugu manik ing samodra ; menggambarkan daya cipta yang terus menerus berporos hingga pelupuk mata. Daya cipta akal budi manusia jangkauannya umpama luasnya samodra namun konsentrasinya terfokus pada mata batin.

Adapun tentang bagaimana teknik atau tata cara agar supaya individu mampu meraba, merasakan dan membedakan mana getaran nurani, mana pula getaran nafsu.

Pertanyaan tersebut bukanlah sekedar latah, tetapi mengelola hati nurani merupakan hal yang signifikan untuk diupayakan dengan skala prioritas tinggi. Sebab ia menjadikan setiap pribadi mampu berdiri sebagai mandireng pribadi, yakni pribadi yang memiliki kemandirian dalam menentukan mana dan apa yang paling tepat, paling baik dilakukan.

Bukankah nilai manusia terletak pada kejernihan isi atau suara hatinya ?!! Suara hati atau hati nurani merupakan kesadaran aku akan tanggungjawab dan kewajiban aku sebagai makhluk bernama manusia dalam situasi yang sungguh-sungguh konkrit dan tepat. Sehingga suara hati  harus dipatuhi dan diikuti. Hati nurani atau dalam terminologi Jawa disebut sebagai ALUSING PANDULU atau kehalusan daya cipta, yakni kekuatan yang atau kemampuan perasaan hati nurani untuk meraba, merasakan, membedakan, dan menentukan. Alusing pandulu merupakan pangkal dari otonomi setiap individu, yakni dasar dari kemandirian pribadi.

Pusat otoritas setiap pribadi berada di dalam hati nuraninya sendiri. Sementara itu untuk menyeleksi baik atau buruk merupakan tanggungjawab nalar dengan cara open minded atau pemikiran terbuka dan bebas menentukan pilihan dan keputusan mana yang paling tepat.

NURANI ; JENDELA MENEMBUS UNINONG, ANING, UNONG

Nalar pun kenyataannya sangat riskan dapat terkurung oleh suatu tembok yang bernama keyakinan membabi buta. Dengan kata lain, penghalang terbesar ketajaman nurani kita, tidak lain adalah doktrin-doktrin yang membelenggu nalar.

Mulai dari bentuk doktrin militer, doktrin budaya, doktrin seni, doktrin ideologi, hingga doktrin agama. Sebab itu doktrin lebih bersifat pengungkungan kesadaran, agar individu memiliki LOYALITAS tanpa perlu nalar.

Tanpa perlu menjawab PERTANYAAN-PERTANYAAN yang timbul dari HATI NURANI. Jika dianalogikan, doktrin merupakan alat yang serupa dengan KACAMATA KUDA, sementara “kuda” adalah perumpamaan insan.

Supaya kuda tetap berjalan lurus ke depan maka diperlukan kacamata (baca: doktrin). Sebab doktrin (kacamata kuda) mempunyai prinsip keharusan/kewajiban bahwa jalan ”kebenaran” hanyalah jalan yang lurus yang hanya tampak di depannya saja.

Sementara itu, adalah realitas dan fakta bahwa hidup ini banyak ditemukan “persimpangan jalan”, banyak sekali “jalan raya”, “jalan protokol”, “jalan daendels”, “jalan propinsi”, dan “jalan setapak”. Masing-masing “jalan” menuju ke satu tujuan yang sama yakni Sang Causa Prima atau Gusti (bagusing ati), Gusti ada di dalam aku.

Setiap orang hendak mencari Gusti di dalam aku, agar supaya diri kita menjadi aku di dalam Gusti. Dalam istilah Ki Ageng Suryomentaram disebut sebagai “rasa; aku bukan kramadhangsa” atau “aku kang madeg pribadi” atau saya sebut sebagai rahsa sejati. Itulah paraning dumadi manusia, tak berada jauh di atas langit sana, tetapi ada dalam setiap pribadi kita masing-masing.

Kesadaran ini dapat menjelaskan pula mengapa nenek moyang bangsa kita dulu jika berdoa tidak menengadah sambil menatap langit, melainkan cukup dengan telapak tangan memegang dada.

Dalam maneges pun tersebutlah NIAT INGSUN, yang bermakna Ingsun ing sajroning aku, Aku ing sajroning Ingsun. Konsep KGPAA Mangkunegoro ke IV sebagai roroning atunggil, dwi tunggal, atau asas Manunggaling Kawula kalawan Gusti. Sebuah pelataran spiritual yang pernah pula digelar oleh Ki Ageng Kebo Kenongo (Ki Ageng Pengging) bersama Syeh Lemah Abang sebagai UNINONG ANING UNONG.

Sementara itu, hati nurani selalu mampu menembus berbagai tembok penghalang, yang menghalangi obyektivitas sesungguhnya akan suatu realitas kehidupan. Nurani adalah kekuatan yang TAK BISA dikelabuhi oleh imajinasi, ilusi, dan polusi getaran nafsu. Nurani yang terasah akan menjadi “mata hati”, “mata jiwa” yang mampu menguak “kebenaran sejati”. Hanya saja, untuk menggali dan menemukan hati nurani, kita harus menggalinya dari kubangan lumpur yang penuh bakteri, kuman dan penyakit. Tulisan berikut bertujuan untuk berbagi kawruh (pengetahuan) dan ngelmu (pengetahuan spiritual), bagaimana cara paling sederhana agar kita dapat menemukan nurani yang dapat diumpamakan sebagai “berlian” yang terendam di dalam “lumpur kotor”.


TEKNIK MEMBUKA JENDELA NURANI

Kita harus menutup panca indera untuk membuka mata batin yang berada dalam jiwa kita. Mata batin adalah mata yang dapat melihat sesuatu secara lebih cerah, jelas, dan gamblang. Kecermatan dan kemampuannya menjabarkan fakta gaib dan wadag jutaan kali melebihi panca indera. Paling tidak terdapat lima sarat agar supaya kita betul-betul mampu merasakan dan membedakan apakah sesuatu getaran merupakan getaran NURANI (kareping rahsa) ataukah hanya sekedar getaran nafsu (rahsaning karep).

1.    Beninging ati atau kejernihan kalbu. Antara suara hati dan nalar manusia selalu terjadi dialog,  tarik menarik, bahkan masing-masing saling “berperang” untuk berebut pengaruh dan otoritas. Jika kekuatan keduanya berimbang gejalanya dapat kita rasakan pada saat terjadi kebimbangan dan keragu-raguan. Atau sikap ambigu, dan dualisme.

Sementara itu, jika nalar memenangkan jadilah pribadi yang hanya mengandalkan kemampuan rasio semata. Sehingga bagi dirinya banyak sekali hal-hal di luar nalar yang dengan segera ia tepis sebagai sesuatu yang tidak ada, omong kosong atau ngoyoworo. Hal-hal gaib dianggap sebagai sesuatu yang non-sense, dan di luar logika. Maka gaib pun dianggap omong kosong.

Menurut saya pribadi, gaib pun ternyata sangat logis dan masuk akal. Jika ada hal gaib yang dianggap tidak masuk akal, ada dua kemungkinan yakni, pertama; benar-benar dongeng atau mitologi yang digaib-gaibkan.  Kemungkinan kedua, nalar kita belum cukup menerima informasi akan rumus-rumus yang ada dan berlaku di dimensi gaib.

Sementara itu beninging ati atau weninging tyas, akan tercipta manakala dialog, tarik-menarik, dan peperangan antara suara hati nurani dengan nalar berhenti sejenak. Saat itulah hati kita menjadi jernih, karena saat itu hati menjadi bebas merdeka dari segala bentuk “penjajahan” nalar yang seringkali terkooptasi oleh kepentingan pribadi, persepsi atau penilaian diri terhadap suatu obyek, serta ilusi dan imajinasi. Dalam dimensi lebih luas hati pun menjadi bebas dari kepentingan politik, kekuasaan, egoisme aliran, dan segala macam keinginan yang belum tercapai.

Cara menghentikan dialog dan tarik-menarik antara hati dan nalar adalah dengan cara “mengalir mengikuti aliran air” atau (tapa ngeli).

Yakni hidup dalam sikap kepasrahan. Konsentrasi pasrah bukan pada PROSES BERUSAHA atau saat berikhtiar, karena kepasrahan demikian ini merupakan konsep hidup yang salah kaprah. Pasrah yang dimaksud adalah pasrah akan ketentuan besar-kecil hasilnya akhir. Sementara itu dalam menjalani PROSESnya step by step kita tak boleh pasrah, tetapi harus berusaha secara maksimal, sekuat tenaga dan pikiran kita.

Ada pepatah bola mengatakan,”Bermainlah bola secara cantik, soal menang kalah itu bukanlah urusan  kita. Bila kalahpun, tetap akan menjadi “kesebelasan”  yang disegani dan dihormati orang lain. Jangan konsentrasi pada hasil akhir, tetapi konsentrasilah pada proses.

Hal ini menjadi salah satu kiat sukses dalam olah semedi atau meditasi. Bila anda berkonsentrasi pada hasil, maka yang terjadi nalar kita akan dipenuhi oleh angan-angan.

Biasanya yang terjadi adalah sebagaimana anekdot dalam bahasa Sunda sebagai berikut ; MELAK LAMUN DI TANAH SUGAN, DICEBOR KU CAI MUGA-MUGA, BERSEMILAH DAUN-DAUNNA MOGA-MOGA JANTEN-moga-moga janten, NGAN HASILNA, namina EEUWWEEEUHH …! Karunya teuing kan !

2.    Sirnaning kekarepan atau sirnanya rahsaning karep. Atau lenyapnya semua maksud jahat, keburukan, dan tindakan hina-aniaya. Hal ini berkaitan dengan perilaku dan perbuatan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Jangan sampai kita menyakiti hati orang lain, baik sadar apalagi tanpa sadar. Jangan sampai mencelakai, merugikan, menyerobot hak orang lain. Untuk menuntun perilaku demikian diperlukan sebuah kesadaran kosmologis yakni sikap eling dan waspada.

3.    Lereming pancadriya atau ketenangan panca indera. Ketenangan panca indera. Dalam spiritual Jawa dikenal sebagai BABAHAN HAWA SANGA atau babahan hawa (nafsumu), kosongna ! (bersihkanlah/kendalikanlah hawa nafsumu). Dapat pula diartikan 9 lubang pancaindera (2 lubang telinga, 2 lubang hidung, 2 lubang mata, 1 lubang kemaluan, 1 lubang silit/anus, dan 1 lubang mulut = 9 lobang)  kesemuanya menjadi pintu masuk hawa nafsu hendaknya dikendalikan atau “dikosongkan”. Keberhasilan mengendalikan panca indera akan memperoleh ketenangan pancaindera.

Sebaliknya, kegagalan lereming pancadriya seseorang akan tersiksa dalam kegelisahan panjang oleh karena gejolak nafsu syahwat (ngacengan/konakan/nafsuan), nafsu makan (mudah lapar, ngileran, ngelihan, kemaruk, rakus), nafsu tidur (ngantukan, moloran dst), dan banyaknya karep atau kemauan yang diinginkan (tidak pernah puas diri, sulit bersyukur), nafsu angkara (Penyakit Hati ; panasten, suka panas hatinya, mudah iri hati, drengki, serba pamrih, congkak, sombong, takabur, egois.  Emosi yang Labil ; tersinggungan, mudah sedih, mudah marah, kagetan, gumunan), nafsu halus (suka gede ndase, gemar dipuji, pamrih pahala).  Pola bekerjanya panca indra yang lebih dominan dalam merespon obyek kehidupan justru akan mengaburkan getaran atau bisikan nurani. Salah-salah, getaran nafsunya dianggap sebagai getaran nurani. Sementara itu lereming pancadira akan mengistirahatkan bekerjanya otak. Hal ini seperti halnya kita melakukan olah semedi atau meditasi.

4.    Jatmikaning solah bawa atau perilaku lahir dan batin yang santun. Perilaku lahiriah (solah) merupakan refleksi dari perilaku batin (bawa). Jatmikaning solah bawa, merupakan wujud kekompakan perilaku yang melibatkan empat unsur yakni; hati, ucapan, pikiran dan perbuatan atau tindakan nyata. Berbekal dengan hati yang jernih akan mampu menuntun nalar kita  supaya lebih cermat dalam menyeleksi mana yang baik dan mana yang buruk.

Selanjutnya bermodalkan kecermatan nalar dapat mengendalikan keinginan, dan memilah memilih serta mempertimbangkan secara arif dan bijak terhadap sesuatu yang dipikirkan, diucapkan, dan diperbuat. Solah dan bawa yang keluar dari nurani memiliki karisma besar sehingga dapat menselaraskan apa yang ada di sekelilingnya dengan apa yang diinginkan dan diharapkan.

Dengan kata lain, jatmikaning solah bawa, menebarkan aura yang kuat, bagaikan medan magnet yang akan menyedot segala sesuatu yang senyawa dan sejenis. Kebaikan dan keburukan akan terkumpul dalam kumparan yang sejenis, terkonsentrasi dalam kelompoknya masing-masing.

Maka kebaikan akan berbalas dengan kebaikan yang berlipat. Welas asih akan berbalas kasih sayang yang berlimpah ruah. Kejahatan akan berbalas kejahatan berlipat. Limpahan itu bagaikan suara yang bergema, terucap dengan volume  7, akan berbalik menjadi suara dengan volume 14. Sebagaimana pernah saya singgung dalam thread terdahulu dalam LAKSITA JATI.

Begitulah rumus-rumus yang terjadi dalam hukum alam semesta. Pribadi yang menghayati jatmikaning solah bawa gerak-gerik, tingkah laku, watak wantun, sifat tabiatnya selalu enak dilihat dan membuat nyaman di hati (nuju prana).

Pribadi yang pembawaan sifatnya selalu nuju prana bagai gayung bersambut, di mana-mana selalu menciptakan ketentraman, kenyamanan, kebahagiaan bagi ornag-orang di sekelilingnya. Selalu membuat enak di hati, kinaryo karyenak ing tyas sesama. Perilaku nuju prana menjadikan pribadi yang penuh aura positif. Jika wanita maka inner-beauty-nya akan memancar kuat dari dalam sanubari. Jika seorang pria perilakunya selalu anggawe reseping pancadriya. Barangkali hal ini ada kaitannya, mengapa seseorang dengan tingkat spiritual yang sudah mapan dan matang akan memancarkan daya tarik yang kuat, terlebih terhadap lawan jenis. Selanjutnya kita sebut sebagai goda. Resiko menjadi besar, apabila libidonya tidak tersalurkan dengan penuh tanggungjawab, baik tanggungjawab terhadap diri pribadi, keluarga, maupun tanggungjawab publik.

5.    Ke empat poin di atas merupakan teknik yang harus dihayati dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Selain ke empat langkah di atas, ada pula tata cara yang lebih pragmatis berupa ketrampilan untuk mempertajam indentifikasi mata hati, sekaligus kemahiran membedakan apakah getaran yang dirasa merupakan bisikan nurani (tuhan) atau kah bisikan nafsu (“setan”). Di antaranya adalah olah semedi, meditasi, maladihening, atau mesu budi.

Olah semedi dan meditasi, bertujuan untuk mencapai keadaan lereming pancadriya, sirnaning kekarepan, sarehing pangganda, dan beninging ati. Pencapaian ke empat keadaan diri tersebut pada gilirannya memicu ujung-ujung syaraf pancaindera menjadi lebih peka dalam mendeteksi segala sesuatu yang ada di sekitar diri kita, baik yang wadag maupun gaib.

Kepekaan ini disebut sebagai sad-indra atau indera ke-enam (six sense). Dalam khasanah spiritual Jawa, berfungsinya sad-indra disebut juga rasa rumangsa, atau krasa nanging ora rumangsa. Kepekaan rasa mampu mendeteksi lebih awal namun tidak disadari oleh akal.

Misalnya perkiraan anda sangat meyakinkan walau belum ada bukti apakah sesungguhnya yang menyebabkan terjadinya suatu peristiwa. Setelah dibuktikan secara faktual dan ilmiah ternyata benar adanya, sesuai apa yang semula anda yakini. Nah, rasa yakin yang ternyata benar itu adalah rasa rumangsa.  

Bahkan terhadap hal-hal yang tidak tampak oleh mata pun dapat ditangkap singnal-signalnya melalui ujung syaraf perasa di seluruh permukaan tubuh. Diperkuat oleh pengendalian pusat (sentral) syaraf yakni otak (nalar), yang telah lebih peka  pula karena sudah dapat membedakan yang NURANI dan yang bukan. Sehingga anda akan hafal betul dengan gejolak nurani anda sendiri. Hal itu membuat diri anda kadang-kadang mampu weruh sak durunge winarah. Anda tahu persis akan terjadi sesuatu peristiwa, sebelum suatu peristiwa itu terjadi.

Tampaknya sulit sekali kita mencapai kebisaan seperti di atas. Tetapi setelah kita MAU membiasakan diri menghayati semua tata laku tersebut, semuanya dapat kita raih dengan mudahnya.  Anda akan mampu dengan sendirinya melalui beberapa tahap neng, ning, nung, nang. Yakni jumeneng, wening, sinung, dan menang. Kemenangan hidup bilamana kita bisa menjadi manusia yang merdeka lahir dan batinnya. Kemenangan diperoleh setelah kita kesinungan. Supaya kesinungan, kita harus selalu wening. Agar supaya bisa wening kita musti mau untuk jumeneng. Kemenangan hidup menjadi jalan setapak untuk menggapai uninong aning unong.


MANFAAT LAIN DARI NURANI

Dengan landasan pemahaman dan pengelolaan seluk-beluk nurani seperti telah saya uraikan di atas, membuat setiap individu dapat mengendalikan DAYA PANGARIBAWA. Daya pangaribawa adalah sebuah kekuatan besar berasal dari getaran nurani. Berupa kewibawaan atau pengaruh kekuatan yang besar yang memancar dari tatapan mata, air muka,  solah dan bawa (perilaku lahir dan batin).

Sementara itu tutur kata yang bersumber dari nurani, sangat berguna untuk mencapai suatu maksud dan tujuan yang diharapkannya. Daya pangaribawa akan memancar, beresonansi ke sekelilingnya, bahkan daya pangaribawa yang getaran “resonansinya” kuat sekali akan membahana memencar ke penjuru semesta alam. Mampu mewujudkan apa yang yang diharapkan. Apa yang dipikirkan dan diucapkannya mudah menjadi kenyataan. Belum lagi kita berdoa, harapannya sudah terkabul lebih dulu.

Metode ini menjelaskan pula bagaimana seseorang dapat memiliki kekuatan IDU GENI, sabdo pandito ratu, apa yang diucapkan pasti terwujud. Getaran alam akan selaras, sinergis dan harmonis dengan getaran nurani, demikian pula sebaliknya getaran nuraninya akan selaras dengan getaran (kodrat/hukum) alam. Di situlah letak “kesaktian” seseorang, manakala menjadi mandireng pribadi, berarti pula aku adalah alam semesta, kekuatan alam semesta adalah kekuatanku.

Yang ini menjelaskan pula bagaimana orang-orang zaman dulu, seperti Ki Ageng Selo, Ki Ageng Mangir Wonoboyo, para Ratugung Binatara menjadi seorang pribadi yang sakti mandraguna. Di antaranya mampu menangkap dan mengendalikan petir, mampu menjebol dan memuntahkan lahar gunung berapi dll. Ini bukan sekedar dongeng atau mitologi, beliau-beliau bukanlah orang yang gegulangan ilmu karang, tetapi hanya karena berhasil menjadi manusia yang (dengan tingkat kesadaran) KOSMOLOGIS, lebih dari sekedar kesadaran spirit (untuk hal ini akan saya jabarkan dalam topik selanjutnya).

Siapapun anda, pasti bisa melakukan, asal ada kemauan. Secara teknis, proses daya pangaribawa menjadi hasil karya nyata, atau menjadi kalimat bertuah setelah melalui tahapan-tahapan berikut ini.

1.    Panggraitaning cipta batin (bisikan nurani) yang secara tepat menentukan target dan memotivasi kepada pencapaian suatu tujuan (mligining cipta). Seseorang tidak akan merencanakan dan melakukan sesuatu di luar kehendak nurani. Sebaliknya keinginan yang bukan kehendak nurani tidak akan terwujud. Maka seseorang tidak akan berharap-harap selain yang berasal dari bisikan nuraninya sendiri.

2.    Ketepatan Bertindak. Setelah suatu target dan tujuan secara tepat dapat ditentutan oleh nurani, dituntut konsistensi tata lahir atau gerak ragawi untuk mewujudkan target dan tujuan tersebut. Dengan diipandu oleh nalar budi pekerti (intelegensia nurani) atau kejernihan nalar membuat diri kita lebih cermat membaca sinyal-sinyal dari panggraitaning cipta atau bisikan nurani. Akan tetapi kejernihan nalar baru dapat kita ciptakan apabila kita mampu cara meletakkan pikiran pada sudut yang netral dan obyektif. Hal ini tidak mudah dilakukan, sebab nalar manusia selalu penuh dengan intrik, imajinasi, pengandaian, ilusi dan penuh dengan data-data mentah yang tidak mudah dicerna. Untuk itu hendaknya cyclon atau gelombang otak sering-sering diturunkan pada level bheta dan tetha. Jangan terus-terusan memforsir otak selalu bekerja pada level alpha. Sebab daya kecermatan gelombang alpha hanyalah berkisar 0,0000035 dibanding kecermatan gelombang theta.

3.    Tekad Bulat atau Kemantaban Hati. Ketepatan bertindak merupakan langkah konkrit dalam pencapaian tujuan. Namun hal itu belum cukup untuk mewujudkan daya pangaribawa, masig diperlukan adanya KETANGGA, atau keketeg ing angga, yakni kuatnya kehendak dari dalam jiwa atau tekad bulat. Untuk mencapai satu tujuan kita tak boleh mencla-mencle, plin-plan, ragu-ragu akan apa yang kita tetapkan sebagai tujuan. Tetapi harus konsentrasi penuh melibatkan batin (hati nurani), tata lahir atau gerak ragawi yang termaktub dalam kecermatan penalaran, dan sebuah tekad yang bulat yang bersumber dari kekuatan jiwa.

4.    NING. Ketiga sumber kekuatan pribadi di atas belumlah lengkap. Masih harus melibatkan ning atau wening, hening cipta. Ning merupakan bentuk konsentrasi yang lebih tinggi daripada ketiga konsentrasi di atas. Ning merupakan full consentration, konsentrasi penuh, menjadi satu KARYO LEKSONO. Atau lebih mudah saya istilahkan NYAWIJI yakni melibatkan kekompakan seluruh elemen daya kekuatan dalam diri pribadi untuk satu tujuan. Atau hanya bertujuan tunggal dan mengerahkan segala daya dari dalam diri  secara KOMPAK. Individu yang nyawiji menyatukan beberapa komponen sebagai satu kesatuan gerak langkah.

Komponen tersebut meliputi 4 unsur yakni ;
1.    hati,
2.    pikiran,
3.    ucapan,
4.    dan tindakan nyata yang diarahkan kepada pencapaian tujuan yang satu.

Contoh paling mudah, pada saat anda membidik agar mengenai sasaran, anda perlu full konsentrasi yakni harus menciptakan keheningan, ketenangan, percaya diri, kesabaran dalam tekad yang bulat, yang disatukan dalam setiap hela nafas. Keadaan full consentration akan mudah dicapai saat menahan nafas beberapa saat lamanya. Nafas adalah kendali dan tali yang bisa mengikat konsentrasi anda. Hal ini menjelaskan juga mengapa olah pernafasan menjadi pelajaran utama dalam latihan meditasi, olah semedi, maladihening, mesu budi. Termasuk di dalamnya sebagai sarana menyatukan diri (aku) dengan dzat sifat, afngal tuhan (Ingsun).

Dalam tradisi tasawuf Jawa-Islam ala Syeh Siti Jenar disebut sebagai shalat dhaim.

Sepadan pula dengan apa yang termaktub dalam Serat Wedhatama karya KGPAA Mangkunegoro ke IV sebagai sembah cipta, atau sembah kalbu.

Pada intinya ning adalah upaya mewujudkan  pencapaian kehidupan yang meditatif. Yakni tercapainya kesadaran di atas kesadaran nalar (higher consciousness). Secara intuitif manusia dapat mengetahui apa yang akan terjadi di alam. Karena kita dapat menangkap seluruh vibrasi yang ada di alam semesta. Setiap akan terjadi peristiwa, selalu terjadi perubahan vibrasi yang sebetulnya bisa dirasakan jika kita mau mencermati pancaran gelombang vibrasi tersebut.

Di sinilah salah satu fungsi ning. Layaknya meditasi, ning membuat kita lebih peka, lebih memahami apapun yang sedang dan akan terjadi di sekeliling kita, bahkan apa yang terjadi pada belahan bumi yang lainnya.

Akhir kalam, selamat mencoba dan menghayatinya. Semoga berkahing Gusti Moho Agung selalu berlimpah kepada seluruh para pembaca yang budiman.

Salam karaharjan, rahayu.

Sabda langit

Jumat, 02 April 2010

JAKA TINGKIR


Jaka Tingkir Bag 1.

oleh : Damar sasangka.

Ini lanjutan Ki Ageng .
Bagian 1

Catatan ini adalah kelanjutan catatan-catatan saya sebelumnya, yaitu Misi Peng-Islam-an Nusantara, Sekelumit Kisah Sunan Kajenar atau Syeh Siti Jenar dan Ki Ageng Pengging.
-Damar Shashangka-

Demak Bintara, Kesultanan Islam pertama di Jawa, yang berdiri pada tahun 1479 Masehi, setelah berhasil satu persatu menumbangkan penguasa-penguasa keturunan Majapahit, kini mulai menancapkan kuku kekuasaannya di tanah Jawa. Sultan Syah Alam Akbar Jiem Boen-ningrat I atau Raden Patah, menjadi penguasa tunggal pewaris dinansti Majapahit.

Raden Patah memiliki beberapa orang putra-putri, dan yang terkenal diantaranya adalah Raden Yunus, sebagai putra sulung, kelak terkenal dengan nama Adipati Yunus ( Dipati Unus) dan juga terkenal dengan gelar Pangeran Sabrang Lor ( Pangeran Yang Pernah Menyeberang Ke Utara ). Putra kedua bernama Raden Suryawiyata, kelak dikenal dengan gelar Pangeran Sekar Seda Lepen ( Bunga Yang Gugur Ditepi Sungai ). Yang ketiga Pangeran Trenggana, kelak terkenal dengan gelar Sultan Trenggana. Yang keempat seorang putri, yang kelak dinikahkan dengan bangsawan Pasai yang tersohor, Fatahillah.

Pada tahun 1511 Masehi, terdengar kabar di Jawa, Kesultanan Malaka berhasil dijebol pertahanannya oleh Kerajaan Portugis. Malaka dibawah pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1488-1511 Masehi) tidak mampu membendung serangan armada laut Portugis yang datang dari India. Dibawah pimpinan Alfonso d'Albuquerque, Malaka berhasil dihancurkan! Laksmana handal Malaka, Hang Tuah, gugur!

Malaka jatuh! Penyerangan ini dipicu oleh sikap Kesultanan-Kesultanan Islam yang diskriminatif dalam hubungan perdagangan dengan bangsa Eropa yang mayoritas beragama Nashrani. Faktor lain yang menyebabkan bangsa Eropa berlomba-lomba ingin menguasai wilayah kaya rempah-rempah adalah jatuhnya kota Constantinopel, ibu kota Kerajaan Romawi Timur pada tahun 1453 ketangan Kesultanan Turki Utsmani. Kerajaan Romawi Timur tunduk dibawah kekuasaan kaum Islam. Hal ini mengakibatkan tertutupnya perdagangan di Laut Tengah bagi bangsa Eropa. Kesultanan Turki mempersulit para pedagang Eropa beroperasi diwilayahnya. Padahal bangsa Eropa memerlukan pasokan rempah-rempah.

Hal ini pulalah yang memicu munculnya semangat ekstrim bangsa Eropa yang dikenal dengan semangat RECONQUESTA, yaitu semangat membalas dendam kepada kekuasaan Islam dimanapun berada! Politik konfrontasi dikedepankan oleh bangsa Eropa terhadap Kesultanan-Kesultanan Islam diseluruh dunia. Dan Malaka, kini menjadi sasarannya! Jatuhnya Malaka adalah suatu keberhasilan luar biasa bagi Portugis, karena Malaka adalah pusat perdagangan Islam di Asia Tenggara kala itu!

Kabar kejatuhan Malaka membuat Kesultanan-Kesultanan Islam di Nusantara geger! Raden Patah, penguasa Kesultanan Islam Jawa, Demak Bintara, tak kalah berang!

Malaka adalah jalur utama perdagangan Nusantara. Jika Malaka dikuasai Portugis, maka pedagang-pedagang Islam akan kesulitan melakukan kegiatan perekonomian. Maka, atas fatwa Dewan Wali Sangha, Sultan Syah Alam Akbar Jiem Boen-ningrat I, penguasa Demak Bintara, mengutus putra sulungnya, Raden Yunus memimpin Armada Laut Demak untuk menyerang Malaka!

Pada tahun 1513, dua tahun setelah kejatuhan Malaka ditangan Portugis, beribu-ribu Armada Laut Demak berlayar menuju Malaka dengan persenjataan lengkap! Peperangan sekali lagi akan terjadi! Malaka, sekali lagi akan dijadikan ajang pertumpahan darah! Pertumpahan darah yang dipicu oleh masalah politik, ekonomi dan agama!

Peperangan-pun pecah! Portugis mati-matian membendung serangan besar-besaran dari Lasykar Jawa! Portugis terpukul mundur!Lasykar Jawa begitu dahsyatnya! Beberapa wilayah Malaka berhasil diduduki Lasykar Jawa! Namun sayang, penyerangan ini tidak disertai dukungan penuh dari pihak Malaka! Malaka diam-diam malah mempersulit gerak laju Lasykar Jawa! Mereka takut, jika Portugis berhasil dipukul mundur, maka sekali lagi, Malaka akan jatuh ketangan orang-orang Jawa seperti saat Majapahit berkuasa! Suatu alasan yang klasik dan ironis!

PEPERANGAN ARMADA DEMAK DENGAN ARMADA PORTUGIS DI MALAKA (1513 Masehi)

Dan pada akhirnya, Portugis berhasil memukul mundur Lasykar Demak Bintara dari Malaka! Kekalahan telak bagi Demak! Sisa-sisa Pasukan Laut Demak akhirnya bertolak kembali ke Jawa.

Untuk mengenang peristiwa ini, maka Raden Yunus, pemimpin Lasykar Demak yang menyerang Portugis di Malaka,mendapat gelar kehormatan, Pangeran Sabrang Lor ( Pangeran Yang Pernah Menyeberang ke Utara)

Lima tahun setelah penyerangan, yaitu pada tahun 1518 Masehi, Raden Patah wafat.Raden Yunus lantas terpilih menggantikan ramandanya dengan gelar Sultan Syah Alam Akbar Jiem Boen-ningrat II.

Begitu Raden Yunus memegang tampuk pemerintahan Demak, politik garis keras Islam semakin ekstrim dia terapkan. Hal ini terpicu oleh masuknya bangsa Eropa ke Nusantara. Namun efek balik dari diterapkannya politik yang radikal ini, membuat para bangsawan Majapahit yang masih berpegang pada keyakinan Shiwa Buddha ikut terkena imbasnya.

Tiga tahun kemudian, tepat pada tahun 1521 Masehi, Raden Yunus terbunuh oleh sisa-sisa lasykar Majapahit yang merasa semakin tersudutkan. ( Dalam berbagai cerita tradisional, dikisahkan Keris Kyai Naga Sasra menggigit punggung Raden Yunus hingga wafat : Damar Shashangka). Raden Yunus belum memiliki seorang putra. Hal ini mengakibatkan Dewan Wali Sangha harus menunjuk adik Raden Yunus untuk memegang tampuk pemerintahan Demak.

Pangeran Trenggana, Sultan Demak ke III

Dewan Wali Sangha terpecah menjadi dua kubu menjelang pemilihan Sultan Demak pengganti Raden Yunus. Sebagian mengusulkan Raden Suryawiyata, putra kedua Raden Patah sebagai pengganti, dan sebagian yang lain mengusulkan Pangeran Trenggana, putra ketiga Raden Patah sebagai penggantinya.

Kala itu, Dewan Wali Sangha dipimpin oleh Sunan Giri Dalem, putra Sunan Giri Kedhaton yang telah wafat pada tahun 1506 Masehi. Parktis, kedudukan Sultan di Giri-pun dugantikan oleh Sunan Giri Dalem. Banyak para wali sepuh yang sudah wafat dan digantikan oleh para wali muda. Namun ada dua orang wali yang masih hidup dan sangat-sangat disegani. Keduanya adalah Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus.

Sunan Kudus kini menjabat sebagai Penasehat Agung Kesultanan Demak. Jabatan sebagai Senopati telah dilepaskannya. Sedangkan Sunan Kalijaga tetap bermain dibelakang layer. Beliau diam-diam menggembleng trah Tarub, terutama Raden Getas Pandhawa, putra Raden Bondhan Kejawen. (Baca catatan saya Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka). Selain itu, beliau juga tengah menunggu Mas Karebet, putra Ki Ageng Pengging yang kini tinggal di Tingkir untuk beranjak dewasa.

Dan Raden Getas Pandhawa, adalah guru dari Pangeran Trenggana. Praktis, Pangeran Trenggana adalah cucu murid Sunan Kalijaga. Dan oleh karena itulah, Pangeran Trenggana lebih pro ke Islam Abangan.

Dilain pihak, Raden Suryawiyata, berguru dan bahkan dianggap sebagai murid emas oleh Sunan Kudus. Oleh karena itu pula, Raden Suryawiyata lebih pro ke Islam Putihan.

Persaingan antara kubu Putihan dan Abangan ini kembali meruncing setelah beberapa waktu lalu, disaat pemerintahan Raden Patah sempat mereda. Dan persaingan semakin memanas setelah Raden Yunus wafat karena terbunuh!

Atas bantuan Sunan Kalijaga yang berhasil melobi pimpinn Dewan Wali Sangha, Sunan Giri Dalem, suksesi pencalonan Pangeran Trenggana sebagai Sultan ketiga Demak, berhasil gemilang! Pangeran Trenggana berhasil menduduki tahta Demak Bintara menggantikan Raden Yunus dan berhak menyandang gelar Sultan Syah Alam Akbar Jiem-Boen-ningrat III. Kubu Islam Abangan berhasil memenangkan pertarungan politik. Hal ini terjadi pada tahun 1521 Masehi.

Raden Suryawiyata menolak mengakui adiknya sebagai seorang Sultan Demak. Segera setelah dikukuhkannya Pangeran Trenggana sebagai Sultan, Raden Suryawiyata, yang berkedudukan di Kadipaten Jipang Panolan ( Sekarang sekitar wilayah Blora, Jawa Tengah : Damar Shashangka. ) segera mengadakan gerakan makar! Perlawanan bersenjata-pun terjadi! Peperangan berkobar antara Demak dengan Jipang Panolan. Diam-diam, Sunan Kudus berada dibelakang gerakan ini. Jipang Panolan dan Pesantren Kudus, sebenarnya berhubungan erat. Bahkan beberapa santri Sunan Kudus, diam-diam menyokong gerakan makar ini!

Peperangan berlangsung alot! Jipang Panolan sulit ditaklukkan! Namun, pada akhirnya kemenangan berhasil diraih pihak Pangeran Prawata. Raden Suryawiyata berhasil dipukul mundur dan harus melarikan diri dari Jipang Panolan. Peperangan benar-benar berhenti manakala Raden Suryawiyata berhasil dibunuh ditempat persembunyiannya.

Pangeran Prawata, putra sulung Pangeran Trenggana dan Pangeran Hadiri, menantu Pangeran Trenggana yang dinikahkan dengan Nimas Ratu Kalinyamat, (Pangeran Hadiri berkuasa didaerah Kalinyamat dan bergelar Pangeran Kalinyamat atau Sunan Kalinyamat. Sekarang berada didaerah Jepara, Jawa Tengah : Damar Shashangka ), berhasil menemukan persembunyian Raden Suryawiyata dan berhasil pula membunuh putra kedua Raden Patah tersebut!

Ada kisah menarik sehubungan dengan terbunuhnya Raden Suryawiyata. Manakala pasukan Jipang Panolan terpukul muncur, Raden Suryawiyata berhasil melarikan diri dan bersembunyi disuatu tempat. Konon, Raden Suryawiyata terkenal sangat sakti mandraguna. Tidak satupun senjata yang mampu melukainya, kecuali sebuah senjata pusaka yang dikenal dengan nama Keris Kyai Brongot Setan Kober. Dan keris ini hanya dimiliki oleh Sunan Kudus dan tersimpan di Pesantren Kudus!

Pangeran Trenggana tahu akan rahasia ini. Dia mengatur siasat jitu untuk menumpas habis lasykar Jipang Panolan. Pada suatu saat, Sunan Kudus, tanpa ada kepentingan yang jelas, dipanggil menghadap ke Demak Bintara. Sebagai seorang Penasehat Agung, mau tidak mau Sunan Kudus harus memenuhi panggilan Sultan Demak yang baru tersebut. Dengan diiringi beberapa santri pilihan dan di kawal pasukan Demak yang menjemputnya, Sunan Kudus berangkat dari Pesantren Kudus menuju Demak Bintara.

Selang beberapa waktu keberangkatan Sunan Kudus, menjelang tengah hari, Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri yang masih muda-muda, datang ke Pesantren Kudus dengan dikawal beberapa prajurid Demak. Mereka berdua mohon ijin menemui istri Sunan Kudus, konon mereka mendapat pesan dari Sunan Kudus yang kini tengah berada di Keraton Demak.

Istri Sunan Kudus mempersilakan mereka menghadap. Dihadapan istri Sunan Kudus, Pangeran Prawata mengatakan bahwa Sunan Kudus menyuruh mereka untuk mengambil Keris Kyai Brongot Setan Kober. Sunan Kudus tengah memerlukannya sekarang!

Karuan saja, istri Sunan Kudus mempercayainya. Dan tanpa menaruh rasa curiga sedikit-pun, istri Sunan Kudus memberikan Keris pusaka tersebut kepada Pangeran Prawata. Begitu Keris Kyai Brongot Setan Kober sudah ditangan, Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri mohon pamit!

Manakala Sunan Kudus pulang dari Keraton, betapa terkejutnya dia setelah mengetahui bahwa Kyai Brongot Setan Kober berhasil dibawa lari oleh Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri. Sunan Kudus marah besar! Seketika itu juga, Sunan Kudus mengirimkan kurir untuk menyampaikan kabar tersebut sekaligus mempertanyakan keberadaan Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri kepada Sultan Demak. Namun, Sultan Demak memberikan jawaban melalui kurir pula bahwasanya, dia tidak tahu menahu akan urusan tersebut!

Sunan Kudus dalam dilema. Dua orang Pangeran yang telah menipu istrinya adalah putra dan putra menantu Sultan Demak. Sunan Kudus tidak berani terang-terangan dan ceroboh mengambil tindakan. Walau dia telah sadar, dia telah ditipu mentah-mentah dan Sultan Demak pasti berada dibelakang semua kejadian ini. Secara diam-diam, Sunan Kudus memerintahkan murid-murid pilihannya untuk melacak keberadaan Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri. Dan dipihak Sultan Demak, keberadaan kedua Pangeran ini sengaja disembunyikan, walaupun secara diam-diam pula!

Pelacakan oleh murid-murid Sunan Kudus tidak membawa hasil. Keberadaan Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri bak raib ditelan bumi. Baru beberapa bulan kemudian terdengar kabar, Raden Suryawiyata telah terbunuh di suatu tempat, dipinggir sebuah sungai dengan Keris Kyai Brongot Setan Kober masih menancap dibelikatnya! Raden Suryawiyata lantas dikenal dengan gelar Pangeran Sekar Seda Lepen ( Pangeran Bunga Yang Meninggal Disungai ).

Sunan Kudus benar-benar merasa kecolongan. Tapi posisinya saat ini benar-benar terjepit semenjak Pangeran Trenggana menduduki tahta. Dia tidak bias berbuat apa-apa secara terang-terangan!

Yang berhasil membunuh Raden Suryawiyata, tak lain memang Pangeran Prawata. Setelah berhasil membawa lari Kyai Brongot Setan Kober, Pangeran Prawata diutus memimpin pasukan khusus yang melacak tempat persembunyian Raden Suryawiyata. Beberapa bulan kemudian, tempat persembunyian Pangeran Demak itu diketemukan!

Raden Suryawiyata hanya diikuti oleh beberapa pasukan Jipang yang tak seberapa. Dan beberapa pasukan ini bias dilumpuhkan dengan mudah oleh pasukan khusus Demak! Praktis, Raden Suryawiyata kini benar-benar tanpa pengawal. Dan kehadiran pasukan khusus Demak ini juga benar-benar tidak disadari oleh Raden Suryawiyata. Kala itu, dia tengah melakukan sembahyang Dzuhur, tepat dipinggiran sungai berbatu.

Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri mengendap-endap mendekati Raden Suryawiyata yang tengah bersembahyang. Suara derasnya aliran sungai benar-benar membantu menyamarkan gerakan kedua Pangeran sehingga tidak didengar oleh Raden Suryawiyata. Dan begitu sudah sedemikian dekat, Pangeran Prawata menghunus keris Kyai Brongot Setan Kober dan segera menikam belikat Raden Suryawiyata dari belakang! Tepat waktu itu, Raden Suryawiyata tengah dalam posisi duduk!

Raden Suryawiyata menjerit kesakitan! Tubuhnya roboh kesamping! Darah menyemburat dari belikatnya dan sebuah keris tertancap disana! Mata Raden Suryawiyata nyalang mencari siapa yang telah berani menikamnya! Dan mata Raden Suryawiyata tertambat pada Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri! Dengan menggeram marah, Raden Suryawiyata berkata :

"Prawata!!! Apa sira bidhog!! Ana wong sembahyang sinuduk wangkingan!!!"

(Prawata!!! Apa kamu buta!! Ada orang sembahyang ditusuk senjata!!!)

Namun, sesaat kemudian, Raden Suryawiyata tersungkur dan menghembuskan nafas terakhir dengan darah menggenangi batu tempat dia bersembahyang. Dan bersaman dengan itu, anehnya, mendadak pandangan mata Pangeran Prawata menjadi kabur…dan lama-lama, dunia berubah menjadi gelap gulita! Pangeran Prawata benar-benar menjadi buta mendadak!

Pangeran Prawata panik! Dengan dibantu Pangeran Hadiri, Pangeran Prawata dituntun kembali ketempat pasukan Demak berada dan segera memerintahkan secepatnya meninggalkan tempat tersebut. Pangeran Prawata dan Pangeran Hadiri lupa, bahwasanya Kyai Brongot Setan Kober masih menancap dibelikat mayat Raden Suryawiyata! Karena kepanikan akibat kebutaan yang mendadak, kedua Pangeran ini telah berbuat ceroboh!

Ada beberapa pasukan Jipang Panolan yang ternyata masih hidup dan bersembunyi. Mereka melihat langsung kejadian tersebut. Secepatnya mereka membagi tugas, sebagian menuju Pesantren Kudus untuk melaporkan kejadian tersebut kepada Sunan Kudus dan sebagian merawat jenazah Raden Suryawiyata.

Beberapa hari kemudian, Sunan Kudus diiringi beberapa santrinya dating ketempat tersebut. Didapatinya, Raden Suryawiyata telah dikebumikan disana. ( Sampai sekarang saya belum mendapat informasi, dimana lokasi ini berada : Damar Shashangka.)

Keris Kyai Brongot Setan Kober, diserahkan kepada Sunan Kudus oleh salah seorang pasukan Jipang yang menjadi saksi kejadian itu. Diam-diam, Sunan Kudus menyimpan dendam tersendiri!

Raden Suryawiyata meninggalkan seorang anak laki-laki yang masih kecil di Kadipaten Jipang Panolan. Anak laki-laki putra satu-satunya Raden Suryawiyata ini, diambil anak angkat oleh Sunan Kudus. Kelak anak ini dikenal dengan nama ARYA PENANGSANG!.

Jaka Tingkir Bag 2.

oleh : Damar Sasangka.

Bagian 2

Pangeran Trenggana setelah menduduki tampuk pemerintahan Demak Bintara lantas dikenal dengan gelar Sultan Trenggana. Dia memiliki beberapa orang putra-putri pula. Yang sulung bernama Pangeran Prawata, kelak terkenal dengan nama Sunan Prawata. Yang kedua seorang wanita, sangat masyhur keberaniannya. Mahir olah kanuragan, bernama Ratu Kalinyamat. Ratu Kalinyamat lantas dinikahkan dengan seorang Pangeran pelarian dari Pasai, bernama Raden Thoyyib. Raden Thoyyib adalah salah seorang putra Mughayat Syah, yang kelak mendirikan Kesultanan Aceh (1530 Masehi) dan menjabat sebagai Sultan Aceh pertama. Karena perselisihan dengan ayahnya, Raden Thoyyib meninggalkan Pasai menuju Champa. Di Champa, dia mengabdi di Kerajaan Champa dan berkenalan dengan Patih Kerajaan Champa Cwie-Wie-Hwan.

Karena perselisihan dengan Raja Champa pula, Raden Thoyyib meninggalkan Champa dan berlayar ke Jawa. Cwie-Wie-Hwan ikut serta. Di Jawa, Raden Thoyyib diterima mengabdi di Demak Bintara. Bahkan Raden Thoyyib akhirnya dinikahkan dengan Ratu Kalinyamat. Raden Thoyyib lantas mendapat nama baru, Pangeran Hadiri ( Kata 'HADIRI' berasal dari bahasa Arab yang berarti 'DATANG'. Pangeran Hadiri berarti Seorang Pangeran Yang Datang Dari Seberang : Damar Shashangka). Setelah menikah dengan Ratu Kalinyamat, Pangeran Hadiri terkenal dengan nama Sunan Kalinyamat. Cwie-Wie-Hwan lantas dikenal dengan nama Patih Sungging Bandhardhuwung. ( Makamnya masih ada didaerah Mantingan, Jepara, Jawa Tengah. Satu lokasi dengan makam Sunan Kalinyamat dan Ratu Kalinyamat : Damar Shashangka )

Ratu Kalinyamat sebelum menikah dengan Pangeran Hadiri atau Sunan Kalinyamat, dulu pernah ikut pula dalam armada Demak yang menyerang Malaka pada tahun 1513 Masehi. Walau seorang wanita, Ratu Kalinyamat tidak bisa dianggap remeh. Konon, Ratu Kalinyamat adalah inkarnasi dari Ratu Sima, Ratu wanita penguasa Kerajaan Kalingga pada rentang waktu 400 Masehi yang memang dulu berkedudukan di Jepara.

Putra ketiga Sultan Trenggana adalah seorang putri, yang kelak dinikahkan dengan Mas Karebet atau Jaka Tingkir!

Fatahillah

Pada masa Sultan Trenggana ini pula, sebelum kedatangan Raden Thoyyib, seorang bangsawan dari Pasai, ikut mengabdi ke Demak. Dia adalah Fatahillah. Karena dulu, saat penyerangan Malaka Fatahillah turut serta membantu lasykar Jawa bahkan terkenal dengan keberaniannya, maka Sultan Trenggana mengangkat Fatahillah sebagai Senopati Agung Demak Bintara. Sebuah jabatan yang tidak main-main. Fatahillah menggantikan kedudukan Sunan Kudus. Bahkan, sesungguhnya Sunan Kudus pulalah yang melobi dan menyokong pemngangkatan Fatahillah sebagai pengganti dirinya. Sebaliknya, karena sokongan Fatahillah pula, Raden Thoyyib berhasil mendapat kepercayaan dari Sultan Trenggana dan akhirnya menjadi menantu Sultan. Bahkan Fatahillah-pun menjadi adik ipar Sultan Trenggana. Fatahillahh dinikahkan dengan adik perempuan Sultan Trenggana!

Dari Kesultanan Cirebon, Sultan Cirebon Sunan Gunung Jati memberikan kabar kepada Sultan Demak dan Dewan Wali Sangha bahwasanya Raja Pajajaran Ratu Samian (1521-1535) telah mengijinkan armada Portugis di Malaka untuk mempergunakan pelabuhan Sunda Kelapa sebagai pangkalan bangsa Eropa tersebut! Kesultanan Cirebon kalang kabut! Musuh Islam telah mendapat angin segar untuk bercokol di Jawa.

Ratu Samian dari Pajajaran sengaja mengundang armada Portugis ke Sunda Kelapa karena kedudukan Pajajaran terus-tyerusan digoyang oleh Kesultanan Cirebon dan Kadipaten Banten. Dengan bantuan armada Portugis, setidaknya pelabuhan Sunda Kelapa sebagai jalur utama perekonomian Pajajaran, bisa aman dari gangguan lasykar-lasykar Islam. Pajajaran dan Portugis telah bersekutu! Portugis menerima permintaan Raja Pajajaran tersebut, karena memang, Portugis-pun juga merasa terus-terusan diganggu oleh armada-arnada Islam dalam aktifitas perdagangannya!

Kabar dari Kesultanan Cirebon membuat Dewan Wali Sangha ikut cemas. Serta merta, Sultan Demak, atas persetujuan Dewan Wali, memerintahkan Senopati Agung Fatahillah merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran! Pasukan Demak, dibantu pasukan Kesultanan Cirebon dan pasukan dari Kadipaten Banten menyerbu Sunda Kelapa! Peperangan dengan prajurid Pajajaran tak dapat dielakkan! Pertempuran yang dahsyat itu memakan banyak korban jiwa dikedua belah pihak. Pajajaran dikeroyok tiga kekuatan gabungan, dari Demak, Cirebon dan Banten! Armada Portugis belum tiba di Jawa, sehgingga Pajajaran terpaksa menghadapi pasukan Islam ini sendirian!

Pajajaran memang tangguh! Beberapakali pasukan gabungan ini terpukul mundur! Namun pada akhirnya, Sunda Kelapa berhasil dikuasai oleh pasukan gabungan pada tahun 1527 Masehi! Kedatangan armada Portugis terlambat! Sunda Kelapa telah jatuh ketangan orang-orang Islam. Armada Portugis, yang tidak tahu menahu situasi tersebut, harus terpukul mundur kembali ke Malaka! Kemenangan ini membuat orang-orang Isdlam bersuka cita! Sunda Kelapa lantas diakui sebagai wilayah Demak Bintara. Atas perintah Sultan Trenggana, nama Sunda Kelapa diganti dengan Jayakarta ( Jaya : Kemenangan, Karta : Kota. Jayakarta : Kota Kemenangan : Damar Shashangka). Lama-lama, nama Jayakarta berubah menjadi Jakarta hingga sekarang.

Fatahillah dikukuhkan sebagai Adipati Jayakarta. Melihat kegagahan Fatahillah, Sunan Gunung Jati meminta ijin kepada Sultan Demak untuk meminjam tenaga Fatahillah guna menundukkan Pajajaran! Sultan Demak memberikan ijin. Maka berturut-turut, pasukan Cirebon dibawah pimpinan Fatahillah dan bantuan pasukan Demak serta Banten, berhasil menjebol pertahanan Kadipaten-Kadipaten wilayah Pajajaran. Kadipaten Talaga yang dipimpin oleh Prabhu Pacukuman pun jatuh!

Namun, Fatahillah harus mengakui kehebatan Kadipaten Galuh. Prabhu Cakraningrat, penguasa Galuh yang didampingi Patih Arya Kiban, terkenal kuat! Berkali-kali pasukan gabungan yang dipimpin Fatahillah terpukul mundur! Korban dari pihak Islam tidak terbilang lagi! Yang sangat aneh, setiap kali keraton Galuh hendak diserang, seluruh keraton tiba-tiba lenyap dan terlihat menjadi samudera luas! Seluruh pasukan Islam kebingungan dan linglung!

Atas siasat jitu Sunan Gunung Jati yang menyusupkan putri angkatnya, Ni Mas Gandasari, yang terkenal cantik luar biasa itu, maka rahasia taksu niskala atau tumbal gaib Kadipaten Galuh, yang berupa batu berbentu Lingga Yoni, berhasil dicuri!

Prabhu Cakraningrat tidak menyadari bahwa Ni Mas Gandasari berasal dari Kesultanan Cirebon! Kecantikan Ni Mas Gandasari memikat hati Prabhu Cakraningrat! Setelah beberapa lama Ni Mas Gandasari mengabdi sebagai istri selir Raja Galuh, pada akhirnya dia berhasil mengorek keterangan dimana ditempatkan taksu niskala sebagai tumbal Kadipaten Galuh berada. Begitu berhasil mengorek keterangan dari bibir Raja Galuh sendiri, Ni Mas Gandasari diam-diam mengambil taksu niskala tersebut dan membawa lari!

Galuh kecolongan! Begitu taksu niskala telah hilang dari Keraton Galuh, pasukan Islam dibawah pimpinan Fatahillah lantas menyerbu Galuh! Prabhu Cakraningrat memimpin pasukan Galuh sendiri. Bersama Patih Arya Kiban, beliau maju ke garis depan! Raja dan Patih Galuh ini mengamuk hebat di palagan! Prabhu Cakraningrat dan Patih Arya Kiban memang sudah berniat Perang Puputan! Perang habis-habisan! Dan pada akhirnya, keduanya gugur mengukuhi bhumi pertiwi Pajajaran! Dan Galuh berhasil dijebol pasukan Fatahillah!

Maka berturut-turut kemudian, wilayah Pajajaran berhasil dijebol pasukan Fatahillah satu persatu! Hingga akhirnya, pada tahun 1543, pada saat Pajajaran diperintah oleh Prabhu Ratu Dewata (1535-1543 Masehi), Pajajaran benar-benar dikuasai tentara Islam!

Keberhasilan Fatahillah membuat Sunan Gunung Jati menyukai bangsawan Pasai tersebut. Fatahillah akhirnya dinikahkan dengan putri Sunan Gunung Jati yang bernama Ratu Wulung Ayu. Begitu Fatahillah meletakkan jabatan sebagai Adipati Jayakarta, Fatahillah-pun meminta berhenti dari jabatan sebagai Senopati Demak Bintara. Jayakarta diserahkan kepada Tubagus Angke, sedangkan Fatahillah memilih tinggal di Cirebon. Fatahillah lantas dikenal dengan gelar Tubagus Pasai.

