Senin, 14 Juni 2010

GURU SPIRITUAL

KENAPA GURU SPIRITUAL MENYURUH MURID JADI GELANDANGAN?
 

Salah satu yang dianjurkan dalam meniti jalan spiritual adalah menghilangkan keakuan/ego/diri. Proses ini harus dilalui agar diri yang masih diliputi hasrat kebendaan sedikit demi sedikit terangkat menemukan DIRI SEJATI-NYA.

Dalam tradisi tasawuf atau mistik Islam, kita mengenali tahap ini sebagai tahap pembersihan diri dari berbagai hawa nafsu yang masih melekat kuat pada diri seseorang. Tanpa dilakukan pembersihan, diri kita tidak akan mampu membuka mata terhadap petunjuk/rambu-rambu hidup yang diberikan-Nya. Bila kita sudah mampu membaca rambu-rambu/petunjuk-Nya, otomatis kita pun mampu terus berjalan di jalan yang telah digelar untuk kita.

Cara kaum sufi –sebutan bagi mereka yang menempuh jalan tasawuf sebagai pilihan hidup untuk pendakian spiritual— untuk proses penghilangan diri ini bermacam-macam. Semua sufi besar sepanjang masa, melakoni tidak dengan cara yang sama. Masing-masing disesuaikan dengan kadar ego/keakuan yang dimiliki masing-masing individu. Siapa yang mampu melihat berat ringan melekat dan tidak melekatnya diri pada dunia benda, hasrat egoistik, dan keinginan hawa nafsu?

Disinilah orang terkadang mengharuskan para penempuh jalan suluk untuk berguru kepada seorang guru yang diyakini ilmunya lebih tinggi. Hubungan guru dan murid, adalah hubungan antar teman konsultasi berbagi pencapaian tahap spiritual termasuk keluhan-keluhan apa yang dihadapi selama menjalani olah batin. Murid akan diarahkan untuk tetap tegar dan tenang sekaligus akan disembuhkan secara batiniah oleh sang guru bila terjadi kegagalan fokus dan gangguan-gangguan oleh pihak luar apakah itu manusia, jin maupun hal lain.

Guru lebih mengerti daripada murid karena mereka sudah terlebih dulu memiliki pengalaman menempuh jalan spiritual tertentu. Ibarat sang guru akan memberikan pengertian bagaimana cara naik sepeda karena dia pernah dan sering naik sepeda. Dalam konteks perjalanan spiritual mistik, guru tidak hanya memberi pengertian teoritis saja sebagaimana guru sekolah-sekolah formal, melainkan ikut menceburkan diri dalam laku sang murid.

Guru atau pembimbing spiritual kemudian menyarankan agar sang murid menjalani proses penghilangan diri ini. Ini adalah proses kedua setelah seorang murid benar-benar berniat untuk tobat kembali ke jalan Tuhan. Atau sang murid sudah benar-benar mau dan bertekad sangat kuat untuk menjalani proses laku yang panjang. Tobat oleh sebab itu merupakan tahap awal.

Nah asal muasal seseorang itu tobat dan benar-benar sadar semuanya hak istimewa Tuhan. Tidab bisa diganggu gugat dan tidak bisa direspon oleh siapapun untuk bertobat. Maka, bila kita sudah ada kesadaran untuk bertobat maka harusnya disyukuri dan lekas-lekas untuk berterima kasih pada-Nya. Jangan sampai hidayah pemberian tobat ini ditarik lagi gara-gara kita tidak bersyukur.

Wujud syukur adalah menerima dengan ikhlas dan kemudian melaksanakan perubahan diri itu. Apabila Tuhan menghendaki, maka Dia kan memberi guru spiritual yang sesuai. Guru tiba-tiba akan datang membimbing kita dan hendaknya kita menyambut dengan kuat untuk menjalani pengajaran-pengajaran Tuhan Yang Maha Memberi Petunjuk tersebut.

Masih ingat bagaimana proses yang dijalani oleh Sunan Kalijaga sewaktu belum menjadi wali? Sang guru spiritual Sunan Bonang atas “dawuh” atau petunjuk-Nya menyuruh agar Sunan Kalijaga meditasi/tapa duduk bersila di pinggir sungai untuk sekian waktu dengan fokus pikiran pada sebuah tongkat yang ditancapkan Sunan Bonang. Apabila nanti Sunan Bonang sudah mencabut tongkat tersebut, maka itu tanda bahwa Sunan Kalijaga sudah selesai menjalani laku penghilangan diri ini.

Ada pengalaman beberapa sufi yang diperintahkan seorang gurunya untuk hidup menjadi pengemis dan menggelandang bertahun-tahun. Mereka harus hidup dalam kesengsaraan dan kemiskinan, dengan pakaian seadanya, tidak boleh melanggar wewarah misalnya dilarang meminta makanan. Boleh makan asalkan diberi oleh siapapun juga.

Sang pelaku atau murid ini diminta untuk tidak mengaku nama, alamat, asal usul-nya bila ditanya oleh orang lain. Tidak melanggar semua aturan yang telah disampaikan guru. Semua ini pada hakikatnya agar sang diri murid yang penuh kekotoran dan kemunafikan dihilangkan, dan diganti dengan diri yang sama sekali baru. Diri yang sepenuhnya mendapatkan tuntunan Tuhan.

Sesungguhnya, perintah puasa Ramadhan dan melaksanakan semua tata cara beribadah dalam agama Islam selama sebulan penuh itu pada hakikatnya sama dengan laku penghilangan diri. Pelaku puasa ditatar, didril, dibersihkan dari kekotoran dan kerak yang menyebabkan batin menjadi buram. Sang aku dan diri dihilangkan kemudian diganti dengan Diri yang sama sekali dipenuhi oleh sinar pencerahan. Namun sayangnya, puasa yang kebanyakan dilaksanakan oleh kaum muslimin masih belum sepenuhnya dihayati secara mendalam dan dilaksanakan sepenuh jiwa. Inilah yang menjadi kritik bersama, semoga puasa Ramadhan tahun ini menjadi pemicu kita untuk menjadikannya sarana penyucian diri.

Saya juga menemukan beberapa orang yang diharuskan oleh guru spiritualnya untuk menjalani laku jadab seperti ini. Berjalan keliling Jawa, Sumatra, Kalimantan tanpa bekal apapun kecuali PASRAH KEPADA TUHAN. Setelah mereka pulang dari pengembaraan, mereka pasti akan berubah total. Diri mereka tersucikan, mulut, tubuh dan perilaku mereka tidak seperti sebelumnya yang sak karepe dhewe. Melainkan sebaliknya, tertuntun oleh sebuah kekuatan ghaib dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

Bisa disimpulkan penghilangan diri adalah sebuah proses kepasrahan yang kaya dengan pengalaman mistik. Sebab setelah diri/keakuan hilang maka Tuhan Gusti Allah akan mengisi keakuan kita yang sudah hilang tersebut dengan DIRI SEJATI-NYA. Ini adalah pengalaman kebersatuan dan kemanunggalan dengan iradat Gusti Allah. Oleh sebab itu pengalaman yang demikian ini pasti akan kaya dengan certia yang bagi kalangan awam dianggap tidak masuk akal dan sangat supranatural. Siapa yang berniat menetapkan tujuan hidup untuk berjumpa dengan Tuhan, pasti akan melalui proses yang berat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar