Sabtu, 17 Desember 2011

SULUK SUNAN BONANG

Karya-karya Sunan Bonang yang dijumpai hingga sekarang dapat dikelompokkan menjadi dua:

(1) Suluk-suluk yang mengungkapkan pengalamannya menempuh JALAN CINTA (Tasawuf) dan beberapa pokok ajaran tasawufnya yang disampaikan melalui ungkapan-ungkapan simbolik yang terdapat dalam kebudayaan Arab, Persia, Melayu dan Jawa. Di antara suluk-suluknya ialah Suluk Wujil, Suluk Khalifah, Suluk Kaderesan, Suluk Regol, Suluk Bentur, Suluk Wasiyat, Suluk Pipiringan, Gita Suluk Latri, Gita Suluk Linglung, Gita Suluk ing Aewuh, Gita Suluk Jebang, Suluk Wregol dan lain-lain (Drewes 1968). 

(2) Karangan prosa seperti Pitutur Sunan Bonang yang ditulis dalam bentuk dialog antara seorang guru Sufi dan muridnya yang tekun. Bentuk semacam ini banyak dijumpai sastra Arab dan Persia.

Apa itu suluk?
Suluk adalah salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat Jawa dan Madura dan ditulis dalam bentuk puisi dengan metrum (tembang) tertentu seperti sinom, wirangrong, kinanti, smaradana, dandanggula dan lain-lain . Seperti halnya puisi sufi umumnya, yang diungkapkan ialah pengalaman atau gagasan ahli-ahli tasawuf tentang perjalana keruhanian (suluk) yang mesti ditempuh oleh mereka yang ingin mencpai kebenaran tertinggi, Tuhan, dan berkehendak menyatu dengan Rahasia Dzikir dan Rahasia Sang Wujud. Jalan itu ditempuh melalui berbagai tahapan ruhani (maqam) dan dalam setiap tahapan seseorang akan mengalami keadaan ruhani (ahwal) tertentu, sebelum akhirnya memperoleh kasyf (tersingkapnya cahaya penglihatan batin) dan makrifat, yaitu mengenal Yang Tunggal secara mendalam tanpa syak lagi (haqq al-yaqin). 

Di antara keadaan ruhani penting dalam tasawuf yang sering diungkapkan dalam puisi ialah wajd (ekstase mistis), dzawq (rasa mendalam), sukr (kegairahan mistis), fana’ (hapusnya kecenderungan terhadap diri jasmani), baqa’ (perasaan kekal di dalam Yang Abadi) dan faqr (Abdul Hadi W. M. 2002:18-19).

Faqr adalah tahapan dan sekaligus keadaan ruhani tertinggi yang dicapai seorang ahli tasawuf, sebagai buah pencapaian keadaan fana’ dan baqa’. Seorang faqir, dalam artian sebenarnya menurut pandangan ahli tasawuf, ialah mereka yang demikian menyadari bahwa manusia sebenarnya tidak memiliki apa-apa, kecuali keyakinan dan cinta yang mendalam terhadap Tuhannya. Seorang faqir tidak memiliki keterpautan lagi kepada segala sesuatu kecuali Tuhan. Ia bebas dari kungkungan ‘diri jasmani’ dan hal-hal yang bersifat bendawi, tetapi tidak berarti melepaskan tanggung jawabnya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sufi Persia abad ke-13 M menyebut bahwa jalan tasawuf merupakan JALAN CINTA (mahabbah atau `isyq). Cinta merupakan kecenderungan yang kuat terhadap Yang Satu, asas penciptaan segala sesuatu, metode keruhanian dalam mencapai kebenaran tertinggi, jalan kalbu bukan jalan akal dalam memperoleh pengetahuan mendalam tentang Yang Satu.

Sebagaimana puisi para sufi secara umum, jika tidak bersifat didaktis, suluk-suluk Sunan Bonang ada yang bersifat lirik. Pengalaman dan gagasan ketasawufan yang dikemukakan, seperti dalam karya penyair sufi di mana pun, biasanya disampaikan melalui ungkapan simbolik (tamsil) dan ungkapan metaforis (mutasyabihat). Demikian dalam mengemukakan pengalaman keruhanian di jalan tasawuf, dalam suluk-suluknya Sunan Bonang tidak jarang menggunakan kias atau perumpamaan, serta citraan-citraan simbolik. Citraan-citraan tersebut tidak sedikit yang diambil dari budaya lokal. Kecenderungan tersebut berlaku dalam sastra sufi Arab, Persia, Turki, Urdu, Sindhi, Melayu dan lain-lain, dan merupakan Prinsip penting dalam sistem sastra dan estetika sufi (Annemarie Schimmel 1983: ) Karena tasawuf merupakan jalan cinta, maka sering hubungan antara seorang salik (penempuh suluk) dengan Yang Satu dilukiskan atau diumpamakan sebagai hubungan antara pencinta (`asyiq) dan Kekasih (mahbub, ma`syuq).

Drewes (1968, 1978) telah mencatat sejumlah naskah yang memuat suluk-suluk yang diidentifikasikan sebagai karya Sunan Bonang atau Pangeran Bonang, khususnya yang terdapat di Museum Perpustakaan Universitas Leiden, dan memberi catatan ringkas tentang isi suluk-suluk tersebut. Penggunaan tamsil pencinta dan Kekasih misalnya terdapat dalam Gita Suluk Latri yang ditulis dalam bentuk tembang wirangrong. Suluk ini menggambarkan seorang pencinta yang gelisah menunggu kedatangan Kekasihnya. Semakin larut malam kerinduan dan kegelisahannya semakin mengusiknya, dan semakin larut malam pula berahinya (`isyq) semakin berkobar. Ketika Kekasihnya datang dia lantas lupa segala sesuatu, kecuali keindahan wajah Kekasihnya. Demikianlah sestelah itu sang pencinta akhirnya hanyut dibawa ombak dalam lautan ketakterhinggaan wujud.

Dalam Suluk Khalifah Sunan Bonang menceritakan kisah-kisah kerohanian para Wali dan pengalaman mereka mengajarkan kepada orang yang ingin memeluk agama Islam. Suluk ini cukup panjang. Sunan Bonang juga menceritakan pengalamannya selama berada di Pasai bersama guru-gurunya serta perjalanannya menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Karya yang tidak kalah penting ialah Suluk Gentur atau Suluk Bentur. Suluk ini ditulis di dalam tembang wirangrong dan cukup panjang.

Gentur atau bentur berarti lengkap atau sempruna. Di dalamnya digambarkan jalan yang harus ditempuh seorang sufi untuk mencapai kesadaran tertiggi. Dalam perjalanannya itu ia akan berhadapan dengan maut dan dia akan diikuti oleh sang maut kemana pun ke mana pun ia melangkah. Ujian terbesar seorang penempuh jalan tasawuf atau suluk ialah syahadat dacim qacim. Syahadat ini berupa kesaksian tanpa bicara sepatah kata pun dalam waktu yang lama, sambil mengamati gerik-gerik jasmaninya dalam menyampaikan isyarat kebenaran dan keunikan Tuhan. Garam jatuh ke dalam lautan dan lenyap, tetapi tidak dpat dikatakan menjadi laut. Pun tidak hilang ke dalam kekosongan (suwung). Demikian pula apabila manusia mencapai keadaan fana’ tidak lantas tercerap dalam Wujud Mutlak. Yang lenyap ialah kesadaran akan keberadaan atau kewujudan jasmaninya.

Dalam suluknya ini Sunan Bonang juga mengatakan bahwa pencapaian tertinggi seseorang ialah fana’ ruh idafi, yaitu ‘keadaan dapat melihat peralihan atau pertukaran segala bentuk lahir dan gejala lahir, yang di dalamnya kesadaran intuititf atau makrifat menyempurnakan penglihatannya tentang Allah sebagai Yang Kekal dan Yang Tunggal’. Pendek kata dalam fana’ ruh idafi seseorang sepenuhnya menyaksikan kebenaran hakiki ayat al-qur`an 28:88, “Segala sesuatu binasa kecuali Wajah-Nya”. Ini digambarkan melalui peumpamaan asyrafi (emas bentukan yang mencair dan hilang kemuliannya, sedangkan substansinya sebagai emas tidak lenyap. Syahadat dacim qacim adalah kurnia yang dilimpahkan Tuhan kepada seseorang sehingga ia menyadari dan menyaksikan dirinya bersatu dengan kehendak Tuhan (sapakarya). 

Menurut Sunan Bonang, ada tiga macam syahadat:
1. Mutawilah (muta`awillah di dalam bahasa Arab)
2. Mutawassitah (Mutawassita)
3. Mutakhirah (muta`akhira)


Yang pertama syahadat (penyaksian) sebelum manusia dilahirkan ke dunia yaitu dari Hari Mitsaq (Hari Perjanjian) sebagaimana dikemukakan di dalam ayat al-Qur`an 7: 172, “Bukankah Aku ini Tuhanmu? Ya, aku menyaksikan” (Alastu bi rabbikum? Qawl bala syahidna). 

Yang ke dua ialah syahadat ketika seseorang menyatakan diri memeluk agama Islam dengan mengucap “Tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya”. 

Yang ketiga adalah syahadat yang diucapkan para Nabi, Wali dan Orang Mukmin sejati. 

Bilamana tiga syahadat ini dipadukan menjadi satu maka dapat diumpamakan seperti kesatuan transenden antara tindakan menulis, tulisan dan lembaran kertas yang mengandung tulisan itu. Juga dapat diumpamakan seperti gelas, isinya dan gelas yang isinya penuh. Bilamana gelas bening, isinya akan tampak bening sedang gelasnya tidak kelihatan. Begitu pula hati seorang mukmin yang merupakan tempat kediaman Tuhan, akan memperlihatkan kehadiran-Nya bilamana hati itu bersih, tulus dan jujur.

Di dalam hati yang bersih, dualitas lenyap. Yang kelihatan ialah tindakan cahaya-Nya yang melihat. Artinya dalam melakukan perbuatan apa saja seorang mukmin senantiasa sadar bahwa dia selalu diawasi oleh Tuhan, yang menyebabkannya tidak lalai menjalankan perintah agama.. Perumpamaan ini dapat dirujuk kepada perumpamaan serupa di dalam Futuh al-Makkiyah karya Ibn `Arabi dan Lamacat karya `Iraqi.

Karya Sunan Bonang juga unik ialah Gita Suluk Wali untaian puisi-puisi lirik yang memikat. Dipaparkan bahwa hati seorang yang ditawan oleh rasa cinta itu seperti laut pasang menghanyutkan atau seperti api yang membakar sesuatu sampai hangus. Untaian puisi-puisi ini diakhiri dengna pepatah sufi “Qalb al-mukmin bait Allah” (Hati seorang mukmin adalah tempat kediaman Tuhan).

PERILAKU AJARAN HASTA BRATA (WAHYU MAKKUTHA RAMA)


Wahyu Makutha Rama yang dikenal dengan nama ajaran HASTABRATA yang artinya HASTA adalah 8 dan BRATA adalah tingkah laku atau watak. Jadi HASTABRATA adalah merupakan 8 guidance (pedoman) ilmu standard perilaku manusia dalam leadership & Manajemen. 

Pertama ilmu HASTABRATA telah di-wejangkan oleh Raden Regowo (Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada adiknya Barata sebelum dinobatkan menjadi raja di Ayodya bergelar Prabu Barata (Dalam Cerita Romo Tundung). 

Yang kedua oleh Raden Regowo juga (Titisan Bhatara Wisnu) dari Ayodya kepada Raden Wibisono sebelum dinobatkan menjadi raja di Alengka yang berganti nama menjadi Sindelo bergelar Prabu Wibisono (Dalam Cerita Bedah Alengko). 

Yang ketiga Sri Bathara Kresna (Juga Titisan Bhatara Wisnu) dari Dworowati mewejangkan rahasia ilmu HASTABRATA (Dalam Cerita Wahyu Makutoromo) kepada Raden Arjuna, sebagai penengah Pendawa yang telah menjalani “Perilaku” prihatin dengan cara bertapa. 

Dikatakan bahwa ke-delapan unsur alam semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku sehari-hari dalam pergaulan masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin negara dan bangsa dengan implementasi prinsip-prinsip hukum alamiah.

Ajaran HASTABRATA berisi 8 ajaran perilaku yang harus dipunyai seorang pemimpin, yang terdiri dari sbb;

1. Watak Surya atau matahari diteladani oleh Bhatara Surya

Matahari memancarkan sinar terang sebagai sumber kehidupan yang membuat semua makhluk tumbuh dan berkembang. Seorang pemimpin hendaknya mampu menumbuh kembangkan daya hidup rakyatnya untuk membangun bangsa dan negara dengan bekal lahir dan batin untuk dapat tetap berkarya.

2. Watak Candra atau Bulan diteladani oleh Bhatari Ratih

Bulan memancarkan sinar kegelapan malam. Cahaya bulan yang lembut mampu menumbuhkan semangat dan harapan-harapan yang indah. Seorang pemimpin hendaknya mampu memberikan dorongan atau motivasi untuk membangkitkan semangat rakyatnya, dalam suasana suka dan duka.

3. Watak Kartika atau Bintang diteladani oleh Bhatara Ismoyo

Bintang memancarkan sinar indah kemilau, mempunyai tempat yang tepat di langit hingga dapat menjadi pedoman arah. Seorang pemimpin hendaknya menjadi suri teladan (Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tutwuri Handayani). Tidak ragu lagi menjalankan keputusan yang disepakati, serta tidak mudah terpengaruh oleh pihak yang akan menyesatkan.

4. Watak Angkasa yaitu Langit diteladani oleh Bhatara Indra

Langit itu luas tak terbatas, hingga mampu menampung apa saja yang datang padanya. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan batin dan kemampuan mengendalikan diri yang kuat, hingga dengan sabar mampu menampung pendapat rakyatnya yang bermacam-macam.

5. Watak Maruta atau Angin diteladani oleh Bhatara Bayu

Angin selalu ada di mana-mana, tanpa membedakan tempat serta selalu mengisi semua ruang yang kosong. Seorang pemimpin hendaknya selalu dekat dengan rakyat, tanpa membedakan derajat dan martabatnya, bisa mengetahui keadaan dan keinginan rakyatnya. Mampu memahami dan menyerap aspirasi rakyat.

6. Watak Samudra yaitu Laut atau Air diteladani oleh Bhatara Baruna

Laut, betapapun luasnya, senantiasa mempunyai permukaan yang rata dan bersifat sejuk menyegarkan. Seorang pemimpin hendaknya menempatkan semua orang pada derajat dan martabat yang sama, sehingga dapat berlaku adil, bijaksana, dan penuh kasih sayang terhadap rakyatnya.

7. Watak Dahana atau Api diteladani oleh Bhatara Brahma

Api mempunya kemampuan untuk membakar habis dan menghancur leburkan segala sesuatu yang bersentuhan dengannya. Seorang pemimpin hendaknya berwibawa dan harus bisa menegakkan kebenaran dan keadilan secara tegas dan tuntas tanpa pandang bulu.

8. Watak Bumi yaitu Tanah diteladani oleh Bhatara Wisnu

Bumi mempunyai sifat kuat dan bermurah hati. Selalu memberi hasil kepada siapa pun yang mengolah dan memeliharanya dengan tekun. Seorang pemimpin hendaknya berwatak sentosa, teguh dan murah hati, senang beramal dan senantiasa berusaha untuk tidak mengecewakan rakyatnya.


A. LAKON “WAHYU MAKUTARAMA”

1. Pengantar
Lakon “Wahyu Makutarama” adalah bukti kepiawaian para pujangga Nusantara dalam mengadopsi cerita wayang, yang aslinya dari India. Epos India terdiri dari “Ramayana” dan “Mahabharata”.
Lakon “Wahyu Makutarama” adalah hasil karya leluhur Nusantara kita, merupakan “titik temu” atau “jembatan penghubung” antara kedua kisah tadi,
Dalam lakon ini ada tokoh Gunawan Wibisana dan Anoman, tokoh dalam kisah Ramayana.

2. Ringkasan lakon “Wahyu Makutarama”.

Syahdan, para dewa mengabarkan kepada para insan marcapada, bahwa telah ada Mahkota yang diberi nama Sri Batara Rama. Barangsiapa memiliki mahkota itu, akan menjadi sakti, dan kelak akan menurunkan raja-raja yang memerintah di marcapada. Karena berkhasiat menurunkan raja-raja, kemudian sering disebut sebagai “Wahyu Makutarama”.

Prabu Duryudana dari Astina mengutus Adipati Karna untuk memperoleh mahkota sekaligus wahyu tadi. Adipati Karna, dengan diiringi para senapati Kurawa, pergi menemui Begawan Kesawasidi di pertapaan Kutharunggu. Karna meminta wahyu itu, yang diyakininya berada di tangan Kesawasidi. Kesawasidi mengatakan dia tidak punya Makutarama. Adipati Karna marah, dan melepaskan panahnya, yang disambut oleh Anoman, pendamping Kesawasidi. Panah itu ditangkap Anoman, kemudian dipersembahkan kepada Kesawasidi. Bukannya dipuji, Anoman malah ditegur Kesawasidi, karena, dapat dipandang sebagai meragukan kepiawaian kanuragan gurunya.

Setelah Karna pergi, datanglah Begawan Wibisana, adik Rahwana, yang sudah berusia lanjut dan ingin segera meninggalkan dunia, kembali ke alam asal. Tidak dilayani oleh Kesawasidi, hingga terjadi pertempuran. Kesawasidi “tiwikrama”, dan sadarlah WIbisana bahwa Kesawasidi titisan Rama, bekas junjungannya dulu. Kesawasidi memberi petunjuk cara kembali ke alam asal. Wibisana pamit, dan dalam perjalanan ke alam asal bertemu sukma Kumbakarna, kakaknya dulu, yang sedang gelisah. Wibisana menasehati Kumbakarna supaya menyatu dengan Bima, ksatria Pandawa.

Sementara itu, Arjuna juga berupaya mendapatkan Makutarama. Dia pergi diam-diam dari istananya, kemudian menyamar sebagai pendeta. Selagi bersemedi, Arjuna mendapat “wangsit” untuk menemui Begawan Kesawasidi.
Setelah Arjuna datang menghadap, tahulah Kesawasidi bahwa sudah tiba saatnya memberikan wahyu itu kepada orang yang tepat. Diwedarkannya rahasia bahwa Makutarama bukanlah berujud benda, tetapi berupa ajaran luhur yang patut dijadikan pedoman dan dilakoni oleh manusia, terutama yang mengemban tugas sebagai pemimpin. Ajaran luhur ini dinamakan “Asta Brata”, yang intinya meneladan sifat-sifat alam dalam melakoni kehidupan. Asta Brata ini dulunya diajarkan Rama kepada Wibisana, sepeninggal Rahwana, sebagai bekal bagi Wibisana menjadi raja Alengka menggantikan Rahwana.

Sepeninggal Arjuna, Bima mencarinya. Dalam pencarian itu, ketemu sukma Kumbakarna, yang kemudian merasuk ke paha kiri Bima. Istri Arjuna, Sumbadra, juga mencari Arjuna. Sumbadra dibantu Betara Narada, dan berubah rupa menjadi ksatria, yang kemudian pergi ke Kutharunnggu menantang perang Arjuna.
Dalam perang tanding itu, Kesawasidi datang. dan “badar” lah semuanya. Kesawasidi kembali ke wujud Kresna, sang ksatria penantang kembali menjadi Sumbadra.

Arjuna mewarisi wahyu Makutarama berupa ajaran “Asta Brata”, yang kelak diwariskan kepada puteranya, Abimanyu. Anak Abimanyu, Parikesit, belakangan mewarisi tahta kerajaan Hastina.

B. “ASTA BRATA”.

1. Inti ajaran Asta Brata.

Ajaran Astabrata pada awalnya merupakan ajaran yang diberikan olah Rama kepada Wibisana. Ajaran tersebut terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat, tertuang pada pupuh 27 Pankur, jumlah bait 35 buah. Pada dua pupuh sebelumnya diuraikan kekalahan Rahwana dan kesedihan Wibisana. Disebutkan, perkelahian antara Rahwana melawan Rama sangat dahsyat. Seluruh kesaktian Rahwana ditumpahkan dalam perkelahian itu, namun tidak dapat menendingi kesaktian Rama. Ia gugur olah panah Gunawijaya yang dilepaskan Rama. Melihat kekalahan kakaknya, Wibisana segera bersujud di kaki jasad kakaknya dan menangis penuh kesedihan.

Rama menghibur Wibisana dengan memuji keutamaan Rahwana yang dengan gagah berani sebagai seorang raja yang gugur di medan perang bersama balatentaranya. Oleh Rama, Raden Wibisana diangkat menjadi Raja Alengka menggantikan Rahwana. Rama berpesan agar menjadi raja yang bijaksana mengikuti delapan sifat dewa yaitu Indra, Yama, Surya, Bayu, Kuwera, Brama, Candra, dan Baruna. Itulah yang disebut dengan Asthabrata.

Dalam lakon Wahyu Makutarama, Prabu Rama menitis kepada Kresna untuk melestarikan Asta Brata dan menurunkannya kepada Arjuna. Setelah itu, Asta Brata diturunkan oleh Arjuna kepada Abimanyu dan diteruskan kepada Parikesit yang kemudian menjadi Raja.

Asta Brata adalah simbol alam semesta. Arti harfiahnya “delapan simbol alam”, tetapi sejatinya menyiratkan keharmonisan sistem alam semesta. Pada hakikatnya kedelapan sifat tersebut merupakan manifestasi keselarasan yang terdapat pada tata alam semesta yang diciptakan Tuhan, dan manusia harus menyelaraskan diri
dengan tata alam semesta kalau ingin selamat dan terhindar malapetaka. Bila manusia, sebagai ciptaan Tuhan, bisa selaras dengan alam semesta, maka selaraslah kehidupannya.

Delapan simbol alam itu adalah: bumi, geni, banyu, angin, srengenge, bulan, lintang, dan awan. Mengambil kedelapan simbol alam sebagai contoh, itu lah inti ajaran Asta Brata, sebagai pedoman tingkah laku seorang raja, yang secara singkat dapat dirangkum sebagai:

“Dapat memberikan kesejukan dan ketentraman kepada warganya; membasmi kejahatan dengan tegas tanpa pandang bulu; bersifat bijaksana, sabar, ramah dan lembut; melihat, mengerti dan menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan bagi warganya yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang kepadanya, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi warganya.”

2. Beberapa versi rumusan Asta Brata

a. Menurut Yasadipura I ((1729-1803 M) dari keraton Surakarta:

-Asta Brata adalah delapan prinsip kepemimpinan sosial yang meniru filosofi/sifat alam, yaitu:

1. Mahambeg Mring Kismo (meniru sifat bumi)
Seperti halnya bumi, seorang pemimpin berusaha untuk setiap saat menjadi sumber kebutuhan hidup bagi siapa pun. Dia mengerti apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya dan memberikan kepada siapa saja tanpa pilih kasih. Meski selalu memberikan segalanya kepada rakyatnya, dia tidak menunjukkan sifat sombong/angkuh.

2. Mahambeg Mring Warih (meniru sifat air)
Seperti sifat air, mengalir dari tinggi ke tempat yang lebih rendah dan sejuk/dingin. Seorang pemimpin harus bisa menyatu dengan rakyat sehingga bisa mengetahui kebutuhan riil rakyatnya. Rakyat akan
merasa sejuk, nyaman, aman, dan tentram bersama pemimpinnya. Kehadirannya selalu diharapkan oleh rakyatnya. Pemimpin dan rakyat adalah mitra kerja dalam membangun persada tercinta ini. Tanpa rakyat, tidak ada yang jadi pemimpin, tanpa rakyat yang mencintainya, tidak ada pemimpin yang mampu melakukan tugas yang diembannya sendirian.

3. Mahambeg Mring Samirono (meniru sifat angin)
Seperti halnya sifat angin, dia ada di mana saja/tak mengenal tempat dan adil kepada siapa pun. Seorang pemimpin harus berada di semua strata/lapisan masyarakatnya dan bersikap adil, tak pernah diskriminatif (membeda-bedakan).

4. Mahambeg Mring Condro (meniru sifat bulan)
Seperti sifat bulan, yang terang dan sejuk. Seorang pemimpin mampu menawan hati rakyatnya dengan sikap keseharian yang tegas/jelas dan keputusannya yang tidak menimbulkan potensi konflik. Kehadiran pemimpin bagi rakyat menyejukkan, karena aura sang pemimpin memancarkan kebahagiaan dan harapan.

5. Mahambeg Mring Suryo (meniru sifat matahari)
Seperti sifat matahari yang memberi sinar kehidupan yang dibutuhkan oleh seluruh jagat. Energi positif seorang pemimpin dapat memberi petunjuk/jalan/arah dan solusi atas masalah yang dihadapi rakyatnya.

6. Mahambeg Mring Samodra (meniru sifat laut/samudra)
Seperti sifat lautan, luas tak bertepi, setiap hari menampung apa saja (air dan sampah) dari segala penjuru, dan membersihkan segala kotoran yang dibuang ke pinggir pantai. Bagi yang memandang laut, yang terlihat hanya kebeningan air dan timbulkan ketenangan. Seorang pemimpin hendaknya mempunyai keluasan hati dan pandangan, dapat menampung semua aspirasi dari siapa saja, dengan penuh kesabaran, kasih sayang, dan pengertian terhadap rakyatnya.

7. Mahambeg Mring Wukir (meniru sifat gunung)
Seperti sifat gunung, yang teguh dan kokoh, seorang pemimpin harus memiliki keteguhan-kekuatan fisik dan psikis serta tidak mudah menyerah untuk membela kebenaran maupun membela rakyatnya. Tetapi juga penuh hikmah tatkala harus memberikan sanksi. Dampak yang ditimbulkan dengan cetusan kemarahan seorang pemimpin diharapkan membawa kebaikan seperti halnya efek letusan gunung berapi yang dapat menyuburkan tanah.

8. Mahambeg Mring Dahono (meniru sifat api)
Seperti sifat api, energi positif seorang pemimpin diharapkan mampu menghangatkan hati dan membakar semangat rakyatnya mengarah kepada kebaikan, memerangi kejahatan, dan memberikan perlindungan kepada rakyatnya.

b. Menurut Serat Aji Pamasa (Pedhalangan) karya Raden Ngabehi Rangga Warsita. Pemimpin dituntut ngerti, ngrasa, dan nglakoni (Tri-Nga) 8 (delapan) watak alam. Hasta berarti delapan, brata berarti laku atau watak.

1. Watak Surya atau srengenge (matahari); sareh sabareng karsa, rereh ririh ing pangarah.
2. Watak Candra atau rembulan (Bulan); noraga met prana, sareh sumeh ing netya, alusing budi jatmika, prabawa sreping bawana.
3. Watak Sudama atau lintang (Bintang); lana susila santosa, pengkuh lan kengguh andriya. Nora lerenging ngubaya, datan lemeren ing karsa. Pitayan tan samudana, setya tuhu ing wacana, asring umasung wasita. Sabda pandhita ratu tan kena wola wali.
4. Watak Maruta atau angin (Udara yang bergerak); teliti setiti ngati-ati, dhemen amariksa tumindake punggawa kanthi cara alus.
5. Watak Mendhung atau mendhung (Awan hujan); bener sajroning paring ganjaran, jejeg lan adil paring paukuman.
6. Watak Dahana atau geni atau latu (Api); dhemen reresik regeding bawana, kang arungkut kababadan, kang apateng pinadhangan.
7. Watak Tirta atau banyu atau samodra (Air); tansah paring pangapura, adil paramarta. Basa angenaki krama tumraping kawula.
8. Watak pratala atau bumi atau lemah (Tanah); tansah adedana lan karem paring bebungah marang kawula.

c. Menurut lakon Wahyu Makutharama, diajarkan oleh Begawan Kesawasidi (Prabu Kresna) kepada Raden Arjuna, sebagai berikut:

1. “kapisan bambege surya, tegese sareh ing karsa, derenging pangolah nora daya-daya kasembadan kang sinedya. Prabawane maweh uriping sagung dumadi, samubarang kang kena soroting Hyang Surya nora daya-daya garing. Lakune ngarah-arah, patrape ngirih-irih, pamrihe lamun sarwa sareh nora rekasa denira misesa, ananging uga dadya sarana karaharjaning sagung dumadi.

2. Kapindho hambege candra yaiku rembulan, tegese tansah amadhangi madyaning pepeteng, sunare hangengsemake, lakune bisa amet prana sumehing netya alusing budi anawuraken raras rum sumarambah marang saisining bawana.

3. Katelu hambeging kartika, tegese tansah dadya pepasrening ngantariksa madyaning ratri. Lakune dadya panengeraning mangsa kala, patrape santosa pengkuh nora kengguhan, puguh ing karsa pitaya tanpa samudana, wekasan dadya pandam pandom keblating sagung dumadi.

4. Kaping pate hameging hima, tegese hanindakake dana wesi asat; adil tumuruning riris, kang akarya subur ngrembakaning tanem tuwuh. Wesi asat tegese lamun wus kurda midana ing guntur wasesa, gebyaring lidhah sayekti minangka pratandha; bilih lamun ala antuk pidana, yen becik antuk nugraha.

5. Kalima ambeging maruta, werdine tansah sumarambah nyrambahi sagung gumelar; lakune titi kang paniti priksa patrape hangrawuhi sakabehing kahanan, ala becik kabeh winengku ing maruta.

6. Kaping nem hambeging dahana, lire pakartine bisa ambrastha sagung dur angkara, nora mawas sanak kadang pawong mitra, anane muhung anjejegaken trusing kukuming nagara.
7. Kasapta hambeging samodra, tegese jembar momot myang kamot, ala becik kabeh kamot ing samodra; parandene nora nana kang anabet. Sa-isene maneka warna, sayekti dadya pikukuh hamimbuhi santosa.

8. Kaping wolu hambeging bantala, werdine ila legawa ing driya; mulus agewang hambege para wadul. Danane hanggeganjar myang kawula kang labuh myang hanggulawenthah.


C. NILAI DAN TELADAN

a. Relevansi Asta Brata dengan ajaran serupa di dunia Internasional.
Ada banyak rumusan Asta Brata. Bahkan, pernah dijadikan pelajaran wajib di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

Apakah ajaran ini bersifat Universal, dalam arti tidak hanya dihayati bangsa Indonesia saja?
Ternyata, memang benar. Ajaran Asta Brata bersifat Universal, dikenal pula di belahan dunia yang lain, walau pun berbeda sebutan dan rumusannya. Berupa apa sifat ajaran Universalnya?
Yaitu, bahwa manusia harus hidup selaras dengan alam.

Di Negeri China, Korea, dan Jepang dikenal “Fengshui” (harfiahnya Angin dan Air), yang berlandaskan teori lima proses: Logam, Kayu, Tanah, Air, dan Api.

Di anak benua India, dikenal pula Teori 5 Unsur: Api, Tanah, Air, Udara (Angin) dan Ruang.
Mengapa hanya lima? Berarti ajaran Asta Brata lebih lengkap?
Ternyata, tidak sesederhana itu.
Perhatikan, adakah unsur “Ruang” dalam ajaran Asta Brata?
Tanpa ruang, di manakah ke unsur-unsur alam itu berada?

Makna: Tidak semua yang terlihat berbeda itu benar-benar berbeda. Perluaslah wawasan kita untuk bisa melihat, bahwa ada kesamaan di antara perbedaan.

b. Esensi Makna Asta Brata
Asta Brata bukan hanya berlaku bagi para pemimpin saja. Setiap manusia, seyogyanya mengamalkannya, dalam arti “hidup selaras dengan alam”, dan “menjalankan peran yang diembannya, sehingga memberi manfaat bagi sesama”.

Seorang pemimpin yang tidak mampu melaksanakan Asta Brata bagai raja tanpa mahkota. Sebaliknya, rakyat jelata yang dalam hidupnya mampu melaksanakan Asta Brata, berarti ia adalah rakyat jelata yang bermahkota, dialah manusia yang luhur budi pekertinya.