Namun setelah Sunan Gunung Jati menyerahkan tampuk pemerintahan Kesultanan Cirebon kepada putranya, Pangeran Muhammad Arifin pada tahun 1547 Masehi, Fatahillah atau Tubagus Pasai, diminta menjabat sebagai Penasehat Agung Kesultanan Cirebon mendampingi Pangeran Muhammad Arifin.

Namun lima tahun kemudian, yaitu pada tahun 1552 Masehi, Sultan Muhammad Arifin wafat. Sunan Gunung Jati ;lantas menyerahkan tampuk pemerintahan Cirebon kepada Pangeran Seba Kingkin, salah seorang putra Sunan Gunung Jati dari istri yang lain dan yang selama ini menjabat sebagai Adipati Banten. Maka, pusat pemerintahan Cirebon beralih ke Banten. Pangeran Seba Kingkin lantas dikenal dengan gelar Sultan Hasannuddin (1552-1570 Masehi). Di Cirebon sendiri tampuk pemerintahan oleh Arya Kemuning, menantu Fatahillah. Arya Kemuning hanya berkedudukan sebagai Adipati. Maka dia dikenal dengan gelar Adipati Carbon I.

Pada tahun 1568, tepat berusia 120 tahun, Sunan Gunung Jati wafat.

Mas Karebet menuju Demak Bintara

Putra tunggal Ki Ageng Pengging yang diasuh oleh Nyi Ageng Tingkir, telah tumbuh dewasa. Begitu menginjak dewasa, Nyi Ageng Tingkir selalu dibuat was-was dengan tingkah laku keponakannya ini.

Menginjak usia lima belas tahunan, Mas Karebet gemar pergi ke tengah hutan belantara. Hal ini dilakukannya berhari-hari tanpa pulang. Pulang-pulang cuma sebentar, lantas pergi lagi. Wilayah Tingkir yang masih dikelilingi hutan rimba, kini dipegang oleh pejabat baru yang ditunjuk oleh Sultan Demak. Nyi Ageng Tingkir, sebagai seorang janda bekas Adipati, hidup berkecukupan dari hasil bersawah. Nyi Ageng Tingkir tidak memiliki putra. Praktis, Mas Karebet, keponakannya itu, sangat-sangat beliau sayangi.

Namun, kegemaran Mas Karebet yang sangat suka bepergian dari rumah dan sering memasuki hutan belantara, sangat-sangat mencemaskan Nyi Ageng Tingkir. Manakala Mas Karebet pulang, berkali-kali Nyi Ageng Tingkir mengutarakan kecemasannya. Namun setiap kali pula Mas Karebet menjawab :

"Ibu, jangan khawatir. Di hutan saya banyak memiliki teman pertapa Shiwa Buddha. Saya ke hutan tidak hanya sekedar bermain-main, tapi ngangsu kawruh (menimba ilmu) dari beliau-beliau."

Walau begitu, Nyi Ageng tetap saja mencemaskan keselamatan putra keponakannya yang sudah dianggap sebagai putranya sendiri. Hingga pada suatu ketyika, Nyi Ageng memanggil seorang ulama Islam ke kediaman beliau, khusus didatangkan dan diupah untuk mengajar Mas Karebet. Tapi Mas Karebet sama sekali tidak tertarik. Dia tetap meneruskan kegemarannya mengunjungi para pertapa didalam hutan.

Kebiasaan ini terus berlanjut hingga usia Mas Karebet menginjak dua puluh lima tahun. ( Mas Karebet lahir pada tahun 1499 Masehi : Damar Shashangka) Dan pada akhirnya, kesabaran Nyi Ageng Tingkir benar-benar habis. Dia melarang Mas Karebet pergi dari rumah. Nyi Ageng mengutus dua orang pembantu untuk terus mengawasi Mas Karebet. Mas Karebet diperintahkan Nyi Ageng untuk ikut bekerja bersama pembantu-pembantu yang lain disawah!

Mas Karebet mengalah. Setiap hari, kini Mas Karebet bekerja disawah bersama pembantu-pembantu yang lain.

Pada suatu ketika, manakala Mas Karebet tengah melepas lelah disebuah gubug diareal pesawahan, tanpa sengaja Mas Karebet melihat seseorang berpakaian hitam-hitam dengan membawa tongkat tengah berjalan ditengah pematang pesawahan. Orang itu kelihatan sudah sangat sepuh. Namun masih terlihat tegap saat melangkah. Dia sendirian. Berjalan pelahan ditengah sengatan terik mentari. Pematang yang membujur membelah areal mpesawahan dan pada ujungnya akan melewati gubug dimana Mas Karebet melepas lelah itu dititinya pelahan.

Mata Mas Karebet tak lepas-lepas memperhatikan orang tersebut. Mas Karebet-pun tengah sendirian. Para pembantu yang lain, masih tampak sibuk bekerja. Dan anehnya, mereka semua seolah tidak melihat adanya orang tua berpakaian hitam-hitam yang tengah berjalan dipematang sawah ini.

Dan, begitu sosok tua ini sedemikian dekatnya dengan Mas Karebet, mendadak dia menghentikan langkahnya. Dia menatap Mas Karebat sambil tersenyum. Wajahnya luar biasa cerah. Mas Karebet tertegun...

"Ngger, Aneng kene dede pakaryanira. Ananging sejatine, pakaryanira aneng Keraton Demak. Wis, ngger, pamita marang ibunira, mangkata suwita marang Kangjeng Sultan Demak. Weruha, ngger. Sira iku bebakale Ratu Tanah Jawa!"

(Anakku, disini bukanlah tempatmu bekerja. Akan tetapi sesungguhnya, pekerjaanmu ada di Keraton Demak. Sudahlah anakku, mohon ijinlah kepada ibumu, berangkatlah mengabdi kepada Kangjeng Sultan Demak. Ketahuilah anakku, kamu adalah calon Raja Tanah Jawa!)

Mas Karebet tersentak. Namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Dan orang tua itu segera berlalu. Mata Mas Karebet tak lekang-lekang mengikuti kepergian sosok misterius tersebut. Otraknya berputar, mencerna kata-kata yang barusan didengarnya.

Dan hanya sekejap Mas Karebet melepaskan pandangan matanya pada sosok misterius tersebut, dia sejenak menunduk, mengingat kata-kata orang tua tadi, sedetik kemudian dia menoleh mencoba kembali mengamati sosok aneh yang barus saja berlalu. Tapi aneh! Sosok itu sudah tidak ada! Padahal pematang sawah itu masih panjang jaraknya dari jalan desa! Mas Karebet tercengang! Sontak dia bangkit mencari-cari kemana orang tadi berjalan! Tidak ada! Orang berpakaian hitam-hitam itu benar-benar raib! Hilang begitu saja!

Mas Karebet kelimpungan! Masih terngiang kata-kata orang misterius barusan! Segera Mas Karebet memutuskan untuk pulang kerumah, melaporkan kejadian tersebut kepada ibunya, Nyi Ageng Tingkir!

Mendapati cerita Mas Karebet, Nyi Ageng Tingkir mengernyitkan kening dan bertanya :

"Ngger, bagaimana ciri-ciri orang tersebut?"

Mas Karebet menjawab :

"Angagem sarwa wulung. Busana wulung, iket wulung."

(Mengenakan pakaian serba hitam. Berjubah hitam dan berikat kepala hitam)

Nyi Ageng Tingkir memekik kaget :

"Itu Kangjeng Sunan Kalijaga! Sudah, ngger, berangkatlah ke Demak. Aku mempunyai seorang kakak kandung yang menjabat sebagai Lurah Kaum ( Kepala pengurus masjid Istana : Damar Shashangka)), namanya Ki Ganjur. Sudahlah, aku kirim kamu kesana. Ikutlah pamanmu di Demak Bintara!"

Nyi Ageng Tingkir begitu gembira. Secepatnya dia mempersiapkan keberangkatan Mas Karebet ke Demak Bintara. Dua orang pembantu diutus mengiringi keberangkatan putra kesayangannya tersebut.

Keesokan harinya, Mas Karebet diantar dua orang pembantu berangkat ke ibu kota Demak.

Di Demak, ketiganya langsung menuju kediaman Ki Ganjur, Lurah Kaum. Setelah menitipkan Mas Karebet, dua orang pembantu tersebut mohon ijin pulang kembali ke Tingkir. Mas Karebet mulai tinggal diibu kota Demak tepat pada tahun 1524 Masehi.

Ki Ganjur tahu siapa Mas Karebet. Sosok pemuda trah Pengging satu-satunya. Trah pewaris tahta Majapahit yang sesungguhnya. Ki Ganjur-pun tahu, Mas Karebet pemeluk Shiwa Buddha. Tapi hal tersebut tidak menjadi masalah bagi Ki Ganjur, karena dia melihat masa depan Mas Karebet sangat cerah dikemudian hari.

Mas Karebet, lantas dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir oleh orang-orang dilingkungan Kaum. Jaka Tingkir berarti seorang perjaka dari Tingkir. Tugas Mas Karebet atau Jaka Tingkir setiap hari hanyalah membersihkan areal masjid Demak. Jaka Tingkir melakukan tugas tersebut dengan sepenuh hati. Walau dia tidak ikut menggunakan tempat ibadah itu bagi dirinya, namun bagi Jaka Tingkir, tak ada bedanya membersihkan sebuah tempat ibadah suci umat lain maupun tempat ibadah suci bagi pemeluk Shiwa Buddha.

Tak ada yang berani protes atas kehadiran Jaka Tingkir ditempat itu. Karena Jaka Tingkir adalah keponakan Ki Ganjur sendiri. Berbulan-bulan Jaka Tingkir tinggal ditempat Ki Ganjur. Hingga pada suatu ketika, Ki Ganjur mendapat ide jitu untuk menarik perhatian Sultan Demak.

Ki Ganjur menyarankan Jaka Tingkir untuk menyengaja terlambat saat membersihkan masjid Demak tepat pada hari Jun'at mendatang. Tujuannya, apabila nanti Sultan Trenggana hadir hendak melaksanakan shalat Jum'at seperti biasanya, Sultan Trenggana biar melihat Jaka Tingkir yang masih sibuk membersihkan areal masjid. Dengan cara itu, Sultan Trenggana pasti akan kurang berkenan. Manakala Sultan Demak marah, biar Ki Ganjurr yang akan memohonkan ampunan, sekaligus Ki Ganjur akan membuka jati diri Jaka Tingkir dihadapan Sultan Demak.

Ki Ganjur akan meyakinkan Sultan Demak bahwasanya sosok Jaka Tingkir sangat-sangat dibutuhkan oleh Kesultanan. Jaka Tingkir masih putra Ki Ageng Pengging. Sosok yang sangat disegani sisa-sisa bangsawan Majapahit. Dengan memanfaatkan Jaka Tingkir, Sultan Demak bisa menaklukkan kekuatan-kekuatan Shiwa Buddha yang dibeberapa daerah masih juga terus mengadakan perlawanan, baik yang terang-terangan maupun gerilya.

Ki Ganjur dan Jaka Tingkir sepakat.

Pada hari Jum'at yang sudah ditetapkan, pagi-pagi sekali masjid Demak sudah ramai-ramai dibersihkan oleh para Kaum. Sultan Trenggana menjelang siang hari pasti akan hadir untuk melaksanakan shalat Jum'at di sana. Beliau akan hadir beserta para pejabat yang lain. Namun Jakatingkir, tidak terlihat.

Menjelang siang hari, baru Jaka Tingkir muncul. Dia menyibukkan diri membersihkan ruangan dalam masjid. Padahal, waktu dilaksanakannya shalat Jum'at sudah sedemikian dekat. Para Kaum keheranan melihat ulah Jaka Tingkir. Dia diperingatkan bahwasanya rombongan Sultan akan segera hadir. Namun Jaka Tingkir seolah tidak peduli.

Dan benar, sesaat kemudian dihalaman masjid terlihat ramai. Rombongan Sultan Trenggana beserta para pejabat Demak telah hadir! Para Kaum kalang kabut, mereka cepat berlarian keluar menyambut kedatangan rombongan Sultan.

Begitu Sultan Trenggana hendak memasuki ruang dalam masjid, dia melihat didalam masih ada seorang pemuda yang tengah sibuk membenahi ruangan. Sultan Demak keheranan. Siapakah orang yang kurang ajar tidak mau menyambut kehadirannya. Kehadiran seorang Sultan Demak Bintara?

Para Kaum geger!

Sultan Trenggana segera memerintahkan prajurid Demak memanggil Jaka Tingkir! Jaka Tingkir pura-pura kaget dan segera berlari menghampiri Sultan Demak begitu beberapa prajurid dengan kasar menghardik dia. Jaka Tingkir menghaturkan sembah seraya memohon ampunan. Dengan posisi bersila dan kedua tangan tercakup didepan wajah.

Sesaat Sultan Trenggana mengamati sosok pemuda yang bersila didepannya. Tampan dan gagah. Bukan keturunan rakyat biasa. Sultan Trenggana lekat-lekat mengamati sosok pemuda itu, lantas dia bertanya :

" Kamu siapa? Tidak tahukah sopan santun seorang kawula apabila Gusti-nya datang?"

Jaka Tingkir menjawab :

"Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Saya Jaka Tingkir, putra keponakan Ki Ganjur. Mohon ampun atas ketidak sopanan hamba..."

Sultan Trenggana heran. Kata-kata Jaka Tingkir sangat tertata dan halus. Siapakah gerangan pemuda ini? Dalam hati Sultan Trenggana bertanya-tanya.

(Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, begitu Sultan Trenggana hadir, Jaka Tingkir melompati kolam masjid Demak dalam posisi membelakangi Sultan. Hal ini membuat Sultan kaget sekaligus tersinggung. Melompati kolam masjid sambil membelakangi Sultan sesungguhnya melambangkan bahwa Jaka Tingkir telah 'melompati tata aturan tempat suci seorang Sultan' : Damar Shashangka)

Mendadak seseorang tergopoh-gopoh menghampiri Sultan Demak sambil menyembah dan bersila disamping Jaka Tingkir. Dia adalah Ki Ganjur.

"Kasinggihan dhawuh, Kangjeng. Ini adalah putra keponakan saya yang baru datang dari desa. Mohon ampun atas kelancangannya. Tolong dimaklumi, karena dia masih bodoh dan belum menahami tata krama Keraton."

Karena waktu shalat Jum'at sudah harus dimulai, Sultan Trenggana-pun lantas berkata :

"Seusai shalat Jum'at, kamu harus menghadap ke Istana!"

Ki Ganjur dan Jaka tingkir menunduk. Umpan mereka telah dimakan. Dan rombongan Sultan Demak-pun memasuki masjid Agung untuk menunaikan shalat Jum'at.

Jaka Tingkir Bag 3.

oleh : Damar Sasangka.

Bagian : 3

Ki Ganjur sowan ke istana Demak. Seorang kawula yang dipanggil menghadap ke Keraton, biasanya kalau tidak mendapatkan anugerah atau tugas khusus, kemungkinan besar pasti akan mendapatkan murka. Dan Ki Ganjur sudah dapat memperkirakan, dirinya akan mendapatkan murka dari Sultan Demak.
Ki Ganjur menunggu untuk dipanggil menghadap ke Siti hinggil ditempat khusus. Setelah sekian lama menunggu, seorang abdi dalem datang dan menyuruh Ki Ganjur menghadap ke Siti Hinggil.

Setelah bertatap muka dengan Sultan Demak, Ki Ganjur-pun meminta pengampunan kepada Sultan atas kecerobohan yang vtelah dilakukan oleh Jaka Tingkir. Ternyata, Sultan tidak murka, malahan Sultan menanyakan siapakah pemuda yang kini tinggal di rumah Ki Ganjur. Kesempatan emas ini dimanfaatkan oleh Ki Ganjur. Serta merta Ki Ganjur menyampaikan siapa sesungguhnya Jaka Tingkir. Sultan Trenggana terkejut. Namun, demikian pintarnya Ki Ganjur meyakinkan Sultan, pada akhirnya, Sultan Demak-pun berkata :

"Paman Ganjur, jika memang benar apa yang kamu katakan barusan, beranikah Jaka Tingkir aku uji kesaktiannya?"

Ki Ganjur diam. Tapi tak ada jalan lain.

"Jika memang Kangjeng Sultan berkehendak seperti itu, kami hanya bisa pasrah saja. Tapi beribu ampun, Kangjeng. Kalau boleh hamba tahu, Kangjeng hendak menguji anak saya Tingkir dengan cara bagaimana ?"

Kangjeng Sultan tersenyum :

"Seperti halnya menguji calon pasukan pengawal Sultan. Yaitu diadu dengan seekor banteng. Beranikah?"

Ki Ganjur menyutujui.

Dan pada hari yang telah ditentukan, di lapangan tempat pengujian para prajurid, dengan disaksikan oleh Sultan Demak sendiri, beserta beberapa pejabat dan para pasukan pengawal Sultan, Jaka Tingkir, siap diuji kesaktiannya!

Jaka Tingkir yang telah banyak belajar ilmu bela diri, termasuk cara menggunakan berbagai senjata, cara berkuda dan ilmu-ilmu kanoragan dari para pertapa Shiwa Buddha, kini semua yang telah dipelajarinya tersebut harus ditunjukkan semaksimal mungkin. Hari ini adalah hari penentuan bagi masa depan Jaka Tingkir dikemudian hari!

Jaka Tingkir dengan gagahnya menaiki seekor kuda sembari membawa busur panah. Tegang dia menunggu bunyi gong tanda dilepaskannya banteng liar sebagai lawan tandingnya. Manakala dari atas panggung, Kangjeng Sultan Trenggana mengangkat tangan kanannya, maka, gong-pun dipukul nyalang oleh seorang prajurid khusus! Menyusul…seekor banteng liar tiba-tiba masuk ke dalam areal lapangan!

Sorak-sorai terdengar. Jaka Tingkir menggebrak kudanya. Gemuruh suara para prajurid menambah semangat Jaka Tingkir. Untuk beberapa saat, Jaka Tingkir memacu kuda mengelilingi tubuh banteng tersebut. Banteng mendengus. Sesaat belum terpancing. Namun sesaat kemudian, banteng berubah semakin liar!

Banteng menyerang Jaka Tingkir . Jaka Tingkir sigap, kuda berputar indah menghindari serudukan banteng! Gemuruh suara prajurid terdengar melihat gerakan indah cara menghindar yang dipertunjukkan oleh Jaka Tingkir. Sultan Trenggana tersenyum .

Serudukan awal itu luput, banteng memutar badannya, mendengus kencang, lantas kembali mengejar Jaka Tingkir. Aksi kejar-kejaran terjadi. Jaka Tingkir dengan lihai mampu menjaga jarak yang tetap antara kudanya dan banteng yang terus mengejar. Dan….dengan gagahnya, Jaka Tingkir melepaskan tali kekang kuda sembari mengangkat tubuhnya dari pelana. Dengan posisi miring ke arah belakang, Jaka Tingkir melepaskan beberapa anak panah! Tidak terlihat kapan Jaka Tingkir mengambil anak panah dari pundaknya! Anak panah meluncur deras dan tepat mengenai tubuh banteng! Banteng terluka! Serudukannya agak goyah! Gemuruh prajurid membahana melihat ketangkasan Jaka Tingkir yang mampu mengendarai kuda tanpa memegang tali kekang dan sekaligus melepaskan anak panah dengan fokus yang terarah!

Banteng mendengus!!!

Tapi tiba-tiba, dari arah pinggir, muncul due ekor banteng lain! Langsung menyerang Jaka Tingkir! Dengan sangat lincah Jaka Tingkir memacu kuda dan mengambil sebatang tombak yang tersedia dipinggir arena. Sekali lagi, Jaka btingkir bangkit dari pelana kuda, tombak terarah pada salah satu banteng! Sesaat Jaka Tingkir mengarahkan tombaknya! Sesaat kemudian dia melemparkan tombak ditangannya kearah tubuh salah satu banteng! Tepat! Seekor banteng perutnya jebol terkena tombak!
Jaka Tingkir berputar lagi menuju pinggiran arena, dia menyambar sebatang tombak lagi, seperti yang tadi, Jaka Tingkir melemparkan tombak kearah salah satu banteng yang lain. Sekali lagi, seekor banteng terkena bidikan tombaknya!

Jaka Tingkir tidak membuang waktu, dengan tetap memacu kudanya, beberapa kali dilepaskannya anak panah. Bidikan anak panah tak ada yang meleset, mengarah satu persatu ke tubuh ketiga banteng yang kebingungan hendak menyeruduk!

Kondisi ketiga banteng sudah lemah. Jaka Tingkir mendekati seekor banteng. Dengan indahnya, dia melompat dari punggung kuda yang dinaikinya, berpindah ke punggung seekor banteng. Banteng melonjak-lonjak! Nampak Jaka Tingkir ikut terayun-ayun. Namun dengan kecepatan yang luar biasa Jaka Tingkir menancapkan sebilah keris dileher banteng yang dinaikinya!

Banteng roboh! Meregang nyawa! Seekor banteng yang lain mendekat! Jaka Tingkir lari menghindar. Tapi, cepat keris mengarah ke leher banteng yang menyeruduknya…Banteng lari kepinggir…dan roboh meregang nyawa!

Gemuruh sorak sorai prajurid terdengar!

Tinggal seekor lagi……

Sultan Trenggana nampak bangkit dari duduknya. Dia nampak terpikat dengan ketangkasan Jaka Tingkir!
Ditengah arena, Jaka Tingkir berlari menghampiri kudanya. Kembali dia menaiki kuda.Tombak kembali dia raih. Dan tombak meluncur mengarah tubuh banteng! Telak! Banteng mendengus…dan roboh akibat telah banyak luka-luka ditubuhnya! Sorak sorai lebih hebat membahana mengiringi kemenangan Jaka Tingkir.

Dan Sultan Demak puas!

Jaka Tingkir diangkat sebagai Lurah Prajurid Pengawal Sultan Demak.

Berhasil dengan gemilang melewati uji keprajuridan pasukan pengawal Sultan, nama Jaka Tingkir seketika dikenal dan merebak dikalangan istana. Identitas Jaka Tingkir sebagai putra Ki Ageng Pengging-pun sudah banyak yang tahu. Banyak para pejabat Demak yang kagum pada ketangkasan Jaka Tingkir, namun disebagian pihak, bergulir pula sebua kecemasan.

Sunan Kudus, mengutarakan kecemasannya atas masuknya putra Ki Ageng Pengging dilingkungan istana Demak. Namun, Sultan Trenggana saudah terlanjur menyukai Jaka Tingkir. Kecemasan Sunan Kudus tidak begitu ditanggapi Sultan Demak.

Dan, manakala Sultan Trenggana melantik Jaka Tingkir sebagai Lurah Prajurid pengawal Sultan Demak, maka gegerlah seluruh pejabat. Ada yang diam-diam menolak dan tidak puas atas keputusan tersebut, namun banyak pula yang bergembira menerioma keputusan Sultan.

Masa depan Jaka Tingkir sudah nampak didepan mata.

Kemampuan Jaka Tngkir kerap kali teruji. Sebagai Lurah prajurid pengawal Sultan, Jaka Tingkir mampu memberikan rasa aman bagi Sultan Trenggana. Pernah suatu ketika, manakala Sultan Trenggana tengah melakukan suatu perburuan dihutan, Jaka Tingkir berhasil menyelamatkan Sultan Trenggana dari serangan gerombolan geriryawan Majapahit.

Jaka Tingkir berhasil mengusir gerombolan gerilyawan tersebut tanpa pertempuran sama sekali. Pemimpin gerombolan mematuhi perintah Jaka Tingkir, sang putra Ki Ageng Pengging untuk tidak meneruskan penyerangannya.

Begitu juga suatu ketika, saat Jaka Tingkir mengawal Sultan Trenggana yang berkunjung ke wilayah bagian Demak melalui rute menyeberangi sebuah sungai, Jaka Tingkir mampu mengundurkan gerombolan gerilyawan Majapahit pula yang tengah menyerang secara tiba-tiba rombongan Sultan Trenggana. Jaka Tingkir mengundurkan mereka tanpa pertempuran sama sekali! Sultan Trenggana merasa sangat terlindungi dan aman dengan Jaka Tingkir yang berada disampingnya.

(Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, manakala Sultan Trenggana tengah berburu, Jaka Tingkir berhasil menangkap seekor harimau yang hendak mengganggu Sultan. Harimau tersebut ditaklukkan dan dipanggul oleh Jaka Tingkir. Ditunjukkan kepada Sultan Demak, lantas dilepaskannya. Dan dilain waktu, manakala Sultan Demak tengah mengadakan kunjungan ke wilayah bagian dengan melewati rute menyeberangi sebuah sungai, tiba-tiba muncul buaya yang besar! Jaka Tingkir terjun ke sungai, dia bergulat dengan buaya. Buaya berhasil ditangkap, diperlihatkan kepada Sultan Trenggana dan lantas dilepaskan : Damar Shashangka)

Jaka Tingkir sangat dekat dengan Sultan Trenggana. Lebih dekat daripada pejabat-pejabat yang lain, seperti Sunan Kudus maupun Fatahillah, Sang Senopati Demak Bintara. Keselamatan Sultan benar-benar terjaga apabila Jaka Tingkir yang melakukan pengawalan. Seluruh lasykar Majapahit yang masih bergerilya, menghormati dan menyegani putra Ki Agengt Pengging tersebut. Apa yang disampaikan oleh Ki Ganjur, terbukti sudah. Dan Sultan Trenggana semakin menyayangi Jaka Tingkir.
Pada suatu ketika, Sultan Trenggana mengeluarkan maklumat khusus, membuka kesempatan kepada pemuda-pemuda Demak untuk mengabdi sebagai Paukan pengawal Sultan. Sultan Demak menghendaki jumlah personil pasukan pengawal ditambah dengan mengambil personil bartu diluar personil angkatan perang yang sudah ada.

Maklumat istimewa tersebut disambut antusias oleh seluruh pemuda-pemuda Demak. Banyak yang berdatangan ke ibu kota Demak. Mereka mengajukan diri untuk bersedia mengabdi sebagai anggota pasukan pengawal Sultan.

Setiap pemuda harus melewati ujian-ujian yang tidak mudah. Banyak yang berhasil, tapi lebih banyak pula yang gagal. Jaka Tingkir mendapat tugas melakukan penyeleksian dan pengujian. Konon, seluruh pemuda yang berasal dari padepokan-padepokan di Tanah Jawa, banyak yang berdatangan. Dengan mengandalkan kesaktian yang telah mereka peroleh dari guru masing-masing, para pemuda ini mencoba peruntungannya di Demak Bintara.

Pemberontakan Ki Ageng Sela

Ada kejadian menarik. Putra Ki Getas Pandhawa, guru Sultan Trenggana, yang bernama Ki Ageng Sela, ikut mendaftar. Padahal Ki Ageng Sela sudah memegang jabatan sebagai kepala pasukan bersenjata Demak yang ditugaskan didaerah Sela ( Sekarang tetap bernama Sela, sebuah daerah disekitar lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah : Damar Shashangka)

Sultan Trenggana jelas-jelas tidak mau mengambil personil calon pasukan pengawal dari personil angkatan bersenjata yang sudah ada. Namun mengingat Ki Ageng Sela masih merupakan putra gurunya, Sultan Trenggana terpaksa menyuruh Jaka Tingkir untuk mencatatnya dalam daftar calon-calon anggota pasukan pengawal yang hendak diuji. Namun, saat pengujian Ki Ageng Sela, Sultan sendiri yang akan memutuskan hasilnya, bukan Jaka Tingkir.

(Ki Ageng Sela adalah putra Ki Getas Pandhawa. Ki Getas Pandhawa adalah putra Raden Bondhan Kejawen atau Ki Ageng Tarub II. Raden Bondhan Kejawen adalah putra Prabhu Brawijaya V dengan Dewi Wabdhan Kuning yang berasal dari Sulawesi. Baca catatan saya Misi Peng-Islam-an Nusantara : Damar Shashangka)

Saat hari pengujian Ki Ageng Sela, Sultan Trenggana hadir menyaksikannya. Seperti saat menguji Jaka Tingkir, Ki Ageng Sela-pun diadu dengan tiga ekor banteng liar sekaligus. Dua ekor banteng bisa ditaklukkan dengan mudah oleh Ki Ageng Sela, dan manakala tinggal seekor banteng lagi, saat keris Ki Ageng Sela menghunjam ke leher banteng, darah banteng tersebut muncrat ke wajah Ki Ageng Sela. Ki Ageng Sela memalingkan wajahnya jijik!

Sultan Trenggana tersenyum. Saat itu juga beliau memutuskan bahwa Ki Ageng Sela telah gagal dalam menempuh ujian. Sultan berkata :

"Sela…sira ora katarima, amarga sira jirih bing getih!"
(Sela…kamu tidak diterima, sebab kamu masih jijik dengan darah!)

Ki Ageng Sela marah mendenga keputusan Sultan. Dia kembali ke Sela dan mengumpulkan seluruh pasukan yang berada dibawah komandonya. Beberapa minggu kemudian, ibu kota Demak dikagetkan dengan mengamuknya pasukan Demak sendiri diareal keraton. Fatahillah, sebagai Senopati Agung Demak mendapat laporan, bahwa pasukan Demak yang ditugaskan didaerah Sela dan dipimpin langsung oleh Ki Ageng Sela tengah mengamuk di istana. Fatahillah segera menghadap Sultan Trenggana dan memohon ijin untuk menggempur Ki Ageng Sela beserta pasukan Demak yang bersamanya. Namun Sultan Trenggana melarang Fatahillah untuk menggempur pasukan yang membelot tersebut secara sungguh-sungguh. Jika memang memungkinkan, hindari korban seminimal mungkin. Dan pesan Sultan kepada Fatahillah, agar Senopati Demak tersebut memberikan ruang kepada Ki Ageng Sela agar bisa leluasa masuk areal keraton. Sultan Trenggana berkehendak untuk menghadapi Ki Ageng Sela sendiri jika memang dia berani masuk ke istana. Fatahillah segera melaksanakan perintah.

Di areal istana, Sultan Trenggana menunggu kemungkinan Ki Ageng Sela memang berani memasuki areal istana yang memang sengaja dibuka untuknya. Hanya pasukan Ki Ageng Sela yang akan ditahan. Ki Ageng Sela sendiri disengaja diberikan keleluasaan memasuki istana. Sultan Trenggana menaiki seekor kuda dengan dikawal para pasukan pengawal Sultan yang dipimpin oleh Jaka Tingkir.
Dan benar! Manakala diluar istyana tengah terjadi pertempuran, nampak seorang penunggang kuda memacu kudanya memasuki areal keraton dengan beraninya!

Jaka Tingkir waspada! Dia memberikan isyarat agar seluruh pasukan pengawal siaga. Pasukan pengawal bergerak mengitari Sultan Trenggana. Posisi Sultan kini berada ditengah-tengah seluruh pasukan.
Ki Ageng Sela dengan beraninya memacu kuda sembari megang senjata terhunus! Sultan Trenggana tanggap. Dari atas punggung kuda, Sultan merentangkan busur panah dan melepaskan beberapa anak panah! Sasarannya bukan tubuh Ki Ageng Sela, namun kuda tunggangannya!

Begitu anak panah yang dilontarkan Sultan Trenggana mengenai sasaran di kaki kuda Ki Ageng Sela, sontak kuda meringkik nyaring dan tersungkur ruboh! Otomatis, Ki Ageng Sela ikut jatuh terjerembab!
Dalam pisisi seperti itu, Jaka Tingkir memerintahkan pasukannya mengepung Ki Ageng Sela! Ki Ageng Sela tidak berdaya! Tombak-tombak tajam prajurid pengawal Sultan terarah ketubuhnya yang masih jatuh terduduk didekat kudanya yang roboh meringkik-ringkik!

Sultan memacu kuda mendekat kearah Ki Ageng Sela. Dari atas kuda, Sultan berkata :

"Sela, jelas sudah terlihat kamu sangat semberono dalam melakukan penyerangan. Seorang pemimpin pasukan tidak seharusnya meninggalkan pasukannya sendirian saat pertempuran tengah berlangsung. Apalagi, berani menyerang pusat kekuatan musuh sendirian pula!"

Dan Ki Ageng Sela harus mempertanggung jawabkan perbuatannya. Ki Ageng Sela ditahan di Demak Bintara.

Sesungguhnya, ada pemicu lain yang membuat Ki Ageng Sela berani coba-coba melakukan n'pemberontakan kecil' tersebut. Ki Ageng Sela meyakini bahwa dari keturunan Tarub, yaitu keturunan Raden Bondhan Kejawen, sesuai ramalan Prabhu Brawijaya V, eyang buyut Ki Ageng Sela, bahwasanya kelak dari keturunan Tarub akan tampil menjadi Raja Tanah Jawa. Wahyu keprabon tersebut belum saatnya turun kekeluarga Tarub pada masa itu. Wahyu itu akan jatuh kepada cicit Ki Ageng Sela, yaitu Panembahan Senopati, yang kelak mendirikan Kesultanan Mataram pada tahun 1575 Masehi.
Dan atas kebijaksanaan Sultan Demak, kesalahan Ki Ageng Sela diampuni. Dia tetap dipercaya memimpin pasukan didaerah Sela, walau terbatas hanya dengan duaratus limapuluh personil semata.

Jaka Tingkir terusir dari Demak

Proses pendaftaran calon pasukan pengawal Sultan berlanjut setelah peristiwa Ki Ageng Sela.
Suatu ketika, datang seorang pemuda berperawakan tinggi besar dengan janggut ditumbuhi bulu lebat. Dia mengaku bernama Dhadhung Awuk. Dhadhung Awuk adalah pemuda yang terkenal sakti mandraguna. Beberapa anggota pasukan pengawal mmberikan informasi kepada Jaka Tingkir bahwa Dhadhung Awuk pernah dicurigai terlibat pemberontakan Raden Suryawiyata.

Saat mendaftar, dhadhung Awuk sesumbar bahwa dirinya gatal ingin menghancurkan lasykar-lasykar Majapahit yang masih banyak melakukan perang gerilya. Dia ingin mengadu kesaktian dengan mereka. Kalau sehari tidak memukuli orang-orang Majapahit, tangannya terasa gatal!

Mendapat laporan seperti itu, diam-diam Jaka Tingkir marah. Sontak dia datang sendiri ketempat pendaftaran. Melihat kehadiran Jaka Tingkir, beberapa pasukan memberikan tempat.
Jaka Tingkir lantas duduk bersila, berhadap-hadapan dengan Dhadhung Awuk.

Jaka Tingkir sendiri yang lntyas menyatakan keberatan dengan pengajuan diri Dhadhung Awuk untuk mendaftar sebagai calon pasukan pengawal Sultan. Demak membutuhkan orang-orang yang mampu menghargai semua lapisan. Demak sudah kebanyakan orang-orang kolot.

Dan Dhadhung Awuk tersinggung. Dia kemudian berkata :

"Apakah karena Raden Jaka Tingkir masih pewaris sah tahta Majapahit sehingga Raden tidak menyukai saya? Ingat Raden, ini Demak, bukan Majapahit! Dan Majapahit sudah tidak ada apa-apanya lagi!"

Jaka Tingkir diam. Lalu dia mempersilakan Dhadhung Awuk untuk meninggalkan tempat tersebut.

Dhadhung Awuk semakin lancang :

"Jika Raden tidak terima, boleh kita mengadu kesaktian. Atas nama pribadi, antara Dhadhung Awuk dan Jaka Tingkir, bukan antara Dhadhung Awuk dengan seorang Lurah Prajurid Pengawal Sultan Demak!"

Gegerlah seluruh yang hadir mendengar perkataan Dhadhung Awuk. Baik para prajurid pengawal Sultan maupun para pemuda yang sedang mengantri menunggu giliran mendaftarkan diri.

Jaka Tingkir tidak menggubris. Dan Dhadhung Awuk-pun tidak juga segera pergi meninggalkan tempat tersebut.

Dan bangkitlah amarah Jaka Tingkir manakala Dhadhung Awuk sesumbar :

"Ketahuilah Raden, badan saya ini terasa gatal semua jikalau sehari saja tidak dihunjami senjata oleh orang Majapahit!"

Jaka Tingkir memberi isyarat kepada seorang anak buahnya untuk bmendekat. Jaka Tingkir membisikkan sesuatu, lantas, prajurid tersebut memerintahkan seluruh byang hadir menepi untuk memberi ruang lebar…

Tidak ada yang tahu apa yang bakal terjadi…

Dan semua orang jadi tahu apa yang bakalan terjadi ketika Jaka Tingkir berkata kepada Dhadhung Awuk :

"Jika memang itu maumu, mari kita buktikan bersama siapa yang lebih sakti! Aku akan mencoba kesaktianmu dengan sadak ini."

