Senin, 14 Juni 2010

HAKEKAT DOA

MENCAPAI INTI DOA

Atas kekurangbenaran artikel ini, saya mohon maaf karena ini sekedar refleksi dari saya pribadi.

womanbendingSalam saya haturkan kepada Allah SWT, satu-satunya Tuhan di semesta alam, junjungan Nabi Muhammad SAW kekasih-Nya dan keluarga, para Nabi dan Rasul, wali-wali-Nya, umat Islam, umat Kristen, umat Protestan, umat Hindu, umat Budha, umat Kong Hu Chu, macam-macam penganut alirat kepercayaan, ulama, intelektual, kaum sufi, kaum terpinggirkan dan tersisihkan, kaum miskin papa, serta kaum yang tidak saya ketahui dimana pun kini berada. Serta seluruh makhluk penghuni jagad raya….

Ki Sabda, ngapunten sebelumnya. Rasa-rasanya saya kok tidak pantas untuk memberikan penjelasan karena masa sih saya menjelaskan kepada yang lebih tahu? Apakah nanti tidak kuwalat, ki? Tapi sebagai wujud asah asih asuh maka mungkin ada baiknya juga kita sharring pengetahuan.

Ki Sabda bertanya tentang beda antara HIJAB dan HIJIB. Dalam kamus perbendaharaan agama, HIJAB artinya tabir, selubung, dinding yang dalam istilah para sufi lebih mengarah pada sesuatu yang bersifat ruhaniah, sifat-sifat kotor manusia, nafsu (berbagai jenis), keterbelakangan akal, ketersesatan akal, keterbenaran akal yang belum sujud dll.

Adapun HIJIB, Hizb, Hizib artinya DOA atau kumpulan doa dari para alim-ulama, syaikh yang diyakini oleh kalangan tertentu memiliki energi yang hebat untuk mengetuk pintu langit. Membuka kunci gudang kegaiban karena kelembutan dan tuning yang pas dengan kehendak-Nya. Di masyarakat Islam khususnya, kita mengenal banyak hijib. Hijib yang terkenal di antaranya Hizbun Rifa’i oleh Syaikh Ahmad Rifai, Hizbun Nasor oleh Syaikh Abi Hasan Asy Syadili, Hizbun Nawawi oleh Imam Nawawi, dan sebagainya.

Saya sejatinya termasuk orang yang belum begitu paham, kenapa ada doa-doa yang diijabahi/di-ACC oleh Tuhan dan kenapa pula ada doa yang belum/tidak di-ACC. Tapi dengan prasangka yang baik bahwa diijabahinya doa atau tidak, Tuhan sesungguhnya lebih tahu kepantasan apakah satu doa itu harus diterima atau tidak.

Pada kesempatan kali ini ada baiknya kita menganalisis secara filsafati soal doa sehingga akhirnya kita semua memahami hakikatnya. Meskipun kita tetap tidak percuma untuk berdoa meskipun belum mengetahui hakikat doa, tapi saya rasa akan lebih sreg bila kita yang alhamdulillah dikaruniai akal budi ini untuk memikirkannya, sesuatu yang kita ucapkan dalam ibadah sehari-hari. Bukankah kunci ibadah adalah doa? Bukankah dari dari doa tercermin siapa diri kita sesungguhnya? Bukankah dari doa tercermin perilaku dan tata cara kita mengolah kedirian?

Mereka yang tidak mengenal hakikat doa mungkin berpendapat bahwa doa merupakan faktor yang melumpuhkan manusia: “Bukan saatnya lagi hanya menengadahkan tangan untuk meminta sesuatu kepada Tuhan, sudah seharusnya kita melakukan usaha, memanfaatkan sains dan teknologi, serta mengisi kesuksesan yang dicapai justeru dengan doa bukankah membuat orang malas berusaha?”

Ada yang berpendapat sbb: “Pada prinsipnya, apakah berdoa bukan berarti ikut campur dalam pekerjaan-pekerjaan Allah? Padahal kita mengetahui bahwa apapun yang menurut Allah baik untuk dilakukan, maka Dia pasti akan melakukannya. Dia mempunyai rasa kasih sayang kepada kita. Dia lebih mengetahui kebaikan untuk diri kita dibanding diri kita sendiri. Oleh karena itu, mengapa kita harus menginginkan sesuatu dari-Nya setiap saat?”

Di saat lain ada yang berpendapat: “Selain dari semua yang telah tersebut di atas, bukankah doa justru bertentangan dengan keridhaan dan penyerahan diri pada kehendak Allah?”

Kritikan dan sanggahan semacam ini sebenarnya belum memahami kenyataan psikologis, sosial, budaya, pendidikan, dan aspek spiritual doa dan ibadah. Karena pada dasarnya, untuk meningkatkan kemauan dan menghilangkan segala kegelisahan, manusia membutuhkan kehadiran sesuatu yang bisa dijadikan media untuk menyandarkan dan menggantungkan kepercayaannya. Dan doa adalah pelita harapan di dalam diri yang diliputi kegelapan.

