Kamis, 26 November 2009

SABDOPALON MENGGUGAT

SABDOPALON MENGGUGAT
"Untuk Bangsa dan Negara yang kucintai"





Dalam pemahaman orang jawa yang masih memegang teguh keyakinan dan meyakini budaya jawa, tentu tidak asing dengan “ SABDOPALON “ dan “ NAYAGENGGONG “. Keduanya diasumsikan sebagai nama tokoh yang berperan penting pada masa Majapahit. Keduanya dianggap dan diyakini sebagai ‘ PANAKAWAN ‘, Damarwulan hingga naik tahta menjadi ‘ BRAWIJAYA ‘. Pada akhirnya disebut sebagai ‘ Brawaijaya I ‘. Peran penting apa yang dilakukan oleh Sabdopalon dan Nayagenggong dalam kehidupan pribadi seorang ‘ Brawijaya ‘ ?. Kemudian apa peran utama Sabdopalon dan Nayagenggong dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di masa Kerajaan Majapahit ?. Sementara masyarakat pedesaan yang telah uzur usianya, masih berkeyakinan bahwa suatu ketika ‘ kakek ane ‘ ( sebutan bagi Sabdopalon ) akan muncul dan bersatu kembali dengan ‘ den bagus ‘ ( sebutan bagi Brawijaya ). Ketika keduanya muncul dan bersatu kembali, masyarakat pedesaan akan makmur dan sejahtera, disimbolkan sebagai ‘ Wong cilik gumuyu ‘. Keyakinan ini, boleh saja di lihat sebagai dongeng pelipur lara, boleh saja di lihat sebagai sebuah legenda, bahkan boleh saja di lihat sebagai mitos. Pada kenyataannya cerita itu masih hidup dan dinyakini oleh masyarakat pedesaan.

Ada seorang kawan ngrumpi malam hari, bertanya kepadaku : “ Mas Budda, apakah ada bukti-bukti yang bisa di lihat mata bahwa Sabdopalon dan Nayagenggong itu ada pada masa kerajaan Majapahit ? “. Tentu, masih ada dan bisa dilihat pada dua buah candi karya ‘ Prabu Brawijaya V ‘ atau sering disebut sebagai ‘ Brawijaya Pamungkas ‘ yang berdiri di lereng gunung Lawu sebelah barat. Dua candi bergaya beda ini bernama candi “ Cetho “ dan candi “ Sukuh “, bisa disebut sebagai candi terakhir. Pada lantai ke 7 ( tujuh ) candi “ Cetho “ ada dua buah patung ‘ Sabdopalon ‘ dan ‘ Nayagenggong ‘. Pada lantai ke 3 candi “ Sukuh “ , ada relief ‘ Semar dan Gareng ‘. Keduanya punya makna dan esensi yang sama. Karena pada masa Kerajaan Majapahit bangsa kita tidak terlalu banyak mengembangkan budaya tulis, tapi lebih banyak mengembangkan budaya simbol. Ini bisa dipahami, karena bangsa kita masa itu mengembangkan optimalisasi potensi pikir. Dua candi ini bergaya hindu dan budha. Sering masyarakat beranggapan bahwa kedua candi ini sebagai tempat pemujaan, padahal jika kita simak lebih dalam lagi, kedua candi ini merupakan sebuah kitab atau buku ‘ filosofi budaya jawa ‘. Candi Cetho adalah kitab filosofi budaya jawa dalam konteks “ SANGKAN “, sedang candi Sukuh adalah kitab filosofi budaya jawa dalam konteks “ PARAN “.

Kawan ngrumpi yang masih kerabat Puro Mangkunegaran ini, melanjutkan pertanyaan : “ Nah, kalau itu sebagai sebuah simbol..apa makna Sabdopalon dan Nayagenggong pada alam kepribadian kita atau mikro kosmos ? “. Sabdopalon atau Semar adalah simbol “ Nur Illahi “ yang ada dalam jiwa kita. Itu terpancar pada system kerja otak kanan kita yang menghasilkan “ SQ “. Sedang Nayagenggong atau Gareng adalah simbol “ Kecerdasan Manusia “ dalam penalaran lima indra raga kita . Ini terpancar pada system kerja otak kiri kita yang menghasilkan “ IQ “. Keduanya adalah simbol ‘ panakawan ‘, pana bermakna ‘ memahami atau paham betul akan segala ciptaan Sang Pencipta ‘ , sedang kawan bermakna ‘ mitra kehidupan ‘. Sehingga dalam kita hidup di tengah seluruh ciptaan Sang Pencipta , sebagai manusia harus berjalan dan bermitra dengan “ SQ “ dan “ IQ “. Perjalanan hidup manusia dalam sehari-hari tidak lepas dari alam lingkungan dan Sang Pencipta. Ciptaan Sang Pencipta itu ada yang tampak oleh lima indra kita, ada yang tidak tampak oleh lima indra kita. Maka hanya manusia yang mampu naik ke tingkat tujuh itulah yang bisa menggunakan kemitraan dengan Sabdopalon dan Nayagenggong dalam kehidupan nyata. Nah, jika kita sebagai manusia mampu menggunakan kemitraan dengan Sabdopalon dan Nayagenggong, maka manusia itu mampu menjadi “ leader “ atau “ pemimpin sejati “ seperti seorang Brawijaya. Tentang bagaimana cara untuk bisa ke tingkat tujuh, aku rasa banyak cara ... yang bisa di temukan, baik dalam ajaran agama maupun keyakinan. Disinilah letaknya kenapa “ Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangwra “ menjadi hukum dasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa kerajaan Majapahit. Jujur saja hampir semua simbol-simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia menggunakan simbol-simbol Majapahit, kan..?!.

Kawan ngrumpi ini semakin tajam bertanya : “ Kenapa Sabdopalon atau Semar sebagai simbol SQ, apa maknanya ? “. Aku rasa semua orang tahu, bahwa Semar adalah simbol ‘ dewa ngejawantah ing ngarcapada ‘ atau bisa diartikan sebagai pemikiran kadewatan atau keilahian yang ada pada diri manusia sebagai ciptaan paling sempurna. Semar juga identik dengan masyarakat bawah atau masyarakat pedesaan yang lugu dan jujur. Semar juga diidentikan dengan “ Wong Cilik “. Semar berasal dari kata “ Sar “ yang berarti “ Cahaya “, sesuatu yang memancarkan cahaya atau sumber cahaya. Semar juga disebut sebagai Badranaya yang berarti cahaya tuntunan atau tuntunan sejati atau masyarakat hindu jawa menyebut sebagai Sang Hyang Nur Cahya. Semar juga disebut sebagai Janabadra yang berarti cahaya pengetahuan atau cahaya jiwa, masyarakat hindu jawa menyebut sebagai Sang Hyang Rasa. Semar juga disebut sebagai ‘ samar ‘ atau ‘ maya ‘ yang berarti kesaktian Brahman atau kesaktian Sunya. Maya juga berarti tidak tampak. Semar juga disebut sebagai ‘ Janggan ‘, sebuah sebutan setingkat kyai atau orang yang dihormati, ada sebutan lain yaitu Indung-indung, Gelantung, Uluguntung, Cantrik, Cekel, Puthut, Mengayu, Wasi, Ajar, Pandita, Resi, Brahmana dan lain sebagainya. Semar juga berarti gaib atau misteri yang tidak dapat dijangkau oleh akal atau transenden. Semar juga bisa diartikan sebagai asmara, cinta-kasih atau mahabbah. Semar juga bisa diidentikan dengan santa atau suci. Semar juga disebut sebagai ‘ Duda Manang-munung ‘ yang berarti bukan lelaki, bukan wanita juga bukan banci yang tidak punya ‘ dunung ‘ ( tempat tinggal ), tetapi berada di mana-mana ( immanent ). Semar bisa diartikan sesuatu yang abadi dan lestari, karena dalam pewayangan tokoh Semar di segala jaman tidak pernah ‘ mati ‘.

Kawan ngrumpi sambil menghisap rokok kretek dalam-dalam, mendengarkan sambil melihat ke langit. Diatas sebuah tikar kami duduk , disamping kami ada got atau selokan kering. Setelah meneguk teh yang masih hangat, kembali dia bertanya : “ Kenapa IQ disimbolkan sebagai Gareng atau Nayagenggong ? “.  Gareng atau Nayagenggong digambarkan sosok yang matanya ‘ kero ‘ atau ‘ juling ‘, tangannya ‘ ceko ‘ atau tidak bisa lurus, jalannya agak terseret-seret tidak tegap. Sebagaimana kita tahu, bahwa penalaran atau logika itu ‘ bias ‘ seperti mata juling memandang. Ilmu pengetahuan selalu berkembang dari berbagai sudut pandang tidak pernah ada definisi yang baku dan tepat. Sehingga segala kehidupan ini selalu berjalan dan berkembang menurut rotasi perkembangan jaman. Demikian pula penalaran manusia, tidak akan pernah berhenti. Segala yang tampak dalam lima indra manusia selalu terjadi multitafsir. Disinilah dinamika pemikiran manusia semakin hidup dan berkembang, sehingga tingkat kecerdasan manusia semakin meningkat. Tangan yang ceko menggambarkan bahwa pemikiran logika manusia tidak pernah menjangkau pemikiran Sang Pencipta yang juga selalu berkembang menurut jamannya. Sang Pencipta menggerakan alam lewat kuasa-kuasaNya, di jalankan berdasarkan esensi hukum alam ‘ Aksi = Reaksi ‘. Artinya ketika manusia membuat ‘ aksi ‘, maka alam akan melakukan ‘ reaksi ‘. Ketika itu berjalan, manusia di tuntut untuk mengembangkan ilmu pengetahuannya. Bahkan manusia harus belajar terus hingga terpisah dari raganya. Jalannya terseret-seret, adalah gambaran bahwa ilmu pengetahuan dapat diciptakan setelah ada yang terjadi di alam jagat raya atau global. Jika saja manusia malas untuk mengembangkan dan menciptakan ilmu pengetahuan maka manusia tidak akan sampai pada tujuannya.

Kawan ngrumpi ini mengangguk-angguk tanpa aku ketahui maknanya. Sambil merubah sikap duduk iapun bertanya lagi : “ Kenapa dunia barat mengembangkan IQ dengan berbagai teknologi, kog sekarang mereka mengejar dan mencari bagaimana mengembangkan SQ ? “. Manusia yang disebut tinggal di dunia barat, sangat konsisten mengembangkan penalaran, hingga menciptakan berbagai teknologi canggih. Mereka ingin mengoptimalkan kemampuan ‘ otak kiri ‘, sehingga mengabaikan dan mengistirahatkan ‘ otak kanan ‘. Ilmu Pengetahuan menjadi ‘ dewa ‘ penolong bagi kehidupan dan kebutuhan. Sehingga lahirlah ilmu-ilmu pengetahuan yang berdampak rusaknya alam. Pemanasan global menjadi ‘ hantu ‘ yang menakutkan dalam kehidupan manusia. Kekacauan musim dan alam tidak pernah bisa dibendung oleh manusia. Alam ...


memberontak dan bereaksi atas aksi yang manusia lakukan. Bencana alam adalah sebuah pemberontakan terhadap sikap manusia yang hanya berkembang dari IQ. Alam menggugat manusia, segala kehidupan tidak lagi bisa dihitung dan di prediksi dengan hitungan matematika. Orang-orang dunia barat ‘ sadar ‘ bahwa apa yang mereka ciptakan adalah sebuah rekayasa demi memenuhi kebutuhan manusia. Rasa, budi-pekerti dan pemahaman bahwa manusia bukanlah satu-satunya ciptaan Sang Pencipta telah di istirahatkan atau di tidurkan. Cahaya keilahian dalam diri manusia tidak bersinar, yang ada adalah bagaimana memenuhi ambisi dan keserakahan. Lihat saja, Amerika yang di pandang sebagai negara super power, harus melihat dan mengakui mengalami krisis ekonomi akibat tidak menghidupkan kontrol diri yang ada di otak kanannya. Sementara kita masih mau mengagungkan mereka sebagai manusia yang canggih dan hebat. Karena bangsa kita mengikuti jejak langkah dunia barat, seolah bangsa kita kehilangan jati dirinya. Budaya atau kultur kehidupan berbangsa dan bernegara yang di bangun sejak leluhur kita di Majapahit, di tinggalkan bahkan diabaikan. Bangsa kita selalu membangun bangunan asing yang tidak tepat berada diatas pondasi, sehingga mudah dirobohkan secara alami dalam tempo yang tidak lama.

Kawan ngrumpi memotong penjelasanku : “ artinya kita sebagai bangsa telah meninggalkan kultur kehidupan kita ? “. Ada sebuah tulisan sastra kuno ucapan Sabdopalon dalam tembang jawa “ Sinom “ menyatakan begini : “ Sinten tan purun nganggeya, Yekti kula rusak sami, Sun sajekaken putu kula, Berkasakan rupi-rupi, Dereng lega kang ati, Yen durung lebur atempur, Kula damel pratandha, Pratandha tembayan mami, Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar “. Kemudian di bait lain di jelaskan “ ngidul ngilen purugira “. Dalam bahasa sederhananya sebagai berikut  kata-kata Sabdopalon itu : “ Bila tidak ada yang mau memakai ( rasa, budi, SQ, Sabdopalon ), akan saya hancurkan. Menjadi makanan jin, setan, bekasakan dan lain-lainnya. Belum legalah hatiku belum aku hancur leburkan. Aku akan membuat tanda akan datangnya kata-kata saya ini. Bila kelak Gunung Merapi meletus dan memuntahkan laharnya . bait yang lain menjelaskan lahar tersebut mengalir ke barat daya ( ingat meletusnya merapi bersamaan dengan gempa jogya 27 Mei 2006 ) “. Karena itu tanda alam yang terjadi oleh karena janji Sabdopalon akan menggugat bila kehidupan bangsa dan negara ini telah bergeser dari kultur. Pemimpin tidak sungguh-sungguh memperhatikan nasib rakyat kecil atau wong cilik. Penderitaan wong cilik menjadi sebuah aksi ‘ prihatin dan doa ‘. Jeritan jiwa wong cilik, menggugah Sabdopalon melaksanakan janjinya untuk ‘ Menggugat ‘. Sebenarnya tanda-tanda alam itu terjadi sejak akhir 2003 dan awal tahun 2004. Alam secara jelas berbicara sebagai sebuah bahasa tersendiri, secara nyata Sang Pencipta bicara pada bangsa kita lewat gejolak dan pemberontakan alam, agar bangsa ini sadar. Sadar untuk kembali pada kultur kehidupan berbangsa dan bernegara. Sadar bahwa menjadi pemimpin jangan membohongi rakyat dan alam. Oleh karena sistem demokrasi kita berjalan dan akan mengalami pergantian pemimpin di 2009 ini, tentu kita sebagai bangsa harus melihat bahwa “ SABDOPALON MENGGUGAT “.

Kawan ngrumpi masih belum puas, bertanya lagi : “ Selain itu, apa yang dikatakan oleh Sabdopalon dalam rangka ‘ menggugat ‘ ? “. Kelak waktunya ada kesengsaraan di tanah jawa dan bumi nusantara ini. Seumpama orang menyeberang jembatan, ketika di tengah jembatan datanglah banjir bandhang. Sehingga banyak manusia yang menjadi korban. Itu sudah menjadi kehendak Sang Pencipta, tidak mungkin di hindari lagi. Sebab dunia ini ada di tangan Nya. Hal itu untuk mengingatkan bahwa sebenarnya jagat-raya ini ada yang membuatnya dan mengaturnya menurut kultur masing-masing. Bahaya lain yang terjadi adalah banyak orang bekerja hasilnya tidak mencukupi. Para priyayi banyak susah hatinya. Para saudagar selalu menderita rugi. Orang tani dan nelayan susah hidupnya. Penghasilan mereka banyak hilang dalam hutan belantara kehidupan. Bumi mengurangi hasil kekayaannya, segala tambang dari bumi menurun karena bumi sudah enggan memberikannya. Hutan pada rusak oleh karena keserakahan manusia yang saling berebutan. Moral manusia sudah benar-benar rusak. Manusia bingung dengan sendirinya, sebab berebutan mencari makan. Manusia sudah tidak mengindahkan aturan negara, sebab tidak mampu menahan perut keroncongan. Hama penyakit berbahaya menebar di seluruh permukaan bumi. Seperti segala jenis alam bergejolak, seolah bumi nusantara tenggelam oleh luapan air laut. Dan masih banyak lagi artinya dalam tembang ‘ Sinom ‘ pernyataan “ SABDOPALON MENGGUGAT “.

Kawan ngrumpi terkejut dan spontan berkata sambil matanya melotot : “ Lho…itu kan sekarang sedang terjadi di bangsa dan negara ini !. Uuueeedddaaannn….!. Lalu apa kaitannya dengan ceritamu tempo hari tentang ‘ Gajahmada abad milenium ‘ ?. Kita harus berbuat apa pada bangsa dan negara ini ? “.  Kekacauan masa kini, tidak hanya pada aspek ekonomi saja. Kekacauan terjadi dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, baik hukum, budaya, politik dan lain sebagainya. Para elit politik mencoba untuk mengelabui rakyat kecil dengan topeng-topeng mereka. Sedikit yang betul-betul tulus berpihak pada wong cilik. Kekacauan saat ini identik dengan yang terjadi di Majapahit ketika Prabu Kalagemet memerintah. Sehingga dengan munculnya Tri Buana Tungga Dewi, mampu mmengantar Gajahmada memperbaiki segala kekacauan. Daerah minus bisa dirubah menjadi surplus. Jeritan rakyat kekurangan pangan dan penghasilan mampu diatasi dalam tempo dua tahun. Alam yang memberontak berangsur-angsur mereda, karena Gajahmada berfikir serius mengangkat kehidupan wong cilik atau rakyat kecil. Budaya bangsa kembali ditegakkan. Kehidupan politik berjalan diatas kultur berbangsa dan bernegara yang dimiliki ketika itu. Ratu adalah pemimpin pengayom yang harus sangat dekat dengan Sang Pencipta. Ratu seperti Garuda emas yang terbang tinggi mendekat ke Sang Pencipta untuk mengayomi wilayah dan masyarakatnya. Gajahmada sebagai mahapatih menjalankan kepemimpinan horizontal dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara. Karena Tri Buana Tungga Dewi adalah seorang wanita, maka fungsi ratu di jalankan oleh “ Sang Balanggadawang “. Tri Buana Tungga Dewi ikut menjalankan pemerintahan bersama Gajahmada. Dengan begitu dalam tempo empat tahun Gajahmada telah merubah bumi Nusantara yang tenggelam menjadi daratan kembali, hingga mencapai puncak kejayaan “ RAKYAT SEJAHTERA, NEGARA KUAT “.

Kawan ngrumpi gantian berkomentar : “ Artinya sebagai bangsa, saat ini kita jangan lagi menciptakan rekayasa-rekayasa politik. Untuk mengelabui masyarakat, yang pada akhirnya akan memancing Sabdopalon lebih menggugat. Pergantian pimimpin dilakukan dengan demokrasi yang bersih, agar Sabdopalon meredakan gugatannya bahkan mencabut gugatannya. Sebentar lagi ada Pilpres, apakah semua Capres-Cawapres dengan team suksesnya dari pusat hingga daerah mau melaksanakan itu ?. Ini sebuah persoalan tersendiri. Sebab siapa yang tidak ingin duduk diatas kursi kekuasaan ?. Politik itu kan harus berupaya semaksimal mungkin untuk merebut kursi kekuasaan. Sedang Pemilihan Legislatif kemarin puluhan juta masyarakat yang punya hak memilih terabaikan. Apakah mungkin itu bisa diperbaiki dalam waktu sekejap, atau malah lebih buruk lagi. Kenapa rakyat kecil selalu menjadi korban sepanjang sejarah bangsa dan negara ini ?. Kenapa rakyat kecil tidak pernah bisa tersenyum sepanjang negara ini telah merdeka ?. Kenapa dan kenapa ?. Atau Sabdopalon harus melakukan “ Menggugat “ hingga betul-betul hancur lebur ?. Ini tidak bisa hanya pada para elite politik, pasangan-pasangan Capres- Cawapres, team-team sukses dari pusat hingga daerah saja. Harus ada peran seluruh lapisan masyarakat, seluruh elemen masyarakat, bahkan wong cilik harus pandai memilih pemimpin yang mampu mengangkat mereka dari tenggelam di laut ke daratan. Mata hati rakyat kecil harus betul-betul bersih, jangan hanya karena limapuluh ribu rupiah sesaat, justru menghancurkan kehidupan mereka selama lima tahun mendatang. Rakyat kecil atau wong cilik juga Sabdopalon yang berhak menggugat untuk memperbaiki demokrasi menjadi bersih. Perbaikan demokrasi yang bersih hanya ada di kesempatan Pilpres ini. Gimana caranya ngomong pada wong cilik di seluruh wilayah Indonesia, ya….?! “.
Sumber : P. Budda Handayaningrat

PERJALANAN AKHIR PRABU BRAWIJAYA V


( PINDAHNYA KERATON MAJAPAHIT KE LAWU )


Perbedaan pendapat antara anak kandung ( R.Patah ) dan Bapak ( Brawijaya V ) menjadikan sebuah kegelisahan tersendiri bagi Bapak. Ketika perbedaan itu diperuncing, sebuah tantangan bagi seorang Bapak untuk menyelesaikan dengan arif dan bijak. Bagaimana Prabu Brawijaya V, menyelesaikan konflik tersebut ?.

Mendengar penuturan utusan-utusannya bahwa R.Patah tidak mau menghadap ( marak sowan ) ke keraton Majapahit, Sang Prabu memerintahkan menyiapkan kapal untuk ke Demak. Semua bhayangkara, senopati, empu dan brahmana serta prameswari ikut dalam rombongan perjalanan. Dalam perjalanan kemanapun dampar atau singgasana yang berupa " watu gilang ( batu )" selalu dibawa, karena merupakan simbol kedudukan sebagai seorang ratu. Puluhan kapal besar berangkat menyusuri sungai brantas menuju laut jawa dan kearah barat. Di haluan setiap kapal terpasang replika " Rajamala " dengan mata yang tajam. Masuk ke Demak dengan menyusuri sungai Demak, Sang Prabu mengutus utusan memanggil R.Patah. R.Patah tidak mau menemui bapaknya yang berada diatas kapal di tepi sungai. Sang Prabu segera memerintahkan meneruskan perjalanan, guna mencari tempat untuk persinggahan. Sampailah Rombongan di desa Dukuh Banyubiru Salatiga. Para pengikut raja membangun singgasana diatas sebuah bukit kecil, sekarang disebut candi Dukuh.

Di lokasi ini, seluruh senopati menyarankan untuk membawa paksa R.Patah menghadap Sang Prabu. Para brahmana dan empu menyarankan agar Sang Prabu bersikap arif dan bijak, karena R.Patah adalah anak kandungnya sendiri. Dialog yang panjang dilakukan guna mencari sebuah solusi yang tepat. Sang Prabu melakukan ritual spiritual bersama para brahmana, guna mencari akar persoalan ( susuh angin ). Maka didapat kesimpulan bahwa ada kesalahan Sang Prabu di hadapan Sang Pencipta. Berbulan-bulan lamanya Sang Prabu melakukan refleksi diri, seluruh putra-putri dan menantunya dipanggil untuk menghadap ke banyubiru keraton dikosongkan. Refleksi diri adalah wahana menanam pohon kejernihan pikir yang berbunga arif dan berbuah bijaksana. Lahirlah sebuah keputusan, bahwa Sang Prabu tidak merasa pantas mengenakan mahkota dan kemegahan busana. Mahkota adalah simbol manusia berbudaya, kemegahan busana adalah simbol kemegahan raga sebagai seorang pemimpin. Hal tersebut disebabkan oleh sebuah pernyataan " jika sebagai bapak dan pemimpin harus berhadapan dan berperang dengan anak kandungnya sendiri. Maka seorang bapak bukanlah manusia yang berbudaya ".

Sang Prabu memerintahkan seluruh pengikut setianya untuk berganti busana dengan lurik, dan mahkota nya dengan ikat kepala. Adipati terdekat adalah Pengging yang dijabat oleh menantu tertuanya, diperintahkan memintal benang " lawe " ( bermakna laku gawe ) menjadi bahan lurik. Sebagai ikat kepala berwarna biru tua dengan pinggirnya bermotif " modang " ( bermakna ngemut kadang ). Seluruh putra-putrinya diperintahkan berganti gelar dan nama. Maka bergantilah nama mereka menjadi seperti, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Getas, Ki Ageng Batoro Katong, Ki Ageng Bagus dll. Penggantian tersebut bertujuan melakukan perjalanan ( laku gawe ) mengoptimalkan pola pikir yang seimbang dan jernih, dengan sebutan " ki " ( singkatan dari kihembu ). Sang Prabu berganti gelar dan nama menjadi Ki Ageng Kaca Negara. Nama tersebut mengisyaratkan pada refleksi diri, negara diartikan sebagai diri pribadi. Keraton Majapahit telah berpindah ke Banyubiru. Buah maja yang pahit harus dimakan untuk memperbaiki sebuah tatanan kehidupan. Ditempat ini pulalah dialog antara Prabu Brawijaya V/ Pamungkas dengan ' Sabdo Palon ' dan ' Naya Genggong ' yang ada di dalam dirinya. Siapa Sabdo Palon dan Naya Genggong ? ( baca buku " Brawijaya ?" )

Selama tiga tahun Ki Ageng Pengging membangun papan untuk mertuanya, setelah selesai keraton berpindah dari Banyubiru ke Pengging. Pengging berkembang dengan pesat. Sang Prabu memerintahkan seluruh prajuritnya ke wilayah gunung kidul, hingga sekarang banyak anak-turun prajurit majapahit tinggal disana. Harta karun berupa bebatuan tak ternilai harganya ada disana. Di Pengging banyak peninggalan artefak-artefak dan candi-candi kecil majapahit. Tersebar di tengah pasar, ditengah rumah penduduk dan dalam gundukan tanah. Pengging kaya akan sumber air mineral tinggi. Pada masa sekarang banyak kegiatan tirtayoga dilakukan oleh masyarakat sekitar Surakarta dan berbagai kota di Jawa. Seolah menjadi sebuah misteri tersendiri yang belum terungkap kebenarannya. Selama enam tahun Ki Ageng Kaca Negara ( Brawijaya V / Pamungkas ) berada di Pengging, membangun tatanan kehidupan manusia, alam dan Sang Pencipta. Pengembangan industri lurik dimulai dari wilayah keraton Pengging, yang sangat luas wilayahnya hingga wilayah pedan klaten.

Para brahmana menyarankan kepada Ki Ageng Kaca Negara untuk menapak tilas jejak Sang Prabu Airlangga ke Lawu. Dalam pandangan raja-raja terdahulunya gunung lawu merupakan tempat yang memiliki energi positif. Para brahmana melihat bahwa gunung lawu telah menjadi tempat tinggal leluhur-leluhur yang telah suci/moksa. Maka Ki Ageng Kaca Negara melakukan perjalanan ke Gunung Lawu dan singgah pertama di candi Menggung desa Nglurah kecamatan Karangpandan kabupaten Karanganyar. Candi Menggung adalah peninggalan Sang Prabu Airlangga, sebagai sebuah artefak bahwa beliau pernah memohon petunjuk Sang Pencipta guna menyelesaikan persoalan negara. Di candi inilah artefak lingga-yoni yang pertama dibangun oleh Prabu Airlangga. Lingga-yoni adalah simbol keseimbangan manusia, alam dan Sang Pencipta. Selama Seratus hari rombongan Ki Ageng Kaca Negara tinggal disekitar candi menggung.

Ki Ageng Kaca Negara mencari tempat yang layak guna membangun dampar. Ditemukan sebuah tempat diatas dan dibangunlah dampar di desa Blumbang Tawangmangu. Tempat ini diberi nama pertapan ' Pandawa Lima', sekarang dikenal sebagai pertapan ' Pringgodani '. Perjalanan ini digambarkan pada relief yang terdapat di dalam candi Sukuh. Disinilah Ki Ageng Kaca Negara bertemu dengan penguasa lawu, hingga diberi tambahan gelar ' Panembahan ', sehingga menjadi ' Ki Ageng Panembahan Kaca Negara ". Dialog terjadi antara penguasa lawu ( disebut Eyang Lawu ) dengan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara. Dialog ini menghasilkan kesepakatan " Dwi jalmo Ngesti Sawiji ", Eyang Lawu mengijinkan membangun keraton majapahit di lawu menjadi keraton lawu. Ki Ageng Panembahan Kaca Negara menjadi ' Sunan Lawu ', hingga Eyang Lawu menunjuk siapa yang akan menggantikannya. Dapat dilihat dengan jelas bahwa keraton Majapahit tidak pernah punah atau hilang, walau bangunannya hanya berupa candi-candi yang tersebar di mana-mana.

Dapat disimpulkan pula bahwa Prabu Brawijaya V, tidak pernah menyerahkan dampar kepada anak-anaknya atau keturunannya sendiri. Nusantara terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil, masing-masing membangun keraton sendiri-sendiri.

Walau diawal Mataram ada upaya Panembahan Senopati mempersatukan Jawa-Madura dan berhasil dalam dialog di Bang Wetan. Dialog kesepakatan tanpa pertumpahan darah antara Panembahan Senopati dengan Panembahan Sureswati ( mewakili kerajaan-kerajaan kecil pesisir utara ) dari Surabaya, dihadapan Sunan Bonang III. Eksistensi keraton Majapahit menjadi keraton Lawu, memegang kekuasaan jagat imateriil. Sama halnya dengan keraton laut selatan, berupa imateriil yang tidak memiliki bangunan materiil. Keraton Lawu merupakan tatanan kehidupan imateriil ' gunung ', sedangkan keraton laut selatan merupakan tatanan kehidupan imateriil ' segara '. Konsep segara-gunung adalah konsep kehidupan vertikal-horisontal, sama halnya konsep lingga-yoni, sama halnya konsep langit-bumi.

Keraton lawu yang masih dalam bentuk imateriil berada di candi Palanggatan, hanya dengan ketulusan dan kejernihan pikir manusia dapat melihat bangunan imateriil keraton lawu. Dari candi Palanggatan Ki Ageng Panembahan Kaca Negara, menulis pengetahuan majapahit dalam bentuk arsitektur candi. Pembangunan candi-candi dipimpin oleh brahmana tertinggi yang disebut sebagai ' Sang Balanggadawang ' Jaya Kusuma, yang tidak lain adalah Ki Ageng Panembahan Kaca Negara sendiri. Gelar dan nama diberikan oleh Eyang Lawu. Dibangunlah candi Sukuh kemudian candi Cetho, sebagai pengetahuan basic tatanan kehidupan ' sangkan paraning dumadi '. Candi kethek ditemukan pertama kali oleh penulis di tahun 1997, setelah selama tiga hari melakukan ritual spiritual di candi cetho. Dengan dibantu beberapa anggota Brigif VI, warga karanganyar dan disaksikan juru kunci candi cetho. Candi kethek bukan sebuah candi melainkan sebuah dampar bagi Ki Ageng Panembahan Kaca Negara dengan jabatan sang balanggadawang dalam perjalanan ke puncak lawu.

Puluhan tahun membangun kedua candi di lereng lawu tersebut, berbagai pengetahuan disimpan dalam bentuk imateriil di kawasan lawu. Permohonan Brawijaya V, agar kelak eksis dalam wujud nyata ( materiil ) dipersiapakan dalam pengetahuan-pengetahuan itu. Perjalanan ke puncak lawu merupakan wujud perjalanan permohonan yang tulus agar anak-turun majapahit menikmati kembali masa keemasan majapahit. Majapahit telah menyatu dengan lawu menjadi keraton lawu ( lihat logo keraton lawu di kiri atas halaman website ). Selama lebih dari dua puluh tahun penulis melakukan penelitian dengan pendekatan imateriil. Sehingga mendapat nama dan gelar dari Eyang Lawu sebagai ' Ki Ageng Panembahan Darmo Sasmito '.

Tiga buah buku ditulis oleh penulis dengan judul " Brawijaya ? ", " Kilisuci " dan " Kunti Talibrata " berdasarkan pengetahuan yang didapat disekitar lawu. Buku yang sedang di garap dan di tulis hingga 75 % adalah misteri relief dan artefak gapura candi Sukuh, dengan judul " Terlahir kembali ". Keraton Majapahit tidak pernah punah, bahkan masih eksis hingga kini. Tatanan kehidupan masih jelas bisa dilihat dan dibaca tanpa terdegradasi pada masyarakat tertentu disekitar lawu, gunung kidul dan pengging. Tatanan kehidupan antara manusia, alam dan Sang Pencipta menghasilkan masyarakat tradisional yang gemah ripah, walau tinggal di perbukitan yang dingin. Sebuah tantangan bagi masyarakat modern untuk melihat langsung dan membuktikannya. Cerminan sehat dalam arti jiwa, raga, pola pikir dan papan bisa dilihat secara materiil.

Ratu tidaklah harus berbusana megah, ratu hendaknya menunjukkan eksistensinya dengan kehidupan tradisional. Sebagai panutan, pengayom dan jembatan antara materiil dan imateriil, seorang ratu berfikir untuk kepentingan manusia dan alam kepada Sang Pencipta, sebagai sebuah tanggung jawab yang harus dibuktikan secara nyata dan utuh. Ratu tidak akan pernah berfikir materi bagi dirinya sendiri, ratu mampu menciptakan kretifitas yang searah dengan alam dan Sang Pencipta. Ratu mengedepankan kepentingan manusia, alam dan Sang Pencipta terjalin sebuah hubungan yang tidak bisa diputus. Ratu harus mampu melahirkan pola-pikir yang arif, bijak dan adil bagi manusia dan alam ( ciptaan lain ). Seorang ratu hendaknya memiliki sifatollah dan sirollah sebagai bagian hidupnya. Berdiri tegak dibawah kehendak Sang Pencipta.

Selasa, 03 November 2009

AJA DUMEH SUGIH BANDA

ALLAHUMMA SHALLI’ALA MUHAMMAD
SAFI’IL ANAM WA’ALIHI WASAHBIHI
WASALLIM ’ALADDAWAM


Eling-eling sira manungsa,
Temenana lehmu ngaji,
Mumpung durung katekanan,
Malaikat juru patiLuwih susah luwih lara,
Rasane wong nang naraka,
Klabang kures kalajengking,
Klabang geni ula geniRante geni gada geni,
Cawisane wong kang dosa,
Angas mring kang Maha Kwasa,
Goroh nyolong main zinaLuwih beja luwih mulya,
Rasane manggon suwarga,
Mangan turu diladeni,
Kasur babut edi peni.


Cawisane wong kang bekti,
Mring Allah kang Maha Suci,
Sadat salat pasa ngaji,
Kumpul-kumpul ra ngrasani.


Omong jujur blaka suta,
Niliki tangga kang lara,
Nulungi kanca sangsara,
Pada-pada tepa slira.


Yen janji mesthi netepi,
Yen utang kudu nyahuri,
Layat mring kang kasripahan,
Nglipur mring kang kasisahan.


Awak-awak wangsulana,
Pitakonku marang sira,
Saka ngendi sira iku,
Menyang endi tujuanmu.


Mula coba wangsulana,
Jawaben kalawan cetha,
Aneng endi urip ira,
Saiki sadina-dina,
Kula gesang tanpa nyana,
Kula mboten gadhah seja,
Mung karsane kang Kuwasa,
Gesang kula mung sa’derma.


Gesang kula sapunika,
Inggih wonten ngalam donya,
Donya ngalam karameyan,
Isine apus-apusan.


Yen sampun dumugi mangsa,
Nuli sowan kang Kuwasa,
Siyang dalu sinten nyana,
Jer manungsa mung sa’derma.


Sowanmu mring Pangeranmu,
Sapa kang dadi kancamu,
Sarta apa gegawanmu,
Kang nylametke mring awakmu.


Kula sowan mring Pangeran,
Kula ijen tanpa rewang,
Tanpa sanak tanpa kadang,
Banda kula katilaran.


Yen manungsa sampun pejah,
Uwal saking griya sawah,
Najan nangis anak semah,
Nanging kempal mboten wetah.

Sanajan babanda-banda,
Morine mung telung amba,
Anak bojo mara tuwa,
Yen wis ngurug banjur lunga.


Yen urip tan kabeneran,
Banda kang sapirang-pirang,
Ditinggal dinggo rebutan,
Anake padha kleleran.

Yen sowan kang Maha Agung,
Aja susah aja bingung,
Janjine ridhone Allah,
Udinen nganggo amalan.


Ngamal soleh ra mung siji,
Dasare waton ngabekti,
Ndherek marang kanjeng nabi,
Muhammad Rasul Illahi,
Mbangun turut mring wong tuwa,
Sarta becik karo tangga,
Welasa sapadha-padha,
Nulunga marang sing papa.


Yen ngandika ngati-ati,
Aja waton angger muni,
Rakib ngatit sing nulisi,
Gusti Allah sing ngadili.


Karo putra sing permati,
Kuwi gadhuhan sing edi,
Aja wegah nggula wentah,
Suk dadi ngamal jariyah.


Banda donya golekana,
Metu dalan sing prayoga,
Yen antuk enggal tanjakna,
Mring kang bener aja lena.


Aja medhit aja blaba,
Tengah-tengah kang mejana,
Kanggo urip cukupana,
Sing akherat ya perlokna.


Aja dumeh sugih banda,
Yen Pangeran paring lara,
Banda akeh tanpa guna,
Doktere mung ngreka daya.


Mula mumpung sira sugih,
Tanjakna ja wigah wigih,
Darma ja ndadak ditagih,
Tetulung ja pilah-pilih.


Mumpung sira isih waras,
Ngibadaha kanthi ikhlas,
Yen lerara lagi teka,
Sanakmu mung bisa ndonga.


Mumpung sira isih gagah,
Mempeng sengkut aja wegah,
Muga sira yen wus pikun,
Ora nlangsa ora getun,

Mula kanca da elinga,
Mung sapisan aneng donya,
Uripmu sing ngati-ati,
Yen wis mati ora bali,
Gusti Allah wus nyawisi,
Islam agama sejati,
Tatanen kang anyukupi,
Lahir batin amumpuni.


Kitab Qur’an kang sampurna,
Tindak nabi kang pratela,
Sinaunen kang permana,
Sing sregep lan aja ndleya.


Dhuh Allah kang Maha Agung,
Mugi paduka maringi,
Pitedah lawan pitulung,
Margi leres kang mungkasi.


Nggih punika marginipun,
Tetiyang jaman rumuhun,
Ingkang sampun pinaringan,
Pinten-pinten kanikmatan,

Sanes marginipun tiyang,
Ingkang sami dinukanan,
Lan sanes margining tiyang,
Kang kasasar kabingungan.


Gesang kita datan lama,
Amung sakedheping netra,
Maena sami andika,
Rukun Islam kang lelima.


AMIN AMIN AMIN AMIN

YA ALLAH ROBBAL ‘ALAMIN

MUGI PADUKA NGABULNA SADAYA PANYUWUN KULA

FALSAFAH PANUNGGALAN


Aras Dasar Budaya Spiritual Jawa
(Tinjauan Selayang Pandang KAWRUH KEJAWEN)
Oleh: Ki Sondong Mandali

Pendahuluan

Hamit-hamit tabik kaliman,

Tertera dalam susunan acara pada Sarasehan Selasa Kliwon Yayasan Kanthil malam ini, temanya ‘Budaya Spiritual’. Maka saya yang didhawuhi sesorah menjadi gedandaban menyusun makalah yang sesuai tema. Apalagi saya sadar audiens yang akan saya sesorahi para tokoh

pinunjul semua. Jujur kawula rumaos grogi saestu. Meski didera kegamangan, maka malam ini saya mencoba ngaturaken ‘wacana bawarasa’ tentang ‘Falsafah Panunggalan’ sebagai Aras Dasar Budaya Spiritual Jawa. Wacana ini juga saya maksudkan sebagai tinjauan selayang pandang ‘Kawruh Kejawen’. Semoga saja wacana pemikiran saya ini bisa diterima dengan legawa. Sebagaimana kita ketahui, sejarah panjang Jawa telah ‘menerima’ sebaran budaya dan peradaban dari luar. Setidaknya ada sebaran budya dan peradaban besar dunia (Hindu, Buddha, Islam, Kristiani, dan modern sekuler) yang mengalir masuk ke ranah budaya dan peradabanJawa.

Melalui jejak sejarah kita bisa mengetahui bahwa budaya Hindu dan Budha dari Asia Daratan (India) pernah mengkooptasi dan mewarnai budaya Jawa selama lebih seribu tahun. Anehnya, ketika rejim wangsa-wangsa yang berasaskan budaya Hindu dan Budha tersebut surut, ternyata tidak meninggalkan komunitas Jawa pemeluk dua agama tersebut yang signifikan. Hal ini menarik untuk dikaji, karena mengesankan penerimaan Jawa terhadap agama Hindu dan Buddha sepertinya hanya di lapis luar atau ‘lamis’. ‘Inner’ budaya dan peradaban Jawa tetap utuh tidak banyak berubah.

Ketika masuknya budaya dan peradaban Timur Tengah (Arab dan Persia) melalui agama Islam, ‘inner’ budaya dan peradaban Jawa masih tidak bergeming. Bukti nyatanya, terlalu sedikit jumlah kaum ‘muslim Jawa’ yang mengerti dan paham ‘bahasa panembah’ mereka kepada Tuhan. Malah-malah terkesan ada pen-Jawa-an Islam yang dibuktikan dengan diadopsinya laku budaya selamatan Jawa oleh komunitas Muslim Jawa. Demikian pula ketika Jawa menerima aliran budaya dan peradaban yang berasaskan Kristiani. Pen-Jawa-an agama Katolik dan Kristen Protestan terjadi pula. Kedua agama Kristiani tersebut pada kenyataannya juga ‘mengadopsi’ laku budaya Jawa selamatan kelahiran, perkimpoian, dan kematian.

Di era modern jaman ini, Jawa menerima ‘aliran masuk’ budaya dan peradaban modern sekuler Barat yang ujung tombaknya ilmu pengetahuan dan tehnologi. Namun kenyataannya orang-orang Jawa yang ‘terintelekkan’ masih juga percaya ajaran leluhurnya. Setidaknya terindikasi dengan masih banyak yang ‘tunduk tak berani menentang’ terhadap kepercayaan Jawa tentang adanya ‘hari baik’ dan ’hari buruk’. Bisa dikatakan wong Jawa intelek pun masih menganut dan mengikuti pilihan ‘hari baik’ untuk menikahkan anak, bahkan dalam hal melaksanakan ‘serah terima jabatan’ di pemerintahan. Indikasi-indikasi tersebut di atas menunjukkan ada ‘ketangguhan’ budaya dan peradaban Jawa. Makalah ini mewacanakan penelisikan ketangguhan Jawa tersebut.

Falsafah Panunggalan.

‘Ketangguhan Jawa’ dalam bersinggungan dan berinteraksi dengan budaya dan peradaban lain, sudah barang tentu disebabkan ketangguhan aras dasar budaya spiritualnya. Atau boleh dikatakan ada ‘ideologi’ yang terinternalisasi paripurna sampai ‘mbalung sungsum’ dan menjadi ‘otot bayu’ Jawa. Aras dasar budaya spirituil atau ideologi yang tangguh tersebut adalah ‘Falsafah Panunggalan’. Yaitu ajaran atau konsep pandangan hidup yang menyatakan bahwa ‘semua yang ada’ di alam semesta ini ‘manunggal’, merupakan ‘Maha Kesatuan Tunggal Semesta’.

Struktur sistim ‘Panunggalan’ berupa hubungan pancer mancapat (inti-plasma). Bertingkat-tingkat dari yang terkecil (misal: atom dan sel hidup) sampai dengan yang tak terhingga besarnya (alam semesta). Keseluruhannya tersatukan dalam jaringan ‘panunggalan’ secara ‘kosmis-magis’. Dalam Kawruh Kejawen, jaringan hubungan kosmis-magis tersebut diibaratkan sebagaimana hubungan antar ‘jaringan sel’ yang membentuk ‘tubuh manusia hidup’. Semua jaringan sel dalam tubuh saling terhubungkan secara harmonis oleh ‘Urip’ sehingga ‘Ada’.

Piwulang Jawa tentang awal mula tergelarnya alam semesta dinyatakan dengan simbolisasi peristiwa diremasnya ‘antiga’ oleh Hyang Wisesaning Tunggal sehingga tercipta 3 (tiga) unsur semesta: bumi lan langit, cahya lan teja, dan Manikmaya. Bumi lan langit merupakan unsur semesta berupa materi, cahya merupakan unsur cahaya yang terindera, teja merupakan cahaya yang tidak terindera semisal gravitasi bumi dan medan kosmis antar benda angkasa. Sedang Manikmaya merupakan roh atau suksmanya seluruh alam semesta serta seluruh isinya.

Ketiga unsur semesta tersebut sama-sama merupakan derivasi (tajali, emanasi) dari ‘Hyang Wisesaning Tunggal’ yang dalam Kawruh Sangkan1 disebut dengan istilah ‘Guruning Ngadadi’. Maka, karena sesame derivasi ‘Guruning Ngadadi’ ketiga unsur semesta tersebut manunggal, ‘Ada’.

Seluruh ‘titah hidup’ menurut pandangan Kejawen tersusun dari ketiga unsur semesta tersebut. Artinya, bahwa ‘ada’-nya titah hidup (termasuk manusia) ‘dijadikan’ dari unsur bumi lan langit (materi), cahya lan teja, dan Manikmaya atau ‘Dzat Urip’ yang disebut juga ‘Pangeran’. Pemahaman ini rujukannya pada wejangan 1 s/d 3 dari ‘Wejangan Wolung Pangkat” sebagai berikut:

1.Wejangan pituduh wahananing Pangeran :

Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang-uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhihin iku Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun sajatining kang urip luwih suci, anartani warna, aran, lan pakartining-Sun (dzat, sipat, asma, afngal).

Sejatinya tidak ada apapun, sejak masih awang-uwung belum ada pembilangan, belum ada nama dan belum ada sesebutan (durung ana sawiji-wiji) yang ada terdahulu itu Aku (Ingsun). Tiada Pangeran kecuali Aku yang hidup lebih daripada suci, menyatakan wujud, warna, nama, dan pekerti-Ku (dzat, sipat, asma, apngal).

2.Wejangan pambuka kahananing Pangeran :

Satuhune Ingsun Pangeran Sejati, lan kawasa anitahake sawiji-wiji, dadi ana padha sanalika saka karsa lan pepesthening-Sun, ing kono kanyatahane gumelaring karsa lan pakartining-Sun kang dadi pratandha :

Kang dhihin, Ingsun gumana ing dalem alam awang-uwung kang tanpa wiwitan tanpa wekasan, iya iku alaming-Sun kang maksih piningit.

Kapindho, Ingsun anganakake cahya minangka panuksmaning-Sun dumunung ana ing alam pasenedaning-Sun.

Kaping telu, Ingsun anganakake wawayangan minangka panuksma lan rahsaning-Sun, dumunung ana ing alam pambabaring wiji.

Kaping pat, Ingsun anganakake suksma minangka dadi pratandha kauripaning-Sun, dumunung ana alaming herah.

Kaping lima, Ingsun anganakake angen-angen kang uga dadi warnaning-Sun ana ing sajerone alam kang lagi kena kaupamakake.

Kaping enem, Ingsun anganakake budi kang minangka kanyatahan pencaring angen-angen kang dumunung ana ing sajerone alaming badan alus.

Kaping pitu, Ingsun anggelar warana (tabir) kang minangka kakandhangan paserenaning-Sun. Kasebut nem prakara ing ndhuwur mau tumitah ing donya, yaiku sejatining manungsa. (Dzat Urip kang ana ing raganing manungsa).

Sesungguhnya Aku Pangeran Sejati, dan berkuasa menciptakan segala sesuatu, menjadi ada seketika dengan kehendak dan kepastian-Ku, yang merupakan manifestasi kehendak dan pekerti-Ku dengan tanda-tanda:

Yang pertama, Aku bersemayam dalam jagad awang-uwung yang tiada awal dan tiada akhir, yaitu jagad-Ku yang masih dirahasiakan.

Yang kedua, Aku mengadakan cahaya sebagai media manifestasi-Ku menjelma di Jagad persemayaman-Ku.

Yang ketiga, Aku mengadakan bayangan sebagai media penjelmaan dan rahsa-Ku, bersemayam di jagad penggelaran wiji (benih kejadian).

Yang keempat, Aku mengadakan suksma sebagai pertanda kehidupan-Ku, bersemayam di jagad herah (hakekat darah).

Yang kelima, Aku mengadakan angan-angan yang juga menjadi warna-Ku ada di dalam jagad yang baru dapat diperumpamakan.

Yang keenam, Aku mengadakan budi sebagai kenyataan penangkaran angan-angan dan bersemayam di dalam jagad ruhani.

Yang ketujuh, Aku menggelar tabir (warana, hijab) pembatas persemayaman-Ku.

Enam perkara yang di atas Aku titahkan di dunia, yaitu sejatining manungsa (dzat urip yang ada dalam raga manusia).

3.Wejangan gegelaran kahananing Pangeran :

Sajatining manungsa iku rahsaning-Sun, lan Ingsun iki rahsaning manungsa, karana Ingsun anitahake wiji kang cacamboran dadi saka karsa lan panguwasaning-Sun, yaiku sasamaning geni bumi angin lan banyu, Ingsun panjingi limang prakara, yaiku: cahya, cipta, suksma (nyawa), angen-angen lan budi. Iku kang minangka embanan panuksmaning-Sun sumarambah ana ing dalem badaning manungsa.

Sejatinya manusia itu adalah rahsa-Ku, dan Aku adalah rahsa-nya manusia, karena Aku menitahkan ‘wiji cacamboran’ (benih campuran) yang maujud sebagai kehendak dan kekuasaan-Ku, yaitu hakekat: api, bumi, angin dan air yang Aku berkati lima perkara yaitu: cahya, cipta, suksma (nyawa), angan-angan dan budi. Itu semua seagai bingkai (embanan) penjelmaanKu meliputi dalam raga manusia.

Wejangan atau wirid tersebut di atas dengan sangat jelas menerangkan ‘ide panunggalan’ manusia dengan alam semesta. Diistilahkan dengan ‘jumbuhing jagad cilik lan jagad gedhe’. Panunggalan’ untuk seluruh mahluk disebutkan pada Piwulang adanya ‘saudara gaib’ bagi manusia: ‘Sedulur tunggal dina kelairan’, yaitu semua anak titah ciptaan Tuhan yang bersamaan kelahiran dengan si manusia.

Panunggalan antar titah dumadi yang menyaudarakan manusia dengan semua ‘titah hidup’ bukan sekedar ‘wacana kepercayaan’, namun sudah menjadi laku budaya spirituilnya wong Jawa.

Contoh laku budaya spiritual tersebut:

1.Laku budaya ‘wiwit’, ritual sesaji saat akan memanen padi. Dalam ritual tersebut ada acara ‘mbuwaki’ sesaji di empat sudut bidang sawah dan tulakan (saluran pengairan ke sawah). Dilakukan anak-anak peserta ritual yang diajari pembacaan rapal: “Kaki Dhanyang Nyai Dhanyang Semara Bumi kang manggon ing pojok papat lan tulakan sawah, aku disraya mBok ……… menehake pepancenmu kang wus melu njaga lan ngreksa sawahe”. Ritual wiwit dan rapal ‘mbuwaki’ tersebut menunjukkan sikap menyaudaranya wong Jawa dengan ‘titah gaib’ yang disebut Dhanyang Semara Bumi. Dimana dalam hal ini, titah gaib tersebut ‘dianggap’ ikut membantu menjaga dan ‘ngreksa’ sawah hingga tanaman padinya selamat dan bisa dipanen.

2.Laku budaya ‘bancakan dhawet’ untuk hewan ternak yang melahirkan. Suatu laku budaya Jawa yang dilakukan pemilik ternak saat ternaknya melahirkan. Mangga direnungkan, laku budaya ini kiranya sangat mendalam kandungan wawasan spiritualnya.

3.Tradisi Jawa, pada setiap malam Jumat Kliwon atau malam hari wetonan melakukan sesaji sederhana dengan ‘kembang setaman’. Pagi harinya, kembang setaman disebarkan di ‘perempatan jalan’. Banyak yang menganggap laku budaya ini klenik dan tahayul. Namun kiranya perlu direnungkan rapal ketika membuang kembang setaman tersebut: “Ora nyebar kembang nanging nyebar kabecikan. Sejatining Gusti Ingkang Maha Kuwasa keparenga paring kawilujengan lan karahayon dhumateng sedaya titah Paduka ingkang nglangkungi prapatan punika.”

Masih banyak laku budaya spiritual yang ada di ranah budaya dan peradaban Jawa. Bagi yang tidak mengerti banyak yang menganggap primitif dan bodoh. Namun coba disimak ‘kecerdasan’ Jawa dalam memanipulasi sesaji untuk ritual yang mengharuskan ‘penghilangan nyawa’ hewan. Sesaji kepala kerbau dimanipulasi dengan ‘kerbau-kerbauan’ yang dibuat dari tuntut pisang.

Sesaji kucuran darah segar ayam hitam mulus (ritual penyembuhan ‘kesurupan’) dimanipulasi dengan wujud anak ayam hitam yang masih kuthuk hidup-hidup. Sesaji yang butuh kurban ‘sepasang penganten’ diganti dengan ‘bekakak penganten’. Demikian pula perlu direnungkan tradisi ‘Grebeg Besar’ yang semestinya berupa penyembelihan hewan qurban, diganti dengan ‘tumpeng’ yang terbuat dari penganan dan ‘hasil bumi’ pertanian. Semua ‘kecerdasan’ manipulasi sesaji tersebut menunjukkan konsep bersaudaranya manusia dengan semua ‘titah urip’ yang landasannya ‘Falsafah Panunggalan’. Penghilangan nyawa sesama titah urip nampaknya tidak sejalan dengan rasa pangrasa Jawa.

Berdasarkan konsep ‘pancer mancapat’ (hubungan inti-plasma) banyak kita temukan istilah-istilah dalam KAWRUH KEJAWEN. Yang paling terkenal adalah istilah ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Merupakan capaian tertinggi ‘laku spiritual’, tetapi juga bermakna sebagai pandangan Jawa tentang: sisitim tata semesta, sistim tata negara dan pemerintahan, serta sistim tata kemasyarakatan.

Dalam hal pandangan ‘tata semesta’, maka Gusti (Sesembahan, Tuhan) sebagai inti (pancer), sedang seluruh kawula (ciptaan) sebagai plasma (mancapat). Dalam hal ‘tata negara dan pemerintahan’ maka ide (cita-cita) mendirikan negara sebagai inti (Gusti), sedang seluruh warga negara (apapun poisisinya) sebagai plasma (kawula)2.

Dalam hal ‘tata kemasyarakatan’, Jawa mengkonsepkan ide ‘tata tentrem kerta raharja’. Maka untuk mewujudkannya, perlu nilai rukun dan selaras. Maka ide ‘tata tentrem kerta raharja’ dalam bermasrakat tersebut dijadikan inti (pancer). Seluruh warga masyarakat menempatkan diri sebagai plasma (mancapat) terhadap ide tersebut.

Sistim hubungan ‘pancer-mancapat’ (inti-plasma) juga terdapat pada sistim giliran pasaran (ekonomi), Kliwon sebagai pasaran pusat ‘wilayah pasaran’, sedang Legi, Paing, Pon dan Wage sebagai pasaran di sekeliling ‘wilayah pasaran’. Sistim giliran ‘hari pasaran’ ini pada kenyataannya berkait-mengkait antar ‘wilayah pasaran’ sedemikian rupa teratur tidak ada yang ‘dhumpyuk’ antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Dengan demikian, dalam hal kegiatan ‘wilyah pasar’, masyarakat Jawa sudah mengenal suatu sistim yang dinamis, teratur, manunggal, dan mampu mencakup suatu wilayah yang luas.

Struktur sistim ‘pancer-mancapat’ juga berlaku dalam mitologi kesemestaan Jawa. Penguasa Jagad dipersonifikasi sebagai Hyang Manikmaya. Terdiri dari Hyang Manik (inti, pancer) dan Hyang Maya (plasma, manca pat). Dalam pewayangan, Hyang Manik dipersonifikasi sebagai Hyang Jagadnata alias Bethara Guru, sedang Hyang Maya (Taya, Ismaya) dipersonifikasi sebagai Semar, pamomong Jagad. Keduanya merupakan anak derivatif dari Hyang Wisesaning Tunggal (sebutan untuk Sesembahan Jawa).

Inti Kawruh Kejawen

Ajaran atau Piwulang yang ada pada Kawruh Kejawen pada dasarnya mengajarkan kepada manusia untuk memiliki 3 (tiga) aras kesadaran sebagai berikut:

1.Kesadaran ber-Tuhan

Artinya bahwa filosofi Jawa menyatakan adanya Tuhan sebagai Kang Murbèng Alam (Penguasa Alam Semesta). Ujudnya ‘tan kêna kinayangapa’, artinya tidak bias didekati (dihampiri) daya nalar, daya rasa pangrasa, dan daya spirituil yang dimiliki manusia. Maka kemudian, dalam mitologi Jawa, Tuhan berderivate (bertajali, beremanasi) secara bertingkat-tingkat sedemikian rupa sampai bisa dipahami oleh daya nalar, daya rasa pangrasa, dan daya spirituil manusia. Oleh karena itu, sikap dasar wong Jawa terhadap ekpresi kesadaran ber-Tuhan sangat toleran terhadap adanya perbedaan ‘panembah’.

2.Kesadaran Semesta

Merupakan ekspresi kesadaran adanya hubungan kosmis-magis manusia dengan alam semesta dengan seluruh isinya. Wujud ekspresinya berupa pandangan Jawa tentang ‘Bapa Angkasa’ dan ‘Ibu Bumi’. Menurut pandangan Jawa ini, maka ‘uripé manungsa’ disangga unsur-unsur dari angkasa dan bumi yang kemudian ‘kasuksma’ oleh ‘dzat sejatining urip’. Dari filosofi ini pula diturunkan konsep kewajiban manusia menyangga ‘Panunggalan’ atau ‘Kesatuan Tunggal Semesta’, “melu memayu hayuning bawana”. Dari konsep kewajiban manusia tersebut, maka keluarannya berupa ‘nilai rukun’ dan ‘nilai selaras’ yang wajib dioperasionalkan oleh setiap manusia Jawa.

3. Kesadaran wajib beradab bagi umat manusia.

Mengoperasionalkan ‘nilai rukun’ dan ‘nilai selaras’ merupakan ekspresi keberadaban manusia. Di dalamnya terkandung ajaran ‘budi luhur’ guna mewujudkan: kesejahteraan umum dan nuansa damai dalam kehidupan bersama. Bukan sekedar hidup bersamanya sesame manusia, tetapi juga dengan semua mahluk ciptaan Tuhan. Kesadaran bersaudara dengan semua ‘titah dumadi’ merupakan tingkat tertinggi dari keberadaban manusia.

Ketiga aras kesadaran tersebut di atas merupakan ajaran pokok dalam hal melaksanakan ‘Falsafah Panunggalan’.

Panunggalan sebagai Ideologi Jawa.

Sebagai suatu peradaban manusia, maka Jawa memiliki nilai-nilai (values) yang berguna dan mampu memandu bagi manusianya untuk menjalani hidup. Pada kenyataannya, hidup manusia tidaklah sendirian tetapi bersama manusia yang lain maupun semua mahluk ciptaan Tuhan lainnya. Secara umum nilai-nilai budaya dan peradaban suatu komunitas manusia ada yang bersifat universal, tetapi juga ada yang hanya berlaku untuk ‘komunitas etnis’ manusia yang bersangkutan.

Dalam konteks Jawa sebagai bagian Indonesia dan bagian peradaban seluruh umat manusia, maka nilai-nilai ke-Jawa-an yang perlu diselisik adalah yang berkaitan dengan kepentingan ke-Indonesia-an dan kemanusiaan sejagad. Maka dengan demikian, bisa diselisik ‘ideologi’ Jawa yang bertolak dari nilai-nilai budaya dan peradabannya.

Ketika nilai-nilai ke-Jawa-an bisa diangkat menjadi ideologi, maka dimungkinkan untuk berdialog ‘ideologi’ di kancah internasional. Tidaklah muluk-muluk sekiranya ajaran-ajaran ‘sejatining urip’ (hakekat hidup) Jawa yang bertolak dari ‘Falsafah Panunggalan’ bisa dijadikan ideologi pemersatu umat manusia. Setidaknya bisa dijadikan jembatan penghubung antara kutub peradaban religius berdasar ajaran agama dengan kutub peradaban sekuler berdasar rasionalitas moderen.

Untuk mengantar kepada wacana ini, menarik untuk dikaji carakan aksara Jawa yang oleh banyak pujangga dimaknai sebagai ajaran ‘hakekat urip’. Diantaranya sebagaimana sebagaimana Pratelan wirid Filsafat Nusantara (Penjelasan wirid Filsafat Nusantara)3:

Ha : Hananira sejatining wahananing Hyang
(Keberadaanmu sesungguhnya adalah media adanya Tuhan).

Na : Nadyan nora kasat mata pasti ana
(Walaupun tidak kasat mata, tetapi pasti ada).

Ca : Careming Hyang yekti tan cetha wineca
(Kemanunggalan Tuhan sesungguhnya tidak secara gamblang dijelaskan).

Ra : Rasakena rakete lan angganira
(Rasakan eratnya dengan badanmu).

Ka : Kawruhana jiwanira kongsi kurang weweka
(Ketahuilah akan jiwamu hingga sejelas-jelasnya).

Da : Dadi sasar yen sira nora waspada
(Tersesat bila kamu tidak waspada).

Ta : Tamatna prabaning Hyang sung sasmita
(Perhatikanlah cahaya Hyang yang memberi pertanda/petunjuk).

Sa : Sasmitane kang kongsi bisa karasa
(Pertanda yang hingga dapat terasakan).

Wa : Waspadakna wewadi kang sira gawa
(Perhatikan rahasia-rahasia ilahi yang kau bawa).

La : Lalekna yen sira tumekeng lalis
(Lupakanlah, bahwa engkau itu akan mati).

Pa : Pati sasar tan wun manggya papa
(Mati tersesat tidak urung menderita hina-dina).

Dha : Dhasar beda kang wus kalis ing godha
(Berbeda dengan mereka yang sudah terbebas dari godaan).

Ja : Jangkane mung jenak jenjeming jiwaraga
(Keinginannya hanya serba tenang dan tenteramnya jiwaraga).

Ya : Yatnana liyep luyuting pralaya.
(Rasakanlah keadaan liyep luyuting pralaya = trance).

Nya : Nyata sonya nyenyet labeting kadonyan
(Benar-benar sepi dan sunyi dari keduniawian).

Ma : Madyeng ngalam pangrantunan aywa samar
(Berada di alam pangrantunan = mati sajroning urip, jangan bimbang).

Ga : Gayuhaning tanna liyan jung sarwa arga
(Tujuan hidupnya tak lain hanyalah sampai di sarwa arga = surga).

Ba : Bali murba misesa ing njero njaba
(Kembali menguasai keadaan lahir batin = jumbuhing jagad cilik lan jagad gedhe).

Tha : Thakulane widadarja tebah nistha
(Demi keselamatan dan kesejahteraan sertta jauh dari kenistaan).

Nga : Ngarah ing reh mardi-mardiningrat
(Berkehendak mendapatkan ilmu (reh) menjaga keselarasan jagad).

Adalah hanya ‘krenah’ Jawa yang memaknai huruf-hurufnya dengan ajaran mendalam tentang ‘sejatining urip’. Hal ini pasti ada maksud dan tujuannya. Setidaknya sebagai upaya untuk menempatkan aksara Jawa pada posisi ‘penting’ dan ‘baku’ bagi wong Jawa sendiri. Posisi penting baku tersebut dalam hal wong Jawa belajar mengerti tentang inti pokok piwulangJawa.

Asumsi lain bisa dibangun, bahwa pemberian makna huruf-huruf aksara Jawa tersebut sebagaui upaya para ‘intelektual Jawa’ dalam mewariskan dan menginternalisasikan ‘ideologi Jawa’. Dasar pemikirannya, bahwa lahirnya pemaknaan aksara Jawa tersebut pada saat Jawa sedang mengalami deraan budaya religiusitas agama (Islam) dan budaya rasionalitas sekuler penjajah Belanda. Himpitan kedua kutub budaya dan peradaban tersebut dirasakan para pujangga bisa berdampak ‘mematikan’ budaya spiritual Jawa. Maka para ‘intelektual Jawa’ tersebut mewariskan ‘ide-ide’ Jawa melalui pemaknaan aksara Jawa. Asumsi para pujangga, memperkirakan bahwa carakan aksara Jawa akan tetap eksis sepanjang jaman. Maka ideologi Jawa akan bisa bertahan sepanjang jaman juga.

Untuk itu, penulis secara subyektif mencoba memahami pesan para pujangga yang mengganggit urutan Carakan tersebut :
Ha Na Ca Ra Ka : Di dunia ini ada dua kutub peradaban (ideologi) : religius agama dan rasionalitas sekuler.
Da Ta Sa Wa La : Kedua kutub tersebut selalu bertentangan (konflik).
Pa Da Ja Ya Nya : Sama-sama memiliki landasan yang kuat.
Ma Ga Ba Tha Nga : Konflik diantara keduanya menuju kemusnahan (peradaban).

Dengan pemaknaan subyektif tersebut, maka bias dipahami pemaknaan aksara Jawa sebagai ajaran ‘hakekat urip’ yang tyerkandung dalam Pratelan Filsafat Nusantara. Ajaran hakekat hidup kiranya bias menjembatani ‘pertentangan’ religiusitas agama dengan rasionalitas sekuler.

Sebagai ideologi, Jawa memang memiliki konsep untuk ‘hidup bersama’ dan ‘bernegara’. Bahwa konsep ‘Negari eka adi dasa purwa panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi tata tentrem kerta raharja’ yang arti ringkasnya: negara berdaulat lahir batin dihormati negara lain, berwawasan lingkungan, mampu mencukupi kebutuhan seluruh rakyatnya, subur makmur, amantenteram dan sejahtera. Kiranya konsep bernegara yang demikian mewakili idealisme bernegara yang paripurna.

Kesimpulan

Sesungguhnya masih cukup banyak hal tentang Falsafah Panunggalan yang belum tersajikan. Namun sedikit wacana tersampaikan bisalah kiranya untuk dijadikan masukan dalam rangka memulai kegiatan penelisikan terhadap budaya dan peradaban Jawa.

Berikut kiranya bisa diambil kesimpulan dari wacana pemikiran ini:

1. Aras dasar budaya dan peradaban Jawa (termasuk budaya spiritual) berpangkal tolak dari Falsafah Panunggalan. Aras dasar dimaksud sudah ‘mbalung sungsum’ pada diri setiap manusia Jawa sehingga menjadi ‘pertahanan alamiah’ ketika bersinggungan, beradaptasi, dan mengadopsi nilai-nilai dari budaya dan peradaban lain.

2. Inti ajaran Kawruh Kejawen bersumber dari ‘Falsafah Panunggalan’ dan fokus utama piwulangnya untuk kepenting ‘hidup bersama’ dengan semua titah Tuhan penghuni alam semesta.

DALIL, HADIST, IJEMAK DAN QIYAS


Bab 4
DALIL, HADIST, IJEMAK DAN QIYAS

Umumnya di kampung, kota dan lain-lain; pengikut Agama walaupun berbeda Agamanya yang dituju terlebih dahulu terhadap ilmu, yang dituju terlebih dahulu pasti sempurnanya kematian, maksudnya umpama mempunyai niat ingin mencoba merasakan kematian, merasakan bagaimana mati itu. Perkataan dalam Wirid; hidup yang menyebutkan sekali, itu sebenarnya bekal ilmunya Allah SWT, itu disebut kenyataan (kasunyatan – Jawa) itu tidak dusta dan bisa dibuktikan. Bahasa Arab ilmu Haq, artinya nyata. Jadi kebisaaan jawa ilmu Kasunyatan atau nyata. Di pedesaan murid-murid disumpah (diwejang – jawa) bisa juga ditakut-takuti, umpama kalau kamu melanggar maka perutmu pecah. Bagi orang-orang yang disedikitpun belum mencapai Tarikat, benar salahnya terdapat pada perbuatan, walaupun pintar atau bodoh, karena murid itu mengerjakan karena rasa takut, jadi keadaan masyarakat menjadi tentram. Murid satu perguruan dan lain perguruan saling tidak sepaham dan sering kali berdebat soal pendapat, menyebabkan pecah dan simpang siur mencari kebenaran sendiri-sendiri, perkara ilmu yang belum pasti benarnya.

Keterangan diatas untuk contoh jangan sampai tersebarnya kebatinan (ilmu Qalbu) di tengah masyarakat berlarut-larut terus menjadikan orang panatik, artinya patuh terhadap ajaran gurunya, yang tujuannya bisa salah arah tujuan semula, menyembah selain Allah, lalu harus bersujud kepada Allah serta memohon petunjuk Allah supaya diberi petunjuk (dibukakan hatinya).

Allah berfirman, Al-Qur’an surat Al-Israa : 72

“Dan barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”

Mengingat Firman Allah itu lalu timbul pertanyaan; “Apa sudah benar pelajaran guru itu” lihat surat Al-Israa diatas, siapa yang tanggung jawab didunia dan akhirat, kalau ilmu gurunya itu salah. Terbukanya ilmu itu mesti bergaul, bertanya, membaca buku-buku tentang ketuhanan.

Kita sendiri yang teliti, yaitu akal / pikiran harus digunakan, yang penting mau menjalankan, keterangan disini dan seterusnya, baru bisa jadi mendapatkan ilham dari sifat-sifat Allah. Hasilnya menjalankan dan membersihkan diri, lalu mendapat keterangan yang sejujur-jujurnya (selurus-lurusnya).

Sekarang mengenai belajar ilmu, yang penting si Guru harus waspada memilih, karena banyak orang yang mengaku-ngaku karena peringatan (wulangreh – jawa). Kalau berguru ilmu harus :

1.  memililah manusia benar.
2.  yang baik kelakuannya (terpandang).
3.  Serta mengetahui hukum.
4.  Yang beribadah dan mengetahui.
5.  Kalau bisa orang yang sudah bertapa (menjalankan shalat Hakikat).
6.  Yang sudah tekun.
7.  Tidak mau mengharapkan orang lain.
8.  Itu pantas kita jadikan Guru.
9.  Sama-sama kita ketahui.

Nasehat di Wulangreh (syair jawa) :

1.  Manusia yang jelas statusnya; bukan seperti gelandangan (Avonturer), bukan tukang tipu, yang lupa janji, tetapi orang yang pantas dipercaya perkataannya.
2.  Yang baik martabatnya, yang baik budi pekertinya.
3.  Yang mengetahui hukum; orang yang telah mempelajari seluruh bidang hukum; hukum pidana, hukum tata negara, hukum perdata dan hukum agama yang penting.
4.  Yang beribadah (tawaduk – Arab) dan orang yang taat kepada peraturan agama Islam, Kristen, Budha dan lain-lain, Wirangi artinya orang yang segala tindak tanduknya (perbuatannya) tidak sembarangan.
5.  Orang yang bertapa; orang yang bisa mengendalikan hawa nafsunya.
6.  Orang yang tekun; orang yang tidak mau menjadi beban orang lain.
7.  Tidak mau pemberian orang lain; artinya tidak mau jasa orang (sepi pamrih – jawa), tidak mau di puji (takabur).
8.  pantas di Gurui; untuk simurid harus memilih terhadap siapa yang pantas digurui, yang memenuhi syarat-syarat seperti diatas.
9.  Harus kamu ketahui, itu peringatan bagi simurid harus banyak pengalaman walaupun tidak pandai, harus menerima dan mempunyai perasaan, karena sebagai murid harus mempunyai rasa malu walaupun tidak memberi, umpamanya karena siguru tidak pernah meminta, lalu kita diamkan, itu salah seorang mempunyai perasaan pasti malu jika tidak memberi imbalan kepada gurunya. Orang salah sangka dengan umum walaupun siguru masih muda dan tidak mempunyai tempat, orang yang terbuka pikiran itu tidak perduli muda atau tua, banyak yang sudah tua tetapi kosong tidak berilmu, tetapi dizaman sekarang banyak pemuda yang mempunyai satu perguruan (membentuk suatu perguruan). Tuhan (Allah) membuka hatinya menurut kehendaknya, seperti dalil Al-Qur’an surat Yusuf : 22 ;

“Dan tatkala dia cukup dewasa (29) Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” 9]. Nabi Yusuf mencapai umur antara 30 – 40 tahun.

Kata dewasa (ahqil baliq) terhadap siapa saja yang sudah dewasa, pikirannya sudah dewasa, buktinya begini; sang Sidarta adalah putra mahkota kaya dan pandai, ia putra Raja dipegunungan Himalaya, Raja Shudadana, lahirnya Sidarta lalu ibunya meninggal dunia, pada umur 29 tahun (muda belia) lalu ia bertapa memohon kepada Yang Maha Benar, sesudah terbuka pikirannya lalu menjadi Budha, pelajarannya sampai sekarang masih hebat dan benar. Dan lagi tentang Nabi Isa as. (Yesus Kristus) putra Mariyam, siapa saja langsung heran kepada Nabi Isa as. pada waktu lahir Nabi Isa umur 3 (tiga) hari langsung bisa bicara dan berdiri sebagai Nabi utusan Tuhan, ingat baru umur tiga hari belum dewasa sangat muda. Terakhir Nabi Muhammad SAW itu menjadi pengembala kambing (domba) ikut pamannya semasa Nabi Muhammad umur 30 tahun, didorong oleh kemauan sendiri lalu Nabi Muhammad bertapa di gua Hira mengendalikan semua kemauannya (nafsu) mencari Dat yang benar (Allah), langsung menjadi Rasul (utusan) sampai menjadi penegak Islam. Allah membuka pikiran para orang mencari kebenaran, ternyara orang-orang yang masih muda-muda sesudahnya memilih (membedakan) yang benar dan salah, berdasarkan dalil (firman Allah) atau tidak, artinya Dalil pedoman, tanpa Dalil (unik seperti tahayul). Jadi orang yang ingin menjadi guru harus memakai 4 landasan yaitu :

1. Dalil itu Firman-firman Allah di kitab suci Al-Qur’anul Karim. Sampai sekarang dicetak supaya tidak berubah isinya, hanya Al-Qur’an sendiri, artinya begini; Qur’an itu bahasa Arab, ayatnya 6666 dan sudah disalin beratus bahasa, siapa saja mau merubah isinya atau ditambah tulisan lain tentu ketahuan, karena asli bahasa Arab masih utuh.

2. Hadist itu pendapat/perbuatan Nabi Muhammad yang benar semua, pengetahuan yang tidak ada terdapat di Al-Qur’an, Hadist suci itu disebut Hadist Syahih, Bukhari, Muslim, Hadist selainnya, Hadist lainnya kurang dipercaya, membacaya harus dicocokan dengan angka-angkanya, apalagi Al-Qur’an harus dicocokkan dengan Jus, Ayat-ayat dan Surat-surat, apalagi sekarang banyak Hadist dan Al-Qur’an berbahasa Jawa.

3. Ijemak, yaitu pendapatnya para Ulama agung pada zaman Nabi Muhammad atau pendapatnya para sahabat empat yang akrab dengan Nabi Muhammad, yang teliti (cerdik), yang tidak berdasarkan Mahsab (pendapat orang yang bisa diubah-ubah). Sedang Ijemak itu dasarnya ulur tarik menurut akal pikiran, jadi Ijemak itu pendapat dimasa zaman terdahulu yang disetujui para Ulama lebih dari 5 (lima orang ulama).

4. Qiyas, yaitu pendapat berdasarkan akal/pikiran, artinya keterangannya tidak berdasarkan Al-Qur’an atau Hadist, tetapi menurut akal/pikiran saja. Intisari semua keterangan ilmu itu apa keluar dari dalil atau hanya asal bicara saja, sebab itu harus diteliti (koreksi) berdasarkan akal/pikiran, bisa diterima atau tidak (umpama bisa) pokok utama iman, umpama tidak berarti masih sangsi-sangsi kalau sangsi-sangsi itu tidak mengenakan pikiran berarti haram atau batil. Siapa saja bisa mempelajari kenyataan sifat Allah, menjalani (melaksanakan) pasti tidak susah, memang sudah dikerjakan, umpama kurang semangatnya, tujuan hati untuk mencari ilmu Allah pasti tidak tercapai.

Untuk menjadi guru itu; tua, muda bukan pekerjaan yang main-main, karena murid zaman sekarang pikirannya sudah maju, akalnya banyak dan tidak bisa menerima begitu saja tetapi hanya mendengarkan saja, apa yang kuranng dipahami (susah) atau kurang diterima oleh akal pasti akan ditanyakan, umpama mengenai wejangan (nasihat) seperti dibawah ini :

“Sebenarnya tidak ada apa-apa yang dulu selain Adam”, artinya Adam itu kosong (suwung – jawa), manusia asal dari Adam tadi, itu sebabnya manusia berdiri sendiri (hidup sendiri) sebelum Allah dan Malaikat ada, adanya Allah itu dari manusia, artinya adanya Allah dari manusia karena manusia yang mengatakan, jadi wajib disimpan seperti menyimpan nyawa sendiri. Sebenarnya umat dan Allah artinya satu tidak pisah (bersatu), jadi dimana saja manusia berada pasti Allah tetap menyertainya, tidak ada manusia tidak ada Allah. Pelajaran yang disebut diatas tadi sebenarnya kurang dapat dicerna (diterima oleh murid), jadi timbul banyak pertanyaan. Menjadi guru selalu marah sebab gurunya sendiri tidak bisa menerangkan, karena siguru dapatnya hanya menerima begitu saja, jadi siguru belum pintar (mempunyai ilmu) hanya menunjukan kepanatikannya. Jadi bila ada guru yang begitu tadi bisa menjadi salah arah pada muridnya (masyarakat umum).

Disebutkan dalam kitab Al-Qur’an bahwa Adam itu satu-satunya Nabi, orang yang sudah dikehendaki Allah mempunyai sifat-sifat 4 perkara :

1. Sidik, yaitu jujur atau tidak dusta;
2. Amanah, yaitu bisa dipercaya atau tidak khianat.
3. Tablik, yaitu menyampaikan perintah Allah, sifat mokalnya Kitam.
4. Pathanah, yaitu bijaksana atau tidak bertindak bodoh.
Sifat wenang (kuasa) hanya Cuma satu yaitu yang disebut Aral Bashri, artinya yang tidak cacat (membuat cacat kerasulannya).

Seperti itu sifatnya Nabi yang dikehendaki oleh Allah. Beda dengan orang bisaa, orang bisaa kebanyakan hanya memakai sifat mokalnya (sebaliknya), maka dengan itu Nabi itu salah satu penuntun yang bisa menerangkan bahwa Adam itu yang disebut kosong (Suwung – jawa).

Dikitab Al-Qur’an surat Al-An’aam : 98 ;

“Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui”

Kata-kata Seorang diri yang diatas mengandung arti jasmani, tubuh orang. Jadi kesimpulan dari arti itu bahwa asal dari Rahim ibu, lalu ada Qur’an yang menyebutkan Adam Nabi yang terdahulu umat yang mulia di Surga. Umpama dibalikan kepelajaran guru yang disebut diatas, Adam diartikan Suwung (kosong), menjadi asal usul manusia, apa tidak salah umpama diartikan orang, karena seorang diri (jasmani) masih memasang dasar asalnya dari orang. Jadi jika ada yang mengartikan (Qiyasan) asalnya dari yang kosong (suwung-jawa) itu tidak masuk akal, karena semua asalnya orang dari rahim sang ibu, oleh karena itu Adam itu asalnya dari orang.

Jadi Qiyasan (pendapat) kata kosong (suwung) tadi terhadap Wedaran Wirid (buku ini) keterangannya begini; semua isi Jagad raya (alam dan makhluk) asal dari Hakikatnya DAT yang wajib adanya Allah SWT dan mereka yang menciptakan yang disebut Allah, artinya yang kita sembah tetapi tidak nampak. Karena tidak nampak jadi disebut kosong (suwung). Selanjutnya mengartikan kata ADAM, walaupun dikatakan kosong, kenyataan bisa menciptakan Jagad raya seisinya, jadi yang berasal dari Dat dikatakan kosong tidak hanya manusia saja tetapi seluruh isi alam ini; malaikat, setan dan jin, semua berasal dari Dat Allah (kosong/suwung-jawa), maka terhadap manusia dari tidak ada (kosong), bayi lahir dari ibunya tidak tahu apa-apa. Kata lahir tidak tahu apa-apa itu alamnya bayi sewaktu keluar dari rahim ibu tidak tahu apa-apa, lahir dirumah, di rumah sakit atau di hutan, toh tidak tahu apa-apa (kosong), kenapa kalau memang kosong manusia bisa lahir sendiri, kenapa tidak mau mengakui kalau asalnya dari tidak ada (kosong)?, kenapa hanya ikut saja yang dikatakan Qodrat dan Irodat. Salahnya penngetahuan (pengertian) tentang kosong tadi disebabkan kurangnya penerangan atau memang tidak tahu sama sekali (bodoh).

•   Menerangkan bahwa ADAM itu namanya Nabi/Rasul menurut agama Islam dalam Al-Qur’an ADAm itu nabi yang diusir dari Surga ke dunia bersama istrinya Siti Hawa, kata ADAM itu berasal dari bahasa Ibrani, yang artinya orang laki-laki. Di Al-Qur’an tidak menerangkan bahwa Hawa itu asal dari tulang rusuk Adam. Pendapat itu sebenarnya Adam itu orang yang bergerak dari orang.

•   ADAM itu kosong (suwung-jawa), artinya manusia berdiri sendiri sebelum Allah dan Malaikat ada itu tidak benar, yang benar kosong itu sebenarnya adanya DAT yang satu adanya, tidak nampak tetapi ada, artinya ada tetapi tidak bisa diraba atau tidak bisa dijangkau oleh manusia, sebab sifatnya layu kayafu, sama dengan tidak ada tetapi bisa menciptakan seluruh Jagad Raya dengan kekuasaannya (Qodrat).

Kata ADAM (kosong) itu sendiri sewaktu diutus hidup didunia sebenarnya memberi pengertian terhadap keterangan itu mudah jika sudah mempunyai pegangan (keyakinan). Dan bagi yang tahu sedikit-sedikit ilmu dalam menerima pelajaran dan dihati harus bisa membandingkan dengan apa sudah kita dengar dan menjadi tekadnya. Bisa menambah terang, umpama dibandingkan dengan ilmu lain (gebengan-jawa). Oleh karena ilmu itu bukan dapat dari sendiri tetapi dari tanah jawa, maka perguruan lebih baik para muridnya diberi kemudahan untuk bertanya, jangan terikat dengan peraturan yang melarang para murid menyamakan ilmu/pendapat orang lain. Maka dari itu ilmunya, Allah itu bisa diketahui hanya melalui manusia yang tujuannya hanya satu (benar). Ditanah jawa ilmu itu yang seperti bertingkat. Kata ilmu itu bahasa Arab, dalam bahasa jawa yaitu kaweruh.

Menurut Prof. Dr. Hazairin, ilmu itui tingkatnya hanya nampak (melihat); Si A pernah melihat Radio tetapi belum pernah menghidupkan apalagi memperbaiki, berarti si A belum mempunyai ilmu hanya melihat (buta ilmu). si B pernah melihat Radio, bisa menghidupkan dan bisa memperbaiki kerusakannya, berarti si B mempunyai ilmu dan mengetahui rahasia-rahasia Radio tersebut.

Sumber buku Wedaran Wirid I, Ki R.S. Yoedi Parto Yoewono. Surabaja : Djojobojo, 1962-64.

MACAM-MACAM KEPERCAYAAN DAN PENDAPAT TENTANG TUHAN (ALLAH)


Bab 3

MACAM-MACAM KEPERCAYAAN DAN PENDAPAT

TENTANG TUHAN (ALLAH)

Qur’an surat Al-Hadiid ayat 4-6;

4-“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa: Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy) Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya). Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

5-“Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi. Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan.”

6-“Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”

Ilmuwan zaman dahulu Anaxagoras dari Clazomini (yunani), ia adalah seorang ahli ilmu pasti yang disebut sebagai seorang kafir, karena tidak percaya dewa-dewa, dan ilmunya dinamakan Atomistik, ilmuwan itulah yang menyiarkan; bila roh-roh itu tidak ada batasnya dan mewujudkan gerak tertib, selanjutnyanya roh-roh menyatu dengan tuhan-tuhanan, dan ia bertekad mengatakan roh-roh itu maha kuasa dan maha tahu. Ilmuwan lain yang sam pada waktu itu Anacagoras yaitu Anaximander dari Milete Ionia; kepercayaannya kealam raya (benda), tujuannya; asalnya benda-benda itu dari zat tanpa awal tanpa akhir dan tidak bisa ditebak, zat itu disebut Apeiron, artinya kekal (abadi), menurut kepercayaannya (Apeiron) adalah tentang jiwa (roh), pendapatnya bila roh-roh itu seperti Hawa dan Angin. Ilmuwan Ibnu Araby Al Halady dan syeh Siti Jenar sama pendapatnya, jika manusia itu berasal dari Hakikatnya Maha Agung, artinya penyempurna DAT, dan Faham itu disebut Widatul Wujud. Pendapat memutuskan Allah dan manusia menyatu, dalam bahasa Wiridan disebut Chaliq, dan makhluk itu satu (menyatu), begini keterangannya; DAT Yang Maha Kuasa itu meliputi adanya sifat Ujud, tidak luar tidak didalam, tidak bertempat, tidak zaman, tidak laki-laki tidak perempuan, tidak beranak tidak diberanakan, tetapi meliputi Jagat Raya, lihat firman Allah, surat Al-Hadiid : 4-6, seperti diatas.

Artinya ayat-ayat tadi Al-Hadiid 4-6; kepada siapa saja yang diciptakan tidak dibeda-bedakan (pilih kasih), yang sifat baharu semua diliputi Zat Allah. Semua itu untuk membuktikan kepada orang yang berpendapat Allah itu pilih kasih dan ada yang disayang karena dari adanya pendapat yang bermacam-macam lalu ada ada golongan yang memberanikan bahwa Allah bisa dijumpai dengan manusia dengan memuja cara masing-masing. Sebelum adanya peraturan agama, ada peraturan yang menetapkan bisa jumpa dengan Allah karena menyembah kepada benda untuk perantara. Faham tadi dinamakan Animisme yang menambah kepercayaan golongan tersebut. Manusia itu mempunyai hidup terus sesudah mati, oleh karena hidup itu Hakikatnya Allah. Allah itu meliputi semua maka menjumpai memakai (memuja) kayu, batu, patung; paham (kepercayaan) itu bisa saja percaya ada DAT yang wajib adanya, tetapi tanpa keterangan, jadi pekerjaan tadi hanya yakin ada dan cinta, jadi faham yang tidak terang, tetapi didalam hati bisa menciptakan/mengarang bahwa Allah itu ada dan menyatu, faham tadi disebut Antropormophisme. Ujud/nyata disini berarti karangan-karangan yang timbul dari angan-angan lalu ada golongan yang nebak-nebak bahwa Allah itu bisa menjelma menjadi orang, dan orang itu disebut Allah. Kitab Injil, Taurat asal pertamanya terjadi Jagat Raya;

•   Allah menciptakan manusia melalui cahayanya.

•   Tidak ada orang yang bisa dekat dengan Rama (Allah), kecuali tidak keluar dari Rama aku, umpama kamu bisa mengenalku pasti kamu mengenalku (Rama).

•   Orang yang bisa melihatku, jadi sudah bisa melihat sang Rama, sang Rama ada berada padaku.

Kata Citra tersebut diatas maksudnya sinar yang memancar, itu kata karangan, dalam perkataan Wirid disebut Hakikat, sudah sebenarnya manusia itu asal Hakikatnya Tuhan. Menurut trilogy Kristen; Tuhan sifatnya Rama sang Putra dan Rohulkudus/Rohsuji (perkataan sang Rama lebih kurang adalah DAT yang wajib adanya) Tuhan yang disembah yang paling tinggi sekali. Sang Putra sinarnya Rama (Hakikatnya cahaya tuhan) atau yang dinamakan Citra yang sifatnya makhluk yang memiliki sifat 20, Rohul kudus itu roh suci yang menempati sifatnya manusia. Karena manusia sifatnya sempurna, lalu manusia memiliki Rohul Kudus, Rohul kudus itu bisa disebut sejatinya aku, lebih-lebih tentang kemajuan rasionalnya (akal pikir) orang saja.

Surat Injil diatas tadi lalu ada perkataan; “orang yang bisa melihat aku, jadi sudah melihat sang Rama”. Keteranngannya; orang yang sudah mengetahui / melihat aku sama seperti sudah mengetahui / melihat Allah. Jadi kata melihat artinya bukan dengan mata, tetapi melihat melalui hati, yakin dengan diri sendiri, aku itu meliputi Hakikatnya Allah.

Wihdatul Wujud asal dari bahasa Allah, Pembagiannya begini :

• Wihda dari kata Wahdat, artinya Satu.

• Wujud artinya Ada.

Jadi Wihdatul Wujud itu adalah Satu dan Ada (Kahanan Tunggal = Bahasa Jawa), yang menciptakan dan yang diciptakan, bahasa Ilmu (Wirid) Chaliq dan Makhluk, artinya lebih kurang Chaliq tidak ada dan Makhluk tidak ada. Sebaliknya kalau Manusia tidak ada, maka Manusia dan Chaliq tidak ada yang menyebut. Dibagian keterangan kepercayaan Wihdatul Wujud banyak para Ulama yang tidak sepakat pendapatnya atau sama tidak percaya pendapat tadi karena keadaan tunggal itu pecahan para Pertapa, Sufi, Filsuf. Ada pendapat yang simpang siur, yang satu mengatakan Chaliq dan Makhluk itu Dua, artinya Allah disamakan berada disuatu tempat dan makhluk ada tempatnya masing-masing. Di Jawa menurut surat Wirid dan sejarah-sejarah ada seorang Wali mempunyai pendapat bahwa Wihdatul Wujud itu namanya Syeh Siti Jenar, ditanah Jawa dulu ada Wali 9 (Songo=Jawa) didemak, para Wali menurut sejarah mereka tidak suka kepada Syeh Siti Jenar, karena tidak sepaham dengan para Wali, lalu dimusuhi dan ilmunya sampai sekarang diketahui.

Ditahun 858 Masehi di Persia ada pujangga namanya Al Hallaj, dia terkenal didunia barat dan timur dengan bukunya dan buku-buku tersebut ditulis dengan bahasa masing-masing negara/daerah, pendapatnya mengakui Wihdatul Wujud (Yang Kuasa) adalah Tuhan Esa, dan Al Hallaj tadi dihukum oleh pemerintahan dizamannya, karena khawatir pengetahuan tadi berbahaya bagi masyarakat awam/umum.

Kepercayaan Wihdatul Wujud disebut keadaan satu. Menurut pendapat Sarjana, Filsufi; Plato, Aristoteles, Al Hallaj, Syeh Siti Jenar dan menurut keterangan itu menebak bila Manusia sebenarnya penyempurnaan Dat Allah, keterangannya umpama Manusia dan Makhluk itu seperti Air yang jernih yang berada dibak air dan Allah di ibaratkan seperti Surya diatas langit yang memancarkan cahaya ke 1000 bak air tadi, dan isi 1000 bak air tadi jika dilihat masing-masing terdapat matahari/surya yang memancarkan sinarnya dari langit tetapi sebenarnya matahari tadi hanya satu.

Leluasa artinya benda, manusia, besar, kecil bergerak karena memiliki Dat Allah, seperti Bak Air tadi ada Mataharinya, dan bergerak menurut keadaannya (kodratnya). Ada lagi kepercayaan yang berpendapat Chaliq dan Makhluk itu ada dua. Keterangannya kalau Makhluk-makhluk dilihat dari Chaliq (melihat matahari) keadaannya tetap satu, kalau dilihat dari makhluk (bak air tadi) matahari lebih dari satu, yaitu Makhluk (bak air) satu, Chaliq (tuhan) dua, artinya Matahari ada 1 (satu) dibak dan 1 (satu) dilangit.

Al-Qur’an surat An-Najm : 43-44 ;

43. “dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis,”

44. “dan bahwasanya Dialah yang mematikan dan menghidupkan,”

Yang menyebabkan tertawa dan menangis itu Allah, artinya Manusia sudah memiliki sifat Qodrat / Irodatnya sifat 20, lalu yang memberi sifat tadi mengikuti tertawa, menangis, jadi pendapat tadi berpedoman kepada ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebenarnya Allah itu meliputi kita semua (manusia);

1.  Dat Allah; tidak nampak, layu Kayafu, Nukat Gaib, orang tidak bisa melihat tetapi bisa menguasai, bisa menghidupi, bisa mematikan, bisa menangiskan dan bisa mentertawakan.

2.  Arti keterangan diatas mengatakan tidak diragukan lagi karena Hakikatnya DAT (sifat 20) tadi, karena umat manusia tidak berhak mengatakan bahwa manusia sama dengan Allah, walaupun memiliki DAT (sifat 20) yang lengkap, karena manusia tidak mempunyai kekuasaan (Wenang – Jawa).

Oleh karena itu lalu ada pendapat bila Allah dan Umat itu dua (Allah,Umat), ada yang mengatakan Allah dan Umat itu satu (Esa); Datnya sama, geraknya sama, Hakikatnya sama, karena semua sama-sama yang menguasai dan yang dikuasai, lalu diartiikan satu Dat Allah. umpama Siti itu bisa merubah diri apa saja, Dat Siti sama geraknya dengan Siti, tetapi Siti sulit untuk menyebut badannya sendiri, seolah-olah bertanya kepada diri sendiri “dari mana asalnya ini?”. Jadi keterangan kepercayaan Wihdatul Wujud asal dari satu DAT bisa menjelma apa saja.

Mempelajari Pelajaran (Wedaran Wirid – Jawanya) Bab Sifat 20 itu memang sulit, karena yang diterangkan tentanng mengenai Allah (Tuhan), jadi memang sebenarnya para leluhur dizaman dahulu memikirkan tentang yang sangat sulit, karena memikirkan kalau salah menerima bisa membahayakan hidupnya sendiri dan masyarakat umum.

Almarhum Mahatma Gandhi (India) sangat memuji kepada kepribadian Nabi Muhammad SAW, karena satu tujuan yaitu menyembah kepada Satu Allah, kalau dilihat kepercayaannya, Mahatma Gandhi itu pujangga Budha, dan Nabu Muhammad penyebar Agama Islam. Kalau difikir tujuan Mahatma Gandhi tentang Tuhan (Allah) adalah satu, hanya beda nama tetapi tujuan sama.

Pujangga Islam Syeh M. Abdul pernah berteman dengan pujangga Kristen Graaf leo Tolstoy, dan berpendapat Nabi Muhammad SAW tidak beda dengan Mahatma Gandhi. Menurut surat-surat M. Abdul dan Tolstoy sama-sama mempercayai agamanya masing-masing. Adanya hubungan tadi hanya menyatukan tekat yang dikatakan MONOTHISME, artinya menentukan Allah itu Satu utuh (Esa). dari contoh-contoh itu lalu jelas Kitab Allah itu bahwa walaupun beda namanya tetapi sama tujuannya, yaitu menetapkan Allah itu satu (Monothisme). Beda keterangan yang terdapat pada kitab-kitab tadi yaitu :

• Agama Islam; Allah – Sifat 20;

• Agama Kristen; Trimurti – Tuhan Rama;

• Agama Budha; Tuhan Trimurti sang Budha.

Semua itu hanya sebagai pedoman, artinya untuk contoh jalannya ilmu pengetahuan, lalu ada pendapat yang berbeda-beda, itu dapat dari turun temurun, Allah mengutus para Nabi, penganutnya sama-sama meyakini ajaran Nabi Musa pada zaman itu, dan sampai sekarang tetap tidak setuju dengan pendapat lain, karena dihati yakin terhadap ajaran Nabi Musa yang dianggap benar;

•   Ajaran Nabi musa yang utuh terdapat 10 (sepuluh) ajaran, dan pada zaman dahulu masyarakat belum seperti sekarang kemajuannya, turun temurun penganutnya sama-sama membenarkan ajaran Nabi Musa, dan sampai sekarang tidak setuju pada agama lain, karena ajaran Nabi Musa dinggap paling benar.

•   Ajaran Nabi Isa itu menjadi ukuran masyarakat zaman dahulu sampai sekarang, turun temurun tetap menjadi kepercayaan (dianut).

•   Ajaran Nabi Muhammad SAW, begitu juga membenarkan pada ajaran-ajaran Nabi-nabi, walaupun beda-beda tempat dan kemajuan cara berfikir, ajaran-ajaran tetap bertekad membenarkan Allah itu satu (Esa).

Bila demikian adanya keterangan 3 macam bisa disimpullkan dengan menurunkan kitab-kitab perantaraan Nabi-nabi Allah, menilai keadaan masyarakat bahwa Al-Qur’an itu kitab yang diturunkan untuk menutup segala kitab-kitab yang diturunkan, dengan isinya yang lengkap dan meliputi politik, ekonomi, bermasyarakat, pernikahan, hukum tata negara dan lain-lain, dan semua yang terpenting Al-Qur’an itu sifatnya Allah.

Seketika ada pertanyaan begini; “jika semua agama-agama itu kemauan Allah, kenapa baru sekarang menyatunya agama. Jawaban dari pertanyaan itu benar atau salah dinyatakan di Surat Al-hajj : 67 ;

“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan Syari’at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari’at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.”

Keterangan dari ayat diatas begini; Agama contoh peraturan yang dikehendaki oleh Tuhan (Allah), intisarinya menuju yang benar, walupum agama tadi harus ditaati, walaupun lebih tua (lebih dahulu mencul) atau lebih tebal kitabnya, semua perintah menurut orang zaman dahulu tetap benar (lurus), yang membenarkan adalah orang yang sudah maju, menurut pendapat pasti benar untuk orang dizaman dahulu, walupun dikotak-katik (diubah-ubah) tetap benar (lurus), walupun yang membenarkan itu orang dizaman sekarang, Allah mengatakan “hati-hati, segala urusan agama itu jangan dibuat perdebatan”, sebab yang penting agama-agama itu merupakan perkataan-perkataan Allah (Firman Allah). Allah itu pujaanmu (Sembahanmu), Allah itu ada. Bila diteliti dari agama Budha, Kristen, Islam, Majusi, Sinta, Hindu, Tao, Zorowaster; semua itu seperti sungai yang mengalir deras, panjang, lebar dan mengalir pelan; semua mengalir kearah laut (samudra). Ada pertanyaan begini; “apakah agama tadi bisa bersatu dengan upacara !!”, ada yang mempunyai tekad menyatukan agama-agama itu, ia seorang Cendikiawan Sufi dari Persia yang terkenal, namanya Al-Hallaj, sebelum Cendikiawan tadi wafat, ia mempunyai tekad satu, yaitu peraturan Allah untuk Allah, umpamanya tercapai dan bisa menyatukan bangsa berjuta-juta.

Tekadnya Anaxagoras tentang Hakikatnya Roh, itu umpama diteliti belok dari tujuannya yang berwujud benda, barang dll, itu sampai sekarang belum ada satu manusiapun yang membuktikannya, umpama ada orang yang cerita bisa melihat Roh, sebenarnya hanya bisa menjerumuskan, dan firman Allah surat Al-Isra : 85 ;

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”

Kata sedikit itu tidak berarti barangnya, hanya sepengetahuan, buktinya orang bisa memilih hidup itu apa.. walaupun nanti pikiran manusia sudah maju, mengenai Esa itu belum ada Nabi, Wali, Mukmin, Sarjana, Profesor, Doktor dan lain-lain yang bisa memegang Roh, walaupun Roh semut, yaitu yang dinamakan Gaibnya Allah.
Didunia modern sangat membingungkan tentang Allah, lalu ada paham Athisme yang membantah ada Allah.

Menurut Paham tadi Allah tidak ada, hanya ciptaan manusia. Penafsiran ketuhanan itu tidak bisa untuk landasan mencari hukum kejadian dan sebabnya. Francis Bacon mengatakan dizaman kemajuan ilmu, zaman makmur semakin banyak orang yang tidak percaya kepada Allah, kenapa waktu miskin, gembel, perut lapar, sakit lalu manusia mencari pegangan (kepercayaan) kepada Allah.

Bacovan Ferulame berkata demikian; sorang Athist itu orang-orang yang hatinya palsu, tidak jujur. Untuk penutup tentang Ikhtikat macam-macam untuk ketuhanan, disini perlu tambahan pendapat tentang ajaran Sidarta Gaotama, yaitu Sri Budha Gaotama, begini; menurut berabad-abad kebudhaan itu bukan agama, tetapi suatu pendapat bahwa sebenarnya kebudhaan agama Tuhan, sebab yang menyiarkan adalah seorang ahli tapa, dan kata dari Tuhan melalui sang petapa Sri Budha Gaotama, bedanya apa?, Nabi Muhammad bertapa di Gua Hira di tanah Arab, sang Gaotama bertapa di pohon Budhi dan dua-duanya mendapat kitab.

Ajaran kebudhaan menghilangkan (melepaskan diri) dari kesengsaraan (kesusahan) menggunakan kekuatan diri sendiri, dan Maha Budha hanya memberi hidayah, taufik dan berkah, maksudnya pusat azas abadi atau pusatnya sumber yang ada (Jagat Raya).
Pelajaran itu ternyata merupakan kebutuhannya manusia dan membenarkan bahwa kesengsaraan (penderitaan) itu sumbernya adalah Nafsu, maka nafsu itu harus dikendalikan, jalannya harus konsentrasi, meditasi, yaitu Dhiyana atau Semedi (At’tauhid bahasa arabnya) menurut keyakinan menuju kebudi (Qalbu bahasa arabnya) dan bersama melalui tata tertib susila, sesudah bisa mengendalikan Nafsu, baru bisa menerima pelajaran bila Budi (kesadaran diri) pribadi itu tiak ada, jadi hidup merasa sendiri (individu) itu salah, sebenarnya harus merasa hidup menyatu, berdiri tidak sendiri-sendiri (universalisme) dicocokan dengan sifat Afhngalnya Allah.

Selanjutnya bila sudah bisa menyatu dengan keabadian tidak terikat dengan suatu sebab dan akibatnya (Karma) yang berubah-ubah, karena dengan perbuatan sendiri menyebabkan penderitaan, dengan tujuan yang baku (utama) menuju ke alam Nirwana, alam yang tidak terjamah oleh apapun.

Budisme (agama Budha) itu tidak mengakui adanya roh (jiwa) pribadi, manusia itu hanya membuktikan paduan dari kumpulan zat yang hanya selalu bergerak berubah-ubah tidak kekal, karena perbuatan sendiri, dan perbuatan orang lain, keterangannya lebih kurang sebagai berikut :

• Masuk Agama Budha;

• Mengerjakan perintah yang Suji;

• Menjalankan Puja (menyembah).

Artinya ;

a.  Darma itu undang-undang Tarikat yang untuk ke Budhaan (agama Budha)

b.  Jalannya untuk menuju kebebasan kecuali semedi harus memenuhi syarat-syarat; berbicara harus yang benar, tekad yang benar, pikirang yang benar, pekerjaan, hidupnya sederhana, watak yang benar, jujur dan Suji (Ikhlas).

Keyakinan (kepercayaan) Hindu, yang disebut Trimurti atau bentuk sifatnya Allah itu :

1.  Brahmana sifat yanng menciptakan Jagat Raya dan umat;

2.  Whisnu sifat yang menggerakkan semua yang tercipta;

3.  Shiwa, sifat yangn merusak semua yang tercipta, yaitu kalau diteliti sifat Allah yang Irodat dan Qodrat yang dimilliki manusia terdapat keadaan hidup, berkeluarga dan matinya.

Jadi Trimurti tadi untuk tanda saksi, kekuasaan Dat yang wajib tadi untuk kehidupan manusia, hewann tumbuh-tumbuhan, bakteri, Jin; tidak kekal (tidak abadi) tetapi Dat yang berkuasa tadi kekal (abadi).

Ajaran Budha tentang Nyuiji terhadap Allah azas abadi itu umpama diteliti dengan ajaran Islam tepat sekali; tidak salah, yaitu bahasa Arab bahasa Tauhid (ketuhanan Theologi) keterangan seperti ini; kata Tauhid dari kata hitungan Wahid (satu), lalu menjadi At’tauhid menjadi ilmu Tauhid. Wahid bahasa jawa, kalau Sunda Ngawahid, bahasa Indonesia mewahid, karena bahasa Arab menjadi menjadi Tauhid, artinya menyatukan (menyatu dengan Dat tadi). Begitupun ajaran Sariah Islam menyatukan dengan Allah, bukan menduakan Tuhan (Syirik) dan At’tauhid ilmu yang menyatakan tentang ketuhanan, ilmu tentang mengupas sifat-sifat Allah yang lengkap.

Keterangan dalam Wirid, kata menyatu (menghusyukkan – Arabnya) menyatu dengan yang satu (unversalisme – Budha) menghilangkan perasaan lebih dari satu (husyuk – Arabnya) itu hilang dari perasaan. Jadi ilmu Tauhid itu suatu ilmu menyatu dengan Dat Allah wajib adanya atau ilmu yang mengatur cara-cara menghilangkan perasaan, pikiran yang bekerja sendiri-sendiri (individual) supaya merasa dirinya sendiri (universal – Budha). Begitu pula yang penting, ilmu yang menerangkan cara untuk menyucikan diri dengan Dat yang maha kuasa dengan cara membuktikan dengan rasa menyatunya umat-umatnya dan Tuhannya (Chaliq dan Umatnya). Lalu tidak hanya pengetahuan (cara berfikir) pasti harus membuktikan dengan Meditasi, Yoga (Semedi). Umpama saya yakin betul dengan Dat Allah tidak pisah dengan kita (manusia) itu termasuk masih dalam pengertian (pengetahuan) harus kita buktikan dengan jalan atau ilmu; semedi, Tafakur, Yoga, Meditasi, yang penting menuju ketuhannya. Tuhan itu tidak bisa dijangkau, Dat yang tidak bisa dijangkau itu disebut Tarikat, keterangannya sebagai berikut :

Kita harus berguru, membaca buku tentang ketuhanan, maksudnya pengetahuan yang menggunakan pikiran, akal bisa dikatakan ahli kitab. Ahli-ahli kitab itu Tarikat, walaupun berhenti dipengetahuan, jadi kalau disuruh membuktikan tidak bisa, lalu Tarikat tadi harus menjalani dulu sebelum Ma’rifat, sebab Tarikat disebut kaya pengetahuan, menuju cerdasnya pikiran (perasaan) umpama nanti bisa mencapai Ma’rifat tidak bisa ditipu. Hidup bergerak-gerak kalau sudah bisa menyingkirkan perasaan yang bermacam-macam menjadi aku (ingsun-Jawa) yang satu sebenarnya, baru nama tingkatan yang kita lalui belum ada apa-apa, masih jauh. Bila memakai perasaan sendiri atau aku satu itu tadi masih merasakan. Sempurnanya tujuan harus melalui Ma’rifat.


Sumber buku Wedaran Wirid III, Ki R.S. Yoedi Parto Yoewono. Surabaja : Djojobojo, 1962-64.