Saat itu Jaka Tingkir tengah memegang `sadak'. ( Sadak adalah alat penumbuk buah gambir, dimana hasil tumbukan tersebut dipakai sebagai bahan campuran untuk mengunyah sirih. Panjangnya sekitar 15 cm dan besarnya Cuma sebesar jempol tangan, berbentuk silindris. : Damar Shashangka)

Dhadhung Awuk mendengus melihat bebgrapa prajurid telah membuat `kalangan' atau tempat yang cukup luas untuk adu kesaktian. Dhadhung Awuk segera beranjak dari bersila, lantas bergerak ke arah tengah-tengah `kalangan' yang telah disediakan. Disana dia berdiri gagah dan membuka dadanya lebar-lebar!

Sejenak dia mencabut keris. Kemudian menghunjamkan keris itu berkali-kali kedada dan perutnya. Tidak ada luka sedikitpun ditempat mana dia menghunjamkan senjata tersebut.

Jaka Tingkir beranjak. Dia menuju `kalangan' dengan disaksikan oleh para prajurid dan para pemuda dengan dada berdebar!

Kini, Jaka Tingkir dan Dhadhung Awuk berdiri berhadap-hadapan. Ditangan Jaka Tingkir tergenggam sadak. Melihat apa yang dipegang Jaka Tingkir, Dhadhung Awuk sedikit mendengus. Keris saja tidak mampu melukai tubuhnya, apalagi sebuah sadak. Begitu Dhadhung Awuk bergumam dalam hati.
Sesaat keduanya masih diam ditempat masing-masing. Dan sedetik kemudian, Jaka Tingkir bergerak cepat menusukkan sadak ke dada Dhadhung Awuk! Dhadhung Awuk membuka dada lebar-lebar.
Dan Dhadhung Awuk menjerit keras manakala sadak ditangan Jaka Tingkir menancap dalam tepat dijantungnya! Darah muncrat dari sana! Dhadhung Awuk menggeram! Tikaman Jaka Tingkir tepat mengenai organ vital! Tubuh Dhadhung Awuk bergetar hebat! Sedetik kemudian jatuh terduduk, lantas roboh menelungkup! Dhadhung Awuk tewas seketika!

Gegerlah seluruh yang hadir! Kejadian tersebut dilihat oleh beberapa pejabat yang kebetulan hadir ditempat tersebut. Mereka lantas menghadap Sultan Trenggana, melaporkan kejadian terbunuhnya seorang calon pasukan pengawal Sultan ditangan Jaka Tingkir. Sultan Trenggana murka! Beliau seketika itu juga memerintahkan Jaka Tingkir untuk menghadap!

Pada hari itu, Sultan Demak melepas jabatan Jaka Tingkir sebagai Lurah Prajurid Pengawal Sultan. Bahkan, Jaka Tingkir diusir dari lingkungan istana Demak.

Jaka Tingkir yang memang merasa bersalah, menerima keputusan tersebut. Namun diam-diam, dengan diusirnya Jaka Tingkir dari istana, Nimas Sekar Kedhaton, adik Ratu Kalinyamat, menangis dan merasa kehilangan.


Jaka Tingkir Bag 4

oleh : Damar Sasangka.

Bagian : 4

Setelah berpamitan kepada Ki Ganjur, Jaka Tingkir-pun meninggalkan ibu kota Demak Bintara. Panjang lebar Ki Ganjur memberikan nasehat kepada keponakannya yang terlihat sangat terpukul tersebut. Dan, Ki Ganjur-pun akhirnya dengan berat hati melepaskan Jaka Tingkir.

Jaka Tingkir tidak pulang ke Tingkir. Dia merasa malu kepada ibunya, Nyi Ageng Tingkir. Dia tidak mau pulang sembari membawa kegagalan dan aib. Bukannya pulang membawa kebanggaan bagi ibunya.

Jaka Tingkir memutuskan menuju ke Pengging.

Tidak banyak orang Pengging yang tahu kehadiran Jaka Tingkir. Diam-diam dengan menyamar sebagai seorang pengembara, Jaka Tingkir menuju ke Pura Dalem Agung Pengging. Pura yang dulu dibangun oleh ayahandanya, Ki Ageng Pengging.

Dengan meminta ijin kepada Pemangku Pura, Jaka Tingkir berniat berdiam diri untuk beberapa hari. Sang Pemangku tidak mengenal Jaka Tingkir sebagai putra Ki Ageng Pengging. Dia memberi ijin kepada Jaka Tingkir untuk tinggal di Pura karena menyangka Jaka Tingkir adalah seorang pertapa pengembara yang tengah menjalankan laku spiritual.

Jaka Tingkir sudah berniat, sebelum mendapatkan petunjuk niskala, dia tidak akan beranjak pergi dari Pura tersebut. Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi dilaksanakannya. Dengan hati pedih, Jaka Tingkir memohon kemurahan Hyang Widdhi untuk berkenan memberikan petunjuk-Nya. Siang dan malam Jaka Tingkir tak lepas-lepas mengucarkan Japa dari mulutnya. Jika lelah ber-Japa, Jaka Tingkir bermeditasi. Jika lelah bermeditasi, Jaka Tingkir berbaring diam, hingga kadang-kadang tertidur.

Dengan uang yang dimilikinya, Jaka Tingkir setiap pagi turun ke desa mencari makan. Hanya sehari semalam sekali. Selepas itu dia berpuasa. Jaka Tingkir mencoba menghindari kecurigaan warga Pengging dengan selalu berpindah-pindah saat membeli makanan.

Tujuh hari telah berlalu, Jaka Tingkir tetap teguh menjalankan Tapa-nya. Dan pada malam yang ke tujuh, Jaka Tingkir merasa kelelahan. Tak sengaja dia tertidur dikala meditasinya.

Saat tertidur, Jaka Tingkir merasa melihat seberkas cahaya meluncur deras dan berhenti tepat didepannya. Cahaya itu pelahan berubah menjadi sosok manusia. Sesosok lelaki yang gagah dan tampan dengan tubuh yang memendarkan sinar luar biasa lembut dan terang!

Antara sadar dan tidak, Jaka Tingkir melihat sosok lelaki itu tersenyum kepadanya dan berkata :

"Ngger Karebet putraningsun, aja kedlarung-dlarung anggenira kasusahan ing pikir. Wis angger, sesuk esuk ambarengi pletheking bagaskara ing bang wetan, sira mangkata, anjujuga padukuhan Banyu Biru. Suwitaa marang Ki Ageng Banyu Biru. Ing kono wahanane sira bakal nemoni kamulyan lan pepadhanging lakunira."

(Anakku Karebat, janganlah berlarut-larut kamu bersusah hati. Sudah, anakku. Besok pagi bersamaan dengan terbitnya matahari dari ufuk timur, berangkatlah dari sini, pergilah ke dukuh Banyu Biru, mengabdilah kepada Ki Ageng Banyu Biru. Disana tempat kamu akan mendapatkan kemuliaan dan terang dalam hidupmu.)

Jaka Tingkir menyembah dalam dan bertanya :

"Siapakah yang hadir didepan saya ini ?"

Sosok itu menjawab dengan senyum penuh kedamaian:

"Weruha angger, ya ingsun iki Ki Ageng Kebo Kenanga ya Ki Ageng Pengging. Ramanira kang satuhune."

(Ketahuilah anakku, aku ini adalah Ki Ageng Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging, ayahandamu yang sesungguhnya.)

Jaka Tingkir kaget. Serta merta dia langsung menghambur dan menubruk sosok tersebut sembari menangis! Tangis kerinduan Jaka Tingkir yang tertahankan selama ini pecah sudah! Diciuminya kaki sosok Ki Ageng Pengging tersebut dengan berurai air mata.

Dan Jaka Tingkir lebih terperanjat lagi manakala dirasakannya ada sosok lain yang hadir dan tengah mengelus-elus kepalanya. Jaka Tingkir mencoba beringsut untuk melihat siapakah itu. Dan Jaka Tingkir melihat sesosok wanita cantik sembari tersenyum, bersimpuh didekatnya dan membelai kepalanya.

"Kangjeng Ibu?", suara Jaka Tingkir tercekat haru.

Sosok wanita itu mengangguk pelan dan menjawab :

"Iya anakku, aku ibumu. Nyi Ageng Tingkir.."

Tangis Jaka Tingkir kembali memecah tak terbendungkan! Diciumnya kaki ibunya...

Terdengar suara Ki Ageng Pengging lembut :

"Karebet, wis ngger, elinga welingingsun, JALMA UTAMA TANSAH NETEPI ANGGERING DHARMA. Aja pegat rina lan wengi tansah memuji Hyang Widdhi. Ing kono bagya mulya bakal sira tampa. Kariya basuki putraningsun Karebet.."

(Karebet, sudahlah anakku, ingat-ingatlah pesanku, MANUSIA UTAMA SENANTIASA MEMEGANG TEGUH KETENTUAN DHARMA. Jangan pernah putus memuji Hyang Widdhi siang dan malam. Disana kedamaian dan kemuliaan akan engkau dapatkan. Selamat tinggal putraku Karebet.)

Dan sosok Ki Ageng Pengging beserta Nyi Ageng Pengging-pun lenyap seketika dari hadapan Jaka Tingkir.

Bersamaan dengan itu, Jaka Tingkir tersadar dari meditasinya. Air mata masih membasahi kelopak matanya...

Dan seketika itu juga, Jaka Tingkir bersujud syukur kepada Hyang Widdhi. Semalaman penuh Jaka Tingkir tak dapat memincingkan mata sedikitpun.

Keesokan harinya, tepat ketika matahari menyembul di ufuk timur, Jaka Tingkir berpamitan kepada Pemangku Pura.

Ki Ageng Banyu Biru.

Ki Ageng Banyu Biru adalah pemimpin sebuah padepokan Shiwa Buddha ( Sampai sekarang saya tidak mengetahui pasti dimana letak Padepokan Banyu Biru : Damar Shashangka). Banyak para siswa yang berguru kepada beliau. Kebanyakan adalah mereka-mereka yang masih tetap teguh memegang ajaran Shiwa Buddha.

Ki Ageng Banyu Biru memiliki dua orang adik laki-laki. Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil. Disana, sudah beberapa waktu yang lama, telah menetap dan berguru seorang pemuda keturunan Prabhu Brawijaya V, Ki Mas Manca.

Ki Mas Manca adalah keturunan Arya Jambuleka II. Sedangkan Arya Jambuleka II adalah putra Arya Jambuleka I. Dan Arya Jambuleka I adalah putra selir Prabhu Brawijaya V.

Ki Ageng Banyu Biru yang waskita batinnya, pagi itu memerintahkan para siswa membersihkan Padepokan. Tak ada yang mengetahui apa maksud beliau. Hanya Ki Mas Manca yang diberitahu bahwasanya sore hari nanti, akan datang seorang tamu keturunan Prabhu Brawijaya V yang hendak berguru ke padepokan tersebut.

Dan benar, menjelang selesai sandhya sore atau sembahyang sore, seorang pemuda nampak memasuki Padepokan serta meminta ijin kepada seorang cantrik (siswa) untuk bertemu dengan Ki Ageng Banyu Biru.

Cantrik tersebut segera menghadap Ki Ageng. Dan Ki Ageng serta merta memerintahkan Ki Mas Manca untuk menyambut kedatangan pemuda tersebut yang tak lain adalah Jaka Tingkir!

Jaka Tingkir terkejut juga mendapati kedatangannya disambut sedemikian rupa oleh Ki Ageng. Rupanya beliau sudah tahu pasti bahwa pada sore hari itu, dia akan datang kesana. Didepan Ki Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir menceritakan apa sebabnya hingga dirinya sampai ke Padepokan Banyu Biru. Berhari-hari Jaka Tingkir berusaha mencari letak padepokan tersebut, dan pada akhirnya berkat Hyang Widdhi, dia sampai juga dan bisa bertemu langsung dengan Ki Ageng Banyu Biru.

Ki Ageng Banyu Biru memperkenalkan Ki Mas Manca kepada Jaka Tingkir. Kedua pemuda keturunan Majapahit itu saling berpelukan bahagia. Bahkan, Ki Mas Manca sedemikian bahagianya sampai-sampai menitikkan air mata.

Ki Ageng Banyu Biru memerintahkan Jaka Tingkir berdiam di Padepokan untuk sementara waktu. Dengan ditemani Ki Mas Manca, Jaka Tingkir mempelajari berbagai macam ilmu dari Ki Ageng Banyu Biru. Kini, Jaka Tingkir lebih mendalami Ilmu Kesempurnaan yang berasal dari butir-butir Upanishad Weda. Jaka Tingkir benar-benar mendalami Ilmu tinggi tersebut.

Berbulan-bulan Jaka Tingkir digembleng dengan Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi. Kecerdasaan dan kesungguhan Jaka Tingkir membuat Ki Ageng sangat menyayanginya. Berbagai lontar-lontar rahasia Shiwa Buddha dengan mudah dikuasai Jaka Tingkir. Hanya dalam beberapa bulan, kemajuan spiritual Jaka Tingkir sudah sedemikian pesatnya. Jaka Tingkir yang dulu lebih mumpuni dalam Olah Kanuragan, kini, Kesadaran spiritual-nya benar-benar terasah tajam berkat Ki Ageng Banyu Biru.

Ki Ageng Banyu Biru bangga melihat perkembangan Jaka Tingkir.

Dan manakala sudah dirasa cukup, Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Jaka Tingkir untuk turun dari Padepokan. Konon, dari Ki Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir mendapatkan Aji Lembu Sekilan, yaitu sebuah ilmu kesaktian yang langka, yang berguna untuk melindungi tubuh dari berbagai serangan dalam batas satu jengkal jari ( satu jengkal jari dalam bahasa Jawa adalah sekilan ; Damar Shashangka). Konon pula, ilmu ini menyerap energi Lembu Andini, seorang Atma Suci yang berwujud seekor Lembu dan menjadi tunggangan Shiwa Mahadewa.

Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil untuk menemani Jaka Tingkir. Sebelum meninggalkan padepokan, Ki Ageng memberikan sebuah taktik jitu kepada Jaka Tingkir agar dapat kembali diterima oleh Sultan Trenggana.

SULTAN TRENGGANA

Pada setiap musim penghujan, Sultan Trenggana pasti meninggalkan ibu kota Demak dan berdiam diri di Pegunungan Prawata. Banjir seringkali melanda ibu kota Demak. Dan tidak banyak yang tahu bahwasanya Sultan kerapkali berdiam diri di Pegunungan Prawata tiap kali musim banjir tiba. Hanya para Pasukan Pengawal Sultan saja yang mengetahuinya.

Untuk kembali mendapatkan kepercayaan Sultan Trenggana, Ki Ageng Banyu Biru menyarankan kepada Jaka Tingkir membuat sebuah keonaran dengan meminta bantuan beberapa gerilyawan Majapahit. Keonaran tersebut harus mampu mengancam keselamatan Sultan Trenggana yang tengah bermukin di Pegunungan Prawata. Dapat dipastikan, tidak bakalan banyak prajurid angkatan bersenjata Demak yang berada disana.

Sebelum pasukan bantuan Demak datang dari Demak menuju Pegunungan Prawata, Jaka Tingkir harus secepatnya tampil menjadi sosok penyelamat. Dengan demikian, Sultan pasti akan kembali menaruh kepercayaan kepada Jaka Tingkir.

Pada hari yang ditentukan, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil-pun berangkat. Tujuan mereka adalah Pegunungan Prawata.

Arya Bahureksa.

Untuk mempersingkat perjalanan dari Banyu Biru ke Pegunungan Prawata, keempat pemuda ini memilih menghindari jalur darat. Mereka memilih menggunakan jalur suingai.

Rakit-pun dibuat. Setelah rampung membuat rakit yg kokoh, keempatnya segera menaiki rakit.

Disuatu tempat, karena waktu telah menjelang sore hari, keempatnya memutuskan untuk menepi dan mencari tempat bermalam dipinggir sungai. Kebetulan, tak jauh dari tepi sungai, waktu itu banyak para gadis tengah mencuci pakaian. Melihat kehadiran keempat orang asing yang tak dikenal, para gadis seketika menyingkir ketakutan.

Dasar Jaka Tingkir dan Ki Mas Manca yang memang masih belia, salah seorang gadis tercantik diantara sekawanan gadis lain, sempat digoda oleh keduanya. Gadis tersebut marah dan pulang dengan hati mendongkol.

Tak ada yang menyangka jika menjelang malam menanjak, tempat dimana keempat pemuda ini bermalam seadanya tiba-tiba dikepung oleh orang-orang tak dikenal dengan senjata lengkap! Perselisihan terjadi. Apa daya empat orang melawan sebegitu banyak manusia, pada akhirnya keempatnya menuruti keinginan segerombolan orang-orang tak dikenal tersebut.

Akhirnya, Jaka Tingkir dan ketiga temannya tahu duduk permasalahan sebenarnya setelah mereka dibawa ke tempat hunian ditengah hutan, sarang para gerombolan.

Tempat dimana mereka bermalam ternyata adalah wilayah hunian para gerombolan gerilyawan Majapahit. Dan salah seorang gadis cantik yang sore tadi mereka goda adalah anak perempuan sang pemimpin gerombolan.

Untung, begitu Jaka Tingkir memperkenalkan siapa dirinya, para gerombolan gerilyawan langsung berbalik menghormatinya. Tiga hari tiga malam keempat pemuda dari Banyu Bitu ini dijamu disana. Arya Bahureksa, sang pemimpin, sangat-sangat bersuka cita bisa bertemu dengan putra Ki Ageng Pengging.

(Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, manakala rakit yang dinaiki Jaka Tingkir hendak menepi, mereka melihat seorang gadis cantik dipinggiran sungai. Jaka Tingkir dan Ki Mas Manca menggodanya. Gadis marah dan serta merta menghilang. Disusul rakit berputar sendiri dan hujan seketika turun rintik-rintik. Lebih mengagetkan lagi, mendadak banyak buaya bermunculan ditempat itu! Keempat orang pemuda terpaksa bertempur dengan gerombolan buaya dan akhirnya berhasil menaklukkan mereka. Arya Bahureksa, pemimpin para buaya menjamu mereka di Istana Buaya selama tiga hari tiga malam : Damar Shashangka)

Dari Arya Bahureksa, Jaka Tingkir mendapatkan bantuan pasukan gerilyawan. Arya Bahureksa juga menyarankan kepada Jaka Tingkir untuk menemui Kebo Andanu, seorang pemimpin gerilyawan yang bermukim disekitar Pegunungan Prawata.

Jaka Tingkir sangat-sangat berterima kasih atas semua bantuan Arya Bahureksa.

Setelah tiga hari tiga malam tinggal dipusat pemukiman para gerilyawan, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil-pun melanjutkan perjalanannya ke Pegunungan Prawata.

Kini perjalanan mereka diiringi oleh sebagian gerombolan gerilyawan yang hendak membantu. Dalam Babad Tanah Jawa, iring-iringan rakit rombongan Jaka Tingkir ini digambarkan dalam tembang Megatruh sebagai berikut :

Sigra milir, Sang Gethek sinangga bajul,
Kawan dasa kang njageni,
Ing ngarsa miwah ing pungkur,
Tanampi ing kanan kering,
Sang Gethek lampahnya alon.

(Segeralah berjalan, Sang Rakit dengan disangga para buaya,
Empat puluh buaya pilihan yang menjaga,
Berada didepan dan dibelakang,
Begitu juga berada di kanan dan kiri,
Sang Rakit-pun berjalan pelan.)

(Megatruh adalah tembang yang menyiratkan situasi genting. Megat berarti : Pegat, Ruh berarti Nyawa/Atma. Megatruh berarti situasi yang mampu memisahkan Ruh dan Jasad. Perjalanan Jaka Tingkir ke Pegunungan Prawata dituangkan dalam tembang Megatruh menyiratkan bahwa perjalanan ini adalah perjalanan menujui situasi genting yang bisa memisahkan Ruh dan Jasad : Damar Shashangka)

Empat puluh prajurid pilihan, ditambah para prajurid yang lain, mengiringi Jaka Tingkir.

Perjalanan mereka-pun akhirnya terhenti manakala senja telah menjelang. Jaka Tingkir beserta para lasykar gerilyawan Majapahit ini akhirnya menepi untuk mencari tempat bermalam.

Wahyu Keprabhon berpindah.

Tepat waktu itu, mereka berhenti di wilayah pedukuhan Butuh, dimana Ki Ageng Butuh adalah pemimpin padukuhan dengan pangkat Bekel.

(Ingatkah anda dengan Ki Ageng Butuh? Ki Ageng Butuh adalah sahabat karib Ki Ageng Pengging. Beliau bersama Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Tingkir sempat berguru kepada Syeh Lemah Abang. Baca catatan saya KI AGENG PENGGING : Damar Shashangka ).

Malam itu Ki Ageng Butuh tidak dapat tidur. Beliau duduk di Pendhopo rumah. Tepat menjelang tengah malam, diatas langit nampak seberkas cahaya kebiru-biruan meluncur dari arah utara. Cahaya itu melintasi langit Butuh!

Ki Ageng Butuh terkesiap. Cahaya ini adalah Wahyu Keprabhon. Yaitu Wahyu seorang Raja. Berasal dari utara, tak lain dari Demak Bintara. Dan wahyu ini tengah berpindah tempat! Dimana wahyu ini jatuh, maka disanalah orang pilihan tersebut dapat dipastikan akan tampil menjadi seorang Raja!

Sontak Ki Ageng Butuh menghambur menuju Gedhogan ( Kandang Kuda ) dan menyambar seekor kuda. Ditengah malam buta, Ki Ageng Butuh memacu kudanya mengikuti gerak cahaya kebiru-biruan yang nampak melintas di atas langit menuju ke pinggir pedukuhan, jauh ke pinggir sungai!

Ki Ageng Butuh terus mengikuti pergerakan cahaya tersebut.

Dan tepat dipinggiran sungai, cahaya itu meluncur ke bawah dan raib! Ki Ageng terus memacu kudanya.

Dan kudanya terhenti nyalang manakala beberapa orang bersenjata tengah menghadangnya tiba-tiba!

Ki Ageng memincingkan matanya melihat ada sekitar lima orang bersenjata terhunus tengah menghalangi laju kudanya. Sejenak Ki Ageng ditanya siapakah beliau. Ki Ageng-pun memperkenalkan dirinya sebagai penguasa wilayah tersebut. Dan giliran Ki Ageng yang balik bertanya siapakah mereka.

Para penghadang Ki Ageng Butuh tak lain adalah para gerilyawan yang mengiringi Jaka Tingkir. Mereka tengah mendapat giliran jaga malam. Mendengar nama Jaka Tingkir disebut-sebut, Ki Ageng Butuh terkejut. Cepat dia meminta kepada kelima orang tersebut untuk menunjukkan dimana Jaka Tingkir kini tengah berada. Kelima orang itu nampak enggan dan curiga. Namun manakala mendengar penuturan Ki Ageng bahwa beliau melihat wahyu keprabhon jatuh ditempat itu, sontak mereka segera mengantarkan Ki Ageng Butuh ketempat dimana Jaka Tingkir tengah beristirahat.

Disaksikan kelima orang gerilyawan berikut Ki Ageng Butuh, disana sebuah kejadian yang memukau mata tengah terjadi!

Diatas kepala seorang pemuda yang tengah tertidur, nampak seberkas cahaya tengah mengambang, berwarna biru cerah. Keenam orang yang menyaksikan hal itu tercengang. Wajah sang pemuda nampak jelas terlihat tersinari cahaya tersebut.

Ki Ageng Butuh tidak sangsi lagi dengan Mas Karebet, putra sahabatnya Ki Ageng Pengging! Pemuda yang kini tengah tertidur dengan cahaya mengambang diatas kepalanya itu adalah Mas Karebet, karena wajahnya mirip dengan Ki Ageng Pengging!

Dan Jaka Tingkir mendadak terjaga dari tidurnya! Bersamaan dengan itu, cahaya kebiru-biruan yang terang diatas kepalanya lenyap!

Jaka Tingkir terjaga karena dalam tidurnya dia mendengar suara-suara aneh tengah memanggil-manggil namanya berulang-ulang!

Begitu dia sadar, dia nampak kebingungan manakala tak jauh dari tempatnya tidur, ada enam orang tengah memperhatikannya dengan tatapan takjub!

Jaka Tingkir Bag 5.

oleh : Damar Sasangka.

Bagian : 5

Belum reda keheranan Jaka Tingkir, salah seorang dari enam orang yg tengah tercengang melihatnya menghambur dan memeluknya. Keheranan Jaka Tingkir semakin bertambah-tambah. Namun begitu sosok itu memperkenalkan didinya sebagai Ki Ageng Butuh, sahabat karib ayahandanya Ki Ageng Pengging, Jaka Tingkir sedikit banyak memahami situasi yg serba mengherankan tersebut.

Ki Ageng Butuh menjelaskan bahwasanya Jaka Tingkir kini telah terpilih sebagai Raja Tanah Jawa. Sesaat lalu, kala Jaka Tingkir tertidur, cahaya wahyu keprabhon telah jatuh diatas kepalanya. Jaka Tingkir kembali dicekam rasa heran. Antara percaya tidak percaya. Namun melihat keseriusan Ki Ageng Butuh, keraguan Jaka Tingkir luruh juga.

Malam itu, Ki Ageng Butuh banyak memberikan wejangan-wejangan yang sangat berguna bagi Jaka Tingkir. Satu hal yg beliau tekankan, agar Jaka Tingkir mentauladani ayahandanya Ki Ageng Pengging yang terkenal sabar dan legowo. Jika kelak Jaka Tingkir benar-benar berhasil menduduki tahta dan menjadi penguasa Tanah Jawa, sikap ini harus dikedepankan.

Menjelang pagi, Ki Ageng Butuh-pun melepas kepergian Jaka Tingkir dan rombongan dengan doa-doa keselamatan.

Rombongan Jaka Tingkir, kini melanjutkan perjalanan melalui jalur darat.

Pegunungan Prawata

Dan perjalanan rombongan Jaka Tingkir-pun sampai juga di pegunungan Prawata. Walau agak lambat dikarenakan mereka memilih jalur-jalur sepi dengan menerobos hutan belukar demi meghindari kecurigaan orang banyak, pada akhirnya mereka tiba juga.

Dengan bantuan gerilyawan anak buah Arya Bahu Reksa, Jaka Tingkir bisa bertemu dengan Kebo Andanu, pemimpin gerilyawan yang bermukim disekitar Pegunungan Prawata.

Jumlah personil anak buah Kebo Andanu ternyata cukup banyak juga. Dengan bantuan mereka yang sudah cukup hafal medan Pegunungan Prawata, apa yang akan direncanakan Jaka Tingkir akan bisa dijalankan dengan mudah.

Jaka Tingkir dan Kebo Andanu segera merndingkan rencana secara matang.

Setelah bkesepakatan dicapai, Jaka Tingkir menjanjikan, kelak apabila dia berhasil menduduki tahta Demak dan berhasil mendirikan Kerajaan baru, Kebo Andanu akan diberikan wilayah otonomi khusus didaerah Pegunungan Prawata dan sekitarnya. Kebo Andanu dijanjikan akan diangkat sebagai penguasa setingkat Adipati atau Raja Bawahan.

Untuk sementara waktu, Jaka Tingkir berserta rombongan beristirahat beberapa hari dipusat hunian para gerilyawan pimpinan Kebo Andanu. Jaka Tingkir menanti hari yang tepat untuk menjalankan rencananya.

Dan pada hari yang ditentukan, gerilyawan gabungan ini bergerak menduduki tempat-tempat yang sudah direncanakan. Tempat-tempat yang mendekati posisi Pesanggrahan dimana Sultan Trenggana berada.

Dengan ditemani Ki Mas Manca, Jaka Tingkir menyamar sebagai seorang tukang rumput. Mereka berdua lebih mendekat ke pusat Pesanggrahan. Jaka Tingkir ingin lebih memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa Sultan Trenggana memang benar-benar berdiam disana. Selain itu, Jaka Tingkir juga tengah mencari target beberapa orang Prajurid Pengawal Sultan yang sama-sama saling kenal dengan dirinya.

Dari hasil pengamatan Jaka Tingkir, dia bisa memastikan bahwa Sultan Trenggana memang berdiam disana. Jaka Tingkir yakin setelah mengamati seharian kondisi dan situasi Pesanggrahan. Sebagai mantan Lurah Prajurid Pengawal Sultan, Jaka Tingkir tahu bahwa memang Raja Demak itu sedang berada di Pesanggrahan Pegunungan Prawata.

Pada malam harinya, kembali Jaka Tingkir, ditemani Ki Mas Manca dan beberapa gerilyawan pilihan mendekati lokasi Pesanggrahan. Jaka Tingkir tengah mengincar beberapa orang prajurid jaga. Yaitu Prajurid Pengawal Sultan yang dikenalinya.

Setelah mendapatkan sasaran yang tepat, ditambah situasi yang dirasa cukup memadai, Ki Mas Manca dan Jaka Tingkir menyergap dua orang prajurid yang sudah diincar semenjak sore. Dibantu beberapa gerilyawan yang lain, dua orang prajurid ini berhasil dilumpuhkan dan dibawa menjauhi areal Pesanggrahan menuju ke tempat persembunyian para gerilyawan.

Sesampainya ditempat persembunyian para gerilyawan, kedua prajurid pengawal tersebut langsung ditemui sendiri oleh Jaka Tingkir. Betapa terkejut mereka mengetahui siapa yang tengah menemui mereka berdua. Keduanya tidak bakalan lupa dengan Jaka Tingkir, mantan Lurah Prajurid Pengawal mereka.

Oleh Jaka Tingkir, kedua prajurid ini ditawari jabatan tinggi jika mereka mau membantu gerakan yang direncanakan Jaka Tingkir. Dan keduanya tergiur. Mereka akhirnya menerima tawaran tersebut. Tugas mereka hanyalah mengabarkan kepada Sultan Trengana bahwa mereka melihat sosok Jaka Tingkir tegah bertapa disekitar Pegunungan Prawata.

Kabar tersebut harus disampaikan kepada Sultan Demak keesokan hari manakala Pesanggrahan sudah diserang oleh pere gerilyawan. Ditengah situasi genting dan sangat mengancam keselamatyan Sultan, disaat itulah kedua prajurid ini harus menghadap Sultan dan menyampaikan berita tersebut.

Selanjutnya mereka harus bisa memberi masukan agar Sultan meminta bantuan Jaka Tingkir untuk mengusir gerombolan liar yang mengancam beliau.

Jika Sultan setuju, secepatnya mereka harus kembali menemui Jaka Tingkir. Jika Sultan tidak setuju, mereka tidak usah kembali lagi.

Menjelang pagti hari, seluruh gerilyawan telah siap pada pos masing-masing. Dan bersamaan dengan bunyi burung hutan buatan yang disuarakan oleh Ki Mas Manca, serentak mereka keluar dari persembunyian dan menyerang Pesanggrahan dimana Sultan Trenggana berada!

Pagi baru menjelangt. Embun masih juga belum mengering. Matahari masih menyembul malu-malu. Seluruh Prajurid Pengawal Sultan Demak dikejutkan dengan serangan mendadak dari gerombolan gerilyawan Majapahit!

Bende (Gong kecil) seketka nyalang dipukul! Dari satu tempat, menyusul suara bende terdengar ditempat lain! Berkumadnatg memekakkan telinga! Bunyi pukulan bertylu-talu tersebut berbaur dengan suara teriakan-teriakan beringas dari para gerilyawan dan suara kepanikan para prajurid Demak!

Dipagi buta itu, dimana mata mereka juga belum sepenuhnya jernih, para Prajurid Pengawal Sultan segera menyambar senjata dan tameng masing-masing! Riuh rendak suaranya! Bentakan-bentakan komando terdengar disana-sini!!

Dan pertempuran pecah sudah! Senjata-senjata berkilat-kilat ditimpa cahaya mentari yang baru saja mengintip mayapada! Disana-sini, suara denting senjata terdengar memekakkan telinga dibarengi teriakan-teriakan marah dari mereka yang tengah mengadu nyawa!!

Belum reda kekacauan yang tengah terjadi, para prajurid Demak dikejutkan pekikan keras dari sisi lain. Pekikan yang berbunyi : JAYA MAJAPAHIT!! berulang-ulang dan disusul suara gemuruh sahutan : JAYA!!. Disana, dari sisi lain, sepasukan gerilyawan datang menyerang dan meleburkan diri dalam pertempuran yang sudah terjadi!!!

Kepanikan melanda para Prajurid Pengawal Sultan! Mereka tidak menyangka-nyangka, hari ini para gerilyawan berani menyerang Pesanggrahan Pegunungan Prawata!! Kepanikan semakin bertambah-tambah manakala disela-sela pertempuran terdengar teriakan berulang-ulang : PATENI WONG DEMAK!!! (BUNUH ORANG DEMAK!!). Teriakan ini bersahut-sahutan. Para prajurid Demak sedikit menciut nyalinya.

Dan satu demi satu, mayat-pun bergelimpangan bermandikan darah!!!

Kebo Andanu terlihat memacu kuda ditengah-tengah pertempuran sembari terus berteriak-teriak : JAYA MAJAPAHIT!! Dia membawa bendera bergambar Surya Majapahit, simbol kebesaran Majapahit ditangan kirinya ,sedangkan tangan kanannya terus mengayunkan senjata dengan lincahnya!! Satu dua prajurid Demak terpapas ayunan senjatanya! Jerit kesakitan terdengar diiringi tumbangnya tubuh itu dengan bermandikan darah segar!

Para Prajurid Pengawal Sultan terdesak! Tubuh-tubuh prajurid Demak tumbang satu persatu. Gerilyawan liar ini sangat terlihat sangat ganas! Gerakan peyerangan mereka yang tidak kenal takut terlihat sarat dengan penumpahan dendam dan kebencian!!

Dan beberapa pasukan gerilyawan telah naik memasuki Pesangrahan dimana Sultan Trenggana tengah berada! Jerit ketakutan dari para dayang wanita dan beberapa selir yang kebetulan ikut ditempat tersebut terdengar! Mereka ketakutan melihat gerombolan gerilyawan Majapahit memasuki Pesanggrahan tanpa ada satupun pasukan Demak yang bisa menahannya! Kegaduhan, kepanikan, ketakutan terlihat disana-sini!

Pergerakan pasukan gerilyawa sudah tidak dapat dikontrol lagi. Penyeragan mereka semakin liar dan ganas!!!

Melihat situasi seperti itu, Jaka Tingkir segera memerintahkan dua orang prajurid Demak yang semalam diculiknya untuk segera menjalankan tugas! Kedua prajurid ini langsung bergerak menyusup, mencari jalan aman menuju Pesanggrahan. Sebuah tanda khusus yang mereka kenakan dileher membuat para gerilyawan yang kebetulan melihat mereka segera memberikan jalan!!

Dua orang prajurid ini sampai di Pesanggrahan! Situasi sangat kacau balau!! Mereka telah hapal jalan menuju ruang dalam Pesanggrahan. Dan mereka bergerak ke ruang rahasia dimana mereka pastikan Sultan pasti tengah mengamankan dirinya disana!!

Kedatangan mereka yang tergopoh-gopoh membuat beberapa prajurid pengawal yang masih menjaga Sultan terkejut!! Ditengah kepanikan dan ketakutan, ditengah kebingungan mereka mencari celah membawa lari Sultan keluar dari medan tempur, kedatangan dua orang prajurid ini hampir saja menimbulkan pertikaian!!

Namun melihat yang datang adalah sesama anggota prajurid pengawal, mereka-pun segera menanyakan ada berita penting apakah yang hendak disampaikan? Dua orang prajurid ini meminta ijin untuk bertemu Sultan Trenggana langsung!

Dalam suasana mencekam, para prajurid yabg menjaga Sultan mengantarkan dua orang suruhan menemui Sultan Trenggana! Didalam bilik, nampak Sultan tengah berdiri tegang sembari menggenggam keris. Melihat kedatangan dua orang prajurid tersebut, Sultan langsung menyambut dan menanyakan apa yang hendak mereka sampaikan.

Tanpa menungu waktu lama, dua orang prajurid ini langsung mengabarkan bahwa mereka melihat Jaka Tingkir. Jaka Tingkir tengah berada disekitar Pegunungan Prawata. Dia tengah menjalankan Tapa Brata. Jika Sultan berkenan, Jaka Tingkir mau turun tangan saat ini juga!!

Dalam kondisi panik, Sultan Treggana tidak bisa berfikir panjang lagi. Beliau langsung memerintahkan dua prajurid ini untuk menemui Jaka Tingkir. Sultan Trenggana memerintahkan Jaka Tingkir mengatasi kekacauan dan Sultan akan mengampuni segala kesalahannya!

Kedua prajurid ini bergegas mohon undur. Keduanya segera keluar dari Pesangrahan, kembali menemui Jaka Tingkir!

Mendengar Sultan Trenggana tengah panik dan meminta bantuannya, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil segera bergerak!

Ki Mas Manca segera memperdengarkan suara burung hutan tiruan bersahut-sahutan! Disusul kemudian suara serupa terdengar! Suara yang dibuat oleh para gerilyawan yang lain begitu mendengar suara burung hutan tiruan yang diperdengarkan oleh Ki Mas Manca!

Jika suara ini terdengar, maka menandakan bahwasanya Jaka Tingkir sudah waktunya tampil ke medan laga

Namun seharusnya, begitu mendengar isyarat suara yang dibunykan beberapa gerilyawan dari garis belakang, Kebo Andanu harus memberikan isyarat penghentian setengah penyerangan dengan menurunkn bendera Surya Majapahit! Hanya pemimpin gerilyawan anak buah Arya Bahureksa saja yang melakukannya. Gerakn penyerangan setengah terhenti dari sisi lain. Beberaga gerilyawan dibaris depan berbalik arah mundur pelahan bergelombang!

Namun tidak dengan pasukan yang dipimpi Kebo Andanu! Mereka terus merangsak maju. Mereka tidak melihat bendera Surya Majapahit ditangan Kebo Andanu diturunkan!

Situasi yang tak terduga ini membuat beberapa gerilyawan kebingungan. Dan Jaka Tingkir-pun melihat itu! Kebo Andanu tidak menuruti perintahnya! Kebo Andanu tidak menjalankan rencana yang telah disepakati! Dan gerakan pasukan Kebo Andanu telah merambah Pesanggrahan. Beberapa bangunan Pesanggrahan telah dibakar!

Jaka Tingkir cepat bertindak! Dia mengambil sekor kuda dan cepat naik keatas pelana. Kuda langsung digebrak nyalang, langsung melaju ke garis depan! Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil tidak tinggal diam! Mereka segera meggebrak kuda masing-masing menyusul Jaka Tingkir!

Melihat kedatangan empat penunggang kuda yang menerobos medan pertempuran, dan yang paling depan terlihat adalah Jaka Tingkir, Kebo Andanu tidak menggubris! Bendera Surya Majapahit kini semakin dia angkat tinggi-tinggi!

Jaka Tingkir bertindak cepat, dia memacu kuda mendekati Kebo Andanu. Manakala jarak mereka sudah teramat dekat, Jaka Tingkir langsung melompat dari atas kudanya, menubruk tubuh Kebo Andanu! Karuan saja, Kebo Andany jatuh terguling ditimpa tubuh Jaka Tingkir. Bendera Surya Majapahit terlempar dari genggamannya!

Cepat bendera itu diraih Jaka Tingkir dan dilemparkan kearah Ki Mas Manca yang tengah memacu kuda kearahnya! Ki Mas Manca sigap menerima lemparan tersebut! Dengan terus memacu kuda ke garis paling depan, diiringi Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil, Ki Mas Manca mengangkat tinggi-tinggi bendera Surya Majapahit, lantas digerakkannya turun sambil berteriak :

"Munduuuuuuuuur!!!!"

Mendengar teriakan komando dari Ki Mas Manca dan melihat bendera Surya Majapahit ditangannya bergerak turun, beberapa pemimpin gerilyawan yang membawa bendera serupa segera melakukan hal yang sama dan berteriak :

"Munduuuuuuur!! Munduuuuuuuuur!!"

Gerakan merangsak maju dari anak buah Kebo Andanu segera tertahan. Kini pelahan mereka mundur ke belakang bergelombang!

Beberapa prajurid Demak yang hampir kehilangan nyawa bersyukur manakala para gerilyawan itu seketika mundur kebelakang!

Di lain tempat, Kebo Andanu tengah berhadapan dengan Jaka Tingkir!

"Paman, mengapa tidak mengikuti rencana semula?!"

Suara Jaka Tingkir tertahan. Jarak mereka teramat dekat, cukup untuk didengar oleh Kebo Andanu. Kebo Andanu mendengus! Matanya berkilat-kilat!

"Kehormatan bagiku membunuh keturunan Patah itu dengan tanganku, Raden!"

Suara Kebo Andanu terdengar bergetar meahan amarah!

Jaka Tingkir mendesis :

"Pasukan Demak dalam jumlah besar sebentar lagi datang! Percuma hanya membunuh Sultan-nya! Sultan baru akan segera diangkat menggantikan! Ikuti rencana semula, paman! Tahta Demak bisa kita rebut dari dalam!!"

Namun Kebo Andanu tidak mau mendengar. Kini dia malah menaiki kudanya, menghunus keris dan berkata :

"Bunuhlah aku, Raden! Hanya dengan cara itu Raden bisa menghentikan aku memenggal kepala Trenggana!!"

Kuda digebrak! Sesaat meringkik! Lantas berlari ke arah Pesanggrahan! Jaka Tingkir tidak tinggal diam! Dia berlari menghampiri kudanya dan segera meyusul Kebo Andanu!

Aksi kejar-kejaran terlihat jelas karena pertempuran pelahan mulai mereda. Seluruh yang hadir menyaksikan itu semua. Para gerilyawan menduga-duga apa yang tengah terjadi! Dan pada akhirnya mereka masing-masing bisa menyimpulkan bahwa Kebo Andanu tengah melanggar rencana semula!

Di pihak pasukan Demak, beberapa prajurid senior bisa melihat dengan jelas dan mengenali bahwa sosok penunggang kuda yang tengah mengejar pemimpin gerilyawan itu tak lain adalah Jaka Tingkir, mantan Lurah Prajurid Pengawal Sultan! Berbagai dugaan merebak dibenak mereka! Namun, aksi kejar-kejaran yang tengah berlangsung lebih menyita perhatian mereka!!

Dan kembali Jaka Tingkir lebih tangkas memapas laju kuda Kebo Andanu!! Kuda Jaka Tingkir mendahului laju kuda Kebo Andanu dan dengan berani bergerak melintang didepannya! Karuan Kuda Kebo Andanu terkejut dan sigap berlari memutar!!!

Kedua kuda berlari berputar arah, lantas bertemu berhadap-hadapan! Koua melonjak-lonjak sesaat! Mendengus-dengus!! Jaka Tingkir dan Kebo Andanu kini kembali berhadapan!!

"Hentikan, paman!!"

Kebo Andanu tersenyum anyir!! Dia menggeleng!!

"Membunuh Trenggana atau mati ditangan pewaris tahta Majapahit adalah kehormatan bagiku!"

Nyaring suara Kebo Andanu! Hampir semua orang mendengar suaranya! Kini, baik pasukan Demak maupun para gerilyawan mendadak terkesiap diam!! Hanya ringkikan-ringkikan kuda sesekali terdengar disana-sini! Mereka yang hadir menantikan dengan tegang apa yang bakal terjadi!

Dan, kembali Kebo Andanu memutar kudanya! Jaka Tingkir sigap! Dia menubruk tubuh Kebo Andanu sekali lagi! Keduanya terguling-guling ditanah! Dan keduanyapun cepat bangkit berdiri!! Kebo Andanu beringas! Ia tusukkan keris ke tubuh Jaka Tingkir!!

Jaka Tingkir menghindar! Jaka Tingkir tetap bersikeras mengingatkkan Kebo Andanu! Namun serangan Kebo Andanu semakin ganas!! Pertempuran terjadi! Disaksikan oleh para prajurid Demak dan para gerilyawan, dua sosok harimau Majapahit itu kini tengah bertempur satu lawan satu!

Belum lama pertempuran terjadi, suasana tegang tiba-tiba dipecahkan oleh suara hentakan kendang dan alunan gamelan!! Suara irama pertempuran!! Bunyi itu berasal dari arah Pendhopo Pesanggrahan. Seluruh yang hadir melihat, disana, Sultan Trenggana nampak tengah berdiri menyaksikan duel maut dua harimau Majapahit!! Sultan-lah yang memerintahkan beberapa Pangrawit Keraton ( Pemusik Istana ) yang juga ikut serta dalam rombongan Sultan di Pegunungan Prawata, untuk membunyikan gamelan bernada perang!! Bunyi gamelan mengiringi adu kesaktian Jaka Tingkir dan Kebo Andanu!!

Kendang menghentak-hentak nyalang! Indah didengar!! Seiring gerakan dua orang yang tengah mengadu nyawa! Hentakan kendang, dibarengi teriakan dari para prajurid Demak!!!

Para gerilyawan diam ditempat masing-masing! Mereka tidak mengira situasi berubah secepat itu! Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa! Semua hanya bisa mengamati dengan dada berdebar! Kedua orang yang tengah bertempur adalah para pemimpi mereka!

Namun tidak demikian dipihak pasukan Demak! Setiap kali Jaka Tingkir menyarangkan serangan, kendang dipukul keras!! Dan teriakan para prajurid mengiringinya!!! Disuatu saat, manakala posisi keduaya merapat, Jaka Tingkir menggeram :

"Hentikan!!"

Kebo Andanu mendengus :

"Bunuh aku, Raden! Atau aku akan memenggal kepala Trenggana!"

Dan pertempuran berjalan a lot! Masing-masing sangat tangguh dan terampil bermain keris! Namun disuatu ketika, keris Jaka Tingkir berhasil melukai lambung Kebo Andanu! Kendang menghentak!!! Gemuruh suara prajurid membahana!!

Kebo Andanu semakin nekad!! Dan disuatu saat, ketika Jaka Tingkir berhasil membalikkan serangan keris Kebo Andanu, ujung keris meluncur tak terarah lagi mengarah dada sang pemimpin gerilyawan!! Jaka Tingkir kaget tapi terlambat!! Keris menancap dalam!! Tepat didada Kebo Andanu!!

Kebo Andanu menggeram!! Darah memancar dari dadanya!! Sesaat dia hendak bergerak kedepan, namun tubuhnya luruh, dia jatuh terduduk.....!!!

Tangan kirinya mendekap dada yang telah basah oleh darah segar!! Tangan kanannya yang tenngah memegang keris diangkat tinggi-tinggi. Kebo Andanu berteriak :

"Jaya Majapahittt!!!"

Jaka Tingkir terkesima! Tubuhnya bagai terpancang kuat kedasar bumi!! Sesaat sebelum Kebo Andanu tersungkur, dia melihat ksatria Majapahit itu terseyum kepadanya!!!

Bunyi gamelan kemenangan kini terdengar!! Sorak sorai para prajurid Demak bergema! Ditempat lain para gerilyawan geger!!

Namun Ki Mas Manca berhasil menenangkan mereka!!

Ki Mas Manca memerintahkan dua orang gerilyawan maju kedepan. Jaka Tingkir tanggap, dia membiarkan dua orang gerilyawan itu membawa jenazah Kebo Andanu! Jaka Tingkir sempat berkata lirih, cukup didengar dua orang gerilyawan :

"Lakukan upacara kematian yang layak!"

Dan, Ki Mas Manca memerintahkan seluruh gerilyawan meninggalkan pesangrahan Pegunungan Prawata saat itu juga!

(Peristiwa memilukan ini diceritakan secara simbolis dalam Babad Tanah Jawa. Konon, sesampainya di Pegunungan Prawata, Jaka Tingkir menemukan seekor kerbau liar yang bernama Kebo Andanu. Kerbau tersebut ditangkap oleh Jaka Tingkir, lantas disalah satu telinganya dimasukkannya segenggam tanah yang dibawa dari Banyu Biru. Kerbau liar tersebut berubah semakin liar, lalu dilepaskan ke arah Pesanggrahan Sultan Trenggana! Kerbau mengamuk! Para prajurid pengawal tidak ada yang mampu menaklukkan amukan Kebo Andanu. Bahkan banyak para prajurid yangtewas terkena amukannya! Pesanggrahan Pegunungan Prawata porak poranda oleh olah Kebo Andanu! Sultan Trenggana panik! Lantas, dua orang prajurid menghadap Sultan dan mengabarkan bahwa mereka melihat Jaka Tingkir. Seyogyanya Sultan meminta pertolongan Jaka Tingkir untuk menaklukkan Kebo Andanu. Sultan menyetujui. Jaka Tingkir akhirnya turun tangan. Jaka Tingkir bertempur dengan Kebo Andanu! Kerbau dipegang, namun tidak menurut dan semakin liar! Terpaksa Jaka Tingkir mengeluarkan tanah yang dia masukkan ke telinga kerbau, lalu Jaka Tingkir memukul kepala kerbau! Kepala Kerbau pecah! Kebo Andanu tewas seketika! Sultan Trenggana selamat dari amukan Kebo Andanu. Tanah yang disimbolkan dalam Babad Tanah Jawa tal lain adalah daerah kekuasaan yang sempat dijanjikan kepada Kebo Andanu. Namun daerah kekuasaan tersebut tidak jadi dimiliki Kebo Andanu karena dia telah membangkang perintah Jaka Tingkir : Damar Shashangka.)

Adipati Pajang

Banyak spekulasi merebak dikalangan istana Demak akibat peristiwa tersebut. Namun bagaimanapun juga, Jaka Tingkir terbukti berhasil menyelamatkan nyawa Sultan Trenggana.

Sunan Kudus memberi masukan kepada Sultan bahwasanya Jaka Tingkir adalah sosok berbahaya bagi Demak Bintara. Demikian juga beberapa pejabat yang lain. Namun keberhasilan Jaka Tingkir menyelamatkan nyawa Sultan bukan berarti tidak harus dihargai.

Disisi lain, Nimas Sekaring Kedhaton, putri Sultan Trenggana, memohon kepada ayahandanya agar Jaka Tingkir diperbolehkan memasuki istana kembali. Nimas Sekaring Kedhaton diam-diam jatuh hati kepada Jaka Tingkir.

Melalui serangakaian musyawarah yang rumit, pada akhirnya Jaka Tingkir diberi penghargaan menjabat sebagai seorang Raja Bawahan, seorang Adipati. Hal ini dimaksudkan, agar Jaka Tingkir tidak mempunyai akses langsung dilingkungan Istana Demak. Jaka Tingkir sengaja dijauhkan dari pusat. Jaka Tingkir dikukuhkan sebagai Adipati yang menguasai wilayah Pajang, wilayah yang tak jauh dari Pengging, tanah kelahirannya. Bahkan Pengging-pun kini masuk wilayah Pajang. Dia dikukuhkan dengan gelar ADIPATI ADIWIJAYA yang berarti KEMENANGAN UTAMA. Mass Karebet atau Jaka Tingkir kini bergelar Adipati Adiwijaya!

Ki Mas Manca diangkat sebagai pendampingnya dengan jabatan Patih Njaba. Dia lantas bergelar Patih Mancanegara. Sedangkan Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil, mereka diangkat sebagai Patih Njero, Jabatan Patih Njero dibebankan kepada mereka berdua.

(Patih Njaba adalah jabatan wakil Raja yang bertugas mengurus urusan ekstern keraton dengan dibantu beberapa mantri, membawahi beberapa pejabat diluar lingkungan ibu kota. Sedangkan Patih Njero adalah jabatan wakil Raja yang bertugas mengurusi urusan intern keraton dengan dibantu pula oleh beberapa mantri dan Ngabehi : Damak Shashangka)

Akses masuk secara langsung ke Istana Demak agak tertutup bagi Adipati Adiwijaya. Namun diam-diam, Adipati Adiwijaya-pun mencintai Nimas Sekaring Kedhaton. Hubungan diam-diam diantara mereka ini memang sudah jauh-jauh hari terjalin. Atas saran Ki Mas Manca atau Patih Mancanegara, Adipati Adiwijaya eminang Nimas Sekaring Kedhaton. Selain atas dasar cinta, Nimas Sekaring Kedhaton bisa dijadikan akses masuk kedalam istana Demak.

Pinangan-pun dilayangkan Adipati Adiwijaya kehadapan Sultan Trenggana. Sultan Trenggana sedikit keberatan. Namun Nimas Sekaring Kedhaton mengancam akan bunuh diri jika pinangan Jaka Tingkir ditolak. Maka Sultran Trenggana terpaksa menerima pinangan tersebut.

Akhirnya, Adipati Adiwijaya berhasil memperistri Nimas Sekaring Kedhaton. Hubungan ini sangat ditentang oleh Sunan Kudus. Sunan Kudus menyarankan kepada Sultan Trenggana agar menutup akses masuk ke Istana bagi Nimas Sekaring Kedhaton. Nimas Sekaring Kedhaton dicap telah murtad karena memilih suami beragama kafir!

Jaka Tingkir berkuasa di Kadipaten Pajang. Beberapa gerilyawan Majapahit dia masukkan kedalam angkatn bersenjata Pajang. Bahkan keturuan Ki Ageng Sela, yaitu Ki Ageng Pamanahan-pun diterima mengabdi sebagai anggota pasukan Pajang!

Kekuatan Shiwa Buddha dan Islam Abangan diam-diam menyatu dibawah panji Pajang.

Diam-diam pula, Sunan Kudus membaca situasi tersebut. Pajang tidak boleh dibiarkan. Sunan Kudus kembali menggalang kekuatan militer khusus yang sepenuhnya berda dibawah kendalinya. Pusat kekuatan militer gemblengan Sunan Kudus ini berada vdi Kadipaten Jipang Panolan.

Putra Pangeran Suryawiyata, Arya Penangsang yang masih muda digemblengnya luar dalam. Arya Penangsang dikaderkan kelak untuk merebut tahta Demak lebih dahulu sebelum pihak Pajang berhasil menguasainya.

Dua kekuatan militrer saling berseberangan berkembang dikalangan angkatan bersenjata Demak! Dan dua kekuatan ini kelak akan berhadapan dalan peranng mengerikan yang berdarah-darah!

(TAMAT)

Sahnti , selamat menikmati , semoga dapat berguna sebagai penambah ...