Masyarakat yang melupakan doa dan ibadah, pastilah akan berhadapan dengan reaksi yang tidak sesuai dengan psikologi sosial. Ketidaaan ibadah dan doa di tengah-tengah suatu bangsa sama artinya dengan kehancuran dan keruntuhan bangsa tersebut. Sebuah masyarakat yang telah membunuh rasa butuh kepada doa dan ibadah biasanya tidak akan pernah terlepas dari keruntuhan dan kemaksiatan.

Tentu saja, jangan kita lupakan bahwa beribadah tidak hanya di saat saat tertentu saja dan menjalani waktu yang ada seperti seekor binatang liar yang membunuh sana-sini tidak ada manfaatnya sedikitpun. Ibadah dan doa harus dilakukan secara terus-menerus, berkesinambungan, pada setiap kondisi, dan melakukannya dengan penuh khidmat sehingga manusia tidak akan kehilangan pengaruh kuat dari doa ini.

Mereka yang setuju dengan dampak negatif yang ditimbulkan oleh doa, tidak memahami hakikatnya. Karena doa bukanlah berarti kita menyingkirkan dan melepaskan tangan dari segala media eksternal dan faktor-faktor alami, lalu menggantikannya dengan berdoa.

Maksud dari doa adalah setelah melakukan segala usaha dalam mengunakan seluruh fasilitas kemanusiaan yang ada, barulah kita berdoa untuk menghidupkan semangat harapan dan gerak dalam diri kita dengan memberikan perhatian dan menyandarkan diri kepada Allah SWT, Sebab Utama Bergeraknya Jagad Raya ini.

Namun sesungguhnya doa tidak hanya dikhususkan pada persoalan-persoalan yang menemui jalan buntu, bukan sebagai sebuah faktor yang menggantikan faktor-faktor natural. Selain akan memberikan ketenangan, doa juga akan menghidupkan gairah batin dalam aktifitas otak manusia, dan terkadang pula akan menggerakkan hakikat manusia sebagai makhluk yang paling mulia.

Dalam kenyataannya, doa akan menampakkan karakternya dengan indikasi-indikasi yang sangat khas dan terbatas dalam diri setiap manusia. Doa akan menampakkan kejernihan pandangan, keteguhan perbuatan, kelapangan dan kebahagiaan batin, wajah yang penuh keyakinan, dan potensi hidayah. Doa oleh karenanya menceritakan tentang bagaimana menyambut sebuah peristiwa. Ini semua merupakan wujud sebuah hazanah harta karun yang tersembunyi di kedalaman ruh kita. Dan di bawah kekuatan ini, harta orang-orang yang mempunyai keterbelakangan mental dan minim bakat sekalipun, akan mampu menggunakan kekuatan akal dan moralnya dan mengambil manfaat yang lebih banyak darinya. Ironisnya, di dunia kita ini sangatlah sedikit orang-orang yang mau untuk mengenali secara mendalam hakikat doa.

Jelaslah sekarang bahwa doa sesungguhnya sejalan dengan ridha (kerelaan) diri kita untuk mengakui keterbatasan, mensyukuri yang sudah ada serta mengarahkan kepasrahan kepada kehendak Tuhan. Dengan perantara doa pula manusia akan menemukan perhatian yang lebih banyak untuk memahami berkah Allah swt. Ini jelas merupakan usaha untuk mencapai kesempurnaan manusia dan sebagai bentuk penyerahan diri pada hukum-hukum penciptaan. Selain itu semua, doa merupakan ibadah, kerendahan hati, dan penghambaan. Dengan perantara doa, manusia akan menemukan cara baru berkomunikasi terhadap Dzat Allah.

Dan apabila dipertanyakan, “Doa berarti campur tangan di dalam pekerjaan Allah. Padahal, Allah akan melakukan apapun yang menurut-Nya bermaslahat”, mereka tidak memperhatikan bahwa karunia Ilahi akan berikan berdasarkan kelayakan yang dimiliki oleh setiap orang. Semakin besar kelayakan seseorang, maka ia akan mendapatkan karunia Allah secara lebih banyak pula. Sebagaimana Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu hadis berkata, “Di sisi Allah SWT terdapat sebuah kedudukan di mana seseorang tidak akan sampai ke sana tanpa melakukan doa.”

Sebagai penutup, doa, shalat, dan iman yang kuat terhadap agama akan menghilangkan kegelisahan, ketegangan, dan ketakutan-ketakutan yang merupakan penyebab dari separuh kegundahan manusia dalam peradaban modern yang semakin menjauhkannya dari jati dirinya sendiri sebagai makhluk yang memiliki hati nurani yang mampu menerobos tembus (tadabbur) ke arasy Tuhan.

Salam asah, asih dan asuh dan mohon koreksi dari Pembaca Terkasih.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar